Oleh :
Drs. Abdul Hamid, M. Pd. I
MU’AMALAH
ASURANSI
Asuransi, Sifat, Macam dan
Hukumnya
06/09/2006
06/09/2006
(Keputusan Munas Alim Ulama Lampung, 1992)
1. Definisi Asuransi
Menurut KUHP Pasal 246:
"Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena: suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu."
Menurut KUHP Pasal 246:
"Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena: suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu."
2. Macam-macam Asuransi
2.1. Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
- Kehilangan nilai pakai atau
- Kekurangan nilainya atau
- Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
2.1. Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
- Kehilangan nilai pakai atau
- Kekurangan nilainya atau
- Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
Penanggung tidak harus
membayarganti rugi kepadatertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek
pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
2.2. Asuransi jiwa adalah
perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang
berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian
asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian dimaksud
tidak termasuik perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam asuransi
kerugian) berdasarkan pasal I a Bab I Staatblad 1941 - 101).
Dalam asuransi jiwa (yang
mengandung SAVING) penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang
diperjanjikan, kepada tertanggung
- Kalau tertanggung meninggalkan dalam massa berlaku perjanjian, atau
- Pada saat berakhirnyajangka waktu perjanjian keperluannya suka rela.
- Kalau tertanggung meninggalkan dalam massa berlaku perjanjian, atau
- Pada saat berakhirnyajangka waktu perjanjian keperluannya suka rela.
2.3. Asuransi Sosial
Ialah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu:
- Asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja).
- Asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI.
Ialah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu:
- Asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja).
- Asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI.
Sifat asuransi sosial
- Dapat bersifat asuransi kerugian
- Dapat bersifat asuransi jiwa.
- Dapat bersifat asuransi kerugian
- Dapat bersifat asuransi jiwa.
Hukum Asuransi
1. Asuransi Sosial
Asuransi sosial diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.1. Asuransi sosial tidak termasuk akad mu'awadlah, tetapi merupakan syirkah ta'awuniyah.
1.2. Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
1. Asuransi Sosial
Asuransi sosial diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.1. Asuransi sosial tidak termasuk akad mu'awadlah, tetapi merupakan syirkah ta'awuniyah.
1.2. Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
2. Asuransi kerugian,
diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
2.1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank.
2.2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang di impor dan diekspor.
2.1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank.
2.2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang di impor dan diekspor.
3. Asuransi jiwa hukumnya
haram kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
3.1. Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
3.2. Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi).
3.3. Pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
3.1. Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
3.2. Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi).
3.3. Pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
3.4. Apabila sebelum jatuh tempo yang telah
disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang
telah disebutkan dalam polis (surat
perjanjian). ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang
bersifat darurat) uang tabungannva, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau
mcnarik kemballi sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak
penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
3.5. Apabila pada suatu
ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka :
3.5.1. Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
3.5.2. Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
3.5.3. Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
3.5.4. Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.
3.5.1. Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
3.5.2. Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
3.5.3. Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
3.5.4. Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.
4. Para musyawirin mendukung
dan menyetujui berdirinya asuransi secara Islam.
5. Sebelum tercapainya cita-cita terwajudnya Asuransi Islam hendaknya sistem perasuransian yang ada sekarang ini diperbaiki dengan menghilangkan unsur-unsur yang terlarang, sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Islam.
5. Sebelum tercapainya cita-cita terwajudnya Asuransi Islam hendaknya sistem perasuransian yang ada sekarang ini diperbaiki dengan menghilangkan unsur-unsur yang terlarang, sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Islam.
Bolehkah Mengasuransikan Harta
dan Jiwa?
30/01/2007
30/01/2007
Asuransi adalah suatu akad yang mengharuskan
perusahaan asuransi (muammin)
untuk memberikan sejumlah harta kepada nasabah atau kliennya (muamman) ketika
terjadi musibah seperti kecelakaan, kebakaran atau lainnya sebagaimana
disepakati dalam akad (transaksi). Dalam akad asuransi, nasabah membayarkan
secara rutin dan berkala atau secara kontan kepada perusahaan asuransi di saat
hidupnya. Sementara Perusahaan pada saatnya akan memberikan imbalan berupa uang
atau ganti rugi barang.
Singkatnya, asuransi merupakan salah satu cara
pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil
dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Forum Bahtsul Masa’il (BM) pada Muktamar Ke-14
Nahdlatul Ulama di Magelang pada 14 Jumadil Ula 1358 H atau 1 Juli 1939 M
mengharamkan akad asuransi tersebut, baik dalam bentuk harta maupun jiwa.
Asuransi rumah, misalnya,
disepakati merupakan transaksi judi. Para ulama mengambil keterangan dari Kitab al-Nahdlatul Islamiyah,
halaman 471-472, bahwa asuransi menyerupai pemberian kupon “Ya Nashib..!”
dimana seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh
kemenangan.
Nasabah dijanjikan memperolah
jaminan rumah jika terbakar. Jaminan ini memang disukai barangkali karena bila
pemiliknya meningal atau terjadi kebakaran pada rumahnya maka ia memperoleh
uang sebesar jaminan yang telah ditetapkan. Sementara selama menempati rumah
tersebut ia harus membayar premi yang ditetapkan pihak perusahaan asuransi.
Dikatakan, itu jelas merupakan judi murni karena dua pihak yang telah melakukan
transaksi pada dasarnya masing-masing tidak mengetahui siapakah diantara mereka
yang memeperoleh keuntungan, sampai uang yang disepakati oleh keduanya
diberikan.
Mengingat akad asuransi sudah
mulai membudaya, pada Konferensi Besar Pengurus Syuriah NU ke-1 di Jakarta,
21-25 Syawal 1379 H 18-22 April 1960, ditegaskan kembali keharaman akad
asuransi tersebut, terutama berkenaan dengan jiwa.
Majelis Musyawarah memutuskan
seperti yang sudah diputuskan oleh Muktamar NU ke-14, yakni mengasuransikan
jiwa atau lainnya di kantor asuransi itu haram hukumnya, karena termasuk judi.
Para ulama mengambil ibarat dari Syeikh Bakhit, seorang Mufti Mesir, dalam Ahkamul Fuqaha II ,
yang sempat diterbitkan dalam majalah Nurul
Islam, Nomor VI, Jilid I halaman 367 berikut ini:
Asuransi jiwa itu jauh dari
akal sehat dan menimbulkan kekaguman yang hebat. Tidak ada perusakan yang mampu
memperpanjang umur dan menjauhkan takdir. Ia hanya memberikan iming-iming
dengan keamanan serupa dengan yang dilakukan oleh para Dajjal. Para petugas
mereka akan berkata kepada Anda sama seperti penyataan yang telah disebutkan
dalam pembahasan tentang asuransi harta benda atau pernyataan yang sejenisnya.
Ia akan berkata:
“Sesungguhnya ketika aku
membayar satu premi, jika aku mendadak meninggal, maka aku berhak atas
warisanku yang telah aku jaminkan ketika aku masih hidup. Dan itu berarti
membantu meringankan kepada ahli waris setelah kepergianku. Dan jika aku tetap
hidup dalam tempo yang telah ditetapkan maka aku berhak memperoleh kembali
semua yang telah dibayarkan beserta keuntungannya. Dengan demikian, maka aku
beruntung dalam dua hal tersebut (mati dan hidup).”
“Demikian halnya perusahaan
asuransi berhak mengelola keuangan yang dihimpun dariku dan dari orang lain
sehingga menjadi modal yang besar sebagaimana yang Anda lihat berbentuk
proyek-proyek niaga. Risiko kerugian sangat sedikit; karena masing-masing orang
sangat menjaga hidup dan hartanya, dan akan berusaha semampunya. Masing-masing
akan berkarya bagi kepentingan dirinya, sehingga masing-masing pihak
beruntung.”
Para ulama menyatakan bahwa
setiap yang diucapkan dalam akad asuransi mengandung klaim denda terhadap satu
pihak secara wajib tanpa suatu kepastian mengenai pengganti yang sepadan.
Padahal dalam Islam hendaknya ada kesesuaian pengganti dari masing-masing pihak
yang bertransaksi agar dapat mewujudkan keadilan, walaupun itu relatif. Jika
salah satu pihak saja yang me!akukan klaim denda wajib tanpa memberikan
keuntungan kepada yang lain maka tidak ada keadilan di sini, dan itu merupakan
judi.
Sesungguhnya salah satu
diantara mereka, entah pihak perusahaan asuransi atau nasabah, mempunyai
keinginan untuk menundukkan orang lain. Para ulama menilai akad asuransi lebih
besar bahayanya dari pada manfaatnya.
Mengutip Syeikh Bakhit,
dikatakan, perundang-undangan Allah SWT yang benar itu mesti berpedoman pada
adanya keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaamya lebih besar,
maka Allah akan menghalalkannya. Sedangkan jika maharatnya lebih besar, maka
Allah akan mengharamkannya.
Baru pada Munas Alim Ulama
Lampung, 1992, asuransi harta (kerugian) dan jiwa diperbolehkan, itu pun
dengan syarat yang sangat ketat. Asuransi kerugian hanya diperbolehkan bagi
obyek-obyek yang menjadi agunan bank; dan atau ketika asuransi kerugian
tersebut tidak dapat dihindari karena terkait oleh ketentuan-ketentuan
pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang diimpor dan diekspor.
Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila
memenuhi ketentuan bahwa asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung
untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi). Sementara pihak
penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan
cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
Pada Munas yang sama para ulama secara mutlak
membolehkan praktik ”asuransi sosial” dalam pengertian asuransi yang memberikan
jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, seperti asuransi
kecelakaan lalu lintas (jasa raharja), asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI.
Asuransi sosial dapat bersifat asuransi kerugian (harta) dan asuransi jiwa. (A Khoirul
Anam)
ASURANSI SYARI’AH
Mengenal Asuransi Syariah
15/06/2010
15/06/2010
Pada hakikatnya manusia merupakan keluarga besar
kemanusiaan. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, manusia harus saling tolong
menolong dan saling menanggung antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam
hadits Nabi SAW riwayat Imam Muslim digambarkan, adanya saling tolong menolong diantara
umat Islam bagaikan satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit,
maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan
memberikan bantuan. Tenggang rasa ini minimal dapat mengurangi beban penderitaan
orang yang terkena musibah.
Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah. Semangat bertakaful dalam menghadapi risiko musibah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta.
Sebenarnya ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility)
Pedoman Umum Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tidak mengandung maghrib; maysir (perjudian), gharar (penipuan) dan riba. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal mungkin dalam asuransi syariah. Akan tetapi ada pula yang menjadikan asuransi ajang spekulasi (maysir), yang menjadi asuransi sebagai akad jual beli atau tukar menukar (mu’awadlah) bukan akad saling tolong menolong (ta’awun’).
Dari definisi di atas juga tampak bahwa akad asuransi syariah tidak pernah dijelaskan secara khusus oleh para imam mazhab fiqh. Sebab pembahasan yang mirip dengan definisi asuransi syariah ini dalam kitab fiqh adalah pembahsan masalah ’aqila, muwalah, tanahud, ’aqd al hirasah, dlaman khathr at thariq, dan al kafalah. Bentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb) memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas ’amal tathawwu’ dan tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
Menurut sejarah, perkembangan asuransi baru muncul pada abad 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung risiko-risiko di laut yang kerap menimpa perahu layar atau penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Lalu setelah tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi seseorang yang mengasuransikan dirinya dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian atau yang lain sebagainya.
Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat muslim ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara para pesertanya. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti'man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala ad Dar al Mukhtar.
Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Selanjutnya, perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia.
Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah. Adapun perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga (jiwa), dan Mubarakah.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundangan, sementara asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah. Dari kedua perbedaan ini muncul perbedaan yang lainnya, mengenai hubungan perusahaan dan nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.
Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang telah disetorkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yang telah diniatkan untuk tabarru’.
Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan, sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
Implementasi akad takafuli dan tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke-gharar-an) asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.
Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib/wakil) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudlarabah (bagi hasil) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil.
Adapun asuransi akad tijari adalah model mudlarabah atau wakalah. Secara teknis, mudlarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahibul maal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudlarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 40 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 60 persen dari keuntungan.
Meski sampai saat ini akad mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, namun beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi “catatan khusus” terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudlarabah difokuskan pada beberapa hal : Definisi profit sharing dalam akad mudharabah adalah “tingkat pengembalian dana hasil investasi” sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan “profit sharing” tapi “surplus sharing” dimana yang dibagihasilkan adalah “hasil investasi + modal pokok” yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.
Dalam model mudlarabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain, termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dll), sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai kapasitasnya dalam akad mudlarabah. Dalam kenyataan di beberapa model mudlarabah, biaya marketing dan komisi bukan merupakan pengeluaran operator tapi dibebankan kepada Takaful fund.
Berbeda dengan akad mudlarabah, yaitu akad wakalah, Takaful berfungsi sebagai wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka. Dalam konteks yang ideal, Takaful tidak lagi mendapatkan bagi hasil karena seluruh dana beserta hasil investasinya menjadi hak penuh dari peserta. Namun demikian, pihak pengelola berhak mengenakan biaya manajemen atau biaya operasional.
Pilihan keputusan hukum asuransi syariah yang ditetapkan oleh Munas Alim Ulama pada 2006 merupakan pilihan hukum dan model asuransi yang bebas dari perbedaan para ulama fiqh (al huruj minal khilaf mustahabbun) yang mengharamkan dan yang menghalalkan praktik asuransi konvensional. Sebab menurut sebagian pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, hukum asuransi konvensional adalah boleh dan halal. Dalil yang digunakan adalah kaidah, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan akad asuransi tidak ada teks (nash) yang mengharamkan maka berarti hukum asuransi adalah boleh seperti akad muamalah lainnya sepanjang menjadi maslahah dan tradisi (‘urf). Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengharamkan asuransi konvensional berargumentasi dengan dalil, bahwa praktik asuransi disamakan dengan praktik riba. Yaitu membayar uang di zaman tertentu dengan pengembalian yang bertambah pada waktu berikut. Maka praktik ini termasuk riba nasi’ah dan riba al fadl sekaligus.
Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah. Semangat bertakaful dalam menghadapi risiko musibah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta.
Sebenarnya ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility)
Pedoman Umum Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tidak mengandung maghrib; maysir (perjudian), gharar (penipuan) dan riba. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal mungkin dalam asuransi syariah. Akan tetapi ada pula yang menjadikan asuransi ajang spekulasi (maysir), yang menjadi asuransi sebagai akad jual beli atau tukar menukar (mu’awadlah) bukan akad saling tolong menolong (ta’awun’).
Dari definisi di atas juga tampak bahwa akad asuransi syariah tidak pernah dijelaskan secara khusus oleh para imam mazhab fiqh. Sebab pembahasan yang mirip dengan definisi asuransi syariah ini dalam kitab fiqh adalah pembahsan masalah ’aqila, muwalah, tanahud, ’aqd al hirasah, dlaman khathr at thariq, dan al kafalah. Bentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb) memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas ’amal tathawwu’ dan tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
Menurut sejarah, perkembangan asuransi baru muncul pada abad 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung risiko-risiko di laut yang kerap menimpa perahu layar atau penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Lalu setelah tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi seseorang yang mengasuransikan dirinya dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian atau yang lain sebagainya.
Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat muslim ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara para pesertanya. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti'man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala ad Dar al Mukhtar.
Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Selanjutnya, perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia.
Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah. Adapun perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga (jiwa), dan Mubarakah.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundangan, sementara asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah. Dari kedua perbedaan ini muncul perbedaan yang lainnya, mengenai hubungan perusahaan dan nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.
Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang telah disetorkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yang telah diniatkan untuk tabarru’.
Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan, sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
Implementasi akad takafuli dan tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke-gharar-an) asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.
Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib/wakil) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudlarabah (bagi hasil) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil.
Adapun asuransi akad tijari adalah model mudlarabah atau wakalah. Secara teknis, mudlarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahibul maal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudlarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 40 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 60 persen dari keuntungan.
Meski sampai saat ini akad mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, namun beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi “catatan khusus” terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudlarabah difokuskan pada beberapa hal : Definisi profit sharing dalam akad mudharabah adalah “tingkat pengembalian dana hasil investasi” sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan “profit sharing” tapi “surplus sharing” dimana yang dibagihasilkan adalah “hasil investasi + modal pokok” yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.
Dalam model mudlarabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain, termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dll), sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai kapasitasnya dalam akad mudlarabah. Dalam kenyataan di beberapa model mudlarabah, biaya marketing dan komisi bukan merupakan pengeluaran operator tapi dibebankan kepada Takaful fund.
Berbeda dengan akad mudlarabah, yaitu akad wakalah, Takaful berfungsi sebagai wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka. Dalam konteks yang ideal, Takaful tidak lagi mendapatkan bagi hasil karena seluruh dana beserta hasil investasinya menjadi hak penuh dari peserta. Namun demikian, pihak pengelola berhak mengenakan biaya manajemen atau biaya operasional.
Pilihan keputusan hukum asuransi syariah yang ditetapkan oleh Munas Alim Ulama pada 2006 merupakan pilihan hukum dan model asuransi yang bebas dari perbedaan para ulama fiqh (al huruj minal khilaf mustahabbun) yang mengharamkan dan yang menghalalkan praktik asuransi konvensional. Sebab menurut sebagian pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, hukum asuransi konvensional adalah boleh dan halal. Dalil yang digunakan adalah kaidah, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan akad asuransi tidak ada teks (nash) yang mengharamkan maka berarti hukum asuransi adalah boleh seperti akad muamalah lainnya sepanjang menjadi maslahah dan tradisi (‘urf). Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengharamkan asuransi konvensional berargumentasi dengan dalil, bahwa praktik asuransi disamakan dengan praktik riba. Yaitu membayar uang di zaman tertentu dengan pengembalian yang bertambah pada waktu berikut. Maka praktik ini termasuk riba nasi’ah dan riba al fadl sekaligus.
HM. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Standardisasi Polis Syariah Perlu Dipahami
Bersama
Selasa, 22 Juni 2010, 11:15 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Standardisasi polis membuat industri asuransi
syariah memiliki standar baku terhadap penulisan polis asuransi syariah.
Direktur Utama Harahap Business Consulting, Hadry Harahap, mengatakan adanya
kebakuan polis di asuransi syariah akan dapat memberikan penjelasan lebih
detail kepada peserta asuransi. Namun, ia menambahkan, setidaknya sebelum standardisasi tersebut digunakan dapat dibentuk suatu majelis atau tim untuk dimintai pendapatnya mengenai standardisasi polis itu. ''Jadi dibuat sebuah pertemuan dan di sana diundang ahli hukum positif maupun syariah, lalu para pelaku asuransi syariah dan salah satu representatif dari nasabah. Jadi memperoleh masukan secara komprehensif,'' katanya, Selasa (22/6).
Dengan pembentukan tersebut, tambah dia, maka akan dapat diketahui perspektif masing-masing stakeholder asuransi syariah. Di lain pihak, tambah dia, walau standardisasi polis telah memasukkan terminologi syariah di dalamnya, agen pemasaran asuransi syariah tetap harus dapat menjelaskannya kepada peserta asuransi. Dengan demikian peserta akan terbantu dalam memahami ketentuan polis asuransi syariah.
Di sinilah, menurut Hadry, diperlukan agen asuransi syariah yang mumpuni dan memahami asuransi syariah. Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) tengah menyiapkan standardisasi polis asuransi syariah. Di antaranya adalah penyebutan penggunaan risk sharing dalam asuransi syariah, bukan risk transfer, penajaman penjelasan akad dalam polis, dan penyelesaian sengketa asuransi syariah.
BANK/SYARI’AH
(Lihat: 1. Riba - Bunga dan Riba; 2. NU - Nahdlatul Bank)
Ditulis oleh
Agustianto
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan lembaga perbankan syari’ah mengalami kemajuan yang sangat pesat,
baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Konsep perbankan dan keuangan
Islam yang pada mulanya di tahun 1970-an hanya merupakan diskusi teoritis, kini
telah menjadi realitas faktual yang mencengangkan banyak kalangan.
Pada
era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di
negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berdasarkan prediksi
McKinsey tahun 2008, total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006
mencapai 0,75 miliar dolar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai
satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia
mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank
konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun
Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga tumbuh makin pesat, secara fantastis. Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius. Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang.. Perkembangan industri lembaga syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440 (Data BI Okt 2008, Lihat tabel). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Sementara itu Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) juga bertambah 2 buah lagi, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima Bank Umum Syariah. Pada tahun 2009, akan hadir 8 Bank Umum Syariah lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi 12 buah.
Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga tumbuh makin pesat, secara fantastis. Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius. Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang.. Perkembangan industri lembaga syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440 (Data BI Okt 2008, Lihat tabel). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Sementara itu Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) juga bertambah 2 buah lagi, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima Bank Umum Syariah. Pada tahun 2009, akan hadir 8 Bank Umum Syariah lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi 12 buah.
Penghimpunan dan Penyaluran dana
Pada tahun 2008, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.37,7 triliun. Pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan syariah 36,7 % (yoy).. Pertumbuhan tabungan mudharabah mencapai 31,65% dan deposito mudharabah mencapai 38,79% yang merupakan proporsi terbesar pada triwulan ketiga tahun 2008.
Pada tahun 2008, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.37,7 triliun. Pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan syariah 36,7 % (yoy).. Pertumbuhan tabungan mudharabah mencapai 31,65% dan deposito mudharabah mencapai 38,79% yang merupakan proporsi terbesar pada triwulan ketiga tahun 2008.
Sementara itu pembiayaan yang
diberikan kepada UMKM oleh industri perbankan syariah dengan nominal mencapai
Rp27,18 Trilyun (72,13%) sampai dengan posisi September 2008. Pembiayaan kepada
non UMKM mencapai Rp10,5 Trilyun (27,87%). pertumbuhan pembiayaan kepada sektor
UMKM sampai dengan posisi September 2008 (ytd), sebesar 38,91%.
Selama tahun 2008, ROA perbankan syariah mencapai
2,5% dan ROE mencapai 76,7%, rasio BOPO pada triwulan ketiga tahun 2008 sebesar
73,6%. Kontribusi utama dari piutang murabahah yang mencapai 45,3% dari seluruh
total pendapatan perbankan syariah. Yahun 2008 kondisi permodalan perbankan
syariah (tier 1) dibandingkan dengan pembiayaan yang diberikan masih tergolong
rendah (dibawah 8%)
Perkembangan
BPRS
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi. Jika pada tahun terdapat 114 BPRS, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 128 BPRS. Assetnya pada tahun 2007 sebesar Rp 1207 milyar meningkat menjadi Rp 1.575 milyar (1,57 T) di tahun 2008 (Posisi September). Total pembiayaan BPRS tercatat sebesar 1,25 trilyun dengan pertumbuhan pembiayaan sebesar 41,8% Sementara pertumbuhan DPK yang mencapai sebesar 26,1% dengan total DPK yang berhasil diserap sebesar Rp.896,91 miliar. NPF BPRS terus mengalami penurunan, baik secara gross maupun nett mengalami penurunan dibandingkan posisi 2007 dengan persentase masing-masing dari 7,99% menjadi 6,92% dan 6,62% menjadi 5,11
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi. Jika pada tahun terdapat 114 BPRS, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 128 BPRS. Assetnya pada tahun 2007 sebesar Rp 1207 milyar meningkat menjadi Rp 1.575 milyar (1,57 T) di tahun 2008 (Posisi September). Total pembiayaan BPRS tercatat sebesar 1,25 trilyun dengan pertumbuhan pembiayaan sebesar 41,8% Sementara pertumbuhan DPK yang mencapai sebesar 26,1% dengan total DPK yang berhasil diserap sebesar Rp.896,91 miliar. NPF BPRS terus mengalami penurunan, baik secara gross maupun nett mengalami penurunan dibandingkan posisi 2007 dengan persentase masing-masing dari 7,99% menjadi 6,92% dan 6,62% menjadi 5,11
Keterangan
|
2005
|
2006
|
2007
|
I-2008
|
II-2008
|
III-2008
|
Jumlah Kantor
|
105
|
105
|
114
|
117
|
124
|
128
|
Total Aset
|
60.497
|
90.632
|
1.207.198
|
1.295.145
|
1.456.451
|
1.575.915
|
Total Pembiayaan
|
43.591
|
63.629
|
879.744
|
944.412
|
1.112.763
|
1.247.657
|
Total DPK
|
35.357
|
53.015
|
711.250
|
772.220
|
865.319
|
896.909
|
FDR
|
123.29%
|
120.02%
|
123.69%
|
122.30%
|
128.60%
|
139.11%
|
NPF (Gross)
|
10.60%
|
8.29%
|
7.99%
|
7.90%
|
7.51%
|
6.92%
|
NPF (Netto)
|
9.47%
|
7.09%
|
6.62%
|
6.44%
|
5.54%
|
5.11%
|
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dikataan
bahwa industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu
pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan
industri yang fantantis boleh membuat para pakar tersenyum, namun harus
diingat bank-bank syariah harus ditetap dikawal, dan didesak untuk senantiasa
istiqamah dalam penerapan manajemen resiko, syarah complience dan menerapkan
Godd Syariah Govanrnance. Para pengawas
Syariah harus aktif dan produktif dan tidak boleh sungkan untuk menegur setiap
penyimpngan. Jika bank syariah dinilai menyimpang, akan berakibat pada
resiko reputasi yang pada giliranya akan mengakibatkan risiko likuiditas. Hal
ini dapat memundurkan bank-bank syariah di masa epan. Peneltian terkini
(2008) yang dilakukan Bank Indonesia
kerjasama dengan Earnt & Young, menunjukan bahwa resiko reputasi
akibat mengabaikan syariah berdampak buruk bagi kemajuan dan perkembangan
perbakan syariah.
Bersmbung...
Bersmbung...
Ditulis oleh Agustianto
(Refleksi Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah)
Setiap
memasuki tahun baru Islam (tahun hijriyah), kita diingatkan kepada peristiwa
paling bersejarah, yakni hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah
yang terjadi 1430 tahun yang lalu. Dalam sejarah Islam, peristiwa hijrah
merupakan momentum paling penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan
dan pembaharuan besar dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada
sebuah peradaban yang maju dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan,
penghargaan HAM, demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum,
yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai
syari’ah.
Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Demikian pendapat oleh Robert N Bellah seorang ahli sosiologi agama terkemuka dalam bukunya Beyond Bilief (1976 h 150).
Ismail al Faruqi menyebut hijrah sebagai langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban. Jadi, hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Tegasnya, substansi hijrah merupakan strategi besar (grand strategy) dalam membangun peradaban Islam. oleh karena itu tepatlah apa yang dikatakan Hunston Smith dalam bukunya the Religion Man, bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : “al hijrah farragat bainal haq wall bathil fa-arrikhuha” (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikan kamulah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam).
J.H. Kramers dalam Shorter Encycolopeadia of Islam meneybut hijrah sebagai sebagai strategi jitu dan cerdas dalam pembangunan imperium Arab (baca ; Islam). Berdasarkan pernyataan-pernyataan para pakar di atas, maka sangat relevan ungkapan Prof Dr Fazlur Rahman yang menyebut hijrah sebagai Marks of the founding of islamic community.
Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna perubahan, pembaharuan dan reformasi yang yang luar biasa. Salah satu perubahan yang mendesak dan mesti segera dikukan adalah perubahan dalam sistem ekonomi. Saat ini kita dicengkram oleh system ekonomi ribawi, maka saatnya sekarang kita hijrah meninggalkan system tersebut menuju system ekonomi syariah. Salah satu bentuk penerapan ekonomi syariah saat ini yang paling berkembang adalah institusi perbankan. Karena itu, topik tulisan ini berkaitan dengan perbankan syariah yang dikaitkan dengan spirit hijrah.
Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Demikian pendapat oleh Robert N Bellah seorang ahli sosiologi agama terkemuka dalam bukunya Beyond Bilief (1976 h 150).
Ismail al Faruqi menyebut hijrah sebagai langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban. Jadi, hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Tegasnya, substansi hijrah merupakan strategi besar (grand strategy) dalam membangun peradaban Islam. oleh karena itu tepatlah apa yang dikatakan Hunston Smith dalam bukunya the Religion Man, bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : “al hijrah farragat bainal haq wall bathil fa-arrikhuha” (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikan kamulah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam).
J.H. Kramers dalam Shorter Encycolopeadia of Islam meneybut hijrah sebagai sebagai strategi jitu dan cerdas dalam pembangunan imperium Arab (baca ; Islam). Berdasarkan pernyataan-pernyataan para pakar di atas, maka sangat relevan ungkapan Prof Dr Fazlur Rahman yang menyebut hijrah sebagai Marks of the founding of islamic community.
Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna perubahan, pembaharuan dan reformasi yang yang luar biasa. Salah satu perubahan yang mendesak dan mesti segera dikukan adalah perubahan dalam sistem ekonomi. Saat ini kita dicengkram oleh system ekonomi ribawi, maka saatnya sekarang kita hijrah meninggalkan system tersebut menuju system ekonomi syariah. Salah satu bentuk penerapan ekonomi syariah saat ini yang paling berkembang adalah institusi perbankan. Karena itu, topik tulisan ini berkaitan dengan perbankan syariah yang dikaitkan dengan spirit hijrah.
Hijrah
dan Spirit Reformasi Ekonomi
Banyak upaya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan reformasi ekonomi, baik di bidang moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peranan negara dalam menciptakan pasar yang adil (hisbah), membangun etos entrepreneurship, penegakan etika bisnis, pemberantasan kemiskinan, pencatatan transaksi (akuntansi), pendirian Baitul Mal, dan sebagainya.
Beliau juga banyak mereformasi akad-akad bisnis dan berbagai praktek bisnis yang fasid (rusak), seperti gharar, ihtikar, talaqqi rukban, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, bai’ munabazah, mulamasah, muhaqalah. dan berbagai bentuk bisnis maysir atau spekulasi lainnya. dsb. Selanjutnya Nabi Muhammad juga mengajarkan konsep transaksi valas (sharf) yang sesuai syariah, pertukaran secara forward atau tidak spot (kontan) dilarang, karena sangat rawan kepada praktik riba fadhl. Apa yang dijarkan Nabi tersebut kini sedang diterapkan di lembaga perbankan Islam.
Pelarangan Riba.
Dari berbagai reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, praktek riba mendapat sorotan dan tekanan cukup tajam. Banyak ayat dan hadits yang mengecam riba dan menyebutnya sebagai perbuatan terkutuk dan dosa besar yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
Paradigma pemikiran masyarakat yang telah terbiasa dengan system riba (bunga) digesernya menjadi paradigma syariah secara bertahap. Menurut para ahli tafsir, proses perubahan tersebut memakan waktu 22 tahunan. Pada awalnya hampir semua orang beranggapan bahwa system riba (bunga) akan menumbuhkan perekonomian, tetapi justru menurut Islam, riba malah merusak perekonomian. (lihat surah 39 : 39-41).
Saat ini, juga masih banyak kaum muslimin (awam) yang menganggap system bunga pada perbankan dan keuangan dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat. Mereka berpandangan seperti itu, karena banyak pengaruh. Pertama, pengaruh pendidikan barat yang mengajarkan system kapitalisme, kedua, pengaruh informasi keilmuan yang minim dengan ekonomi Islam. Ketiga, pengaruh kebiasaan hidup dimana orang-orang sudah terbiasa dengan system bunga, sehingga menaggangpnya tak adac masalah. Keempat, pengaruh perut, dimana banyak orang yang mencari makan di lembaga riba, tanpa pekerjaan itu, kehidupannya terancam.
Hijrah fi’liyah (Perilaku)
Hijrah yang kita lakukan saat ini bukanlah hijrah dalam bentuk fisik (hijrah badaniyah), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Hijrah yang seharusnya kita lakukan adalah hijrah perilaku. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Wal Muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu”. (Berhijrah itu ialah meninggalkan apa yang dilarang Allah).
Allah melarang kita melaksanakan transaki riba, seperti bunga dalam perbankan. Seluruh pakar ulama (pakar ekonomi Is;am sdunia ) telah ijma’ tentang keharaman bunga bank tersebut. Para peneliti dari berbagai negara menyimpulkan tidak ada seorangpun yang membantah keharaman bunga bank. Riba merupakan dosa besar yang harus dijauhi. Alquran dan sunnah sangat banyak mengutuk dn mengecam perlalu riba. Maka saatnya sekarang umat Islam wajib hijrah ke system ilahi (ekonomi Islam) yang adil dan maslahah.
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata, “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.
Menurut sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).
Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda, Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).
Penutup
Momentum tahun baru Hijrah 1430 H ini hendaknya memberikan spirit hijrah ekonomi (hijrah iqtishadiyah) kepada kaum muslimin Indonesia untuk segera hijrah dari belenggu ekonomi kapitalistik ribawi kepada ekonomi syariah. Jika selama ini lembaga perbankan yang kita gunakan adalah lembaga perbankan konvensional, maka di tahun depan (1430 H), kita hijrah ke perbankan syariah. Semangat dan spirit hijrah harus kita implementasikan secara riil dalam kehidupan kita dewasa ini. Kita harus segera hijrah dan berubah. ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya”. (Ar-Ra’d : 110.
Sistem perbankan konvensional yang menerapkan bunga terbukti telah membawa bencana besar bagi ekonomi semua negara. Bacalah sejarah krisis selama seratus 100 tahun, tulisan Glyn Davis dan Roy Davis. Semuanya krisis keuangan dan perbankan. Krisis financial yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa system ekonomi kapitalisme yang berbasis riba, maysir dan gharar telah terbukti nyata tidak bisa dijadikan sebagai system ekonomi untuk mensejahteraan ekonomi manusia secara adil dan ampuh, tetapi malah sebaliknya menimbulkan kesengsaraan ekonomi, kesenjangan dan kehancuran ekonomi banyak negara.
Di Indonesia, lembaga perbankan konvensional telah menguras APBN setiap tahun dalam jumlah ratusan triliun dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI, Belum lagi kasus BLBI yang menghisap uang negara lebih dari 650 triliun rupiah. Ini adalah fakta yang memilukan bagi kesejahteraan bangsa. Sistem bunga telah menimbulkan penderitaan dan kemiskinan yang menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Karena itu kalau ingin selamat, segeralah hijrah ke perbankan syariah. (Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana di Empat Perguruan Tinggi di Jakarta, UI,Trisakti,Paramadina dan UI Az-Zahra)
Banyak upaya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan reformasi ekonomi, baik di bidang moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peranan negara dalam menciptakan pasar yang adil (hisbah), membangun etos entrepreneurship, penegakan etika bisnis, pemberantasan kemiskinan, pencatatan transaksi (akuntansi), pendirian Baitul Mal, dan sebagainya.
Beliau juga banyak mereformasi akad-akad bisnis dan berbagai praktek bisnis yang fasid (rusak), seperti gharar, ihtikar, talaqqi rukban, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, bai’ munabazah, mulamasah, muhaqalah. dan berbagai bentuk bisnis maysir atau spekulasi lainnya. dsb. Selanjutnya Nabi Muhammad juga mengajarkan konsep transaksi valas (sharf) yang sesuai syariah, pertukaran secara forward atau tidak spot (kontan) dilarang, karena sangat rawan kepada praktik riba fadhl. Apa yang dijarkan Nabi tersebut kini sedang diterapkan di lembaga perbankan Islam.
Pelarangan Riba.
Dari berbagai reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, praktek riba mendapat sorotan dan tekanan cukup tajam. Banyak ayat dan hadits yang mengecam riba dan menyebutnya sebagai perbuatan terkutuk dan dosa besar yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
Paradigma pemikiran masyarakat yang telah terbiasa dengan system riba (bunga) digesernya menjadi paradigma syariah secara bertahap. Menurut para ahli tafsir, proses perubahan tersebut memakan waktu 22 tahunan. Pada awalnya hampir semua orang beranggapan bahwa system riba (bunga) akan menumbuhkan perekonomian, tetapi justru menurut Islam, riba malah merusak perekonomian. (lihat surah 39 : 39-41).
Saat ini, juga masih banyak kaum muslimin (awam) yang menganggap system bunga pada perbankan dan keuangan dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat. Mereka berpandangan seperti itu, karena banyak pengaruh. Pertama, pengaruh pendidikan barat yang mengajarkan system kapitalisme, kedua, pengaruh informasi keilmuan yang minim dengan ekonomi Islam. Ketiga, pengaruh kebiasaan hidup dimana orang-orang sudah terbiasa dengan system bunga, sehingga menaggangpnya tak adac masalah. Keempat, pengaruh perut, dimana banyak orang yang mencari makan di lembaga riba, tanpa pekerjaan itu, kehidupannya terancam.
Hijrah fi’liyah (Perilaku)
Hijrah yang kita lakukan saat ini bukanlah hijrah dalam bentuk fisik (hijrah badaniyah), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Hijrah yang seharusnya kita lakukan adalah hijrah perilaku. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Wal Muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu”. (Berhijrah itu ialah meninggalkan apa yang dilarang Allah).
Allah melarang kita melaksanakan transaki riba, seperti bunga dalam perbankan. Seluruh pakar ulama (pakar ekonomi Is;am sdunia ) telah ijma’ tentang keharaman bunga bank tersebut. Para peneliti dari berbagai negara menyimpulkan tidak ada seorangpun yang membantah keharaman bunga bank. Riba merupakan dosa besar yang harus dijauhi. Alquran dan sunnah sangat banyak mengutuk dn mengecam perlalu riba. Maka saatnya sekarang umat Islam wajib hijrah ke system ilahi (ekonomi Islam) yang adil dan maslahah.
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata, “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.
Menurut sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).
Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda, Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).
Penutup
Momentum tahun baru Hijrah 1430 H ini hendaknya memberikan spirit hijrah ekonomi (hijrah iqtishadiyah) kepada kaum muslimin Indonesia untuk segera hijrah dari belenggu ekonomi kapitalistik ribawi kepada ekonomi syariah. Jika selama ini lembaga perbankan yang kita gunakan adalah lembaga perbankan konvensional, maka di tahun depan (1430 H), kita hijrah ke perbankan syariah. Semangat dan spirit hijrah harus kita implementasikan secara riil dalam kehidupan kita dewasa ini. Kita harus segera hijrah dan berubah. ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya”. (Ar-Ra’d : 110.
Sistem perbankan konvensional yang menerapkan bunga terbukti telah membawa bencana besar bagi ekonomi semua negara. Bacalah sejarah krisis selama seratus 100 tahun, tulisan Glyn Davis dan Roy Davis. Semuanya krisis keuangan dan perbankan. Krisis financial yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa system ekonomi kapitalisme yang berbasis riba, maysir dan gharar telah terbukti nyata tidak bisa dijadikan sebagai system ekonomi untuk mensejahteraan ekonomi manusia secara adil dan ampuh, tetapi malah sebaliknya menimbulkan kesengsaraan ekonomi, kesenjangan dan kehancuran ekonomi banyak negara.
Di Indonesia, lembaga perbankan konvensional telah menguras APBN setiap tahun dalam jumlah ratusan triliun dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI, Belum lagi kasus BLBI yang menghisap uang negara lebih dari 650 triliun rupiah. Ini adalah fakta yang memilukan bagi kesejahteraan bangsa. Sistem bunga telah menimbulkan penderitaan dan kemiskinan yang menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Karena itu kalau ingin selamat, segeralah hijrah ke perbankan syariah. (Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana di Empat Perguruan Tinggi di Jakarta, UI,Trisakti,Paramadina dan UI Az-Zahra)
Bank
Syari’ah =Arabisasi Bank?
Irfan Syauqy Beik/Dosen FEM
IPB dan Kandidat Doktor IIU Malaysia (Suara Hidayatullah, Edisi April 2010)
Dalam sebuah forum milis para penggiat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)
belum lama ini, muncul sebuah perdebatan hangat tentang praktek institusi
ekonomi syariah (bank). Oleh sebagian kalangan, praktek ekonomi syariah yang
ada sekarang ini dianggap belum 100 persen sesuai syariah, karena masih
mengandung unsur eksploitasi. Muncul pro dan kontra yang disertai argumentasi
masing-masing.
Di sisi lain, tokoh liberal Ulil Abshar Abdalla juga
menuding ekonomi syariah sebagai proses “Arabisasi” terminologi Bank, sementara
secara substansial tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Kondisi iniperlu
mendapat perhatian, karena akan menimbulkan persepsi yang salah terhadap
ekonomi syariah jika tidak ditanggapi dengan baik.
Wasail dan
Maqashid
Salah satu sebab utama
munculnya stigma tersebut adalah akibat kurang dipahaminya tujuan dari ekonomi
syariah itu sendiri, yang bersumber dari tujuan syariah secara umum (maqashid
syari’ah). Dalam ajaran Islam dikenal istilah wasail (jamak dari
wasilah, yaitu alat atau media), dan maqashid (jamak dari maqshud, yaitu
tujuan yang hendak dicapai).
Keduanya mempunyai keterikatan antara satu dengan lainnya.
Pemisahan kedua konsep tersebut akan
mengakibatkan kesalahan pemahaman dan aplikasinya. Misalnya, shalat adalah washilah
untuk mencapai maqshud mencegah diri dari perbuatan keji dan
mungkar. Jika keduanya dipisah, akan berbahaya.
Orang yang lebih berorientasi pada maqshud akan
menganggap bahwa jika kita telah mampu mengendalikan diri dari perbuatan keji
dan munkar, maka tidak perlu melaksanakan shalat. Sebaliknya, orang yang washilah-oriented
akan melaksanakan shalat sekadar untuk melepaskan diri dari kewajiban
sehingga tidak ada dampaknya terhadap perilaku sesudah shalat.
Inilah yang barangkali menjadi tantangan dunia ekonomi
syariah saat ini, yaitu bagaimana mensinergikan antara wasail dengan maqashid.
Secara fikih benar, dan secara tujuan syariat tercapai. Jika ekonomi
syariah hanya berorientasi pada wasail, maka ia akan memandang segala
praktek yang ada dari sudut pandang
fikih semata. Sifatnya hanya boleh atau tidak boleh. Sementara aspek
kemasalahatan dan tujuan yang lebih besar menjadi kurang diperhatikan.
Sebaliknya, jika ekonomi syariah hanya berorientasi pada maqashid
dan mengabaikan wasail, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan
penyimpangan pada sisi prakteknya dengan dalih demi kepentingan dan
kemaslahatan bersama.
Karena itu, integrasi washail dan maqashid menjadi
sebuah kebutuhan yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi syariah ke depan.
Tiga
Tujuan Syariah
Menurut Prof Hasyim Kamali,
paling tidak ada tig tujuan syariah yang hendak dicapai, yaitu edukasi
individual, keadilan, dan kemaslahatan publik. Segala yang disyariatkan Allah
Swt akan bermuara kepada tiga tujuan tersebut, sehingga memahami ketiganya
merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula dengan maqashid ekonomi
syariah, tidak bisa dilepaskan dari ketiga tujuan tersebut.
Dalam kaitan dengan edukasi individual, masyarakat harus
diberikan pemahaman mengenai alasan disyariatkannya sesuatu. Harapannya akan
muncul kesadaran dan kebutuhan untuk melaksanakan syariat agama, karena ia
berangkat dari pemahaman yang benar.
Pada konteks ekonomi, adalah hal yang sangat urgen untuk
memberikan pemahaman tentang kenapa Allah Swt dan Rasul-Nya membuat rambu-rambu
dan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh umat Islam dalam menjalankan
aktivitas ekonominya.
Sebagai contoh, ibadah ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan
wakaf). Penulis melihat ada tiga dimensi maqashid dari disyariatkannya ibadah ZISWAF, yaitu
dimensi spiritual personal, dimensi spiritual sosial, dan dimensi ekonomi. Pada
dimensi spiritual personal, ibadah ZISWAF bakal melahirkan pribadi-pribadi yang
memiliki jiwa dan raga yang bersih dan suci (QS/9: 103). Ibadah ini juga akan menciptakan etika bisnis
yang benar, di mana kita hanya akan berusaha mencari rezeki yang halal. Allah
Swt tidak akan menerima ZIS yang mengandung unsur tipu daya (HR
Muslim).Sifat-sifat buruk, seperti bakhil, egois, tidak peduli sesama,
cinta harta secara berlebihan, dan sebagainya, akan dapat dikikis secara
bertahap. Yang muncul adalah keberkahan hidup.
Sementara secara ekonomi, jika ZISWAF yang dikelola dengan
benar, akan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Riset
penulis ketika mengevaluasi kinerja pendayagunaan zakat BAZNAS di DKI Jakarta
menunjukkan bahwa program BAZNAS mampu meningkatkan proporsi pendapatan
kelompok 40 persen termiskin masyarakat mustahik sebesar 1,30 persen.
Kesenjangan antara kelompok terbawah 40
persen dan teratas 20 persen dapat diturunkan sebesar 0,286 persen
berdasarkan indeks Gini. Sedangkan jumlah kemiskinan mustahik dapat dikurangi
7,7 persen dan tingkat kedalaman kemiskinan berkurang 13,05 persen (Beik,
2010).
Jika saja masyarakat
memahami maqashid ini, penulis yakin bahwa mereka secara sadar
dan sengaja akan menjadikan kebiasaan
ber-ZISWAF sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Contoh lain, praktek
pembiayaan murabahah, yang hingga saat ini mendominasi praktek perbankan
syariah di tanah air. Murabahah mensyaratkan adanya transparansi harga
pokok pembelian. Besarnya marjin profit ditentukan oleh proses negoisasi antara
pembeli dan penjual. Ini menunjukkan bahwa dalam praktek murabahah, ada maqashid yang ingin dicapai selain
sekadar jual beli biasa. Yaitu transparansi, keterbukaan, dan saling memahami
kondisi masing-masing. Karena itu, kalau dalam praktek perbankan syariah tidak
muncul hal tersebut, maka secara maqashid, belum seratus persen
tercapai.
Demikian pula dengan musyarakah, yang mencerminkan
adanya semangat untuk berbagi, baik berbagi hasil keuntungan maupun risiko
kerugian. Ada maqashid lain yang
ingin dicapai selain dri proses yang berorientasi bisnis semata. Yaitu
kebersamaan, persaudaraan, dan kepercayaan. Termasuk pula unsur keadilan di
dalam berbagi beban dan tanggung jawab. Inilah universal values yang
ingin diajarkan oleh ajaran Islam mlalui transaksi-transaksi muamalah yang ada.
Jadi hubungan yang muncul bersifat multidimensional, mencakup dimensi bisnis,
sosial kemanusiaan, dan keadilan.
Ketika maqashid ini dilanggar, maka akan muncul
deviasi dan ekses buruk. Mulai dari munculnya persepsi negatif terhadap ekonomi
syariah hingga munculnya eksploitasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Karena itu, agar hal tersebut
tidak terjadi, maka keberadaan maqashid yang lain, yaitu keadilan dan
kemaslahatan publik, harus menjadi bagian yang integral. Keduanya harus menjadi
framework yang memperkuat praktek ekonomi syariah.
Dengan
bingkai keadilan, maka penentuan marjin profit murabahah atau rasio bagi
hasil mudarabah/musyarakah akan menguntungkan pihak bank dan nasabah.
Tidak ada pihak yang akan dizalimi. Sedangkan dengan bingkai kemasalahatan
publik, maka keberadaan bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya akan
memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh lapisan masyarakat, di samping
memberi keuntungan ekonomis kepada pelakunya. Inilah yang harus kita kerjakan
bersama, yaitu bagaimana mengaplikasikan maqashid ekonomi syariah ini
dalam tataran yang lebih riil. Wallahu a’lam.
Kehadiran Asing Harus Picu Kompetisi Bank
Syariah
Senin, 25 Oktober 2010, 16:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kehadiran asing dalam dunia perbankan syariah
nasional tak perlu mendapatkan kekhawatiran yang berlebihan. Sikap nasionalisme
yang ingin menghindari dominasi modal asing dalam perbankan syariah nasional,
hendaknya tidak dimaknai sebagai jalan buntu untuk investasi dari luar negeri.Hal itu dikatakan Direktur Center for Islamic Studies in Finance, Economic, and Development (Cisfed), Masyhudi Muqorobin, terkait rencana Asian Finance Bank Berhad-Malaysia membeli saham tiga bank syariah di Indonesia. Masyhudi menerangkan, perbankan syariah nasional harus tetap membuka diri terhadap investasi asing selama hal itu bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan peran bank syariah dalam perekonomian nasional.
Terlebih, lanjut Masyhudi, dalam beberapa hal, bank-bank syariah yang sudah ada masih mengalami kesulitan untuk memberikan pembiayaan dalam skala besar lantaran modal yang terbatas. “Sehingga masuknya modal atau investasi asing bisa meningkatkan daya saing bank-bank syariah untuk pembiayaan yang lebih besar,” kata Masyhudi kepada Republika, Senin (25/10).
Secara internal, lanjut Masyhudi, penguatan modal yang didapatkan bank syariah mampu melecutkan agresifitas pasar bank tersebut. Sasarannya tentu saja peningkatan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas serta menyimpan uangnya di bank-bank syariah. “Semakin luas pasarnya maka semakin bagus untuk perkembangan perbankan syariah nasional.”
Masyhudi menyatakan, tingginya animo pihak asing menanamkan modal/investasi di Indonesia, sejatinya menunjukkan betapa menggiurkannya potensi pasar bank syariah nasional. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dan penerapan syariah compliant yang sangat hati-hati, Masyhudi berkeyakinan, Indonesia akan menjadi pusat kegiatan perbankan syariah dunia di masa mendatang. Terlebih, pasar syariah nasional saat ini didominasi oleh nasabah-nasabah umum yang tidak terafiliasi dengan perusahaan pemerintah (BUMN).
Dari segi jumlah Dana Pihak Ketiga dan aset, kata Masyhudi, perbankan syariah nasional memang masih jauh dari Malaysia. Namun demikian, nasabah bank syariah di Malaysia umumnya adalah perusahaan-perusahaan negara yang memang disarankan pemerintah agar menaruh dananya di bank syariah.
“Kalau di Indonesia kan lain, walau masih kecil asetnya tapi dari segi nasabah mayoritas nasabah umum. Inilah yang dilihat asing sebagai potensi investasi yang menggiurkan,” papar Masyhudi.
Ke depan, Masyhudi menyarankan agar para pemangku kepentingan perbankan syariah untuk terus meningkatkan edukasi dan sosialisasi terhadap produk-produk perbankan syariah. “Kalau kita tak mau dikuasai asing, ya harus siap-siap diri. Jangan hanya menolak, tapi diam saja tanpa melakukan apa-apa,” tandas Masyhudi.
Fatwa Muhammadiyah Soal Bunga Bank Bermanfaat
Tuesday, 06 April 2010 08:14 Hukum
Hukum haramnya bunga bank
tidak hanya diberikan oleh Muhammadiyah. Sebelumnya, 2003, MUI sudah
lebih dulu mengeluarkan haram
Hidayatullah.com--Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh menyatakan, meski tidak ada yang baru dari fatwa Muhammadiyah yang mengharamkan bunga bank, namun fatwa itu tetap bermanfaat bagi masyarakat.
"Memang tidak ada yang baru, baik dari segi substansi maupun argumentasinya, Namun fatwa tersebut bermanfaat dapat menjadi pengingat bagi masyarakat," katanya di Jakarta, Senin.
Selain itu, kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, fatwa tersebut juga diharapkan mampu mendorong tumbuhnya lembaga keuangan syariah.
"Khususnya bagi anggota Muhammadiyah untuk melakukan konversi kegiatan ekonominya dari konvensional ke syariah," katanya.
Sabtu (3/4), Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bunga bank. Fatwa haram terhadap bunga bank tersebut sebenarnya sudah diputuskan Majelis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 2006.
MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa haram bunga bank pada 2003. MUI menyarankan kaum muslimin beralih ke bank syariah.
Sementara Nahdlatul Ulama (NU) menganggap persoalan bunga bank termasuk masalah khilafiyah atau masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sebagian ulama NU menyatakan bunga bank adalah haram karena ada unsur spekulasi, sebagian lain berpendapat bunga bank halal karena adanya kesepakatan antara dua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati tanpa paksaan, dan sebagian yang lain menganggap hukumnya syubhat atau tidak jelas haram atau halalnya.
Hidayatullah.com--Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh menyatakan, meski tidak ada yang baru dari fatwa Muhammadiyah yang mengharamkan bunga bank, namun fatwa itu tetap bermanfaat bagi masyarakat.
"Memang tidak ada yang baru, baik dari segi substansi maupun argumentasinya, Namun fatwa tersebut bermanfaat dapat menjadi pengingat bagi masyarakat," katanya di Jakarta, Senin.
Selain itu, kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, fatwa tersebut juga diharapkan mampu mendorong tumbuhnya lembaga keuangan syariah.
"Khususnya bagi anggota Muhammadiyah untuk melakukan konversi kegiatan ekonominya dari konvensional ke syariah," katanya.
Sabtu (3/4), Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bunga bank. Fatwa haram terhadap bunga bank tersebut sebenarnya sudah diputuskan Majelis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 2006.
MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa haram bunga bank pada 2003. MUI menyarankan kaum muslimin beralih ke bank syariah.
Sementara Nahdlatul Ulama (NU) menganggap persoalan bunga bank termasuk masalah khilafiyah atau masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sebagian ulama NU menyatakan bunga bank adalah haram karena ada unsur spekulasi, sebagian lain berpendapat bunga bank halal karena adanya kesepakatan antara dua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati tanpa paksaan, dan sebagian yang lain menganggap hukumnya syubhat atau tidak jelas haram atau halalnya.
Sejak 2003
Sebagaimana diketahui,
hukum haramnya bunga bank tidak hanya diberikan oleh Muhammadiyah. Sebelumnya,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah lebih dulu mengeluarkan hukum haram bunga
bank sejak tahun 2003 lalu.
"MUI sudah lebih dulu
soal hukum itu, tahun 2003. Itu berlaku untuk semua bunga bank," kata
Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin dikutip detikcom.
Menurut Kiai Ma'ruf, agar
masyarakat terhindar dari hukum haram bunga bank, sementara tetap bisa
menyimpan uangnya dengan aman, bank syariah bisa menjadi solusinya.
Sebab, hukum keharaman bunga
bank itu tidak sekedar adanya timbal balik dari simpanan kita, tetapi juga dana
yang kita simpan di bank yang juga digunakan untuk upaya riba.
"Dulu, sebelum ada bank
syariah, kita menyimpan dana di bank karena alasan darurat. Kalau hukumnya ya
tetap saja sama, bunga bank itu ya haram. Kalau sekarang, setelah ada bank
syariah, harus dipindah ke bank syariah, bank tanpa bunga," terangnya.
Muhammadiyah secara resmi memfatwa haram bunga bank pada
Sabtu 3 April 2010 malam, lewat rapat pleno Musyawarah Nasional (Munas) ke-27
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Fatwa
haram terhadap bunga bank tersebut sebenarnya sudah diputuskan pada Musyawarah
Nasional Muhammadiyah pada tahun 2006 lalu. [cha, bebrbagai sumber/www.hidayatullah.com]
Perbankan Mengaku Tak Terpengaruh Fatwa Haram Bunga Bank
Tuesday, 06 April 2010 08:03 Hukum
Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 itu diputuskan hukum
bunga bank konvensional adalah haram
Hidayatullah.com--Kinerja
perbankan nasional secara umum tidak akan terpengaruh signifikan terhadap
keluarnya fatwa haram bunga bank yang ditetapkan ormas Muhammadiyah.
Pasalnya perbankan nasional masih didominasi sebesar 97% oleh bank-bank
konvensional yang masih menggunakan instrumen bunga.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono di Jakarta
Senin mengatakan, secara jangka pendek dan menengah tidak terpengaruh
signifikan terhadap fatwa haram bunga bank tersebut.
"Saya belum melihat akan ada pengaruhnya," katanya.
Menurutnya industri perbankan nasional saat ini masih didominasi oleh bank
konvensional. Bank konvensional yang menggunakan sistem bunga, masih
mendominasi dibandingkan dengan bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil
hanya 3 persen.
Selain itu perekonomian nasional saat
ini masih ditopang oleh perbankan konvensional.
Dia menambahkan fatwa haram itu ditujukan kepada umat yang tergabung dalam
ormas Muhammadiyah dan tidak berlaku secara umum kepada masyarakat muslim
Indonesia.
Sementara itu Presiden Direktur of KARIM Business Consulting, Adiwarman Karim,
menilai bunga bank itu haram bertujuan sebagai imbauan kepada organisasi
Muhammadiyah yang masih menggunakan produk bank konvensional.
"Muhammadiyah mengimbau kepada badan usaha dan organisasi internalnya
bahwa bunga bank tu haram, katanya.
Sebelumnya pada 3 April lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah mengeluarkan rekomendasi terkait hukum bunga perbankan.
Berdasarkan kesimpulan dalam sidang pleno Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 itu
diputuskan hukum bunga bank konvensional adalah haram. [ant/www.hidayatullah.com]
BAPAK EKONOMI
Ibnu Khaldun : Bapak Ekonomi
http://www.agustiantocentre.com/?p=940
(4-6-2011)
Oleh
: Agustianto
Dosen
Pascasarjana Uiniversitas Indonesia
Pendahuluan
Marak dan
berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah
mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmwuan modern kepada pemikiran
ekonomi Islam klasik Dalam penjelajahan intelektual yang saya lakukan,
khususnya ketika mengambil program doktor ekonomi Islam di UIN Jakarta,
ternyata lebih 2000-an judul buku dan tulisan tentang ekonomi Islam sejak masa
klasik hingga saat ini.
Melihat berlimpahnya
literatur tentang ekonomi Islam, maka ada dua hal yang sangat disayangkan.
Pertama, Dalam daftar bibliografi ekonomi Islam itu, tak satupun di
antaranya ada hasil karya tokoh Indonesia .
Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Islamic
Economics and Finance : A Bibliografy, tulisan Javed Ahmad Khan
(1995). Buku ini berisi 1621 karya tulis tentang ekonomi Islam. Demikian
pula daftar buku dalam Muslim
Economic Thinking tulisan Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy,
yang meneliti 700 buku ekonomi Islam, tak satupun mencantumkan karya
ulama Indonesia.
Kedua, Yang paling
disayangkan lagi adalah sikap para intelektual muslim atau ulama dalam dua abad
belakangan ini yang tidak melanjutkan dan mengembangkan kajian ekonomi Islam
yang telah dirintis dan dibangun oleh para ulama terdahulu. Intelektual
dan ulama kita di era kontemporer ini, lebih banyak fokus pada kajian
pengembangan materi fikih ibadah, munakahat, teologi (ilmu kalam), pemkiran
Islam dan tasawuf, di samping ilmu-ilmu tafsir dan hadits. Maka tak heran jika mereka
dangkal sekali pengetahuannya tentang ilmu ekonomi Islam, termasuk soal bunga
bank dan dampaknya terhadap inflasi, investasi, produksi dan pengangguran juga
spekulasi dan stabilitas moneter. Mereka mengabaikan kajian-kajian ekonomi
Islam yang ilmiah dan empiris yang telah dilakukan ilmuwan Islam klasik.
Fenomena itulah yang disesalkan Prof.Dr. Muhammad Nejatyullah Ash-Shiddiqy,
guru besar ekonomi Univ.King Abdul Aziz Saudi . Ia mengatakan,
“The ascendancy of
the Islamic civilization and its dominance of the world scene for a
thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas
as such. From Abu Yusuf in the second century to Tusi and Waliullah
we get a contiunity of serious discussion on taxation, government
expenditure, home economics, money and exchange, division of
labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention
has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking,
Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)
(Kejayaan peradaban
Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak
mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf
pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah (abad 18), kita memiliki
kesibambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai
perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan,
pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat
disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas
khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di
bidang ilmu ekonomi).
Di masa klasik
Islam, yang sejak abad 2 Hijrah s/d 9 Hijriyah, banyak lahir
ilmuwan Islam yang mengembangkan kajian ekonomi (bukan fikih muamalah), tetapi
kajian ekonomi empiris yang menjelaskan fenomena aktual aktivitas ekonomi
secara ril di masyarakat dan negara, seperti mekanisme pasar (supply and demand),
public finance,
kebijakan fiskal dan moneter, Pemikiran ulama tentang ekonomi Islam di masa
klasik sangat maju dan cemerlang, jauh mendahului pemikir Barat modern
seperti Adam Smith, Keynes, Ricardo, dan Malthus.
Bapak Ekonomi
Di antara sekian
banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan
salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai
raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak
sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang
jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad
mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad
secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya
Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun.(1962)
Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah
sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut
disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu
Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif,
adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari
perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat,
seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir
zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan
hukum.
Sedangkan Ibnu
Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia
menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy,
menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
Ibnu Khaldun has a
wide range of discussions on economics including the subject value,
division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption
and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of
taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and
trade,
property and
prosperity,
etc. He discussses the various stages through which societies pass
in economics progress. We also get the basic idea embodied in the
backward-sloping supply curve of labour (Shiddiqy, 1976, hlm. 261).
(Ibn Khaldun
membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata
nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi
dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari
pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan
perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai
tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga
menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang
kemiringannya berjenjang mundur,).
Sejalan dengan
Shiddiqy Boulokia dalam tulisannya
Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, menuturkan :
Ibnu Khaldun
discovered a great number of fundamental economic notions a few
centuries before their official births. He discovered the virtue and the
necessity of a division of labour before Smith and the principle of
labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population
before Malthus and insisted on the role of the state in the economy
before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to
build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led
economic activity to long term fluctuation….(Boulokia, 1971)
(Ibn Khaldun
telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental,
beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan
keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan
prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori
tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam
perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah
menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis
yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan
ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…)”
Lafter, penasehat
economi president Ronald Reagan, yang menemukan teori Laffter Curve, berterus
terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat
resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor)
pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal
besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami
penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan
dalam agregate yang cukup besar.
S.Colosia berkata
dalam bukunya, Constribution A L’Etude D’Ibnu Khaldaun Revue Do Monde Musulman,
sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan, ”Apabila pendapat-pendapat Ibnu
Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat
sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah,
menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern .(1974, hlm.477)
Oleh karena besarnya
sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung
jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu
ekonomi.”[1]
Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai
ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu
Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of
Islam)(Shiddiqy, hlm. 260)
Sehubungan dengan
itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang
meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya dalam bidang ekonomi.
Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and
Exchange in Khaldun’s Writing dan Nasha’t menulis “al-Fikr al-iqtisadi fi
muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the Prolegomena of Ibn
Khaldun).. Selain itu kita masih memiliki kontribusi kajian yang berlimpah
tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun
sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran
briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An
Introduction to History, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn
Khaldun, Boulakia menulis Ibn
Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A
Selection, Ibn al Sabil menulis Islami
ishtirakiyat fi’l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma’ashi khayalat”,
(Economic Views of Ibn Khaldun), Rifa’at menulis Ma’ashiyat par Ibn Khaldun ke
Khalayat” (Ibn Khaldun’s Views on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory in the
Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa nizaman wa
dirasah muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a System, a
Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture”, Abdul
Sattar menulis buku Ibn
Khaldun’s Contribution to Economic Thought” in: Contemporary Aspects of
Economic and Social Thingking in Islam.
Penutup
Paparan di atas
menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi
yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi
Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak
disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim Barat sebagai Bapak
ekonomi melalui buku The
Wealth of Nation.. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan
kembali agar ummat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual ummat
Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun
secarfa detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu
ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara
detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku
(Penulis adalah
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana
Universitas Indonesia, Pascasarjana Islamic Economivs and Finance Univ
Trisakti, serta Dosen Pascasarjana Univ Paramadina Prfodi Manajemen BISNIS DAN
Keuangan Islam, IAIN dan UIAz-Zahra).
BISNIS MLM
Batasan Hukum dalam Bisnis MLM
25/08/2008
25/08/2008
Multi
Level Marketing (MLM) adalah model pemasaran yang menggunakan mata rantai down line, dimana
pihak produsen dapat mengurangi biaya marketing sehingga sebagian biaya
marketing dipakai untuk bonus bagi orang yang memperoleh jaringan yang besar.
Memang banyak alasan orang yang bergabung dalam bisnis MLM ini, di antaranya
karena iming-iming bonus tetapi ada juga yang memang karena motivasi ingin
memiliki produknya
Bagaimana menurut hukum Islam tentang bisnis MLM ini?
Multi Level Marketing (MLM) adalah menjual/memasarkan langsung suatu produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi barang sangat minim atau sampai ketitik nol. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan).
Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan.
MLM banyak sekali macamnya dan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri. Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM.
Kami akan memberi jawaban yang bersifat batasan-batasan umum sebagai panduan bagi umat Islam yang akan terlibat dalam bidang MLM.
Memang pada dasarnya segala bentuk mu’amalah atau transaksi hukumnya boleh (mubah) sehingga ada argumentasi yang mengharamkannya.
Allah SWT berfirman
Bagaimana menurut hukum Islam tentang bisnis MLM ini?
Multi Level Marketing (MLM) adalah menjual/memasarkan langsung suatu produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi barang sangat minim atau sampai ketitik nol. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan).
Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan.
MLM banyak sekali macamnya dan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri. Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM.
Kami akan memberi jawaban yang bersifat batasan-batasan umum sebagai panduan bagi umat Islam yang akan terlibat dalam bidang MLM.
Memang pada dasarnya segala bentuk mu’amalah atau transaksi hukumnya boleh (mubah) sehingga ada argumentasi yang mengharamkannya.
Allah SWT berfirman
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah: 275)
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ
وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan. (QS Al Maidah: 2)
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Perdagangan itu atas dasar sama-sama ridha. (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah)
المُسْلِمُوْنَ عَلي شُرُوْطِهِمْ
Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka. (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)
Berdasarkan penjelasan tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:
1.Pada dasarnya sistem MLM adalah muamalah atau buyu' yang prinsip dasarnya boleh (mubah) selagi tidak ada unsur: - Riba' - Ghoror (penipuan) - Dhoror (merugikan atau mendhalimi fihak lain) - Jahalah (tidak transparan).
2.Ciri khas sistem MLM terdapat pada jaringannya, sehingga perlu diperhatikan segala sesuatu menyangkut jaringan tersebut: - Transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota dan alokasinya dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran anggota yang tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau yang mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil sesuatu tanpa hak dam hukumnya haram.
- Transparansi peningkatan anggota pada setiap jenjang (level) dan kesempatan untuk berhasil pada setiap orang. Peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat disetiap usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu hal yang dibolehkan selagi dilakukan secara transparan, tidak menzhalimi fihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas.
- Hak dan kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota. Seorang anggota atau distributor biasanya mendapatkan untung dari penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya. Perolehan untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang biasa dalam jual beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya disebabkan usaha down line-nya adalah sesuatu yang dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kedholiman.
3. MLM adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana untuk mendapatkan uang tanpa ada produk atau produk hanya kamuflase. Sehingga yang terjadi adalah money game atau arisan berantai yang sama dengan judi dan hukumnya haram.
4. Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya, karena anggota bukan hanya konsumen barang tersebut tetapi juga memasarkan kepada yang lainnya. Sehingga dia harus tahu status barang tersebut dan bertanggung-jawab kepada konsumen lainnya.
Demikan batasan-batasan ini barangkali dapat bermanfaat, khususnya dan bagi kaum muslimin Indonesia agar dapat menjadi salah satu jalan keluar dari krisis ekonomi. Wallahua’lam bishshawab.
HM Cholil Nafis Lc MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Transaksi Dua Aqad dalam
Praktik MLM
27/04/2007
27/04/2007
Dalam kajian fikih ada
istilah al-‘aqdain
fil ‘aqd atau al-bai’ain
fi al-bai’ah yang berarti dua aqad yang terkumpul dalam sesuatu
transaksi. Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad Bin Hanbal dari
Sahabat Abdullah bin Mas’ud RA telah melarang model transaksi seperti ini.
Para fuqaha merinci
penjelasan mengenai al-‘aqdain
fil ‘aqd ini ke dalam tiga model. Pertama, adanya dua harga dalam sebuah
jual beli. Misalnya, jika seseorang mengatakan kepada orang lain, “Aku jual
baju ini kepadamu dengan harga sepuluh dirham jika tunai, dan dua puluh
dirham jika hutang.” Kemudian kedua orang tersebut berpisah dan belum ada
kesepakatan tentang salah satu model jual beli tersebut.
Dikatakan bahwa jual beli
semacam ini telah rusak (fasid), karena kedua pihak yang bertransaksi tidak
mengetahui harga mana yang dipastikan. Asy-Syaukani menyatakan, sebab
diharamkannya jual beli semacam itu adalah tidak disepakatinya salah satu
(aqad) harga dari dua (aqad) harga tersebut. Akan tetapi, jika kedua orang
tersebut bersepakat tentang salah satu aqad (harga) dari dua aqad (harga) jual
beli tersebut; misalnya pembeli menerima harga baju tersebut 20 dirham secara
kredit sebelum keduanya berpisah, maka sahlah jual beli tersebut. Sebab, harga
baju itu telah ditetapkan, dan kedua belah pihak mengetahui dengan jelas harga
dari baju tersebut serta bentuk transaksinya.
Kedua,
Imam Syafi’i, menafsirkan al-‘aqdain
fil ‘aqd sebagai jual beli bersyarat. Misalnya, jika seseorang
berkata kepada orang lain, “Saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian,
akan tetapi engkau harus menikahkan putramu dengan putriku.” Muamalat semacam
ini menyebabkan tidak jelasnya harga.
Ketiga, al-‘aqdain fil ‘aqd adalah
memasukkan transaksi kedua ke dalam transaksi pertama yang belum selesai.
Misalnya, jika seseorang memesan barang dalam jangka waktu satu bulan, dengan
harga yang telah ditentukan. Ketika tempo masa telah tiba, pihak yang dipesan
meminta kembali barangnya dengan berkata kepada pemesan, “Juallah barang yang
seharusnya saya berikan kepada anda dengan harga sekian, tapi jangkanya
ditambah dua bulan.” Jual beli semacam ini adalah fasid, sebab aqad yang kedua
telah masuk pada aqad yang pertama. Demikianlah.
Para ahli fikih sering mengkaji
transaksi multi level marketing (MLM) yang saat ini semakin beragam model
melalui perspektif al-‘aqdain
fil ‘aqd ini, yakni adanya dua akad dalam satu transaksi.
Paling tidak MLM bisa
diklasifikasikan kedalam tiga model: Pertama, MLM yang membuka pendaftaran
member (posisi) dimana member tersebut harus membayar sejumlah uang sembari
membeli produk. Pada waktu yang sama juga, dia menjadi referee atau
makelar bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, karena ia akan mendapatkan
"nilai lebih" jika berhasil merekrut orang lain menjadi member dan
membeli produk. Maka praktek MLM seperti ini jelas termasuk dalam kategori al-‘aqdain fil ‘aqd.
Sebab, dalam hal ini orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan
pemakelaran (samsarah)
secara bersama-sama dalam satu akad.
Kedua,
ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk meski untuk
keperluan itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk
menjadi member. Pada waktu yang sama membership
(keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (poin), baik dari
pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya.
Maka praktek ini juga termasuk dalam kategori al-‘aqdain fil ‘aqd, yakni akad
membership dan akad samsarah
(pemakelaran).
Membership tersebut merupakan bentuk akad, yang
mempunyai dampak tertentu, yakni ketika pada suatu hari dia membeli produk dia
akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam
membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika
jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat
poin karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member.
Ketiga, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang.
Ini sangat berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dalam MLM model ketiga ini pihak-pihak terkait sebenarnya tidak melakukan transaksi apa-apa, hanya melakukan semacam permainan bisnis yang mirip sekali dengan perjudian.(A Khoirul Anam)
Ketiga, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang.
Ini sangat berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dalam MLM model ketiga ini pihak-pihak terkait sebenarnya tidak melakukan transaksi apa-apa, hanya melakukan semacam permainan bisnis yang mirip sekali dengan perjudian.(A Khoirul Anam)
BISNIS NABI
Meneledani Manajemen Bisnis
Rasulullah
http://www.agustiantocentre.com/?p=959
(4-6-2011)
Oleh : Agustianto
Kehadiran Nabi
Muhammad membawa agama Islam merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah
kehidupan manusia., karena kehadirannya telah membuka zaman baru dalam
pembangunan peradaban dunia bahkan alam semesta (rahmatul-lil’alamin 21:107) Beliau
adalah utusan Allah SWT yang terakhir sebagai pembawa kebaikan dan kemaslahatan
bagi seluruh umat manusia.
Michael Hart dalam bukunya, menempatkan beliau sebagai orang nomor
satu dalam daftar seratus orang yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
sejarah. Kata Hart, “Muhammad Saw terpilih untuk menempati posisi pertama dalam
urutan seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh, karena beliau merupakan
satu-satunya manusia yang memiliki kesuksesan yang paling hebat di dalam kedua
bidang-bidang sekaligus : agama dan bidang duniawi”.W. Montgomery Watt menulis
buku Muhammad a Prophet and Statemen, yang menunjukkan fakta historis bahwa
Nabi Mihammad adalah nabi dan negarawan, pemimpin agama dan negara, sementara
Afzalur Rahman dalam Muhammad a Trader, menjelaskan sosok Nabi Muhammad sebagai
pedagang ulung.
Kesuksesan Nabi
Muhammad Saw telah banyak dibahas para ahli sejarah, baik sejarawan Islam
maupun sejarawan Barat.
Salah satu sisi kesuksesan Nabi Muhammad adalah kiprahnya sebagai
seorang padagang (wirausahawan). Namun,
sisi kehidupan Nabi Muhammad sebagai pedagang dan pengusaha
kurang mendapat perhatian dari kalangan ulama pada momentum peringatan maulid
Nabi. Karena itu, dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw di tahun
1432 H ini (2011), kita perlu merekonstruksi sisi tijarah Nabi Muhammad Saw,
khususnya manajemen bisnis yang beliau terapkan sehingga mencapai sukses
spektakuler di zamannya.
Aktivitas
Bisnis Muhammad
Reputasi Nabi
Muhammad dalam dunia bisnis dilaporkan antara lain oleh Muhaddits Abdul Razzaq.
Ketika mencapai usia dewasa beliau memilih perkerjaan sebagai
pedagang/wirausaha. Pada saat belum memiliki modal, beliau menjadi manajer
perdagangan para investor (shohibul
mal) berdasarkan upah (ujrah) dan bagi hasil. Seorang investor
besar Makkah, Khadijah, mengangkatnya sebagai manajer ke pusat perdagangan
Habshah di Yaman. Kecakapannya sebagai wirausaha telah mendatangkan keuntungan
besar baginya dan investornya.Tidak satu pun jenis bisnis yang ia tangani
mendapat kerugian. Ia juga empat kali memimpin ekspedisi perdagangan untuk
Khadijah ke Syiria, Jorash, dan Bahrain
di sebelah timur Semenanjung Arab.
Dalam literatur
sejarah disebutkan bahwa di sekitar masa mudanya, Nabi Saw banyak
dilukiskan sebagai Al-Amin
atau Ash-Shiddiq dan bahkan pernah mengikuti pamannya
berdagang ke Syiria pada usia anak-anak, 12 tahun.
Lebih dari dua puluh
tahun Nabi Muhammad Saw berkiprah di bidang wirausaha (perdagangan), sehingga
beliau dikenal di Yaman, Syiria, Basrah ,
Iraq , Yordania,
dan kota-kota perdagangan di Jazirah Arab. Namun demikian, uraian mendalam
tentang pengalaman dan keterampilan dagangnya kurang memperoleh pengamatan
selama ini.
Sejak sebelum
menjadi mudharib
(fund manager) dari harta Khadijah, ia kerap melakukan
lawatan bisnis, seperti ke kota
Busrah di Syiria dan Yaman. Dalam Sirah
Halabiyah dikisahkan, ia sempat melakukan empat lawatan dagang
untuk Khadijah, dua ke Habsyah dan dua lagi ke Jorasy, serta ke Yaman bersama
Maisarah. Ia juga melakukan beberapa perlawatan ke Bahrain dan Abisinia. Perjalanan
dagang ke Syiria adalah perjalanan atas nama Khadijah yang kelima, di samping
perjalanannya sendiri- yang keenam-termasuk perjalanan yang dilakukan bersama
pamannya ketika Nabi berusia 12 tahun.
Di pertengahan usia
30-an, ia banyak terlibat dalam bidang perdagangan seperti kebanyakan
pedagang-pedagang lainnya. Tiga dari perjalanan dagang Nabi setelah menikah,
telah dicatat dalam sejarah: pertama,
perjalanan dagang ke Yaman, kedua,
ke Najd , dan ketiga ke Najran.
Diceritakan juga bahwa di samping perjalanan-perjalanan tersebut, Nabi terlibat
dalam urusan dagang yang besar, selama musim-musim haji, di festival dagang
Ukaz dan Dzul Majaz. Sedangkan musim lain, Nabi sibuk mengurus perdagangan
grosir pasar-pasar kota
Makkah. Dalam menjalankan bisnisnya Nabi Muhammad jelas menerapkan
prinsip-prinsip manajemen yang jitu dan handal sehingga bisnisnya tetap untung
dan tidak pernah merugi.
Implementasi manajemen bisnis
Jauh sebelum Frederick W. Taylor
(1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat prinsip manajemen sebagai suatu disiplin
ilmu, Nabi Muhammad Saw. sudah mengimplementasikan nilai-nilai manajemen
dalam kehidupan dan praktek bisnisnya. Ia telah dengan sangat baik mengelola
proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak
yang terlihat di dalamnya. Bagaimana gambaran beliau mengelola bisnisnya, Prof.
Afzalul Rahman dalam buku Muhammad
A Trader, mengungkapkan:
“Muhammad did his dealing
honestly and fairly and never gave his customers to complain. He always kept
his promise and delivered on time the goods of quality mutually agreed between
the parties. He always showed a gread sense of responsibility and integrity in
dealing with other people”. Bahkan dia mengatakan: “His reputation as an honest and
truthful trader was well established while he was still in his early youth”.
Berdasarkan tulisan
Afzalurrahman di atas, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang
pedagang yang jujur dan adil dalam membuat perjanjian bisnis. Ia tidak
pernah membuat para pelanggannya komplen. Dia sering menjaga janjinya dan
menyerahkan barang-barang yang di pesan dengan tepat waktu. Dia senantiasa
menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi
dengan siapapun. Reputasinya sebagai seorang pedagang yang jujur dan
benar telah dikenal luas sejak beliau berusia muda.
Dasar-dasar etika
dan menejemen bisnis tersebut, telah mendapat legitimasi keagamaan setelah
beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang diwariskan
semakin mendapat pembenaran akademis di penghujung abad ke-20 atau awal abad
ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan dan kepuasan konsumen (costumer satisfaction),
pelayanan yang unggul (service exellence), kompetensi, efisiensi, transparansi,
persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya telah menjadi gambaran pribadi,
dan etika bisnis Muhammad Saw ketika ia masih muda.
Pada zamannya, ia
menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis
yang fair, dan sehat. Ia tak segan-segan mensosialisasikannya dalam bentuk
edukasi langsung dan statemen yang tegas kepada para pedagang. Pada saat beliau
menjadi kepala negara, law
enforcement benar-benar ditegakkan kepada para pelaku bisnis nakal.
Beliau pula yang memperkenalkan asas “Facta
Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum
perdata dan perjanjian. Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi
untuk melakukan transaksi, yang dibangun atas dasar saling setuju “Sesungguhnya transaksi
jual-beli itu (wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla)….” Terhadap
tindakan penimbunan barang, beliau dengan tegas menyatakan: “Tidaklah orang yang menimbun
barang (ihtikar) itu, kecuali pasti pembuat kesalahan (dosa)!!!”
Sebagai debitor,
Nabi Muhammad tidak pernah menunjukkan wanprestasi (default) kepada krediturnya. Ia kerap
membayar sebelum jatuh tempo seperti yang ditunjukkannya atas pinjaman 40
dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Bahkan kerap pengembalian yang diberikan
lebih besar nilainya dari pokok pinjaman, sebagai penghargaan kepada kreditur.
Suatu saat ia pernah meminjam seekor unta yang masih muda, kemudian menyuruh
Abu Rafi’ mengembalikannnya dengan seekor unta bagus yang umurnya tujuh tahun.
“Berikan padanya unta
tersebut, sebab orang yang paling utama adalah orang yang menebus utangnya
dengan cara yang paling baik” (HR.Muslim).
Sebagaimana disebut
diawal, bahwa penduduk Makkah sendiri memanggilnya dengan sebutan Al-Shiddiq (jujur)
dan Al-Amin (terpercaya).
Sebutan Al-Amin ini diberikan kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai
pedagang. Tidak heran jika Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya
dan menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke
berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Ini dilakukan
kadang-kadang dengan kontrak biaya (upah), modal perdagangan, dan kontrak bagi
hasil.
Dalam dunia manajemen,
kata benar digunakan oleh Peter Drucker untuk merumuskan makna efisiensi dan
efektivitas. Efisiensi berarti melakukan sesuatu secara benar (do thing right),
sedangkan efektivitas adalah melakukan sesuatu yang benar (do the right thing).
Efisiensi ditekankan
pada penghematan dalam penggunaan input untuk menghasilkan suatu output
tertentu. Upaya ini diwujudkan melalui penerapan konsep dan teori manajemen
yang tepat. Sedangkan efektivitas ditekankan pada tingkat pencapaian atas
tujuan yang diwujudkan melalui penerapan leadership dan pemilihan strategi yang
tepat.
Prinsip efisiensi
dan efektivitas ini digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu bisnis.
Prinsip ini mendorong para akademisi dan praktisi untuk mencari berbagai cara,
teknik dan metoda yang dapat mewujudkan tingkat efisiensi dan efektivitas yang
setinggi-tingginya. Semakin efisien dan efektif suatu perusahaan, maka semakin
kompetitif perusahaan tersebut. Dengan kata lain, agar sukses dalam menjalankan
binis maka sifat shiddiq dapat dijadikan sebagai modal dasar untk menerapkan
prinsip efisiensi dan efektivitas.
Demikian sekelumit
sisi kehidupan Nabi Muhammad dalam dunia bisnis yang sarat dengan
nilia-nilai manajemen, Semoga para pebisnis modern, dapat meneladaninya
sehingga mereka bisa sukses dengan pancaran akhlak terpuji dalam bisnis (Penulis adalah Sekjen IAEI
dan Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Indonesia
Jakarta) .
Bisnis
Ala Rasulullah SAW: Uang Bukan Modal Utama
Jumat,
28 Januari 2011, 19:54 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Apakah modal utama memulai usaha?
Jika Anda menjawab uang, mungkin benar, tapi tidak dalam bisnis ala Rasulullah
SAW. "Yang menjadi number one capital dalam bisnis ala Rasulullah
adalah kepercayaan (trust) dan kompetensi," kata pakar ekonomi syariah,
Syafii Antonio.
Menurutnya, dalam trust itu ada integritas dan kemampuan melaksanakan usaha. "Beliau membangun usaha dari kecil, dari sekadar menjadi pekerja, kemudian dipercaya menjadi supervisor, manajer, dan kemudian menjadi investor," ujarnya.
Perjalanan dari kuadran ke kuadran itu, katanya, menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang entrepreneur yang memiliki strategi dalam mengembangkan usahanya dan karakteristik untuk mencapai sukses.
Sebagai pengusaha dan pemimpin, Rasulullah mempunyai sumber income yang sangat banyak. Namun Rasul sangat ringan tangan memberi bantuan. "Beliau sangat tidak sabar melihat ada umat yang menderita dan tidak ridha melihat kemiskinan di sekitarnya atau kelaparan di depan matanya," kata Syafii.
Itu sebabnya, kata Syafii, Rasulullah selalu berinfak dengan kecepatan yang luar biasa, yang digambarkan para sahabatnya sebagai "seperti hembusan angin". "Ia menyedekahkan begitu banyak hartanya dan mengambil sedikit saja untuk diri dan keluarganya," ujarnya.
Kepemimpinan dan manajemen ala Rasulullah ini akan dibedahnya dalam Eksiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager yang akan diluncurkan besok. Dalam buku itu, Syafii merangkai dan menuangkan ketauladanan nabi Muhammad SAW dalam satu set ensiklopedia yang terdiri dari delapan buku.
Menurut Doktor Banking Micro Finance dari University of Melbourne itu, dalam diri Rasulullah banyak hikmah yang bisa dipetik mengangkut soal manajemen dan kepemimpinan. Sayangnya, sangat terbatas literatur yang menggali dimensi leadership dan manajemen dengan kaca mata analisa tematis dan modern. “Dalam arti dipandang dari sudut ilmu manajemen modern dan suasana modern,” kata pimpinan Tazkia Group itu.
Menurutnya, dalam trust itu ada integritas dan kemampuan melaksanakan usaha. "Beliau membangun usaha dari kecil, dari sekadar menjadi pekerja, kemudian dipercaya menjadi supervisor, manajer, dan kemudian menjadi investor," ujarnya.
Perjalanan dari kuadran ke kuadran itu, katanya, menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang entrepreneur yang memiliki strategi dalam mengembangkan usahanya dan karakteristik untuk mencapai sukses.
Sebagai pengusaha dan pemimpin, Rasulullah mempunyai sumber income yang sangat banyak. Namun Rasul sangat ringan tangan memberi bantuan. "Beliau sangat tidak sabar melihat ada umat yang menderita dan tidak ridha melihat kemiskinan di sekitarnya atau kelaparan di depan matanya," kata Syafii.
Itu sebabnya, kata Syafii, Rasulullah selalu berinfak dengan kecepatan yang luar biasa, yang digambarkan para sahabatnya sebagai "seperti hembusan angin". "Ia menyedekahkan begitu banyak hartanya dan mengambil sedikit saja untuk diri dan keluarganya," ujarnya.
Kepemimpinan dan manajemen ala Rasulullah ini akan dibedahnya dalam Eksiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager yang akan diluncurkan besok. Dalam buku itu, Syafii merangkai dan menuangkan ketauladanan nabi Muhammad SAW dalam satu set ensiklopedia yang terdiri dari delapan buku.
Menurut Doktor Banking Micro Finance dari University of Melbourne itu, dalam diri Rasulullah banyak hikmah yang bisa dipetik mengangkut soal manajemen dan kepemimpinan. Sayangnya, sangat terbatas literatur yang menggali dimensi leadership dan manajemen dengan kaca mata analisa tematis dan modern. “Dalam arti dipandang dari sudut ilmu manajemen modern dan suasana modern,” kata pimpinan Tazkia Group itu.
BMT
Menepis Riba dengan Baitul Maal
wat Tamwil
26/03/2007
26/03/2007
Oleh Abdul
Muiz
Ketika belum ada pilihan untuk menjadi tumpuan
transaksi simpan pinjam kecuali bank konvensional, persoalan riba tidak menjadi
masalah yang sangat serius, khususnya bagi umat Islam. Meski sebagian
masyarakat telah ada yang beranggapan bahwa bunga bank adalah riba, akan tetapi
sebagian masyarakat lain masih beranggapan masalah bunga bank masih termasuk
subhat dengan alasan belum ada bank yang sesuai syari’ah. Lantas, bagaimanakah
kondisi sekarang?
Seiring dengan perjalanan waktu, keinginan
masyarakat Indonesia
yang mayoritas pemeluk agama Islam, kebutuhan bank yang bersistem syari’ah
tidak lagi bisa ditawar. Maka kemudian muncullah bank-bank syari’ah seperti
Bank Muamalat disusul bank BNI Syari’ah, Bank Syari’ah Mandiri, Bank Danamon
Syari’ah, Bank BRI Syari’ah. Lalu muncul juga lembaga keuangan mikro seperti
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) hingga
Koperasi Syari’ah seperti Kospin Jasa Syari’ah.
Menjamurnya lembaga keuangan syari’ah ini tentu
saja disambut dengan suka cita oleh sebagian besar pemeluk agama Islam, meski
masih ada juga sebagian umat Islam menjadi bank konvensional sebagai alat
transaksi simpan pinjam. Bahkan untuk meyakinkan umat Islam sebagai pemeluk
agama mayoritas penduduk Indonesia ,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui komisi fatwa menyatakan bunga bank adalah
haram, semakin memantapkan posisi tawar lembaga keuangan syari’ah yang saat ini
sedang tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan.
Di lingkungan warga nahdliyyin juga telah
berkembang dengan pesatnya lembaga keuangan mikro syari’ah dengan nama Baitul
Maal Wat Tamwil (BMT). Di Kabupaten Tegal saja saat ini saja telah berdiri 14
kantor cabang dan 1 kantor pusat Baitul Maal Wat Tamwil Syirkah Muawanah
Nahdlatul Ulama (BMT SM NU). Di Kota Pekalongan telah ada 5 kantor cabang dan 1
kantor pusat BMT SM NU, di Kabupaten Cilacap ada 4 kantor cabang. Sedangkan
dalam proses pendirian BMT SM NU ialah Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Magelang, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang.
Kontribusi
ke NU?
Mengapa lembaga keuangan mikro syari’ah di
lingkungan nahdliyyin dapat berkembang dengan pesat? Ada beberapa alasan yang
dapat dikemukakan, antara lain di samping system yang dipakai tidak lagi
menggunakan bunga, akan tetapi dengan system bagi hasil, juga pengguna jasa
tabungan maupun pembiayaan adalah mayoritas pengusaha berskala mikro, sehingga
kehadiran lembaga ini sangat menguntungkan warga nahdliyyin yang memerlukan
biaya dengan proses cepat bebas dari unsur riba, di tengah-tengah maraknya bank
titil (pinjaman keliling tanpa jaminan dengan bunga yang cukup tinggi). Yang
lebih penting adalah, berdirinya lembaga keuangan mikro ini telah memberikan
keuntungan ganda yakni membantu keuangan warga nahdliyyin untuk memperkuat
modal dan sangat bermanfaat bagi kebesaran organisasi warisan para ulama di
bawah payung Nahdlatul Ulama. Benarkah?
Di Kota Pekalongan misalnya, kehadiran BMT SM NU
yang didirikan pada tanggal 29 Agustus 2004 yang lalu sangat
dirasakan manfaatnya bagi PCNU Kota Pekalongan, pasalnya, lembaga keuangan ini
tidak pernah absen setiap bulannya memberikan kontribusi dari pendapatan
bersihnya sebesar 40 % atau 10 % dari pendapatan kotor. Jika
dirupiahkan tidak kurang dari 7 – 8 juta per bulan. Tentu saja bantuan rutin
ini dapat menggerakkan roda organisasi warga nahdliyyin baik untuk lembaga,
lajnah, badan otonom bahkan MWC dan ranting juga mendapat limpahan bantuan dari
BMT meski baru dalam bentuk bantuan dana stimulan. Paling tidak, organisasi
tidak lagi mengalami banyak kesulitan di bidang pendanaan. Kontribusi kepada
Nahdlatul Ulama secara rutin ini telah memacu semangat warga nahdlayyin untuk
berbondong bondong menjadi nasabah BMT SM NU Kota Pekalongan. Hingga saat ini
telah tercatat 2500 lebih nasabah dari warga NU, baik untuk penabung maupun
peminjam. Hal ini diakui oleh Ketua PCNU Kota Pekalongan Drs. Achmad Marzuqi, kehadiran
BMT SM NU telah mampu mendorong gerakan ekonomi warga NU kelas menengah ke
bawah di samping kontribusi kongkrit ke PCNU, sehingga NU tidak lagi mengalami
kesulitan dalam hal keuangan.
Menurut Marzuqi, kontribusi rutin bulanan terbesar
yang diberikan BMT kepada PCNU Kota Pekalongan ialah pada Bulan Desember 2006
kemarin dengan nominal 9,5 juta rupiah. Sedangkan pada bulan bulan
sebelumnya rata-rata antara 7 sampai 8 juta rupiah per bulan dan ini tergantung
dari keuntungan yang diperoleh BMT SM NU Kota Pekalongan. Dengan total asset
yang dimilikinya sebesar 4,7 milyar lebih saat ini, tidak menutup kemungkinan
kontribusi BMT ke depan akan semakin besar nilainya kepada PCNU Kota
Pekalongan. Dan ini tentu akan memudahkan Nahdlatul Ulama menjalankan roda
organisasinya baik untuk program pengkaderan maupun pembinaan umat di bidang
pendidikan, dakwah, sosial maupun di bidang ekonomi.
Prinsip-prinsip
Syari’ah
Banyak pihak yang masih meragukan proses transaksi
system syari’ah di lingkup BMT SM NU adalah masih sebatas teori semata,
sedangkan pada prakteknya tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Benarkah
demikian?
Jauh sebelum BMT SM NU dioperasionalkan, Lembaga
Bahtsul Masail Diniyah di bawah naungan PCNU Kota Pekalongan telah mengambil
sikap dengan mengundang pengurus dan calon pengelola untuk duduk bersama
membahas berbagai macam produk yang akan diluncurkan. Hal ini dimaksudkan agar
tidak ada lagi keraguan khususnya warga nahdliyyin bertransaksi lewat BMT SM
NU. Setelah melalui berbagai kajian yang mendalam, maka diputuskan
produk-produk BMT SM NU yang dapat diluncurkan antara lain simpanan mudlarabah
yaitu simpanan yang dilakukan oleh pemilik dana (shahibul maal) pada BMT yang
akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan di muka berdasarkan prosentase
pendapatan BMT pada setiap bulannya. Bila terjadi kerugian, akan
ditutup dari keuntungan dari sisi yang lain bila dimungkinkan, bilamana tidak,
maka pengelola akan menanggung kerugian pelayanan material dan kehilangan
imbalan kerja.
Produk lainnya ialah simpanan
wadi’ah adalah titipan dari pemilik dana kepada BMT untuk dikelola atas
seijinnya. Dimana BMT sebagai penerima amanat, wajib menjaga keutuhan dan
keselamatan nilai nominal yang dititipkan, pemilik dana tidak mendapat bagi
hasil, dan titipan dapat diambil setiap saat.
Sedangkan produk pembiayaan
antara lain Mudlarabah adalah perjanjian antar pemilik dana dengan pengelola
dana yang keuntungannya dibagi menurut rasio / nisbah yang telah disepakati di
muka dan bila terjadi kerugian, akan ditutup dari keuntungan dari sisi yang
lain bila dimungkinkan, bila mana tidak, maka pengelola akan menanggung
kerugian pelayanan material dan kehilangan imbalan kerja. Musyarakah adalah
perjanjian kerja sama antara anggota dengan BMT, dimana modal dari kedua belah
pihak digabungkan untuk usaha tertentu yang akan dijalankan oleh anggota dan
BMT, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan bersama.
Bai’ Bit Taqsith adalah proses jual beli dimana BMT membayar barang yang
dibutuhkan kemudian dijual kepada pembeli dengan membayar harga yang disepakati
untuk dibayar secara angsuran. Bai’ Bitsaman Ajil adalah proses jual beli
dimana BMT membayar barang yang dibutuhkan kemudian dijual kepada pembeli
dengan membayar harga yang disepakati untuk dibayar secara tunai setelah jatuh
tempo. Bai’ Murabahah adalah proses jual beli dimana BMT membayar barang yang
dibutuhkan kemudian dijual kepada pembeli dengan membayar harga yang disepakati
untuk dibayar secara tunai dan Qordlul Hasan adalah pembiayaan kebajikan /
lunak, dimana anggota yang menerimanya hanya dikenakan membayar pokoknya saja
tanpa bagi hasil.
Sedang transaksi bagi hasil
antara pemilik modal (BMT) dengan pihak peminjam (nasabah) menggunakan akad
nadzar, yakni sejenis akad yang dilakukan kedua belah pihak tanpa ditentukan
bagi hasilnya sebelum transaksi, akan tetapi penentuannya setelah diketahui
prospek usaha dan kemungkinan keuntungan yang diperoleh, kemudian peminjam
bernadzar jika kelak berhasil dalam usahanya akan memberikan keuntungan kepada
pemodal (BMT) sekian persen.
Siap
Transfer Ilmu
Keberhasilan warga nahdliyyin Kota Pekalongan
mengelola lembaga keuangan mikro syari’ah ditanggapi dan diapresiasi secara
positif oleh PCNU Banjarnegara, Batang, Pemalang, Magelang dan lain-lain.
Bahkan Pengurus BMT SM NU Kota Pekalongan telah berkomitmen, jika pendirian BMT
untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, dirinya siap mentransfer ilmu secara gratis.
Artinya, jika ada cabang-cabang yang berkeinginan menimba ilmu
sebanyak-banyaknya dengan cara mengirimkan calon pengelolanya untuk magang di
BMT SM NU Kota Pekalongan, pihak pengurus telah siap tanpa dipungut biaya
seperserpun, ini dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian pengurus dalam
pengembangan potensi ekonomi warga nahdliyyin.
Komitmen ini diperlukan menurut Ketua BMT SM NU
Kota Pekalongan H. Abdullah Sjatory, SE., MM adalah untuk memancing dan
merangsang agar minimal tiap-tiap cabang NU berdiri satu lembaga keuangan mikro
syari’ah. Jika gerakan dakwah ekonomi berhasil, akan lebih mempercepat program
pembangunan pondasi ekonomi di lingkungan Nahdlatul Ulama. Jadi, menurutnya
jangan sampai NU telah berusia 82 tahun lebih bangunan ekonominya masih rapuh
dan kita sebagai warga NU harus bangkit dengan memulainya sejak sekarang,
ujarnya. Asal dikelola secara profesional dan amanah, Sjatory yang juga
Direktur Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU) Jawa Tengah sangat yakin BMT
di lingkungan nahdlayyin akan dapat berkembang dengan baik dan pesat. Yang
jelas, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal dan Cilacap telah memulai dan
membuktikannya.
Abdul Muiz
Kontributor NU Online, tinggal di Pekalongan
Kontributor NU Online, tinggal di Pekalongan
Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
05/08/2007
05/08/2007
Baitul Mal wat Tamwil (BMT) adalah sebuah lembaga
keuangan yang berbadan hukum koperasi simpan pinjam. Di Indonesia lembaga ini
belakangan populer seiring dengan semangat umat Islam untuk mencari model
ekonomi alternatif pasca krisis ekonomi tahun 1997. Kemunculan BMT merupakan
usaha sadar untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.
Konsep ini sedianya ingin mengacu pada definisi ”baitul mâl” pada
masa kejayaan Islam, terutama pada masa khalifah empat pasca-kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW atau masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Dalam bahasa Arab “bait “berarti
rumah, dan "mâl"
yang berarti harta: rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Waktu itu
dikenal istilah “diwan”
yakni tempat atau kantor yang digunakan oleh para penulis katakanlah sekretaris
baitul mal untuk bekerja dan menyimpan arsip-arsip keuangan.
Baitul Mal adalah suatu lembaga yang bertugas
mengumpulkan harta negara entah diperoleh dari umat Islam sendiri atau dari
rampasan perang, untuk disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima atau
untuk kebutuhan angkatan bersenjata. Para
khalifah waktu itu memegang kebijakan utama kemana harta-harta itu akan
disalurkan.
Searah dengan perubahan zaman, perubahan tata
ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah,
tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara
lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaannya juga
tidak terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh, juga tidak mungkin lagi dari
berbagai bentuk harta yang diperoleh dari peperangan. Lagi pula peran
pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan oleh negara.
Beberapa organisasi, intansi atau perorangan yang
menaruh perhatian pada sejarah Islam kemudian mengambil konsep baitul mal ini
dan memperluasnya dengan menambah ”baitut
tamwil” yang berarti rumah untuk menguangkan uang. Menjadilah
baitul mal wat tamwil (BMT).
Di Indonesia, istilah baitul maal wat tamwil
mengemuka sejak tahun 1992. Mulanya, lembaga ini sekedar menghimpun dan
menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari para pegawai atau karyawan suatu
instansi untuk dibagikan kepada para mustahiqnya, lalu berkembang menjadi
sebuah lembaga ekonomi berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di bidang
simpan-pinjam dan usaha-usaha pada sektor riil.
Semangat yang luar biasa untuk berekonomi dengan
”ber-Islam” sekaligus itu harus didukung. BMT membuka kerjasama dengan lembaga
pemberi pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil dengan berpegang pada prinsip
dasar tata ekonomi dalam agama Islam yakni transparansi, saling rela, percaya
dan tanggung jawab, serta terutama sistem ”bagi hasil”-nya.
BMT terus berkembang. Di beberapa pesantren dan
kepengurusan cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) sudah terbentuk
lembaga perekonomian umat ini. Sebagai sebuah konsep, BMT itu sendiri
terus berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian
masyarakat, karena masalah mua’malat
memang berkembang dari waktu ke waktu. (A Khoirul
Anam)
BUNGA
BANK
Bunga Bank Konvensional
Menurut Hukum Islam
28/08/2006
28/08/2006
(Keputusan Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992)
Para musyawirin masih berbeda
pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :
a. Ada pendapat yang
mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya
haram.
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
Pendapat pertama dengan
beberapa variasi antara lain sebagai berikut :
a. Bunga itu itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu soma dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
a. Bunga itu itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu soma dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
Pendapat kedua juga dengan
beberapa variasi antara lain sebagai berikut:
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
Mengingat warga NU merupakan
potensi terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial
ekonominnya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai pempinjam dan
Pembina yang memenuhu persyaratan-persyaratan sesuai dengan keyakina kehidupan
warga NU, maka dipandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan
yang sesuai dengan hukum Islam yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. sebelum tercapainya
cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini
harus segera diperbaiki.
2. Perlu diatur
:1) Dalam penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip.
a). Al-Wadi'ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama.
b). Al-mudlarabah.
a). Al-Wadi'ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama.
b). Al-mudlarabah.
Dalam prakteknya, bentuk ini
disebut investment account (deposito berjangka), misalnya 3 bulan, 6 bulan dsb.
yang pada garis besamya dapat dinyatakan dalam:
1. General investment account (GIA)
2. Special investment account (SIA)
1. General investment account (GIA)
2. Special investment account (SIA)
2). Dalam Penanaman dana dan kegiatan usaha :
a. Pada garis besamya ada 3 kegiatan yaitu :
- Pembiayaan proyek.
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dsb.
- Pembiayaan proyek.
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dsb.
b. Untuk proyek financing sistem yang dapat
digunakan antara lain :
1. Mudharabah muqaradhah
2. Musyarakah syirkah
3. Murabahah
4. Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
5. Ijarfah
6. Bai'uddain, termasuk di dalamnya bai'ussalam
7. Al-qardul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service change)
8. Bai'u bitsumanin aajil
1. Mudharabah muqaradhah
2. Musyarakah syirkah
3. Murabahah
4. Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
5. Ijarfah
6. Bai'uddain, termasuk di dalamnya bai'ussalam
7. Al-qardul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service change)
8. Bai'u bitsumanin aajil
c. Untuk aqriten participation, bank dapat membuka
L C (Letter of Credit) dan pengeluaran surat
jaminan. Untuk ini dapat ditempuh kegiatan atas dasar:
1. Wakalah
2. Musyarakah
3. Murabahah
4. Ijarah
5. Sewa - beli
6. Bai' ussalam
7. Al-bai'ul aajil
8. Kafalah (garansi bank)
9. Warking capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order denganmenggunakan prinsip murabahah.
1. Wakalah
2. Musyarakah
3. Murabahah
4. Ijarah
5. Sewa - beli
6. Bai' ussalam
7. Al-bai'ul aajil
8. Kafalah (garansi bank)
9. Warking capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order denganmenggunakan prinsip murabahah.
d. Untuk jasa-jasa perbankan (banking service)
lainnya, seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta danpenukarannya
dll., tetap dapat dilaksanakandengan prinsip tanpa
DINAR
Mencetak Dinar di Tengah Krisis
(1)
Oleh Dr. Mohamad Daudah
Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (1/2)
Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim
Selintas judul di atas sangat bombaptis…Tapi,
itulah kenyataan yang kami saksikan saat mengelilingi gunung Ringgit yang
terletak di desa Sawaran Kulo, Kedung Jajang, Klakah, Lumajang, Jawa Timur.
Rombongan kami terdiri dari pak M. Iqbal, pakar Islamic Financial Planning dan
pemilik geraidinar yang ngetop sejak krisi global gelombang kedua dua bulan
lalu, pak Azwin, seorang pakar kesehatan yang jadi professional di salah satu
perusahan Jepang dan pak Aldin, pengusaha property yang tak sing lagi di Depok.
Alhamdulillah, kami mendapat kesempatan berkunjung ke kawasan gunung Ringgit
yang indah tersebut dari 26 – 28 Nopember 2008.
Gunung Ringgit adalah sebuah nama gunung yang
terkenal di wilayah Klakah, Kabupaten Luamajang. Sejak dari kaki gunung sampai
puncaknya terbentang sebuah areal perkebunan yang dikembangkan sejak zaman
penjajahan Belanda sekitar tahun 1912. Perkebunan Gunung Ruinggit yang dimiliki
oleh PT. AGRI HALBA telah berganti-ganti pemilik. Kendati alamnya sangat
ekstrim, namun berkat kesungguhan dan kepiawaian para pengelolanya yang baru
mentakeovernya sekitar tujuh tahun lalu telah berubah menjadi areal perkebunan
moderen yang exotic, bahkan bisa dikatakan berhasil disulap dari hutan ringgit
(Ringgit adalah mata uang Malysia) menjadi hutan Dinar (dinar adalah mata uang
emas Islam yang dapat bertahan sejak lebih dari 14 abad silam).
Di atas areal 1.200 Ha
tersebut, Dinar tersebar di mana-mana dan bahkan berjarak hanya 1 sampai 3
meter. Kenapa penulis namakan dengan dinar? Karena setiap pohon kayu sengon
atau kayu jati emas, diprediksi sekarang harganya mencapai setengah Dinar,
yakni sekitar 700.000 rupiah/pohon. Namun, jika dinilai dalam 3 – 4 tahun ke
depan, kemungkinan harga per pohon kayu keras di perkebunan tersebut bisa
mencapai satu Dinar yakni sekitar 1.4 jt rupiah, harga dinar saat ini.
Di areal yang subur dan hijau
tersebut terdapat ratusan ribu pohon kayu sengon, jati emas, mahoni dan
berbagai macam kayu lainnya dengan umur antara satu bulan sampai 6 tahun. Belum
lagi termasuk pohon karet yang menutupi areal sekitar 400 Ha atau 300.000 pohon
dengan produksi saat ini 400 kg perhari. Diperkirakan 4 sampai 5 tahun ke depan
produksi karetnya mencapai di atas 1 ton perhari. Harga karet saat kami
berkunjung sekitar USD 2.00/kg. Belum lagi tanaman lain seperti pisang kualitas
ekspor dan berbagai jenis kayu dan tumbuhan lainnya.
Yang lebih unik lagi, para
pekerja/buruh yang berjumlah sekitar 400 orang mendapat kesempatan
mengembangkan potensi ekonomi mereka dengan beternak kambing dan sapi di dalam
arela perkebunan tersebut. Binatang ternak tersebut murni menjadi milik mereka.
Salah seorang di anatara mereka yang kami temui saat selesai shalat Subuh
berjamaah menjelaskan dia memiliki 20 ekor kambing yang dapat dijual saat
membutuhkan uang tunai. Hanya beberapa menit, Bapak setengah baya itu langsung
pamit karena mau memulai aktivitas perkebunannya. Lalu saya berkata pada
teman-teman : Pantas mereka berkah hidupnya, karena bekerja pagi-pagi bangat,
apalagi setelah shalat Subuh berjamaah di Masjid. Junjungan kita, Nabi Muhammad
Saw pernah bersabda : “Diberkahilah umatku yang keluar mencari rezki di pagi
hari buta”. Kita di kota, pagi hari buta masih ngorok, terus paginya habis umur
di jalan karena macet.
Sungguh fantastic memang
melihat fakta yang ada di Bukit Ringgit tersebut. Sampai-sampai kami berucap :
Kok bisa Indonesia bangkrut ya? Kok bisa mayoritas penduduknya miskin ya?
Padahal potensi perkebunan dan pertanian sangat luar biasa, jika saja dikelola
secara moderen seperti yang kami lihat di gunung Ringgit itu. Berarti banyak
hal yang gak beres di negeri ini. Sungguh menyedihkan….
Sebelum diampbil alih oleh
manajemen sekarang, nilai dan potensi perkebunan yang ada di dalam areal yang
dikelilingi beberapa desa tersebut hanya sekitar 5 milyar rupiah. Dalam waktu 7
tahun kemudian berubah menjadi kebun Dinar (uang) yang sudah bernilai sangat
tinggi. Baru-baru ini pernah ditawar oleh salah seorang Capres 2009 senilai 60
milyar. Allahu Akbar…
Sesungguhnya potensi ekonomi
yang ada di dalam perkebunan tersebut jauh lebih besar dari itu. Perkirakan
nilai aset sekarang tak kurang dari 100 milyar rupiah. Subhanallah…. Sebuah
pertambahan nilai yang sangat fantastic dengan pertumbuhan lebih dari 200 %
pertahun. Belum termasuk nilai tambah konservasi alam, kemakmuran buruh dan
manfaat lain bagi masyarakat di sekitarnya. Padahal perkebunan tersebut
ditakeover dan dikelola oleh manejemen yang baru sekaranag saat negeri ini
sedang menghadapi krisis.
Rahasia Keberhasilan
Bagi yang belum menyaksikan
dan memahami dunia perkebunan dengan konsep yag diterapkan di gunung Ringgit,
keberhasilan tersebut memang tidak masuk akal. Saat dunia krisis, kok bisa
merekayasa pertumbuhan asset menjadi lebih dari 200% pertahun? Tapi, inilah
fakta yang kami lihat. Penilaian ini bukan hanya dari team kaimi, namun juga
dari banyak kalangan yang sempat mendapat kesempatan berkunjung ke sana.
Lalu timbul pertanyaan
mendasar : Apa rahasi keberhasilan luar biasa tersebut? Menurut hemat kami yang
berdiskusi intensif - dari pagi sampai malam -, survey lapangan dan mendapat
penjelasan serta pelajaran langsug dari perintis, pemilik dan sekaligus sebagi
Dirut PT. AGRI HALBA, Bapak Dadang Muhammad, selama 2 haru 2 malam, kami dapat
simpulkan sebagai berikut :
1. Paradigma Berfikir.
Selama ini, dalam pemikiran
kebanyakan kita, bahwa perkebunan itu adalah aktivitas bercocok tanam di
sebidang tanah yang dimilki sendiri atau kerjasama dengan pemilik tanah dengan
konsep sewa atau kerjasama dengan sistem bagi hasil. Tanaman yang ditanam
sebatas tumbuh-tumbuhan yang sudah diwariskan sejak turun temurun. Jika di
lahan tersebut dulunya ditanami sayur-sayuran, maka sampai saat inipun masih
sayur-sayuran. Jika di lahan tersebut sejak dahulu ditanami tanaman buah
seperti rambutan, mangga, jeruk dan sebagainya, maka sampai hari ini para
petaninya juga akan menanam hal yang sama..
Di samping itu, berkebun
dianggap pekerjaan yang tidak keren, rendahan dan kampungan karena mengharuskan
tinggal di pedesaan dan bahkan di hutan. Yang keren dan menarik ialah bekerja
di kota, khususnya kota-kota besar kendati hanya sebagai kuli bangunan,
pembersih jalan atau gedung, lalu bisa menikmati secuil kehidupan moderen materialistic
yang berakibat hedonis.
Hal lain yang tak kalah
kelirunya ialah bahwa menabung dan menumbuh kembangkan uang atau kekayaan hanya
lewat institusi keuangan dan lembaga-lembaga isnvestasi lainnya yang
menjanjikan, termasuk bursa saham. Lucunya, saat ekonomi dan keuangan koleps
seperti sejak tahun 1998 sampai sekarang, dunia perbankan - terlebih lagi bursa
saham - dan lembaga-lembaga investasi lainnya juga ikut koleps dan tidak mampu
menahan kehancuran nilai tabungan dan investasi para penabung dan nasabahnya,
apalagi menumbuhkembangkannya. Bahkan bisa berakibat ludesnya asset atau
kekayaaan yang kita miliki.
Semua itu adalah gambaran
kongkrit paradigma berfikir masyarkaat kita saat ini tentang uang, cara mencari
uang dan menumbuhkembangkan uang (investasi).
Lain halnya dengan pak Dadang
Muhammad. Jebolan IPB yang nyentrik ini melihat bahwa uang itu tidak identik
dengan uang kertas rupiah atau dolar AS yang dicetak dengan menuliskan angka
tertentu di lembaran depan dan belakangnya yang dapat disimpan di bank. Akan
tetapi, uang adalah apa saja yang bisa melahirkan value, termasuk uang itu
sendiri. Yang menarik, berbagai jenis pohon kayu keras maupun tumbuhan lainya
di tangan pak Dadagn menjadi bernilai uang. Uang-uang tersebut akan tumbuh dan
berkembang sesuai system yang diciptakan Tuhan Pencitanya, yakni Allah Taala,
dan bisa berlipatganda dibandig dengan ditabung atau diinvestasikan melalui
lembga-lembaga investasi lainnya.
Pada suatu hari, saat salah
seorang partner pak Dadang ingin menebang kayu-kayu yang sudah besar untuk
diuangkan. Lalu ia berkata ; Untuk apa? Kitakan belum butuh uang sejumlah itu.
Pak Dadang seakan mengisyaratakan kalau dibiarkan kayu-kayu tersebut tumbuh dan
membesar malah nialinya akan bertambah berlipat ganda. Kalau ditaruh di bank dan
sebagainya, jelas nilainya turun dan bahkan bisa habis.
Itulah paradigma berfikir yag
benar tentang uang, cara mencari uang dan menginvetasikan (melipatgandakan)
uang, apalagi di saat krisis seperti saat ini. Jika saja para pemimpin dan
pengambil kebijakan di negeri yang tak kunjung keluar dari krisi ekonomi dan
keuangan sejak sepuluh tahun yang lalu ini mampu merubah paradigma berfikir
mereka, pasti negeri ini tidak akan babak belur seperti saat ini. Yang
menakutkan lagi ialah, indikator-indokator makro dan mikro menunjukkan bahwa
Indonesia masih akan menghadapi krisis yang berkepanjangan. 2. Ilmu Yang
Mendalam.
Ilmu adalah modal kedua
setelah iman. Terkait dengan perkebunan gunung Ringgit, ilmu yang mendalam
tersebut diaplikasikan dengan baik oleh Pak Dadang dan kawan-kawannya. Berbagai
percobaan dilakukan, baik terkait dengan bibit, jenis tanaman, maupun pupuk
organic. Di samping itu, ilmu tentang market dan kecenderungan pasar lokal dan
dunia juga merupakan hal yang sangat menjadi perhatian mereka.
Ilmu yang dikembangkan di
perkebunan gunung Ringgit tersebut secara holistic dan konprehensif, seperti
terkait dengan lahan/ tanah, bit/benih, pupuk, perawatan dan market dan timing
(maktu) yang tepat untuk menanam. Terkait dengan bibit misalnya, jika tidak ada
di Indoensia pak Dadang mencarinya di Negara lain seperti bibit pohon
yilang-yilang (flower of flowers) yang bunganya menjadi bahan baku perfume
kelas atas. Secara teknis, pak Dadang paham betul bibit mana saja yang akan
bekembang sesuai harapan dan mana yang tidak. Sebab itu, dari dini sudah
diketahuai secara pasti bahwa bibit itu akan bisa berkembang dan menghasilkan
secara maksimal. Lalu, bibit seperti itulah yang akan ditanam dan
dikembangakan.
Demikian juga dengan ilmu
tentang pupuk. Pak Dadang merekayasa pupuk organic sendiri sehingga mengurangi
biaya ketergantungan kepada pupuk chemical, di samping pupuk organic tersebut
bisa menjaga dan memperbaiki struktur tanah yang sudah rusak oleh pupuk
chemical.
Demikian juag ilmu tentang
manajamen tanaman. Pak Dadang akan memenej tanaman yang akan ditanam sejak dari
yang bisa dipanen setiap hari seperti nilam, jangka 5-6 tahun seperti jati
emas, Sengon / Jenjing, Suren/Surian, Balsa, Jabon, Gmelina/Jati Putih serta
jangkan panjang yang berumur 30 tahunan seperti Karet.
Yang membuat semua tanaman tersebut bernilai
tinggi, kata kuncinya treletak pada dua hal : a. Manajemen tanaman yang baik
dan variatif dalam waktu yang sama sehingga lahan terfungsikan secara maksimal.
b. Memahami kebutuhan pasar lokal dan global
bersifat jangka panjang, sehingga produksi tetap dapat dijual dengan harga yang
tinggi, dan bahkan semakin tinggi.
3. Semangat Perjuangan (Keikhlasan)
Tak diragukan bahwa semangat
perjuangan merupakan salah satu faktor keberhasilan. Sangat jelas tergambar
dalam wajah pak Dadang bahwa beliu dan kawan-kawannya memiliki hal tersbeut.
Bayangkan, dalam kondisi kiris, tujuh tahun lalu mereka bersepakat menekuni
usaha perkebunan dengan modal dari kantong masing-masing. Sekarang, setelah
Gunung Ringgit berubah menjadi kebun Dinar, apakah pak Dadang berhenti dan
berleha-leha menikmatinya? Ternyata tidak. Beliau hidup sederhana dan
berpenempilan low profile. Ia selau berfikir bagaimana menularkan ilmu dan
pengelaman yang sangat berharga itu kepada semua orang, bahkan kepada
pemerintah, kendati belum mendapat tanggapan yang serius.
Sebab itu, tak heran jiak pak
Dadang dengan sangat semangat menyambut setiap orang yang datang dan berkunjung
sambil menjelaskan pengalaman yang sangat berharga itu. Dalam pikiranya, tak ada
yang harus disimpan, apalagi dimonompoli. Toh semua yang dia peroleh juga
berasal dari kasih sayang Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Sebab itu, ilmu
dan pengalaman harus dicurahkan untuk memperjuangkan mayoritas masyarakat yang
masih miskin, khususnya masyarakat pertanian dan perkebunan. Untuk berjuang
diperlukan keikhlasan. Kalaulah setiap pejabat, politisi, pemimpin dan
pengusaha di negri ini berfikir dan berbuat demikian, dijamin berbagai
persoalan negeri ini selesai. Namun disayangkan, yang ada di benak mereka dan
praktek hidup mereka adalah sebaliknya. Sampai-sampai salah seorang pejabat
tinggi BUMN pernah berkata kepada pebulis : Jangan heran Pak. Di mata mereka,
yang penting untuk saya apa dan berapa. Sungguh menyedihkan…
Mencetak Dinar di Tengah Krisis
(2)
Oleh Dr. Mohamad Daudah
Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (2/2)
Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim
Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (2/2)
Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim
4. Ta’awun (Kerjasama)
Salah satu hal yang menggugah kami ialah betapa
konsep ta’awun itu melahirkan keberkahan dan kesuksesan bersama. Pak Dadang
selalu melandasi semua aktivitasnya dengan dasar ta’awun (kerjasama) atau apa
yang selalu dia ucapkan dengan “bersyarikat”. Sejak mengambil alih kebun
tersebut tujuh tahun silam dengan enam orang rekannya, samapai kepada sistem
pengelolaan perkebunan dilandaskan dengan asas ta’awun.
Dalam manajemen pengelolaan kebun, manajemen pak
Dadang tidak menerapkan konsep atasan dan bawahan. Kendati ada posisi
struktural yang berbeda, seperti Direksi, General Manager, manager dan sampai
buruh terendah tukang sadap karet dan sebagainya. Pekerjaan tersebut tidak lain
merupakan job description saja. Semuanya punya kemuliaan yang sama. Hak dan
kewawijiban sesuai dengan keahlian dan peran mereka masing-masing. Model
Amtenar atu Bandar, atau Boss atau feudalism atau apa sajalah namanya tidak
berlaku dalam manajemen pak Dadang. Yang perlu dibangun adalah kesetaraan, sehingga
semangat ta’awun (kerjasama) dan saling mempercayai dan menghormati terbangun
dengan sendirinya. Sebab itu, manajemen pak Dadang sangat efisien, mudah dan
bersih. Bayangkan miliyaran uang dihasilkan perbulan, Pak Dadang cukup datang
sebulan sekali. Bahkan teman-teman dierksi lainnya termasuk Direktur
Keuangan datang hanya 3 bulan sekali.
5. Sistem Yang Adil.
Sering kita mendengar kata
“ADIL”, baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun dari mulut para pemimpin, tokoh,
kiyai, ulama dan masyarakat umum. Kata “ADIL” memang enteng diucapkan, namun
sulit diamalkan. Pengalaman dan fakta menunjukkan bahwa adil atau keadilan itu
dalam sistem dakwah dan jamaah saja sulit diamalkan apalagi dalam bentuk sistem
bisnis.
Tapi lain halnya di
perkebunan Gunung Ringgit. Sistem yang adil sesuatu hal yang dapat dilihat
dalam kenyataan. Bukan hanya teriakkan dan bumper para pemilik bisnis
sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis kapitalis umumnya, termasuk lembaga
dan institusi yang dibungkus dengan baju agama.
Seperti yang diketahui
bersama bahwa adil itu adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dan imbalan
sesuai dengan ilmu dan amal yang dulakukan. Sistem keadilan ini merupakan
sistem Allah, Pencipta alam semesta. Masnusia sebagai makhluk-Nya diperintahkan
untuk menganut dan menerapkan sistem yang adil. (QS Annahl (16) : 90)
Dalam konteks Perkebunan
Gunung Ringgit, sistem yang adil itu dapat kita lihat dari beberapa sisi
berikut :
1. Setiap lahan akan ditanami
dengan pohon atau bibit yang sesuai dengan jenis tanah dan kondisi alamnya.
Bisa saja dalam waktu yang besamaan ditanam beberapa jenisi pohon tanaman yang
berbeda atau apa yang lazim disebut dengan sistem tumpang sari.
2. Setiap SDM yang terlibat
dalam menjalankan aktivitas perkebuanan yang mencapai 400 orang itu ditempatkan
sesuai dengan ilmu dan keahliannya. Demikian juga imbalan yang diberikan sesuai
dengan job dan level masing-msing.
3. Yang lebih menarik ialah
terdapat kebebbasan mengmbangkan potensi diri baik di dalam areal perkebiuanan
seperti beternak kambing dan sapi, atau di luar perkebunan seperti berkebun
sendiri dan sebagainya. Karena, manajemen pak Dadang membebaskan mereka untuk
memnfaatkan potensi diri merka dalam meninggkatkan income atau perkembangan
ekonomi mereka baik di dalam lahan perkebuan, seperti mengembangkan koperasi
dan berternak, maupun berkebun di luar lahan gunung Ringgit. Hal tersebut
dimungkinkan karena rata-rata jam kerja di sana, khususnya terkait dengan
karet, hanya sekitar 4 – 6 jam. Setelah utu bebas melakukan aktivitas lain.
Sebab itu tak heran jika
seorang pekerja kebun di sana bisa memiliki asset puluhan dan bahkan ratusan
juta seperti memliki puluhan binatang ternak dan usaha lain di laur areal
perkebunan.
Konsep seprti di tas, jelas
memperlihatkan betapa keadilan bukan hanya di mulut, tapi dipraktekkan. Dengan
demikian para pekerja di paerkebunan tersebut tidak merasa budak kaum
kapitalis. Di samping itu, perolehan ekonomi merekapun cukup baik dan tidak
merasakan krisis lokal dan global, bahkan asset dan kekayaan mereka tumbuh dan
berkembang.
Secara jujur kami merasakan
dan harus diakui, menurut hemat kami, sistem manajemen yang diterapkan pak
Dadang, khususnya terkait manajemen SDM, community development (pendidikan dan
kesehatan) untuk mencerdaskan para pekerja dan masyarakat sekitarnya belum
maksimal. Namun, apa yang sudah dicapai Beliau dan kawan-kawan merupakan hal
yang harus kita syukuri dan sangat luar biasa. Semoga Allah membalas sjasa
mereka dengan balasan yang berlipat ganda.
Dari kanan ke kiri pembaca : Ir. Dadang Muhammad, Dirut PT. AGRI HALABA, Perkebunan Gunung Ringgit, M. Iqbal, Fathuddin Ja’far, Aldin Renata dan Azwin Marlin dipuncak gunung Ringgit dengan ketinggian sekitar 700 M d.p.l
Dari kanan ke kiri pembaca : Ir. Dadang Muhammad, Dirut PT. AGRI HALABA, Perkebunan Gunung Ringgit, M. Iqbal, Fathuddin Ja’far, Aldin Renata dan Azwin Marlin dipuncak gunung Ringgit dengan ketinggian sekitar 700 M d.p.l
Kesimpulan
Apa yang dilakuakn pak Dadang
dalam membangun ekonomi yang adil dan sehat sesungguhnya merupakan implementasi
dari konsep ekonomi yang dikembangkan Nabi Yusuf as. saat memimpin Mesir yang
sedang menghadapi kirisis. Penguasa dan para pakar ekonomi dan bisnis saat itu
dengan jujur mengakui ketidakmampuan mereka dalam menghadapi badai ekonomi yang
akan menimpa negeri mereka, karena konsep yanag mereka anut dan kembangakan
barnasis secular, matriaistik dan kapitalis. Sendangkan Nabi Yusuf menerapkan
konsep Ekonomi Rabbani, yakni sistem ekonomi yang sederhanan, namun adil dan
mendasar. Karena datang dari yang Maha Adil, yakni Allah Ta’ala untuk
memakmurkan manusia. (QS. Yusuf (12) : 47 – 49)
Bandingakan dengan negeri
kita…. Penguasa, politisi, para ekonom dan pengusaha negeri ini selalu
menampakkakan diri mereka pada masyarakat bawah mereka mampu, sampai-sampai
punya sembiyan : Dengan bersama kita bisa. Apanya yang bisa? Nyatanya, sudah
sepuluh tahun krisis dan bergontaganti pemerintahan dan pemimpin bukannya
krisis ini berkurang apalagi tuntas, bahkan bertambah parah. Anehnya, mereka
selalu mengambinghitamkan berbagai hal yang bisa dikambinghitamkan sperti,
krisis global, kenaikan haraga BBM dan sebagainya. Lucunya, saat harga BBM
turun seperti hari-hari terakhir ini, gak ada juga pengaruh positeifnya
terhadap perbaikan ekonomi.
Kalau saja negeri ini dimenej
dengan manajemen Ekonomi Raobbani (semoga istilah ini menjadi istilah yang
dipakai dinegeri ini seperti yang diterapkan Pak Dadang), sejak dari perkebunan
yang luasnya mencapai 17.25 jt Ha, pertanian, perikanan, peternakan, kelautan,
perdagangan, pertambangan dan berbagai sektor ekonomi dan bisnis lainya, kami
yakin seyakin-yakinnya negeri ini tak akan menegnal krisis berkepanjangan
seperti ini. Tentunya konsep tersebut dijalankan oleh tangan-tangan yang amanah
yang merasakan muroqobatullah (control Allah).
Dalam konsep Ekonomi Robbani
yang diterapkan pertama kali di dunia oleh nabi Ysuf as. ialah tujuh tahun
melakukan aktivitas menanami bumi secara maskimal dan bekrja keras.Hasilmnya
cukup mengantisipasi tujuh tahun masa krisis/pecaklik. Maka pada tahun ke 15,
masyarakat akan melalui masa kemakmurannya.
Lalu, babagaimana dengan Indonesia yang sudah merdeka sejak
63 tahun lalu? Sudah berganti presiden sebanyak enam orang? Ribuan anggota
legislative dan para mentri serta direksi BUMN? Kok negeri ini malah semakin
carut marut. Anehnya, mereka tidak malu mempertontonkan diri mereka di pilkada
yang hampir 4 hari sekali dan pilpres setiap 5 tahun sekali, termasuk 2009 yang
akan datang?
Dalam hitungan sederhana, sesuai yang dikembangakan Pak Dadang, untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global yang carut-marut dan menghindari kemiskinan, setiap keluarga, khususnya yang tinggal di pedesaan, cukup memiliki 2.5 Ha kebun, karena akan menghasilkan minimal 6 jt rupiah perbulan. Jika diasumsikan penduduk miskin di Indensia mencapai 100 juta orang dan setiap keluarga terdiri 4 orang, berarti jumlah keluarga miskin sekitar 25 juta keluarga.
Dalam hitungan sederhana, sesuai yang dikembangakan Pak Dadang, untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global yang carut-marut dan menghindari kemiskinan, setiap keluarga, khususnya yang tinggal di pedesaan, cukup memiliki 2.5 Ha kebun, karena akan menghasilkan minimal 6 jt rupiah perbulan. Jika diasumsikan penduduk miskin di Indensia mencapai 100 juta orang dan setiap keluarga terdiri 4 orang, berarti jumlah keluarga miskin sekitar 25 juta keluarga.
Kalau saja mereka diberi kesempatan memiliki 2.5
Ha perkebunan dan dikelola secara profesioan seperti yang dilakukan Pak Dadang,
maka dibutuhkan lahan perkebunan seluas 62.5 jt Ha. Kok besar sekali? Tidak
sama sekali, karena hutan dan perkebunan yang dijarah para konglomerat
berpuluh-puluh kali lipat dibanding jumlah yang dibutuhkan fakir miskin di
negeri ini. Bisa gak diterapkan? Bisa dong… Katanya Indonesia milik bersama. Lalu
kenapa segelintir penguasa, politisi dan kaum kapitalis saja yang berhak
menikmati kekayaan negeri ini? Bahakan di zaman Soeharto berkuasa di antara
merka ada yang memiliki areal / lahan hutan seluas 6 jt Ha. Sungguh suatu
kezaliman yang pasti dibalas Allah dengan kezaliman berlipatganda pula di
akhirat kelak.
Semoga Allah buka mata kepala dan mata hati mereka
untuk menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohan yang dihadapi masyarakat menjadi
tanggung jawab para pemimpin negeri ini. Allah pasti meminta tanggung jawab
mereka di akhirat kelak. Umar Ibnul Khattab, Khalifah Rasul saw yang ke 2
pernah berkata : Aku takut jangan-jangan ada keledai terjatuh di Baghdad sana
karena Umar belum perbaiki jalannya. Pasti Allah meminta pertanggung jawabannya
di akhirat kelak…
Engkau benar wahai Khalifatal Muslimin…..
Semoga Allah lahirkan dari kalangan kami pemimpin
seperti Engkau sebelum murka-Nya turun, agar negeri kami ini terlepas dari
berbagai kirisis yang berkepanjangan… Amiin…
Ketika Dunia Harus Memilih
Dollar Atau Dinar
Tuesday, 29 June 2010 14:51
Kebenaran
Islam bahwa mata uang yang adil adalah Dinar atau Dirham, akan cepat terbukti
di zaman modern seperti ini
Oleh: Muhaimin Iqbal*
PADA tahun 1982 ada film dengan latar belakang Perang Dunia ke II yang diberi judul Sophie’s Choice. Film yang meraih banyak piala ini, menceritakan pengalaman seorang ibu (Sophie) dengan dua anaknya – laki (Jan) dan perempuan (Eva)- yang ditahan oleh serdadu musuh. Si ibu diberi tawaran oleh serdadu musuh, salah satu dari anaknya hendak dibunuh. Si ibu disuruh memilih yang mana. Bila dia tidak mau memilih,maka keduanya akan dibunuh.
Dalam kondisi pilihan yang sulit, dipilihlah anak laki-lakinya Jan yang tetap hidup dan anak perempuannya Eva yang dibunuh musuh. Hal ini menyebabkan sepanjang sisa hidupnya si ibu hanya bisa menyesali keputusan yang harus diambilnya.
Judul film ini begitu terkenal sehingga istilah Sophie’s Choice menjadi istilah baru saat itu untuk menggambarkan bila kita dihadapkan pada suatu kondisi yang sama tidak enaknya –sama seperti istilah ‘Buah Simalakama’ yang kita kenal.
Istilah ini pun belakangan digunakan oleh para pengamat Dollar untuk menggambarkan kesulitan dunia untuk memilih antara mempertahankan Dollar sebagai reserve currency atau menggantinya dengan mata uang lain yang belum diketahui apa bentuknya.
SepertiChina misalnya;
mereka tahu US $
akan ambruk. Namun bila dia berbuat sesuatu yang drastis untuk mengganti US $ dengan mata uang lain, maka cadangan
devisanya yang sangat besar akan hancur nilainya bersamaan dengan hancurnya
nilai US $.
Demikian pula dengan ekspornya ke Amerika akan runtuh bersamaan dengan
runtuhnya ekonomi Amerika.
Lantas tidak berbuat sesuatu? Bukan juga pilihan. Ketika US$ perlahan turun nilainya, perlahan tetapi pasti menurun pula daya saing ekspor China ke Amerika; dan devisa yang terkumpul dalam US$ juga terus tergerus nilainya.
Dihadapkan situasi dilematis tersebut, China melakukan hal cerdik dengan diam-diam meningkatkan cadangan emasnya dan rakyatnya pun didorong untuk mengamankan asetnya dalam bentuk emas. Minggu lalu China juga membuat langkah yang penuh misteri dengan memperlebar rentang harga nilai tukar antara Yuan dengan US$ --sebagian pengamat mengartikan ini sebagai langkah cerdik berikutnya bagaimana China secara perlahan mempersiapkan pengganti US$.
Langkah serupa juga dilakukan oleh Rusia; di minggu yang sama Rusia mengumumkan keinginannya untuk memimpin rezim baru dunia dalam hal reserve currency. Rusia memulainya dengan menambahkan Dollar Kanada dan Dollar Australia di keranjang reserve currency-nya. Jadi tidak hanya tergantung pada US Dollars.
Langkah diam-diam meningkatkan cadangan emas oleh bank central juga akhirnya terkuak, setidaknya ini diakui China tahun lalu yang mengungkapkan bahwa cadangan emasnya telah menjadi double dibandingkan dengan data publik sebelumnya. Demikian pula Saudia Arabia yang sepekan lalu akhirnya mengakui juga langkah diam-diamnya yang telah menaikkan cadangan emas bank central-nya menjadi dua kali dari cadangan yang selama ini diketahui publik.
Yang mengejutkan adalah hasil survei yang dilakukan oleh UBS terhadap para pimpinan bank central di seluruh dunia; lebih dari separuh ternyata berpendapat bahwa dominasi US$ sebagai reserve currency tidak akan bertahan sampai seperempat abad yang akan datang atau tepatnya tahun 2035.
Lantas apa gantinya? Ada yang berpendapat gantinya adalah mata uang negara Asia (mungkin maksudnya China?) Ada yang berpendapat Euro, tetapi mayoritas terbesarnya berpendapat bahwa emas-lah mata uang pengganti itu.
Mungkin inilah penyebabnya, meskipun saat ini emas dipojok-pojokkan, tetapi bank-bank sentral dunia rupanya diam-diam juga membeli kembali emas. Setelah dua dekade sebagai net sellers; kini mereka menjadi net buyers.
Apa makna ini semua sebenarnya? Kebenaran Islam bahwa mata uang yang adil adalah Dinar atau Dirham, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali, cepat atau lambat akan terbukti kembali di zaman modern ini. Kita tidak perlu menghadapi situasi pilihan yang amat sulit seperti Sophie’s Coice tersebut di atas; pilihan itu sudah ada di dua petunjuk kita – dan ulama-ulama besar kita-pun telah mengungkapkan kebenarannya.
Entah kapan itu terjadinya; di zaman kita, anak kita, atau cucu kita, tidak masalah. Tetapi apa yang kita mulai rintis untuk pengadaannya, mengatasi masalahnya, mencari solusi aplikasinya, dan seterusnya, insyaAllah akan menjadi bekal yang baik sehingga generasi berikutnya tinggal menyempurnakannya bila waktunya tiba. InsyaAllah.
Oleh: Muhaimin Iqbal*
PADA tahun 1982 ada film dengan latar belakang Perang Dunia ke II yang diberi judul Sophie’s Choice. Film yang meraih banyak piala ini, menceritakan pengalaman seorang ibu (Sophie) dengan dua anaknya – laki (Jan) dan perempuan (Eva)- yang ditahan oleh serdadu musuh. Si ibu diberi tawaran oleh serdadu musuh, salah satu dari anaknya hendak dibunuh. Si ibu disuruh memilih yang mana. Bila dia tidak mau memilih,maka keduanya akan dibunuh.
Dalam kondisi pilihan yang sulit, dipilihlah anak laki-lakinya Jan yang tetap hidup dan anak perempuannya Eva yang dibunuh musuh. Hal ini menyebabkan sepanjang sisa hidupnya si ibu hanya bisa menyesali keputusan yang harus diambilnya.
Judul film ini begitu terkenal sehingga istilah Sophie’s Choice menjadi istilah baru saat itu untuk menggambarkan bila kita dihadapkan pada suatu kondisi yang sama tidak enaknya –sama seperti istilah ‘Buah Simalakama’ yang kita kenal.
Istilah ini pun belakangan digunakan oleh para pengamat Dollar untuk menggambarkan kesulitan dunia untuk memilih antara mempertahankan Dollar sebagai reserve currency atau menggantinya dengan mata uang lain yang belum diketahui apa bentuknya.
Seperti
Lantas tidak berbuat sesuatu? Bukan juga pilihan. Ketika US$ perlahan turun nilainya, perlahan tetapi pasti menurun pula daya saing ekspor China ke Amerika; dan devisa yang terkumpul dalam US$ juga terus tergerus nilainya.
Dihadapkan situasi dilematis tersebut, China melakukan hal cerdik dengan diam-diam meningkatkan cadangan emasnya dan rakyatnya pun didorong untuk mengamankan asetnya dalam bentuk emas. Minggu lalu China juga membuat langkah yang penuh misteri dengan memperlebar rentang harga nilai tukar antara Yuan dengan US$ --sebagian pengamat mengartikan ini sebagai langkah cerdik berikutnya bagaimana China secara perlahan mempersiapkan pengganti US$.
Langkah serupa juga dilakukan oleh Rusia; di minggu yang sama Rusia mengumumkan keinginannya untuk memimpin rezim baru dunia dalam hal reserve currency. Rusia memulainya dengan menambahkan Dollar Kanada dan Dollar Australia di keranjang reserve currency-nya. Jadi tidak hanya tergantung pada US Dollars.
Langkah diam-diam meningkatkan cadangan emas oleh bank central juga akhirnya terkuak, setidaknya ini diakui China tahun lalu yang mengungkapkan bahwa cadangan emasnya telah menjadi double dibandingkan dengan data publik sebelumnya. Demikian pula Saudia Arabia yang sepekan lalu akhirnya mengakui juga langkah diam-diamnya yang telah menaikkan cadangan emas bank central-nya menjadi dua kali dari cadangan yang selama ini diketahui publik.
Yang mengejutkan adalah hasil survei yang dilakukan oleh UBS terhadap para pimpinan bank central di seluruh dunia; lebih dari separuh ternyata berpendapat bahwa dominasi US$ sebagai reserve currency tidak akan bertahan sampai seperempat abad yang akan datang atau tepatnya tahun 2035.
Lantas apa gantinya? Ada yang berpendapat gantinya adalah mata uang negara Asia (mungkin maksudnya China?) Ada yang berpendapat Euro, tetapi mayoritas terbesarnya berpendapat bahwa emas-lah mata uang pengganti itu.
Mungkin inilah penyebabnya, meskipun saat ini emas dipojok-pojokkan, tetapi bank-bank sentral dunia rupanya diam-diam juga membeli kembali emas. Setelah dua dekade sebagai net sellers; kini mereka menjadi net buyers.
Apa makna ini semua sebenarnya? Kebenaran Islam bahwa mata uang yang adil adalah Dinar atau Dirham, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali, cepat atau lambat akan terbukti kembali di zaman modern ini. Kita tidak perlu menghadapi situasi pilihan yang amat sulit seperti Sophie’s Coice tersebut di atas; pilihan itu sudah ada di dua petunjuk kita – dan ulama-ulama besar kita-pun telah mengungkapkan kebenarannya.
Entah kapan itu terjadinya; di zaman kita, anak kita, atau cucu kita, tidak masalah. Tetapi apa yang kita mulai rintis untuk pengadaannya, mengatasi masalahnya, mencari solusi aplikasinya, dan seterusnya, insyaAllah akan menjadi bekal yang baik sehingga generasi berikutnya tinggal menyempurnakannya bila waktunya tiba. InsyaAllah.
Menjadikan Dinar Sebagai Alat Transaksi
Tuesday, 30 March 2010
18:57
Jika untuk kebutuhan transaksi seperti untuk membeli
baju, makanan tentu tidak praktis menggunakan Dinar
Oleh: Muhaimin Iqbal*
DARI Aiman r.a berkata : “Saya masuk ke rumah Aisyah, di situ ada baju perempuan yang terbuat dari benang seharga lima Dirham. Kata Aisyah: “Lihatlah sahaya perempuanku, perhatikanlah dia !, dia merasa megah karena memakai pakaian itu dalam rumah. Saya pernah memakai baju itu pada masa Rasulullah SAW. Setiap wanita yang ingin berdandan di Madinah, selalu mengirimkan utusannya kepadaku buat meminjamnya”. (Shahih Bukhari, Kitab 47, Hadits no 796)
Diriwayatkan dari ‘Urwa : “Bahwa Nabi memberinya satu Dinar untuk membeli domba untuk beliau. ‘Urwa membeli dua ekor domba untuk beliau dengan uang tersebut. Kemudian dia menjual satu ekor domba seharga satu Dinar, dan membawa satu Dinar tersebut bersama satu ekor dombanya kepada Nabi. Atas dasar ini Nabi berdoa kepada Allah untuk memberkahi transaksi ‘Urwa. Sehingga ‘Urwa selalu memperoleh keuntungan (dari setiap perdagangannya) – bahkan seandainya dia membeli debu”. (Di riwayat lain) ‘Urwa berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW berkata, “Selalu ada kebaikan pada kuda sampai hari kiamat””. (Periwayat lainnya lagi menambahkan “saya melihat 70 ekor kuda di rumah ‘Urwa.”) ( Sufyan berkata, “Nabi menyuruh ‘Urwa untuk membeli domba untuk beliau sebagai hewan qurban”.) (Shahih Bukhari, Kitab 56, Hadits No 836).
Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar : Umar ibn Al Khattab memberi nama untanya bukhti untuk qurban. Ada yang menawar 300 Dinar untuk unta ini. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata : “ Ya Rasulullah, unta saya bukhti yang saya niatkan untuk qurban ditawar 300 Dinar. Boleh kah saya jual kemudian saya membeli unta lain dengan uang tersebut ?. Jangan, qurban kan saja yang ini.” ( Hadits Sunan Abudawud, Kitab 10, hadits no 1752).
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari serangkaian hadits tersebut diatas, diantaranya adalah :
Pertama, kita bisa memperoleh perpektif yang lebih jelas tentang kehidupan Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau. Bahwa keluarga beliau dan para sahabatnya hidup sederhana dan begitu akrab satu sama lain – sampai baju Aisyah yang indah sering dipinjamkan kepada kepada wanita-wanita Madinah.
Kedua, daya beli Dirham juga relatif stabil meskipun kursnya terhadap Dinar bisa saja berfluktuasi; yang disebut baju yang indah namun tidak berlebihan untuk Aisyah yang hidup sederhana – adalah seharga 5 Dirham. Dengan 5 Dirham, sekarang Anda-pun masih bisa memperoleh baju yang relatif indah yang tidak berlebihan.
Ketiga, harga yang wajar untuk kambing standar saat itu adalah 1 Dinar; bahwasanya ‘Urwah bisa membeli dua ekor kambing dengan 1 Dinar – ini nampaknya karena kepandaian ‘Urwah berdagang sehingga beliau di do’akan secara khusus oleh Rasulullah SAW. Dua ekor kambing yang dibeli ‘Urwah kemudian salah satunya dijual lagi dengan harga 1 Dinar dan 1 ekor yang lain dipertahankan untuk keperluan qurban Rasulullah SAW – ini menguatkan fakta bahwa baik kambing yang dijual maupun yang diserahkan ke Rasulullah SAW adalah kambing yang wajar ukurannya untuk harga 1 Dinar (buktinya orang lain mau membeli 1 Dinar, dan Rasulullah-pun mau menerima kambing yang diperuntukkan sebagai hewan qurban beliau seharga 1 Dinar tersebut). Satu Dinar saat ini tetap dapat untuk membeli seekor kambing dengan standar yang baik – ini membuktikan betapa stabilnya daya beli Dinar terhadap benda riil.
Keempat, kita jadi tahu ukuran atau nilai ‘kendaraan mewah’ saat itu yaitu unta terbaik seharga 300 Dinar. Atau kalau saat ini kira-kira setara SUV menengah atas Toyota Fortuner atau Mitsubishi Pajero Sport. Nilai seperti inilah yang dijadikan qurban oleh sahabat Rasulullah SAW yang mampu seperti Umar. Jadi bila Anda tergolong orang yang mampu berqurban dengan hewan qurban pilihan; lakukanlah itu
Kelima, pelajaran yang tidak kalah menariknya adalah customary atau kebiasaan masyarakat saat itu – kapan menggunakan Dinar untuk transaksi dan kapan menggunakan Dirham.
Untuk kebutuhan transaksi yang nilainya tidak terlalu besar seperti untuk membeli baju, makanan sehari-hari dan lain sebagainya tentu tidak praktis menggunakan Dinar – maka digunakanlah Dirham. Jadi kalau sekarang-pun kita hendak mengganti uang fiat dengan uang riil untuk kebutuhan transaksi sehari-hari seperti membeli makanan dan belanja sehari-hari lainnya, Dirham insyallah akan lebih sesuai ketimbang Dinar.
Memang dengan teknologi yang kita miliki teknologi M-Dinar, bisa saja kita membeli buku di Dinarworld seharga 0.075 Dinar misalnya ; namun penggunaan Dinar untuk transaksi kecil diluar pasar yang sudah terintegrasi dengan system elektronik semacam Dinarworld dan M-Dinar ini kemungkinan masih perlu waktu untuk bisa berjalan praktis.
Diluar transaksi dengan nilai kecil tersebut, sudah sangat banyak transaksi lain yang bisa kita fasilitasi dengan menggunakan Dinar – yaitu transaksi barang/jasa yang bernilai cukup besar. Karena Islam tidak mengajari kita untuk boros, tentu transaksi yang bernilai cukup besar ini arahnya bukan untuk kebutuhan konsumtif tetapi untuk kebutuhan produktif.
‘Urwah menggunakan Dinar untuk perdagangan kambingnya dan ‘Unta Umar juga dinilai dalam satuan Dinar – ini contoh yang baik untuk penggunaan Dinar sebagai transaksi perdagangan dan sebagai timbangan yang adil atau unit of account yang saat itupun sudah praktis apalagi sekarang. Dalam bahasa ekonomi, transaksi-transaksi atau penilaian yang sudah praktis dilakukan dengan Dinar seperti dalam dua contoh hadits tersebut adalah masuk kategori transaksi barang modal.
Karena Dinar kita arahkan untuk transaksi barang modal – artinya untuk menggerakkan kegiatan produktif – bukan konsumtif , maka tema sentral yang diusung geraidinar adalah Investasi dan Proteksi Nilai. Tema inilah yang sering disalah pahami oleh pihak yang tidak bosan-bosannya mengkritisi kami, dalam pandangan mereka investasi ini diartikan sekedar membeli Dinar terus disimpan atau sekedar menumpuk Dinar untuk ditunggu naik nilainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, karena sejak awal sekali kami memperkenalkan Dinar – para pengguna Dinar sudah kami ingatkan untuk tidak menimbun. Lihat tulisan kami tanggal 25 Desember 2007 (bangun Ketahanan Ekonomi Keluarga Tetapi Jangan Menimbun) misalnya.
Justru karena kami melihat bahwa transaksi dengan menggunakan Dinar yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini adalah transaksi barang modal atau investasi tersebut, maka tidak terlepas dari gerakan sosialisasi Dinar ini – kita juga mendorong kegiatan produktif masyarakat yang bisa didanai atau digerakkan dengan Dinar.
Pesantren Wirausaha, Pinjaman Modal Usaha Tanpa Beban, Project Planet Jamur, Project Susu Kambing, Indobarter, dan Berbagai Solusi Pembiayaan Berbasis Dinar yang kami lakukan bersama BMT Daarul Muttaqiin dlsb. Dlsb. Adalah upaya konkrit untuk mendorong penggunaan Dinar untuk transaksi produktif barang modal atau investasi. Disini investasi artinya memutar asset atau menjadikan asset bergerak memutar roda kegiatan produktif lainnya.
Jadi saat ini Dinar telah secara praktis digunakan untuk kebutuhan transaksi-transaksi yang bersifat produktif, sedangkan untuk transaksi yang bersifat konsumtif – ini sebenarnya lebih tepat dilakukan dengan Dirham. Namun karena nilai Dirham saat ini masih didominasi oleh biaya cetaknya yang mahal, sementara kami belum fokuskan disini. Semoga Allah memudahkan kita kepada jalan amal sholeh yang diridloiNya…
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com
Oleh: Muhaimin Iqbal*
DARI Aiman r.a berkata : “Saya masuk ke rumah Aisyah, di situ ada baju perempuan yang terbuat dari benang seharga lima Dirham. Kata Aisyah: “Lihatlah sahaya perempuanku, perhatikanlah dia !, dia merasa megah karena memakai pakaian itu dalam rumah. Saya pernah memakai baju itu pada masa Rasulullah SAW. Setiap wanita yang ingin berdandan di Madinah, selalu mengirimkan utusannya kepadaku buat meminjamnya”. (Shahih Bukhari, Kitab 47, Hadits no 796)
Diriwayatkan dari ‘Urwa : “Bahwa Nabi memberinya satu Dinar untuk membeli domba untuk beliau. ‘Urwa membeli dua ekor domba untuk beliau dengan uang tersebut. Kemudian dia menjual satu ekor domba seharga satu Dinar, dan membawa satu Dinar tersebut bersama satu ekor dombanya kepada Nabi. Atas dasar ini Nabi berdoa kepada Allah untuk memberkahi transaksi ‘Urwa. Sehingga ‘Urwa selalu memperoleh keuntungan (dari setiap perdagangannya) – bahkan seandainya dia membeli debu”. (Di riwayat lain) ‘Urwa berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW berkata, “Selalu ada kebaikan pada kuda sampai hari kiamat””. (Periwayat lainnya lagi menambahkan “saya melihat 70 ekor kuda di rumah ‘Urwa.”) ( Sufyan berkata, “Nabi menyuruh ‘Urwa untuk membeli domba untuk beliau sebagai hewan qurban”.) (Shahih Bukhari, Kitab 56, Hadits No 836).
Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar : Umar ibn Al Khattab memberi nama untanya bukhti untuk qurban. Ada yang menawar 300 Dinar untuk unta ini. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata : “ Ya Rasulullah, unta saya bukhti yang saya niatkan untuk qurban ditawar 300 Dinar. Boleh kah saya jual kemudian saya membeli unta lain dengan uang tersebut ?. Jangan, qurban kan saja yang ini.” ( Hadits Sunan Abudawud, Kitab 10, hadits no 1752).
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari serangkaian hadits tersebut diatas, diantaranya adalah :
Pertama, kita bisa memperoleh perpektif yang lebih jelas tentang kehidupan Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau. Bahwa keluarga beliau dan para sahabatnya hidup sederhana dan begitu akrab satu sama lain – sampai baju Aisyah yang indah sering dipinjamkan kepada kepada wanita-wanita Madinah.
Kedua, daya beli Dirham juga relatif stabil meskipun kursnya terhadap Dinar bisa saja berfluktuasi; yang disebut baju yang indah namun tidak berlebihan untuk Aisyah yang hidup sederhana – adalah seharga 5 Dirham. Dengan 5 Dirham, sekarang Anda-pun masih bisa memperoleh baju yang relatif indah yang tidak berlebihan.
Ketiga, harga yang wajar untuk kambing standar saat itu adalah 1 Dinar; bahwasanya ‘Urwah bisa membeli dua ekor kambing dengan 1 Dinar – ini nampaknya karena kepandaian ‘Urwah berdagang sehingga beliau di do’akan secara khusus oleh Rasulullah SAW. Dua ekor kambing yang dibeli ‘Urwah kemudian salah satunya dijual lagi dengan harga 1 Dinar dan 1 ekor yang lain dipertahankan untuk keperluan qurban Rasulullah SAW – ini menguatkan fakta bahwa baik kambing yang dijual maupun yang diserahkan ke Rasulullah SAW adalah kambing yang wajar ukurannya untuk harga 1 Dinar (buktinya orang lain mau membeli 1 Dinar, dan Rasulullah-pun mau menerima kambing yang diperuntukkan sebagai hewan qurban beliau seharga 1 Dinar tersebut). Satu Dinar saat ini tetap dapat untuk membeli seekor kambing dengan standar yang baik – ini membuktikan betapa stabilnya daya beli Dinar terhadap benda riil.
Keempat, kita jadi tahu ukuran atau nilai ‘kendaraan mewah’ saat itu yaitu unta terbaik seharga 300 Dinar. Atau kalau saat ini kira-kira setara SUV menengah atas Toyota Fortuner atau Mitsubishi Pajero Sport. Nilai seperti inilah yang dijadikan qurban oleh sahabat Rasulullah SAW yang mampu seperti Umar. Jadi bila Anda tergolong orang yang mampu berqurban dengan hewan qurban pilihan; lakukanlah itu
Kelima, pelajaran yang tidak kalah menariknya adalah customary atau kebiasaan masyarakat saat itu – kapan menggunakan Dinar untuk transaksi dan kapan menggunakan Dirham.
Untuk kebutuhan transaksi yang nilainya tidak terlalu besar seperti untuk membeli baju, makanan sehari-hari dan lain sebagainya tentu tidak praktis menggunakan Dinar – maka digunakanlah Dirham. Jadi kalau sekarang-pun kita hendak mengganti uang fiat dengan uang riil untuk kebutuhan transaksi sehari-hari seperti membeli makanan dan belanja sehari-hari lainnya, Dirham insyallah akan lebih sesuai ketimbang Dinar.
Memang dengan teknologi yang kita miliki teknologi M-Dinar, bisa saja kita membeli buku di Dinarworld seharga 0.075 Dinar misalnya ; namun penggunaan Dinar untuk transaksi kecil diluar pasar yang sudah terintegrasi dengan system elektronik semacam Dinarworld dan M-Dinar ini kemungkinan masih perlu waktu untuk bisa berjalan praktis.
Diluar transaksi dengan nilai kecil tersebut, sudah sangat banyak transaksi lain yang bisa kita fasilitasi dengan menggunakan Dinar – yaitu transaksi barang/jasa yang bernilai cukup besar. Karena Islam tidak mengajari kita untuk boros, tentu transaksi yang bernilai cukup besar ini arahnya bukan untuk kebutuhan konsumtif tetapi untuk kebutuhan produktif.
‘Urwah menggunakan Dinar untuk perdagangan kambingnya dan ‘Unta Umar juga dinilai dalam satuan Dinar – ini contoh yang baik untuk penggunaan Dinar sebagai transaksi perdagangan dan sebagai timbangan yang adil atau unit of account yang saat itupun sudah praktis apalagi sekarang. Dalam bahasa ekonomi, transaksi-transaksi atau penilaian yang sudah praktis dilakukan dengan Dinar seperti dalam dua contoh hadits tersebut adalah masuk kategori transaksi barang modal.
Karena Dinar kita arahkan untuk transaksi barang modal – artinya untuk menggerakkan kegiatan produktif – bukan konsumtif , maka tema sentral yang diusung geraidinar adalah Investasi dan Proteksi Nilai. Tema inilah yang sering disalah pahami oleh pihak yang tidak bosan-bosannya mengkritisi kami, dalam pandangan mereka investasi ini diartikan sekedar membeli Dinar terus disimpan atau sekedar menumpuk Dinar untuk ditunggu naik nilainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, karena sejak awal sekali kami memperkenalkan Dinar – para pengguna Dinar sudah kami ingatkan untuk tidak menimbun. Lihat tulisan kami tanggal 25 Desember 2007 (bangun Ketahanan Ekonomi Keluarga Tetapi Jangan Menimbun) misalnya.
Justru karena kami melihat bahwa transaksi dengan menggunakan Dinar yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini adalah transaksi barang modal atau investasi tersebut, maka tidak terlepas dari gerakan sosialisasi Dinar ini – kita juga mendorong kegiatan produktif masyarakat yang bisa didanai atau digerakkan dengan Dinar.
Pesantren Wirausaha, Pinjaman Modal Usaha Tanpa Beban, Project Planet Jamur, Project Susu Kambing, Indobarter, dan Berbagai Solusi Pembiayaan Berbasis Dinar yang kami lakukan bersama BMT Daarul Muttaqiin dlsb. Dlsb. Adalah upaya konkrit untuk mendorong penggunaan Dinar untuk transaksi produktif barang modal atau investasi. Disini investasi artinya memutar asset atau menjadikan asset bergerak memutar roda kegiatan produktif lainnya.
Jadi saat ini Dinar telah secara praktis digunakan untuk kebutuhan transaksi-transaksi yang bersifat produktif, sedangkan untuk transaksi yang bersifat konsumtif – ini sebenarnya lebih tepat dilakukan dengan Dirham. Namun karena nilai Dirham saat ini masih didominasi oleh biaya cetaknya yang mahal, sementara kami belum fokuskan disini. Semoga Allah memudahkan kita kepada jalan amal sholeh yang diridloiNya…
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com
EKONOMI ISLAM/SYARI’AH
Mewujudkan Kemandirian ekonomi
Umat
Oleh :
Agustianto
Sekjen IAEI,
Dosen Pascasarjana UI, dan Anggota Pleno DSN-MUI
http://www.agustiantocentre.com/?p=962
(4-6-2011)
Kondisi ekonomi umat di Indonesia , secara umum, masih belum
mandiri, bahkan masih jauh dari kemandirian. Parameter ketidak mandirian
ekonomi umat itu terlihat pada banyak fakta dan kondisi objektif perekonomian
umat, yaitu :.
Pertama, angka kemiskinan
masih menggurita di Indonesia .
Kalau digunakan indicator kemiskian menurut ILO dimana perkapita di bawah 2
dolar sehari, maka angka kemiskinan di Indonesia mencapai 100 juta jiwa
lebih. Bagaimana bisa dikatakan mandiri, kalau kemiskinan masih
menggeluti umat. Kedua, sumber daya alam
Indoensia yang strategis umumnya dikuasai oleh asing. Minyak Bumi dikuasai oleh
asing sebesar 87 persen, Dengan demikian Indoenesia hanya menguasai 13 persen
SDA minyak bumi, Fakta ini membuat bangsa kita (yg sebagian besar umat),
tergantung kepada asing. Demikian pula hasil SDA lainnya, seperti emas dan
gas. Ketiga, kebutuhan pangan bagi rakyat yang
semakin tergantung dari import dengan tingkat ketergantungan yang semakin
tinggi. Fakta ini jelas menunjukkan ketidakmandirian pangan umat.
Keempat, lembaga produsen
yang memproduksi kebutuhan umat, hampir semuanya dikuasai minhum (non umat),
seperti kebutuhan sehari-hari sabun, shampoo, susu, odol dan hampir semua
kebutuhan sehari-hari. Peran umat sangat kecil, bahkan umat, bukan saja
marginal dalam produksi, tetapi juga marginal dalam penguasaan jalur
distribusi. Karena produsen bukan berasal dari gerakan ekonomi umat, maka
posisi umat hanya sebagai konsumen belaka.Kebutuhan konsumsi umat tergantung
kepada gerakan ekonomi lain. Seaharusnya bank-bank syariah dapat membiayai
produsen-produsen muslim.
Kelima, jumlah pengusaha
kecil dan mikro masih mendominasi di Indonesia , jumlahnya mencapai 40
jutaan. Usaha-usaha mikro dan kecil atau apa yang dikenal dengan “sector informal” atau
lebih jelas lagi self-employed
workers memiliki pendapatan yang sangat rendah. misalnya, penjual
bakso, nasi goreng keliling, penjual sayur, pedagang asongan, warteg
sederhana, pedagang kaki lima (PKL), tukang parkir, dan lain-lain yang umumnya
produktifitasnya rendah, sehingga pendapatannya pun rendah sekali.
Keenam, asset bank-bank
syariah dan lembaga keuangan syariah masih kecil, selebihnya adalah didominasai
lembaga keuangan konvensional. Merket share bank syariah baru sekitar 3 persen.
Asset yang kecil ini, tentu berdampak terhadap kecilnya peran bank syariah dan
sekaligus berimplikasi pada kecilnya upaya memandirikan umat. Selain itu,
Lembaga perbankan konvensional ini mayoritas dimiliki asing, yaitu
sekitar 67 persen, Secara makro fakta ini berpengaruh pada perwujudan
kemandirian ekonomiumat, Jika ekonomi lebih dominan dikuasai asing, maka upaya
memandirikan ekonomi umat akan terkendala.
Kendala dan
tantangan
Cita cita mewujudkan kemandirian ekonomi umat
sampai kini memang masih jauh panggang dari api. Upaya untuk
membangkitkan kemandirian itu menghadapi sejumlah tantangan dan kendala, antara
lain struktur kekuasaan yang belum pro-umat. Struktur eksisting itu
merupakan tembok terjal menuju kemandirian ekonomi umat Baik itu
kekuasaan yang ber asal dari dalam negeri (internal), kekuasaan ekonomi-politik
neoliberalisme (eksternal), ataupun penggabungan dari keduanya.
Di tengah kepungan globalisasi ekonomi saat ini,
rakyat dibiarkan sendiri bergelut dengan pasar (market) tanpa intervensi dari negara.
Rencana pencabutan subsidi BBM yang marak akhir-akhir ini merupakan fakta
aktual ketidakberdayaan negara berhadapan dengan pasar (market). Belum lagi
serangkaian perjanjian free trade seperti ACFTA. Di tengah kepungan
tersebut, seharusnya negara lebih proaktif membantu umat untuk bangkit dan
mandiri dan bukan sebaliknya, yakni melakukan pencabutan subsidi serta
membiarkan rakyat dan umat berjalan sendiri.
Memandirikan ekonomi umat
Upaya mewujudkan kemandirian ekonomi umat,
merupakan sebuah pekerjaan besar dan panjang. Pertama, membangun etos
entreprenership ummat dan membekali mereka dengan skills yang unggul dan
berdaya saing. Kedua,
melaksanakan training-training dan workshop keterampilan. Hal ini penting,
karena kualitas SDM umat masih rendah. Selain itu perlu meningkatan kualitas
pendidikan dan strata pendidikan umat melalui pendidikan
formal, Ketiga,
Jika Usaha kecil itu merupakan produduen, maka mereka harus dibantu dalam
pamasaran produk-produknya. Keempat meningkatkan kualitas produk yang
memenuhi standar sehingga. Kelima,
memberikan dukungan permodalan melalui program pemerintah, lembaga perbankan
dan keuangan mikro syariah. Keenam,
mendorong dan memotvasi umat untuk produktif di sector pertanian, pertambangan,
perkebunan, dsb, agar mereka mandiri secara ekonomi. Ketujuh, membantu
usaha kecil dn mikro dalam mengakses lembaga perbankan, baik dalam pembuatan
proposal, membuat laporan keuangan dan penerapan manajemen keuangan yang
modern.
Kedelapan, optimalisasi peran pemerintah dalam kebijakan
dan regulasi. Kebijakan pemerintah harus benar2 prorakyat (proumat). Kita harus
mendesain system ekonomi yang lebih mengikuti kaidah-kaidah prorakyat
yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan
keadilan. Inilah elan vital ekonomi syariah. Kebijakan ekonomi baik di pusat
maupun di daerah haruslah diarahkan untuk pemberdayaan umat menuju kemandirian.
Ekonomi syariah meniscayakan terwujudnya
good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan
akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk (renegoisasi) kontrak karya. Kita
harus kembali pada ajaran kemandirian yang diajarkan Umar bi Khattab,. “ Kuasai
ekonomi dan produktif-lah, kalau tidak , saya khawatir kamu akan tergantung
kepada mereka”. Semua ini dimaksudkan untuk mencapai peri kehidupan umat yang
mandiri, yang bebas, merdeka (liberty), adil (equality, justice),
dan sejahtera (prosperity).
Wirausahawan
Muda dan Peran pemerintah
Munculnya wirausahawan muda muslim dan unit usaha
yang dibentuk ormas Islam memang suata fakta yang menggembirakan, namun
skalanya masih kecil. Perlu upaya massif dari segenap stake holder umat,
utamanya pemerintah, cendikiawan (akademisi), lembaga bank-bank syariah,
lembaga pendidikan, ormas Islam dan para pengusaha besar dari umat.
Lahirnya wirauasaha muda muslim tersebut dapat menjadi titik awal terwujudnya
kemandirian tersebut.
Upaya melahirkan wirausahawan muda tersebut harus
dilaksanakan secara serius dan terprogram, terukur, dan harus terus menerus
dilakukan. Faktor utama gerakan melahirkan wirausaha muda muslim, adalah
political will pemerintah, yaitu melalui kebiajakan politik pemerintah,
sebagaimana yang dilakukan pemerintah Malaysia .
Peluang bisnis harus diberikan sebesar-besarnya
kepada rakyat (umat), demikian pula penciptaan iklim bisnis yang kondusif,
regulasi yang pro rakyat, dsb. Akademisi, ulama dan pegiat ekonomi
syariah serta LKS harus ikut sebagai penggerak dan terlibat langsung dalam
program melahirkan wirausahawan. Bukankah Nabi selalu bersabda, tentang
perlunya (wajibnya) mengembangkan entrepreneurship dalam kegaiatan ekonomi
(HR.Ahmad) Langkah penting lainnya yang harus dilakukan adalah program training
dan workshop dengan biaya utamanya dari pemerintah, baik Kementerian Koperasi,
social, industry, perdagangan dan lembaga terkait, seperti Bapenas.
Peran pondok
pesantren
Upaya pesantren dan komunitas yang mengajaarkan
ketrampilan usaha perlu didukung. Program tersebut perlu semakin diperluas di
pesantren-pesantren lain, agar memberikan dampak yang signifikan dalam
penciptaan wirausaha muda muslim. Secara bertahap program ini berdampak pada
munculnya pemuda-pemuda yang mandiri. Para
pimpinan pondok pesanren yang belum melaksanakan program tersebut perlu diberi
wawasan agar tergerak untuk menyiapkan munculnya wira usaha muda muslim. Namun
jumlah pesantren yang menyiapkan munculnya wira usaha tersebut belum terlalu
banyak. Padahal Jika 15.000 pesantren di Indonesia melakukan program terset,
maka sedikit banyaknya akan berdampak pada lahirnya pemuda wira uasahaan yang
mandiri.
Peranan
lembaga keuangan Islam.
Sebagaimana saya sebut di atas, Lembaga perbankan
dan keuangan syariah sangat berperan mendukung terbangunnya kemandirian ekonomi
umat. Lembaga BPR Syariah seharusnya terdapat di tiap kabupaten kota . Sekarang jumlah BPR
Syariah baru sekitar 149, berarti masih banyak kabupaten dan kota yang belum memiliki BPR Syariah.
Selain BPR Syariah, BMT, juga memiliki peran yang sangat penting. Kita
sekarang sedang menggerakkan popgram SDSB Satu Desa Satu BMT. Jika kita
memotret sebuah BMT Desa yang terdapat di desa Sidogiri Jawa Timur, niscaya
gerakan kemandirian ekonomi umat akan berjalan sukses dan berdampak besar. BMT
UGT di Sidogiri telah memberdayakan 60.000 nasabah. Assetnya sudah mencapai Rp
230 milyard, jauh melebihi asset rata-rata BPR Syariah. Belum termasuk koperasi
pesantren yang telah meiliki 32 mini market, semacam indomaret dan alfamart.
Lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah ini, sudah seharusnya berupaya
keras untuk memandirikan ekonomi umat. Untuk itu masyarakat, aghniyah, ulama
dan pemerintah daerah seharusnya mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga
keuangan mikro syariah, seperti BPR Syariah dan BMT, serta koperasi syariah.
Program pendampingan kepada usaha kecil dan mikro perlu dilakukan, demikian
pula penciptaan kelompok usaha bersama melalui BMT, harus diteruskan dan
diperluas oleh pemerintah(Depsos),
Bank-bank syariah baik bank umum maupun unit usaha
syariah seharusnya juga didukung segenap kaum musulimin Indonesia , agar
besaran market sharenya meningkat yg pada gilirannya akan berdampak pada
kemandirian ekonomi umat. Kita harapkan kepada bank-bank syariah untuk tetap
dan terus pro kepada umat agar ekonomi umat mandiri dan sejahtera. Selama ini,
pembiayaan bank-bank syariah 70 persen sudah diperuntukkan bagi usaha kecil.
Rabu, 02 Mei 2007 07:49
Asa Ekonomi Bagi Ormas Islam
Oleh Ahmad Suaedy*
Kritik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terhadap Muhammadiyah pada pembukaan Tanwir organisasi Islam itu di Yogyakarta (26/4) menarik disimak, bukan hanya oleh Muhammadiyah sendiri tetapi juga oleh organisasi massa Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama (Jurnal Nasional, 27/4).
Kritik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terhadap Muhammadiyah pada pembukaan Tanwir organisasi Islam itu di Yogyakarta (26/4) menarik disimak, bukan hanya oleh Muhammadiyah sendiri tetapi juga oleh organisasi massa Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama (Jurnal Nasional, 27/4).
Menurut Presiden, meskipun Muhammadiyah banyak sumbangannya dalam
pendidikan dan kesehatan tetapi belum maksimal dalam peningkatan ekonomi
rakyat. Yang menarik pula dari kritik itu, Presiden tidak hanya menempatkan
peningkatan ekonomi sebagai tantangan untuk keluar dari kemiskinan melainkan
juga agar Indonesia bisa lepas dari dominasi kapitalisme global.
Membaca kritik itu, ingatan kita segera melayang ke latar belakang
munculnya ormas-ormas Islam awal abad yang lalu. Semua organisasi itu pada awal
kemunculannya diinspirasi oleh di samping kondisi kemiskinan juga untuk
memerdekakan diri dari kolonialisme.
Dimulai dari Serikat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi dagang yang
dipelopori kalangan saudagar Islam di Surakarta awal abad yang lalu. Ia
dilatari politik kolonial yang lebih memberikan kesempatan kepada Belanda dan
etnis China dengan serta merta mempersulit – menutup - peluang pedagang
pribumi. Langkah SDI ini ternyata mengobarkan semangat kalangan saudagar
pribumi untuk merebut kesempatan dan menuntut antidiskriminasi bagi semua
sektor perdagangan.
NU pada mulanya dirintis dari sayap ekonomi, yaitu Nahdlatul Tujjar (NT)
sekitar tahun 1915-an sebagai usaha meningkatkan kemampuan usaha bagi ummatnya
dan bersaing dengan pedagang kulit putih dan etnis China. Akan halnya
Muhammadiyah, meskipun ia dirintis dari pendidikan dan kesehatan tetapi usaha
meningkatkan ekonomi tidak diabaikan sama sekali. Berbagai industri batik di
Pekalongan dan pengecoran besi di Klaten tidak lepas dari campur tangan
kalangan Muhammadiyah dan NU.
Masalahnya, meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad
tetapi kini tantangan jauh lebih berat dari dulu dalam dua konteks tersebut,
meningkatkan ekonomi rakyat dan lepas dari kungkungan kapitalisme global.
Kontradiksi politik industrialisasi
Industrialisasi memang tidak bisa dipungkiri bagi sebuah bangsa yang ingin maju, demikian pula Indonesia. Tetapi industrialisasi tanpa politik keperpihakan kepada rakyat akan membuat mereka terhimpit dan kehilangan napas.
Industrialisasi memang tidak bisa dipungkiri bagi sebuah bangsa yang ingin maju, demikian pula Indonesia. Tetapi industrialisasi tanpa politik keperpihakan kepada rakyat akan membuat mereka terhimpit dan kehilangan napas.
Dalam acara berkumpul seperti arisan dan tahlilan, dan bahkan untuk
kebutuhan rumah tangga sehari-hari, kita akan menemukan air meneral, makanan
kecil, kopi, teh, semua dalam kemasan pabrik. Rakyat dimanjakan dengan produk
serba instan.
Kita tidak menentang model-model kemasan yang menarik dan praktis supaya
lebih efisien, bersih, tetapi apa peran masyarakat dalam industrialisasi.
Praktis, mereka adalah konsumen semata. Sementara harga hasil pertanian yang
menjadi tulang punggung penghidupan mereka terus menurun dari segi nilai tukar,
pada saat yang sama mereka dipaksa melakukan pengeluaran ekstra untuk kemasan
hasil produksi pabrikan.
Kalau peluang ekonomi yang paling dekat dengan mereka saja, yaitu makanan,
tidak lagi ada peluang akses untuk ikut dalam proses guna peningkatan nilai tambah
ekonomi, apalagi yang lebih jauh seperti industri garmen, mesin dan industri
berat.
Industri Rumahan
Berbagai inisiatif telah dilakukan masyarakat sebagai kiat menghindari ganasnya industrialisasi yang tanpa keperpihakan, seperti industri kecil dengan memanfaatkan alam di sekitar mereka, seperti tapas (kulit serabut) pohon kelapa, kulit kelapa, kulit pohon pisang, lidi, kayu dan sebagainya.
Berbagai inisiatif telah dilakukan masyarakat sebagai kiat menghindari ganasnya industrialisasi yang tanpa keperpihakan, seperti industri kecil dengan memanfaatkan alam di sekitar mereka, seperti tapas (kulit serabut) pohon kelapa, kulit kelapa, kulit pohon pisang, lidi, kayu dan sebagainya.
Namun sebagian besar mereka, sangat tergantung pada pasar ekspor. Ini
karena pasar dalam negeri tidak mampu menyerap industri kecil yang berorientasi
hobi dan kelangenan dengan marjin yang menjamin kelanjutan usaha.
Hemat saya,
ada dua tantangan pokok peningkatkan ekonomi rakyat dan melindungi mereka dari
kapitalisme global. Pertama, secara politik harus ada keperpihakan dalam
industrialisasi yang memberikan akses dan kesempatan kepada rakyat untuk ikut
dalam proses industrialisasi. Kedua, harus ada usaha mencari jalan atas
kreativitas masyarakat dalam industri kerajinan maupun hasil pertanian bagi
peluang ekspor, sehingga mereka memperoleh marjin yang cukup untuk hidup
berkelanjutan. Orientasi yang terlalu besar pada penyediaan modal tanpa
diimbangi peluang pasar, justeru berisiko menjebak mereka pada hutang yang tak
terbayar.
Ini saatnya
ormas Islam untuk menempatkan diri kembali dalam usaha meningkatkan ekonomi
rakyat dan merebut kesempatan dari monopoli kapitalisme global. Kritik presiden mestinya menjadi asa bagi ormas Islam
untuk ini.
Penulis adalah Direktur Eksekutif the
WAHID Institute.
Ditulis
oleh Agustianto
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali
meresmikan pembukaan Festival Ekonomi Syariah di Plenary Hall, Jakarta Convention Center , Rabu, 4 Februari
2009. Perhelatan ekonomi syariah terbesar ini dilaksanakan sejak tanggal 4
Februari sampai 8 Februari 2009. Festival ini merupakan rangkaian
kegiatan pameran, hiburan, lomba dan seminar yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia (BI) dan Islamic Bank (IB) dengan mengangkat tema "Indonesia
Bisa Lebih Sejahtera". Bank Indonesia terhitung sudah dua kali
melaksanakan kegiatan Festival Ekonomi Syariah. Yang pertama dilaksanakan pada
tahun 2008 di tempat yang sama dan juga dibuka oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Tak bisa dibantah, bahwa Festival Ekonomi Syariah
adalah suatu kegiatan yang penting dan signifikan dalam upaya sosialisasi dan
edukasi ekonomi dan bank syariah kepada publik. Karena itu, Festival Ekonomi
Syariah, hendaknya tidak saja terpusat di Jakarta, tetapi di seluruh wilayah
dan daerah Indonesia, agar program edukasi bank syariah secara khusus dan
ekonomi syariah secara umum lebih meluas kepada masyarakat di pelosok negeri
Tulisan ini akan memaparkan sejarah Festival Ekonomi Syariah di Indonesia sebagai refleksi dan bahan pemikiran bagi para pegiat ekonomi syariah di daerah, baik pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah), IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), ASBISINDO, Perguruan Tinggi, MUI dan ormas Islam lainnya. Harapan dari tulisan ini adalah agar kegiatan Festival Ekonomi Syariah atau apapun namanya (Ekonomi Syariah Fair atau Ekonomi Syariah Expo atau Bandung Syariah Expo), dapat dilaksanakan di berbagai daerah dengan mencontoh daerah yang telah sukses menyelenggrakannya.
Tulisan ini akan memaparkan sejarah Festival Ekonomi Syariah di Indonesia sebagai refleksi dan bahan pemikiran bagi para pegiat ekonomi syariah di daerah, baik pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah), IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), ASBISINDO, Perguruan Tinggi, MUI dan ormas Islam lainnya. Harapan dari tulisan ini adalah agar kegiatan Festival Ekonomi Syariah atau apapun namanya (Ekonomi Syariah Fair atau Ekonomi Syariah Expo atau Bandung Syariah Expo), dapat dilaksanakan di berbagai daerah dengan mencontoh daerah yang telah sukses menyelenggrakannya.
Ekonomi
Syariah : Perspektif Historis
Festival ekonomi Syariah pertama kali dilaksanakan diMedan , pada tahun 2002, dengan berbagai
kegiatan promosi yang luar biasa, dan banyak kegiatan promosi, seminar,
workshop, tabligh akbar, perlombaan, pawai akbar, peluncuran buku, dan bedah
buku yang berlangsung selama 1 bulan penuh. Kegiatan itu terus
menerus dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya di Medan .
Festival Ekonomi Syariah pertama dan terbesar diIndonesia itu bertemakan,
“Pencanangan Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara”. Rangkaian acaranya berlangsung
sejak tanggal 14 Maret 2002 sd 20 Mei 2002. Masa Festival
berlangsung total 70 hari. Festival Ekonomi Syariah ini
menggelar banyak agenda acara spektakuler.
Gaung Festival Ekonomi Syariah Sumatera Utara ini benar-benar luar biasa. Pengunjung membludak dan padat. Dari segi publikasi, ratusan bahkan mencapai 500an spanduk dan baliho di pasang di setiap tempat keramaian, pasar, masjid, Perguruan Tinggi, tempat-tempat pemasangan spanduk. Boleh dikatakan spanduk dipasang setiap jarak 100 sampai 200 meter. Beberapa baliho raksasa di pasang di pusat-pusatkota .
Pendeknya masyarakat Medan benar-benar DEMAM Ekonomi Syariah saat itu.
Media massa cetak dan elektonik (TV dan Radio) turut menyemarakkan
Festival Ekonomi Syariah itu. Semua unsur masyarakat Islam dilibatkan, puluhan
ormas Islam (seluruh remaja masjid), sekolah (SMP-SMU), belasan perguruan
Tinggi terbesar, pemerintah daerah sampai ke tingkat kelurahan, dan masyarakat
ekonomi syariah secara luas.
Dampaknya juga luar biasa yang bisa dikur dari pertumbuhan asset lembaga keuangan syariah, persentase persepsi masyarakat tentang bunga bank dan market share bank syariah Sumatera Utara dibanding market share daerah lain dan market share bank syariah secara nasional.
Selain itu, Bank Muamalat Cabang Medan pasca Festival itu menjadi Bank Muamalat terbaik se Indonesia, terutama dari segi pertumbuhan dan laba. Demikian pula Kantor KAS Bank Muamalat yang didirikan di Medan langsung menjadi kantor KAS terbaik se-Indonesia dari segi pengumpulan dana pihak ketiga. Jauh melampaui target. Hal ini berlangsung selama 3 tahun berturut.
Kerjasama yang dibangun benar-benar menunjukkan ukhuwah dan kebersamaan semua lapisan masyarakat. Logo organisasi dan instansi yang dipajang juga berjumlah besar, mencapai 30an logo diluar bank dan lembaga keuangan syariah. Sehingga semua masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk kesuksesan acara ekonomi syariah.
Fenomena ini jauh berbeda dengan Festival Ekonomi Syariah yang digelar di Jakarta. Sehingga kesannya, penyelengara hanya Bank Indonesia dan bank-bank syariah. Logo ormas dan assosiasi tidak masuk, karena tidak memberikan konstribusi dana. Padahal peran kesuksesan bukan hanya melalui dana, tetapi juga tenaga, pikiran dan massa yang besar. Tampilan logo dipublikasi mengesankan, bahwa tanggung jawab mengembangkan bank syariah hanya ada pada Bank Indonesia dan bank-bank syariah. Inilah kesalahan fatal gerakan akselerasi bank syariah. Padahal tangung jawab untuk mengembangkan bank syariah dan ekonomi Islam menjadi kewajiban setiap muslim. Maka, pada FES ini, tak ada ormas Islam yang dilibatkan secara langsung untuk menyukseskan acara ini. (NU, Muhammadiyah, MUI, Dewan Masjid, BKPRMI dan banyak lagi. Apalagi melibatkan jamaah masjid (Dewan Masjid dan BKPRMI). Tak satupun assosiasi penting di negeri ini yang diajak maju bersama. mengkampanyekan ekonomi Islam pada momentum FES . Kalaupun ada diberi peluang untuk berseminar, hanya sekedar itu. Keberadaannya tidak dianggap sebagai panitia yang bertanggung jawab untuk kesuksesan acara.
Panitia FES juga tak ada kerjasama dengan ratusan majlis ta’lim dan majlis zikir . Tak ada kerjasama dengan Gubernur DKI dalam menghadirkan massa. Tidak ada kerjasama dengan dinas pendidikan DKI Jakarta dan Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta. Kedua institusi ini bisa bisa mengintruksikan kepada para kepala sekolah untuk mengerahkan massa menghadiri Festival Ekonomi Syariah.
Selain itu, seyogianya, ribuan masjid di Jabodetabek mengumumkan acara FES selama 3 jumatan berturut-turut pada momentum shalat jumat. Poster juga harusnya di pajang di seluruh masjid dan pesantren, Perguruan Tinggi, sekolah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta. Jadi iklan bukan hanya di kompas dan Republika atau di TV secara selintas.
Kembali kepada sejarah Festival Ekonomi Syariah di Medan Perlu dicatat Kegiatan Festival Ekonomi Syariah terbesar ini dimotori oleh IAIN-Sumatera bekerjasama dengan Bank-bank Syariah dan Pemerintah Sumatera Utara, tanpa sedikitpun bantuan Bank Indonesia. Bank Indonesia saat itu sangat sulit diajak kerjasama karena berbagai faktor.
Yang terjadi di Medan, adalah IAIN mengajak bank-bank syariah mengadakan Festival.. Karena IAIN bertanggung jawab untuk melaksanakan syariah dan membumikanya di Indonesia. Acara itu sukses secara spektakuler. Semua elemen masyarakat dilibatkan. Tidak ada yang ingin menonjol sendiri, tetapi maju bersama. Adapun kegiatan-kegiatan ekonomi syariah yang digelar sepanjang lebih dari 2 bulan itu ialah :
1. Pada tahun 2002 itu, kegiatan Ekonomi Syariah EXPO (Pameran Ekonomi Islam) berlangsung selama 1 (satu) bulan penuh, mengambil tempat di Medan Fair atau biasa juga disebut Pekan Raya Sumatera Utara. Ekonomi Syariah Expo ini dikunjungi dan dipadati puluhan ribu pengunjung. Jumlah dan kepadatan pengunjung melebihi Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Centre (JCC). Meskipun jumlah bank syariah masih sedikit, hanya ada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, namun jumlah stand cukup banyak, karena melibatkan seluruh BPR Syariah, BMT, Asuransi Takaful, dan Usaha Sektor Riil Syariah yang berasal dari para nasabah bank syariah, Perguruan Tinggi, Lembaga Assosiasi dan sebagainya. Padatnya pengunjung disebabkan manajemen pengarahan massa dilakukan secara canggih. Seluruh agenda kegiatan FES diumumkan di seluruh masjid pada setiap shalat jumat. Sekolah dan pesantren diundang dan dimobilisasi. Demikian majlis ta’lim dan Perguruan Tinggi. Di masjid-masjid dan kampus ditempel poster publikasi Festival Ekonomi Syariah. Radio dan TV dioptimalkan. Dialog Ekonomi syariah Di TVRI diadakan tentang Festival Ekonomi syariah.
2. Festival Ekonomi Syariah di Medan ini juga menyelenggarakan Seminar Nasional “Ekonomi Syari’ah dan Pemberdayaan Wakaf Produktif pada tanggal 1 - 2 Mei 2002, menghadirkan 16 Pembicara Nasioanal/ Internasional di Asrama Haji Medan. Kegiatan ilmiah yang berlangsung selama dua hari ini dihadiri 300 peserta dari berbagai daerah, baik Sumatera Utara maupun di luar propinsi Sumut. Pada seminar ini sebagai pembicara antara lain, Prof.Dr.M.Dawam Raharjo, Prof.Dr.M.Amin Aziz, Prof.Dr.M.Yasir Nasution, Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, Dr. Uswatun Hasanah, Dr. Adi Sasono, Prof. Dr. M.A,Mannan, Prof. Dr. Monzer Kahf, Drs.Muhammad Hidayat, MBA (DSN), Prof.Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA, Ir.Adiwarman Karim, MA, MAEP, John Tafbu Ritonga, M.Ec, Bapak Hilmi, SE (Mantan pejabat Seniar Bank Indonesia), dan Ahmad Bukhari dari Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. Bagi masyarakat akademis, seminar ini dipandang cukup penting dalam membuka cakrawala akademis untuk pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, baik studi akademis maupun di lapangan.
3. Kegiatan ketiga Festival Ekonomi Syariah ialah acara Internasional Seminar on Dinar Dirham as Solution, oleh FKEBI (Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam) IAIN Medan, dan Yayasan Dinar Dirham, pada tanggal 14 Maret 2002 di Hotel Garuda Plaza Medan. Seminar ini juga menghadirkan banyak pakar dari luar negeri. Di antaranya dari Skotlandia dan dua orang pembicara asal Malaysia yang merupakan penasehat ekonomi PM Malaysia saat itu. Pembicara dari Indonesia adalah Bapak Dr. Adi Sasono, dan lain-lain.
4.Kegiatan yang sangat spektakuler dan paling meriah adalah Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1423 H. Perlu dicatat, bahwa Festival Ekonoimi Syariah yang diselenggarakan di Medan berkaitan dengan Penyambutan Tahun Baru Islam. Kegitan pawai akbar ini mirip dengan Fun Walk yang digelar Bank Indonesia pada Festival Ekonomi Syariah 2008 dan 2009. Cuma dari segi jumlah massa, Pawai akbar ekonomi syariah Sumatera Utara jauh lebih besar, karena pawai akbar ini diikuti belasan ribu, bahkan 17.000 dari berbagai lapisan dan unsur masyarakat. Padahal seharusnya jalan santai di Jakarta jauh lebih ramai, karena dilaksanakan di ibukota, bukan di daerah. Jadi jika dievaluasi kegiatan FES yang ada di Jakarta, masih jauh dari yang diharapkan.
Pawai akbar di Sumatera melibatkan belasan ribu massa dari berbagai lapisan, (Perguruan Tinggi, Sekolah, Ormas Islam, praktisi Lembaga Perbankan dan Keuangan Syari’ah, jajaran Pemerintah sejak kelurahan, kecamatan, seluruh dinas pemerintah di Pemko Medan, partai politik Islam, lembaga-lembaga zakat, Sekolah dan Madrasah, Pesantren, seluruh remaja mesjid (BKPRMI), dsb. Dengan melibatkan semua unsur ummat tersebut, jelas sekali, kalau jumlah peserta pawai akbar ekonomi Islam mencapai 17.000an orang.
Yang sangat luar biasa dalam kegiatan FES Sumatera Utara ini adalah kerjasama hampir seluruh Lembaga Islam di Sumatera Utara, belasan Perguruan Tinggi, MUI, ORMAS-ORMAS Islam, BAZIS, BMT, BPRS, pesantren, pengusaha, pemerintah propinsi Sumut, pemerintah kota Medan, Departemen Agama, bahkan partai Politik Islam. Hampir tidak ada unsur masyarakat Islam yang tak terlibat. Pendeknya dalam kegiatan ini terdapat 30 pendukung aktif yang masuk sebagai sponsor.
Route pawai akbar ekonomi Islam ini mulai dari Masjid Agung (Kantor Gubernur Sumatera Utara) sampai halaman masjid Ulul Albab IAIN-Sumatera Utara. Pada Pawai Akbar kedua tahun 2003, Route diubah menjadi dari Masjid Agung ke Majid Raya Medan.
5. Festival Ekonomi Syariah pertama dan terbesar ini juga menggelar Tabligh Akbar Ekonomi Syari’ah di Istana Maimun yang dihadiri puluhan ribu jama’ah dan disponsori oleh lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah. Ceramah disampaikan oleh H A. Abdullah Gymnarniar (AA Gym) dari Bandung. Pada momentum ini hadir banyak pejabat dan ormas Islam, tokoh masyarakat dari berbagai lembaga, pengusaha. Bank Muamalat dan Dewan Perdagangan Islam, merupakan sposnor utama acara ini.
6. Pada momentum FES 2002 ini juga diresmikan dan dilantik Dewan Perdagangan Islam Sumatera Utara oleh Gubernur Sumatera Utara. Dewan Perdagangan Islam merupakan hasil kerjasama dengan Dewan Perniagaan Islam Malaysia. Boleh dikatakan, bahwa inilah Assosiasi pengusaha muslim pertama setelah Syarikat Dagang Islam tahun 1911.
7. Kegiatan FES selanjutnya ialah Peluncuran Dua buah Buku, yaitu Buku Prospek Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Percikan Pemikiran Ekonomi Islam karya Agustianto
8. Lomba Pidato ekonomi Islam tingkat Mahasiswa, Pesantren dan SMU di Medan Fair Plaza. Lomba Karya Tulis Ekonomi Syari’ah
Kegiatan Tahunan
Kegiatan FES tersebut digelar setiap tahun di Sumatera Utara mulai tahun 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008. dengan berbagai kegiatan yang sering dipadati pengunjung. Kegiatan FES Sumatera Utara kedua dilaksanakan pada tahun 2003 dengan menggelar beberapa kegiatan, seperti :
a. Tabligh Akbar Ekonomi Syari’ah Empat Propinsi bersama K.H.Ma’ruf Amin (Ketua DSN MUI) di Gelanggang Mahasiswa IAIN_SU dan Orasi Ekonomi Syariah oleh Drs.Agustianto,MA.
b. Peresmian Badan Waqaf Sumatera Utara oleh Menteri Agama Republik Indonesia, 2 April 2003. Perlu dicatat inilah Badan Waqaf Pertama di Indonesia yang didirikan berdasarkan wilayah propinsi. Badan Waqaf ini jauh mendahuli lahirnya Badan Waqaf Indonesia dalam skala nasional.
c. Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara, 29 Maret 2003. Para peserta sama persis dengan Pawai Akbar pertama tahun 2002.
Kegiatan FES Ekonomi Syari’ah Ke 3 Propinsi Sumatera Utara tahun 2004. dengan menggelar beberapa agenda acara :
a. Malam Penggalangan Dana Cash Wakaf dan Silaturrahmi Pengusaha Muslim, ulama dan Birokrat
b. Peluncuran Buku Wakaf Produktif bersama Gubernur
c. Lounching Pembukaan Unit Usaha Syari’ah PT Bank Sumut
d. Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara, yang melibatkan 15,000an masyarakat dari berbagai unsur masyarakat
e. “Economi Syari’ah CUP” yaitu pertandingan olahraga sesama masyarakat Ekonomi Syariah, yang melibatkan seluruh karyawan Lembaga Keuangan dan Perbankan syari’ah, serta Akademisi Ekonomi Syari’ah di Lapangan.GOR (Gedung Olahraga) USU, Universitas Sumatera Utara.
Pada tahun 2005, kota Medan kembali disemarakkan oleh kegiatan besar ekonomi syariah internasional, yaitu dengan dilaksanakannya Muktamar Pertama Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) di Medan, tepatnya tanggal 18 – 19 September 2005 di Hotel Garuda Plaza. Muktamar yang dirangkai dengan Seminar Internasional itu dihadiri lebih dari 300 peserta dari seluruh Indonesia yang merupakan utusan Perguruan Tinggi dan pemerintah setiap propinsi. Para pembicara didatangkan dari dalam dan luar negeri, seperti dari Mesir, USA, Bangladesh dan Malaysia.
Selanjutnya, pada tahun 2007 kegiatan besar kembali digelar dengan nama Ekonomi Syariah Fair 2007 yang dibuka langsung Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla dan dihadiri Gubernur bank Indonesia dan sejumlah Menteri. Kegiatan ini berlangsung selama tiga minggu sehingga banyak menyerap pengunjung. Dampaknya, market share bank syariah di Sumut meningkat secara fantastis dalam 1 bulan pasca acara, dari 1,9 menjadi 2,7 persen. Sementara di tingkat nasional, market share masih jauh tertinggal, belum menembus angka 1,8 persen saat itu.
Kegiatan Syariah EXPO di Sumetera Utara itu selanjutnya dikembangkan secara nasional di Jakarta yang dibawa oleh pegiat ekonomi syariah Medan berdasarkan pengamalan Medan selama bertahun-tahun mengelola Festival Ekonomi Syariah. Selanjutnya event Ekonomi Syariah Expo dipundakkan kepada MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Mulanya, rencana kegiatan ISE (Indonesia Syariah Expo) itu dibicarakan pada rapat pengurus IAEI awal Agustus 2005 di Universitas Indonesia menjelang Muktamar Ikatan Ahli Ekonomi Islam di Medan. Rapat IAEI itu dihadiri oleh para pegurus IAEI ; Prof.Syofyan Syafri Harahap, Aries Mufti, M.Syakir Sula, Mustafa Edwin Nasution, Dr.Uswatun Hasanah, Agustianto dan sejumlah pengurus IAEI lainnya, seperti Nurul Huda, Tatik Maryanti (Trisakti), dan lain-lain. Rapat itu telah menyepakati diadakannya FES atau Indonesia Syariah Expo yang dimotori oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).
Pada rapat itu dibagi tugas pengembangan ekonomi syariah. Karena pengurus IAEI juga adalah pengurus MES dan pengurus MES juga adalah pegurus IAEI. Namun, focus penekanannya berbeda. IAEI lebih focus pada pengembangan pendidikan melalui dunia akademis, sedangkan MES pada kegiatan yang lebih besar dan luas dari itu, seperti Expo dan Eksebisi. Maka EXPO ditangani oleh MES, sedangkan IAEI lebih focus pada pendidikan Ekonomi Islam dan studi akademis. Maka sejak tahun 2007, MES menggelar Indonesia Syariah Expo yang gaungnya juga angat hebat dan dampaknya sangat besar. Indonesia Syariah Expo kedua dilaksanakan oleh MES pada tahun 2008, bekerjasama dengan beberapa assosiasi ekonomi syaroiah lainnya, seperti IAEI, ASBISINDO, ASBINDO, PKES dan lain-lain.
Bank Indonesia baru memulainya pada 2008 sebagai upaya untuk meningkatkan peran sistem keuangan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional. Selanjutnya pada 4 sd 8 Februari Bank Indonesia, kembali menggelar Festival Ekonomi Syariah kedua di Jakarta Convention Centre. Demikian sekilas tentang sejarah Festival Ekonomi Syariah di Indonesia. Semoga bermanfaat.
Penutup
Festival Ekonomi Syariah (FES) merupakan ajang promosi, edukasi dan sosialisasi yang cukup penting bagi gerakan dan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. FES merupakan momentum paling strategis dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Karena itu, acara Fstival Ekonomi Syariah hendaknya dilaksanakan di seluruh daerah Indonesia. Tahun 2008 lalu, beberapa daerah sudah mulai menggelar Festival Ekonomi Syariah, seperti Surabaya, Ujung Pandang, Balik Papan, Palembang dan beberapa daerah lainnya. Namun manajemennya harus ditingkatkan secara lebih profesional dan merangkul banyak kalangan massa. Majlis Ulama dan Perguruan Tinggi harus menjadi pelopor di depan bersama Bank Indonesia dan Bank-Bank Syariah. Pemerintah propinsi wajib dilibatkan secara aktif, baik dalam masalah dana maupun massa.
Sejarah Festival Ekonomi Syariah ini dibentangkan dalam sebuah tulisan, dengan tujuan agar masyarakat di daerah dapat meniru kegiatan serupa, sehingga seluruh propinsi bisa mengelar Festival Ekonomi Syariah. Mengapa masyarakat Sumatera Utara bisa melaksanakannya dengan rentang waktu yang panjang dan rangkaian kegiatan yang banyak. Daerah-daerah lain perlu belajar dan meniru Festival Ekonomi Syariah yang pernah digelar dengan sukses di Medan. Kalaupun pada tahun 2008 ada Festival Ekonomi Syariah di sebagian kecil daerah, hal itu terwujud berkat peranan Bank Indonesia. Harusnya Masyarakat Ekonomi Syariah di daerah bergerak dan bangkit, meskipun tanpa bantuan Bank Indonesia. Namun, jika Bank Indonesia di daerah mau membantu, tentu hal itu jauh lebih baik. Saya menyampaikan ini kepada teman-teman di seluruh daerah di Indonesia, agar jangan terlalu menggantungkan kegiatan ekonomi syariah kepada Bank Indonesia, meskipun Bank Indonesia di daerah harus diajak.
Di masa depan, Bank Indonesia didesak untuk menggandeng para assosiasi ekonomi syariah dan kalau perlu menyerahkan pelaksanaan FES kepada assosiasi yang memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan ekonomi syariah. Dengan demikian, kegiatan FES tidak perlu dilaksanakan dua kali setahun. Selama ini, kegiatan expo menjadi dua kali, yaitu dilaksanakan oleh MES dengan nama Indonesia Syariah Expo dan Bank Indonesia dengan nama Festival Ekonomi Syariah. Kedua Festival ekonomi syariah harus disatukan, sehingga bank-bank syarah tidak kehabisan energi. Bank Indonesia hendaknya jangan tampil sendirian, tetapi secara bersama-sama dengan penggiat ekonomi syariah lainnya menggelar kegiatan tersebut. Ingat, bersama kita bisa, bersatu kita teguh dan kuat.Al-Ittihadu Quwwatun. Wassalam
(Penulis adalah Sekjen IAEI dan mantan Sekjen Festival Ekonomi Syariah Sumatera Utara
Festival ekonomi Syariah pertama kali dilaksanakan di
Festival Ekonomi Syariah pertama dan terbesar di
Gaung Festival Ekonomi Syariah Sumatera Utara ini benar-benar luar biasa. Pengunjung membludak dan padat. Dari segi publikasi, ratusan bahkan mencapai 500an spanduk dan baliho di pasang di setiap tempat keramaian, pasar, masjid, Perguruan Tinggi, tempat-tempat pemasangan spanduk. Boleh dikatakan spanduk dipasang setiap jarak 100 sampai 200 meter. Beberapa baliho raksasa di pasang di pusat-pusat
Dampaknya juga luar biasa yang bisa dikur dari pertumbuhan asset lembaga keuangan syariah, persentase persepsi masyarakat tentang bunga bank dan market share bank syariah Sumatera Utara dibanding market share daerah lain dan market share bank syariah secara nasional.
Selain itu, Bank Muamalat Cabang Medan pasca Festival itu menjadi Bank Muamalat terbaik se Indonesia, terutama dari segi pertumbuhan dan laba. Demikian pula Kantor KAS Bank Muamalat yang didirikan di Medan langsung menjadi kantor KAS terbaik se-Indonesia dari segi pengumpulan dana pihak ketiga. Jauh melampaui target. Hal ini berlangsung selama 3 tahun berturut.
Kerjasama yang dibangun benar-benar menunjukkan ukhuwah dan kebersamaan semua lapisan masyarakat. Logo organisasi dan instansi yang dipajang juga berjumlah besar, mencapai 30an logo diluar bank dan lembaga keuangan syariah. Sehingga semua masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk kesuksesan acara ekonomi syariah.
Fenomena ini jauh berbeda dengan Festival Ekonomi Syariah yang digelar di Jakarta. Sehingga kesannya, penyelengara hanya Bank Indonesia dan bank-bank syariah. Logo ormas dan assosiasi tidak masuk, karena tidak memberikan konstribusi dana. Padahal peran kesuksesan bukan hanya melalui dana, tetapi juga tenaga, pikiran dan massa yang besar. Tampilan logo dipublikasi mengesankan, bahwa tanggung jawab mengembangkan bank syariah hanya ada pada Bank Indonesia dan bank-bank syariah. Inilah kesalahan fatal gerakan akselerasi bank syariah. Padahal tangung jawab untuk mengembangkan bank syariah dan ekonomi Islam menjadi kewajiban setiap muslim. Maka, pada FES ini, tak ada ormas Islam yang dilibatkan secara langsung untuk menyukseskan acara ini. (NU, Muhammadiyah, MUI, Dewan Masjid, BKPRMI dan banyak lagi. Apalagi melibatkan jamaah masjid (Dewan Masjid dan BKPRMI). Tak satupun assosiasi penting di negeri ini yang diajak maju bersama. mengkampanyekan ekonomi Islam pada momentum FES . Kalaupun ada diberi peluang untuk berseminar, hanya sekedar itu. Keberadaannya tidak dianggap sebagai panitia yang bertanggung jawab untuk kesuksesan acara.
Panitia FES juga tak ada kerjasama dengan ratusan majlis ta’lim dan majlis zikir . Tak ada kerjasama dengan Gubernur DKI dalam menghadirkan massa. Tidak ada kerjasama dengan dinas pendidikan DKI Jakarta dan Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta. Kedua institusi ini bisa bisa mengintruksikan kepada para kepala sekolah untuk mengerahkan massa menghadiri Festival Ekonomi Syariah.
Selain itu, seyogianya, ribuan masjid di Jabodetabek mengumumkan acara FES selama 3 jumatan berturut-turut pada momentum shalat jumat. Poster juga harusnya di pajang di seluruh masjid dan pesantren, Perguruan Tinggi, sekolah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta. Jadi iklan bukan hanya di kompas dan Republika atau di TV secara selintas.
Kembali kepada sejarah Festival Ekonomi Syariah di Medan Perlu dicatat Kegiatan Festival Ekonomi Syariah terbesar ini dimotori oleh IAIN-Sumatera bekerjasama dengan Bank-bank Syariah dan Pemerintah Sumatera Utara, tanpa sedikitpun bantuan Bank Indonesia. Bank Indonesia saat itu sangat sulit diajak kerjasama karena berbagai faktor.
Yang terjadi di Medan, adalah IAIN mengajak bank-bank syariah mengadakan Festival.. Karena IAIN bertanggung jawab untuk melaksanakan syariah dan membumikanya di Indonesia. Acara itu sukses secara spektakuler. Semua elemen masyarakat dilibatkan. Tidak ada yang ingin menonjol sendiri, tetapi maju bersama. Adapun kegiatan-kegiatan ekonomi syariah yang digelar sepanjang lebih dari 2 bulan itu ialah :
1. Pada tahun 2002 itu, kegiatan Ekonomi Syariah EXPO (Pameran Ekonomi Islam) berlangsung selama 1 (satu) bulan penuh, mengambil tempat di Medan Fair atau biasa juga disebut Pekan Raya Sumatera Utara. Ekonomi Syariah Expo ini dikunjungi dan dipadati puluhan ribu pengunjung. Jumlah dan kepadatan pengunjung melebihi Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Centre (JCC). Meskipun jumlah bank syariah masih sedikit, hanya ada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, namun jumlah stand cukup banyak, karena melibatkan seluruh BPR Syariah, BMT, Asuransi Takaful, dan Usaha Sektor Riil Syariah yang berasal dari para nasabah bank syariah, Perguruan Tinggi, Lembaga Assosiasi dan sebagainya. Padatnya pengunjung disebabkan manajemen pengarahan massa dilakukan secara canggih. Seluruh agenda kegiatan FES diumumkan di seluruh masjid pada setiap shalat jumat. Sekolah dan pesantren diundang dan dimobilisasi. Demikian majlis ta’lim dan Perguruan Tinggi. Di masjid-masjid dan kampus ditempel poster publikasi Festival Ekonomi Syariah. Radio dan TV dioptimalkan. Dialog Ekonomi syariah Di TVRI diadakan tentang Festival Ekonomi syariah.
2. Festival Ekonomi Syariah di Medan ini juga menyelenggarakan Seminar Nasional “Ekonomi Syari’ah dan Pemberdayaan Wakaf Produktif pada tanggal 1 - 2 Mei 2002, menghadirkan 16 Pembicara Nasioanal/ Internasional di Asrama Haji Medan. Kegiatan ilmiah yang berlangsung selama dua hari ini dihadiri 300 peserta dari berbagai daerah, baik Sumatera Utara maupun di luar propinsi Sumut. Pada seminar ini sebagai pembicara antara lain, Prof.Dr.M.Dawam Raharjo, Prof.Dr.M.Amin Aziz, Prof.Dr.M.Yasir Nasution, Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, Dr. Uswatun Hasanah, Dr. Adi Sasono, Prof. Dr. M.A,Mannan, Prof. Dr. Monzer Kahf, Drs.Muhammad Hidayat, MBA (DSN), Prof.Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA, Ir.Adiwarman Karim, MA, MAEP, John Tafbu Ritonga, M.Ec, Bapak Hilmi, SE (Mantan pejabat Seniar Bank Indonesia), dan Ahmad Bukhari dari Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. Bagi masyarakat akademis, seminar ini dipandang cukup penting dalam membuka cakrawala akademis untuk pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, baik studi akademis maupun di lapangan.
3. Kegiatan ketiga Festival Ekonomi Syariah ialah acara Internasional Seminar on Dinar Dirham as Solution, oleh FKEBI (Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam) IAIN Medan, dan Yayasan Dinar Dirham, pada tanggal 14 Maret 2002 di Hotel Garuda Plaza Medan. Seminar ini juga menghadirkan banyak pakar dari luar negeri. Di antaranya dari Skotlandia dan dua orang pembicara asal Malaysia yang merupakan penasehat ekonomi PM Malaysia saat itu. Pembicara dari Indonesia adalah Bapak Dr. Adi Sasono, dan lain-lain.
4.Kegiatan yang sangat spektakuler dan paling meriah adalah Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1423 H. Perlu dicatat, bahwa Festival Ekonoimi Syariah yang diselenggarakan di Medan berkaitan dengan Penyambutan Tahun Baru Islam. Kegitan pawai akbar ini mirip dengan Fun Walk yang digelar Bank Indonesia pada Festival Ekonomi Syariah 2008 dan 2009. Cuma dari segi jumlah massa, Pawai akbar ekonomi syariah Sumatera Utara jauh lebih besar, karena pawai akbar ini diikuti belasan ribu, bahkan 17.000 dari berbagai lapisan dan unsur masyarakat. Padahal seharusnya jalan santai di Jakarta jauh lebih ramai, karena dilaksanakan di ibukota, bukan di daerah. Jadi jika dievaluasi kegiatan FES yang ada di Jakarta, masih jauh dari yang diharapkan.
Pawai akbar di Sumatera melibatkan belasan ribu massa dari berbagai lapisan, (Perguruan Tinggi, Sekolah, Ormas Islam, praktisi Lembaga Perbankan dan Keuangan Syari’ah, jajaran Pemerintah sejak kelurahan, kecamatan, seluruh dinas pemerintah di Pemko Medan, partai politik Islam, lembaga-lembaga zakat, Sekolah dan Madrasah, Pesantren, seluruh remaja mesjid (BKPRMI), dsb. Dengan melibatkan semua unsur ummat tersebut, jelas sekali, kalau jumlah peserta pawai akbar ekonomi Islam mencapai 17.000an orang.
Yang sangat luar biasa dalam kegiatan FES Sumatera Utara ini adalah kerjasama hampir seluruh Lembaga Islam di Sumatera Utara, belasan Perguruan Tinggi, MUI, ORMAS-ORMAS Islam, BAZIS, BMT, BPRS, pesantren, pengusaha, pemerintah propinsi Sumut, pemerintah kota Medan, Departemen Agama, bahkan partai Politik Islam. Hampir tidak ada unsur masyarakat Islam yang tak terlibat. Pendeknya dalam kegiatan ini terdapat 30 pendukung aktif yang masuk sebagai sponsor.
Route pawai akbar ekonomi Islam ini mulai dari Masjid Agung (Kantor Gubernur Sumatera Utara) sampai halaman masjid Ulul Albab IAIN-Sumatera Utara. Pada Pawai Akbar kedua tahun 2003, Route diubah menjadi dari Masjid Agung ke Majid Raya Medan.
5. Festival Ekonomi Syariah pertama dan terbesar ini juga menggelar Tabligh Akbar Ekonomi Syari’ah di Istana Maimun yang dihadiri puluhan ribu jama’ah dan disponsori oleh lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah. Ceramah disampaikan oleh H A. Abdullah Gymnarniar (AA Gym) dari Bandung. Pada momentum ini hadir banyak pejabat dan ormas Islam, tokoh masyarakat dari berbagai lembaga, pengusaha. Bank Muamalat dan Dewan Perdagangan Islam, merupakan sposnor utama acara ini.
6. Pada momentum FES 2002 ini juga diresmikan dan dilantik Dewan Perdagangan Islam Sumatera Utara oleh Gubernur Sumatera Utara. Dewan Perdagangan Islam merupakan hasil kerjasama dengan Dewan Perniagaan Islam Malaysia. Boleh dikatakan, bahwa inilah Assosiasi pengusaha muslim pertama setelah Syarikat Dagang Islam tahun 1911.
7. Kegiatan FES selanjutnya ialah Peluncuran Dua buah Buku, yaitu Buku Prospek Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Percikan Pemikiran Ekonomi Islam karya Agustianto
8. Lomba Pidato ekonomi Islam tingkat Mahasiswa, Pesantren dan SMU di Medan Fair Plaza. Lomba Karya Tulis Ekonomi Syari’ah
Kegiatan Tahunan
Kegiatan FES tersebut digelar setiap tahun di Sumatera Utara mulai tahun 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008. dengan berbagai kegiatan yang sering dipadati pengunjung. Kegiatan FES Sumatera Utara kedua dilaksanakan pada tahun 2003 dengan menggelar beberapa kegiatan, seperti :
a. Tabligh Akbar Ekonomi Syari’ah Empat Propinsi bersama K.H.Ma’ruf Amin (Ketua DSN MUI) di Gelanggang Mahasiswa IAIN_SU dan Orasi Ekonomi Syariah oleh Drs.Agustianto,MA.
b. Peresmian Badan Waqaf Sumatera Utara oleh Menteri Agama Republik Indonesia, 2 April 2003. Perlu dicatat inilah Badan Waqaf Pertama di Indonesia yang didirikan berdasarkan wilayah propinsi. Badan Waqaf ini jauh mendahuli lahirnya Badan Waqaf Indonesia dalam skala nasional.
c. Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara, 29 Maret 2003. Para peserta sama persis dengan Pawai Akbar pertama tahun 2002.
Kegiatan FES Ekonomi Syari’ah Ke 3 Propinsi Sumatera Utara tahun 2004. dengan menggelar beberapa agenda acara :
a. Malam Penggalangan Dana Cash Wakaf dan Silaturrahmi Pengusaha Muslim, ulama dan Birokrat
b. Peluncuran Buku Wakaf Produktif bersama Gubernur
c. Lounching Pembukaan Unit Usaha Syari’ah PT Bank Sumut
d. Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara, yang melibatkan 15,000an masyarakat dari berbagai unsur masyarakat
e. “Economi Syari’ah CUP” yaitu pertandingan olahraga sesama masyarakat Ekonomi Syariah, yang melibatkan seluruh karyawan Lembaga Keuangan dan Perbankan syari’ah, serta Akademisi Ekonomi Syari’ah di Lapangan.GOR (Gedung Olahraga) USU, Universitas Sumatera Utara.
Pada tahun 2005, kota Medan kembali disemarakkan oleh kegiatan besar ekonomi syariah internasional, yaitu dengan dilaksanakannya Muktamar Pertama Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) di Medan, tepatnya tanggal 18 – 19 September 2005 di Hotel Garuda Plaza. Muktamar yang dirangkai dengan Seminar Internasional itu dihadiri lebih dari 300 peserta dari seluruh Indonesia yang merupakan utusan Perguruan Tinggi dan pemerintah setiap propinsi. Para pembicara didatangkan dari dalam dan luar negeri, seperti dari Mesir, USA, Bangladesh dan Malaysia.
Selanjutnya, pada tahun 2007 kegiatan besar kembali digelar dengan nama Ekonomi Syariah Fair 2007 yang dibuka langsung Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla dan dihadiri Gubernur bank Indonesia dan sejumlah Menteri. Kegiatan ini berlangsung selama tiga minggu sehingga banyak menyerap pengunjung. Dampaknya, market share bank syariah di Sumut meningkat secara fantastis dalam 1 bulan pasca acara, dari 1,9 menjadi 2,7 persen. Sementara di tingkat nasional, market share masih jauh tertinggal, belum menembus angka 1,8 persen saat itu.
Kegiatan Syariah EXPO di Sumetera Utara itu selanjutnya dikembangkan secara nasional di Jakarta yang dibawa oleh pegiat ekonomi syariah Medan berdasarkan pengamalan Medan selama bertahun-tahun mengelola Festival Ekonomi Syariah. Selanjutnya event Ekonomi Syariah Expo dipundakkan kepada MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Mulanya, rencana kegiatan ISE (Indonesia Syariah Expo) itu dibicarakan pada rapat pengurus IAEI awal Agustus 2005 di Universitas Indonesia menjelang Muktamar Ikatan Ahli Ekonomi Islam di Medan. Rapat IAEI itu dihadiri oleh para pegurus IAEI ; Prof.Syofyan Syafri Harahap, Aries Mufti, M.Syakir Sula, Mustafa Edwin Nasution, Dr.Uswatun Hasanah, Agustianto dan sejumlah pengurus IAEI lainnya, seperti Nurul Huda, Tatik Maryanti (Trisakti), dan lain-lain. Rapat itu telah menyepakati diadakannya FES atau Indonesia Syariah Expo yang dimotori oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).
Pada rapat itu dibagi tugas pengembangan ekonomi syariah. Karena pengurus IAEI juga adalah pengurus MES dan pengurus MES juga adalah pegurus IAEI. Namun, focus penekanannya berbeda. IAEI lebih focus pada pengembangan pendidikan melalui dunia akademis, sedangkan MES pada kegiatan yang lebih besar dan luas dari itu, seperti Expo dan Eksebisi. Maka EXPO ditangani oleh MES, sedangkan IAEI lebih focus pada pendidikan Ekonomi Islam dan studi akademis. Maka sejak tahun 2007, MES menggelar Indonesia Syariah Expo yang gaungnya juga angat hebat dan dampaknya sangat besar. Indonesia Syariah Expo kedua dilaksanakan oleh MES pada tahun 2008, bekerjasama dengan beberapa assosiasi ekonomi syaroiah lainnya, seperti IAEI, ASBISINDO, ASBINDO, PKES dan lain-lain.
Bank Indonesia baru memulainya pada 2008 sebagai upaya untuk meningkatkan peran sistem keuangan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional. Selanjutnya pada 4 sd 8 Februari Bank Indonesia, kembali menggelar Festival Ekonomi Syariah kedua di Jakarta Convention Centre. Demikian sekilas tentang sejarah Festival Ekonomi Syariah di Indonesia. Semoga bermanfaat.
Penutup
Festival Ekonomi Syariah (FES) merupakan ajang promosi, edukasi dan sosialisasi yang cukup penting bagi gerakan dan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. FES merupakan momentum paling strategis dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Karena itu, acara Fstival Ekonomi Syariah hendaknya dilaksanakan di seluruh daerah Indonesia. Tahun 2008 lalu, beberapa daerah sudah mulai menggelar Festival Ekonomi Syariah, seperti Surabaya, Ujung Pandang, Balik Papan, Palembang dan beberapa daerah lainnya. Namun manajemennya harus ditingkatkan secara lebih profesional dan merangkul banyak kalangan massa. Majlis Ulama dan Perguruan Tinggi harus menjadi pelopor di depan bersama Bank Indonesia dan Bank-Bank Syariah. Pemerintah propinsi wajib dilibatkan secara aktif, baik dalam masalah dana maupun massa.
Sejarah Festival Ekonomi Syariah ini dibentangkan dalam sebuah tulisan, dengan tujuan agar masyarakat di daerah dapat meniru kegiatan serupa, sehingga seluruh propinsi bisa mengelar Festival Ekonomi Syariah. Mengapa masyarakat Sumatera Utara bisa melaksanakannya dengan rentang waktu yang panjang dan rangkaian kegiatan yang banyak. Daerah-daerah lain perlu belajar dan meniru Festival Ekonomi Syariah yang pernah digelar dengan sukses di Medan. Kalaupun pada tahun 2008 ada Festival Ekonomi Syariah di sebagian kecil daerah, hal itu terwujud berkat peranan Bank Indonesia. Harusnya Masyarakat Ekonomi Syariah di daerah bergerak dan bangkit, meskipun tanpa bantuan Bank Indonesia. Namun, jika Bank Indonesia di daerah mau membantu, tentu hal itu jauh lebih baik. Saya menyampaikan ini kepada teman-teman di seluruh daerah di Indonesia, agar jangan terlalu menggantungkan kegiatan ekonomi syariah kepada Bank Indonesia, meskipun Bank Indonesia di daerah harus diajak.
Di masa depan, Bank Indonesia didesak untuk menggandeng para assosiasi ekonomi syariah dan kalau perlu menyerahkan pelaksanaan FES kepada assosiasi yang memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan ekonomi syariah. Dengan demikian, kegiatan FES tidak perlu dilaksanakan dua kali setahun. Selama ini, kegiatan expo menjadi dua kali, yaitu dilaksanakan oleh MES dengan nama Indonesia Syariah Expo dan Bank Indonesia dengan nama Festival Ekonomi Syariah. Kedua Festival ekonomi syariah harus disatukan, sehingga bank-bank syarah tidak kehabisan energi. Bank Indonesia hendaknya jangan tampil sendirian, tetapi secara bersama-sama dengan penggiat ekonomi syariah lainnya menggelar kegiatan tersebut. Ingat, bersama kita bisa, bersatu kita teguh dan kuat.Al-Ittihadu Quwwatun. Wassalam
(Penulis adalah Sekjen IAEI dan mantan Sekjen Festival Ekonomi Syariah Sumatera Utara
Penguatan Ekonomi Umat Menuntut Perubahan Paradigma
Friday,
14 May 2010 15:34 | Written by Shodiq Ramadhan
Oleh: Dr. Hendri Saparini
(Pengamat
Ekonomi ECONIT/Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI
1.
Ketertinggalan ekonomi umat
Umat Islam merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Oleh karenanya, buruknya potret perekonomian sebagian besar masyarakat pada dasarnya mencerminkan buruknya kondisi ekonomi umat Islam.Ada tiga indikator kondisi
ekonomi rakyat yang biasa digunakan yakni kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan sosial. Hingga saat ini angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
penduduk masih sangat tinggi. Jika menggunakan standar Biro Pusat Statistik
(BPS) tahun 2009, yakni batas pengeluaran Rp 200.262 per kapita per bulan, maka
jumlah orang miskin sebanyak 32,53 juta atau 14,15 persen (Maret, 2009). Batasan
kemiskinan tersebut tentu masih di bawah kriteria kemiskinan dalam Islam dimana
seseorang dianggap tidak miskin jika ia telah memiliki makanan, pakaian dan
tempat tinggal, sementara pendidikan, kesehatan, air dan listrik menjadi
tanggung jawab negara untuk menjaminnya. Sementara batas pengeluaran BPS bagi
orang miskin tersebut tidak menekankan apakah pakaian, makanan dan tempat
tinggal yang dimiliki layak dan juga pengeluaran tersebut termasuk untuk
pendidikan, kesehatan, air, listrik, yang saat ini hampir semua harus
dibeli.
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Saat ini angka pengangguran yang dipublikasikan oleh pemerintah memang ’hanya’ 8,97 juta jiwa (7.87%) tahun 2009. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja 1 (satu) jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir. Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5%) ternyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kegiatan ekonomi umat jika dilihat dari struktur usaha di Indonesia, sebagian besarnya berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada tahun 2008 jumlah usaha mikro, kecil dan menengah mencapai 51,3 juta unit atau 99% dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan jumlah tenaga kerja sebanyak 90 juta atau 97% dari total tenaga kerja nasional. Meskipun dari sisi jumlah sangat besar tetapi dari sisi kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 54% (2008). Artinya, meskipun jumlahnya banyak tetapi produktifitas dan tentu saja daya saingnya relatif lemah.
Pertanyaan pentingnya, mengapa ekonomi umat hingga kini masih sangat terbelakang? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting karena akan mengantar pada strategi dan kebijakan yang tepat.
2. Keterpurukan akibat kesalahan kebijakan
Memang bila dilakukan survei kepada pengusaha mikro dan kecil, maka masalah yang menurut mereka paling utama adalah modal. Fakta data pemerintah pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70%). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50% terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman juga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp12.9 juta per unit usaha.
Akan tetapi, selain masalah modal usaha, tertinggalnya ekonomi umat atau UMKM juga disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya, disebabkan oleh lemahnya dukungan sumber daya manusia akibat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat bawah yang terbatas. Masalah lain adalah persaingan usaha yang dihadapi UMKM yang sangat ketat, sehingga akhirnya pasar bagi produk UMKM semakin berkurang karena tergusur oleh produk impor. Sangat banyak faktor yang mengakibatkan kekalahan UMKM dalam persaingan. Mulai dari tingginya biaya produksi UMKM karena tingginya biaya modal (tingginya suku bunga pinjaman), juga tingginya biaya energi akibat cenderung terus naiknya harga energi seperti listrik, BBM, dll. Faktor lain adalah karena dibukanya pasar dalam negeri lewat liberalisasi perdagangan yang dilakukan tanpa persiapan. Terakhir, sulitnya UMKM mendapatkan bahan baku akibat absennya prioritas bahan mentah untuk kepentingan dalam negeri.
Dengan fakta-fakta di atas, solusi bagi perbaikan ekonomi umat tentu tidak cukup hanya dengan memberikan dukungan modal dengan menawarkan berbagai produk pendanaan bagi UMKM. Juga tidak cukup hanya membuatkan model-model usaha bisnis yang tepat bagi ekonomi umat yang berskala mikro dan kecil. Karena ada banyak faktor non modal, seperti keterbatasan pasar, SDM, energi, teknologi, industri pendukung, dll, yang menghambat ekonomi umat untuk dapat berkembang dan kompetitif.
Akses dan ketersediaan modal
Kebijakan pemberian subsidi bunga untuk usaha mikro, kecil dan menengah telah banyak diberikan dengan disain beragam dan relatif spesifik. Ada empat jenis kredit program yakni, KKP-E untuk pangan, KUR untuk usaha mikro kecil, KPEN-RP untuk perkebunan, dan KLBI kepada bank untuk dukung program pemerintah. Namun, akses UMKM terhadap dukungan modal masih menjadi masalah besar. Berbagai kredit program yang telah ditawarkan tersebut pun belum berkinerja baik. Memang sangat banyak masalah administrasi yang menjadi penghambat. Namun, ada masalah lain dari rendahnya realisasi kredit yang ditawarkan antara lain karena sumber dana berasal dari dana bank (dana APBN hanya sebagai dana penjamin). Hal ini mengakibat perbankan akan sangat berhati-hati/mensyaratkan adanya bunga, agunan dan dokumen yang rumit karena dana yang disalurkan adalah dana komersial. Berbeda bila dana tersebut berasal dari dana pemerintah. Tingkat bunga, agunan, persyaratan mungkin akan lebih fleksible.
Memang ada kendala lain yang menjadi ancaman bagi penyediaan permodalan bagi UMKM yakni struktur kepemilikan perbankan nasional yang semakin didominasi modal asing. Bahkan untuk bank pemerintah akan segera diberlakukan kebijakan single presence policy yang melarang bank hanya dimiliki oleh pemerintah. Artinya, bank pemerintahpun didorong untuk segera diswastakan. Akhirnya porsi kepemilikan asing di perbankan nasional meningkat. Bila tahun 1999, hanya sebesar 11.6%, saat ini sudah hampir separuh industri perbankan nasional (47.02%). Kondisi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang merupakan perubahan Perpres 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres itu, antara lain, memberikan peluang bagi investor asing untuk menguasai 99 persen saham perbankan nasional.
Padahal di negara-negara lain saja, kepemilikan perbankan asing sangat dibatasi. Kepemilikan asing di Filipina maksimal hanya 51%, Thailand 49%, India 49%, Korsel 30%, Malaysia 30%, Vietnam 30%, AS 30%, RRC 25%, dan Australia 15%. Pembatasan ini penting karena kepemilikan sektor keuangan oleh asing akan membatasi intervensi dan peran aktif pemerintah dalam memberikan dukungan pendanaan bagi ekonomi mikro, kecil dan menengah (karena akan kalah bersaing dengan modal besar). Hal tersebut juga akan membatasi peluang untuk mendukung ekonomi UMKM dengan basis non bank atau model pendanaan bukan pinjaman. Inilah sebabnya saat ini dukungan pendanaan bagi ekonomi kecil akhirnya hanya berupa penjaminan dan tetap menggunakan mekanisme pinjaman dengan bunga.
Regulasi yang telah salah kaprah ini tentu harus dilakukan koreksi substansial karena dalam perspektif ekonomi kelembagaan, regulasi memiliki peran signifikan dalam mengatur dan mengarahkan perekonomian suatu negara. Dalam Islam, regulasi yang memberikan perlindungan dan proteksi kepada perbankan dan lembaga keuangan yang melakukan transaksi berbasisi suku bunga tentu keliru dan sangat disayangkan karena selain diharamkan (QS. al-Baqarah [2]:275; 279) transaksi ribawi juga sangat destruktif dalam kegiatan ekonomi. Apalagi memberikan peluang kepada pihak asing melakukan hegemoni terhadap perekonomian umat melalui sektor keuangan yang merupakan jantung ekonomi akan mengakibatkan hilangnya kemerdekaan politik ekonomi umat. Allah swt berfirman: ”Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai/memusnahkan orang-orang Mukmin”. (QS: An Nisaa' [4]:141).
Peningkatan sumber daya manusia
Lemahnya dukungan SDM adalah hambatan besar bagi UMKM. Saat ini sebanyak 53 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD. Dengan kondisi tersebut tidak heran jika 69,5 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal lantaran sulit untuk masuk ke dalam sektor formal. Pendidikan dan ketrampilan yang rendah inilah yang akhirnya mengakibatkan daya saing serta produktivitas tenaga kerja UMKM relatif rendah. Artinya pendidikan umat harus ditingkatkan. Namun, rendahnya tingkat pendidikan tentu tidak bisa dilepaskan dari rendahnya akses umat terhadap pendidikan. Meski anggaran pendidikan telah dialokasikan 20% dari APBN namun pada faktanya nilainya hanya mampu meng-cover belanja rutin dan biaya pendidikan hingga tingkat SMP. Itupun masih menyisakan biaya ain-lain yang harus ditanggung oleh para peserta didik seperti biaya seragam dan biaya pembelian buku.
Liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan pemangkasan subsidi pendidikan dan pembebasan lembaga pendidikan untuk menetapkan harga, telah mendorong mahalnya pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia. Kebijakan salah arah ini tentu harus diubah. Dalam Islam menuntut ilmu bahkan merupakan kewajiban atas setiap muslim laki-laki dan perempuan. Sabda Rasulullah saw: ”Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, Al-Baihaqi). Di samping membentuk kepribadian yang islami, pendidikan juga merupakan sarana untuk mengembangkan skill dan intelektual yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan termasuk menghadapi persaingan di tingkat global. Selain itu upaya untuk meraih keunggulan umat dalam bidang ekonomi termasuk dalam teknologi, komunikasi dan persenjataan yang dituntut atas umat Islam (QS al-Anfal [8]: 60) hanya dapat terealisir jika didukung oleh SDM yang tangguh. Oleh karenanya, menjadi sebuah keharusan untuk mendorong perubahan kebijakan penyediaan pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau seluruh rakyat.
Dukungan pengelolaan energi
Akses dan keterbatasan dukungan energi murah juga telah menjadi hambatan besar bagi UMKM. Pasalnya, gas dan berbagai mineral Indonesia tidak dikelola dengan benar sehingga tidak mampu mendukung kemajuan UMKM antara lain dengan penyediaan harga BBM dan listrik murah. Selama ini tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energy mix) PLN yang berasal dari BBM masih sangat tinggi, mencapai 85%. Akibatnya, biaya bahan bakar PLN juga menjadi sangat mahal. Padahal jika energi PLN didiversifikasi ke gas dan batu bara misalnya, biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Adalah ironis saat produksi gas di Indonesia melimpah, selama hampir 40 tahun terakhir gas Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Keadaan ini tentu tidak lepas dari buruknya pengelolaan migas pemerintah. Sejak awal tahun 1970-an hingga 2007, kontrak jual beli gas yang dialokasikan untuk domestik mencapai 20,12 TCF (48%) dan ekspor sebesar 21,55 TCF (52%). (Buletin BP Migas, No. 46, Juni 2008). Bahkan, paska kerjasama dengan IMF lewat LoI sejak tahun 1998 dan terbitnya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, bagian gas untuk kepentingan dalam negeri semakin dibatasi.
Hal yang sama terjadi pada pengelolaan minyak bumi yang mengakibatkan masyarakat harus selalu dihantui oleh kenaikan harga BBM. Pemerintah seolah berhak dan bahkan wajib menaikkan harga BBM agar tidak membebani APBN. Padahal akar masalahnya bukan sekadar alokasi subsidi, tetapi karena pengeloan migas yang salah sehingga saat ini 86% migas didominasi oleh asing dan swasta. Pemerintah yang diwakili oleh Pertamina hanya menguasai 14% produksi minyak bumi. Konsekwensinya, langkah pemerintah untuk segera menyamakan harga BBM dalam negeri pada harga pasar internasional seolah menjadi sebuah kebenaran. Bahkan akhirnya sering tanpa canggung menggunakan rujukan kebijakan Singapura, Jepang, dll. Padahal negara-negara tersebut bukan negara yang oleh Allah SWT diberikan rizki kekayaan energi alam seperti Indonesia. Tambahan lagi sistem bagi hasil dengan cost recovery saat ini sering diselewengkan sehingga kontraktor asing lebih banyak menikmati hasil dibanding pemerintah.
Fakta ini sangat ironis karena ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 telah menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini tak lain mempertegas bahwa pengelolaan SDA diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan perorangan, meskipun hak individu tetap dihormati. Dalam perspektif ekonomi Islam, pengelolaan migas dan tambang non migas yang diserahkan kepada swasta termasuk asing tentu merupakan kebijakan fatal. Migas dan tambang lain yang depositnya melimpah merupakan public goods (barang publik) yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw: ”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Di sisi lain, secara ekonomis penyerahan kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh swasta/asing menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang. Padahal kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan secara optimal dan melakukan kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang layak, termasuk memberikan modal dan penguatan bagi ekonomi umat. Sehingga tidak harus bersandar pada utang dan pembebanan pajak kepada publik. Akibat pengelolaan kekayaan SDA yang salah, kini Indonesia meskipun memiliki kekayaan SDA yang melimah, namun telah menangguk utang yang sangat besar. Nilainya mencapai Rp 1.619,96 triliun (Februari 2010). Porsi penerimaan pemerintah dari sumber daya alam juga hanya sekitar 36%, sedangkan sisanya bersumber dari berbagai pungutan pajak dan utang. Seolah Indonesia adalah negara tanpa kekayaan alam.
Masih sangat banyak hambatan yang dihadapi para pengusaha terutama kelompok mikro dan kecil untuk maju dan lebih kompetitif. Salah satunya liberalisasi ekonomi sudah dimulai sejak belasan tahun lalu, tetapi industri domestik tetap tidak siap memasuki pasar bebas karena dilakukan tanpa industrial policy and strategy yang jelas. Berbagai kesepakatan perdagangan bebas telah dibuat tanpa jelas keuntungan apa yang akan diperoleh masyarakat. ASEAN-China FTA yang kini menjadi monster hanyalah salah satunya. Berbagai kerjasama ekonomi telah semakin giat dilakukan tidak hanya lewat ASEAN, seperti kesepakatan ASEAN-China, Korea, Jepang, Australia, New Zealand dan India. Tetapi juga secara bilateral, seperti perjanjian dengan Amerika, Hungaria, Hongkong dll. Akhirnya liberalisasi hanya untuk liberalisasi itu sendiri. Padahal semestinya dilakukan bila dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional.
3. Urgensi perubahan paradigma ekonomi
Jelas bahwa penguatan ekonomi umat memerlukan perubahan strategi dan kebijakan ekonomi di berbagai bidang. Tidak hanya pengembangan kewirausahaan umat dan kebijakan perbankan dan permodalan yang lebih berpihak pada umat, tetapi juga dukungan kebijakan di berbagai bidang antara lain: mengoreksi pengelolaan sumber daya alam, merubahan haluan liberalisasi ekonomi yang telah salah arah, menghentikan kecenderungan kebijakan pendidikan yang tidak memberikan kesempatan bagi umat untuk menguasai pendidikan dan teknologi tinggi, dan lain sebagainya.
Namun demikian, perubahan strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa dilakukan apabila dilakukan perubahan paradigma ekonomi. Saat ini pengelolaan ekonomi cenderung menggunakan paradigma liberal kapitalistik dan jauh dari sistem ekonomi Islam, sehingga harus segera ditinggalkan dan ganti dengan paradigma kebijakan ekonomi yang Islami. Selanjutnya, segera melakukan dua pekerjaan besar. Pertama, merancang strategi untuk menyusun model pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat, baik dengan pelatihan, peningkatan akses, mengembangkan jaringan para pengusaha muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan dan aturan perundangan yang berkait masalah ekonomi. Sangat banyak undang-undang maupun peraturan yang bersifat kapitalistik dan merugikan umat, sehingga akan menghambat upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi umat.
Sebagai penutup, untuk mewujudkan perubahan yang mendasar, peran dari berbagai lembaga dan organisasi keumatan menjadi sangat diperlukan. Selama ini banyak lembaga dan organisasi umat telah banyak melakukan upaya perbaikan dalam distribusi ekonomi agar lebih adil. Namun, peran tersebut ternyata masih belum cukup karena diperlukan peran yang lebih high level untuk dapat mendorong perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi untuk menuju pada pengelolaan ekonomi yang Islami.***
Umat Islam merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Oleh karenanya, buruknya potret perekonomian sebagian besar masyarakat pada dasarnya mencerminkan buruknya kondisi ekonomi umat Islam.
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Saat ini angka pengangguran yang dipublikasikan oleh pemerintah memang ’hanya’ 8,97 juta jiwa (7.87%) tahun 2009. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja 1 (satu) jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir. Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5%) ternyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kegiatan ekonomi umat jika dilihat dari struktur usaha di Indonesia, sebagian besarnya berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada tahun 2008 jumlah usaha mikro, kecil dan menengah mencapai 51,3 juta unit atau 99% dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan jumlah tenaga kerja sebanyak 90 juta atau 97% dari total tenaga kerja nasional. Meskipun dari sisi jumlah sangat besar tetapi dari sisi kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 54% (2008). Artinya, meskipun jumlahnya banyak tetapi produktifitas dan tentu saja daya saingnya relatif lemah.
Pertanyaan pentingnya, mengapa ekonomi umat hingga kini masih sangat terbelakang? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting karena akan mengantar pada strategi dan kebijakan yang tepat.
2. Keterpurukan akibat kesalahan kebijakan
Memang bila dilakukan survei kepada pengusaha mikro dan kecil, maka masalah yang menurut mereka paling utama adalah modal. Fakta data pemerintah pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70%). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50% terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman juga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp12.9 juta per unit usaha.
Akan tetapi, selain masalah modal usaha, tertinggalnya ekonomi umat atau UMKM juga disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya, disebabkan oleh lemahnya dukungan sumber daya manusia akibat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat bawah yang terbatas. Masalah lain adalah persaingan usaha yang dihadapi UMKM yang sangat ketat, sehingga akhirnya pasar bagi produk UMKM semakin berkurang karena tergusur oleh produk impor. Sangat banyak faktor yang mengakibatkan kekalahan UMKM dalam persaingan. Mulai dari tingginya biaya produksi UMKM karena tingginya biaya modal (tingginya suku bunga pinjaman), juga tingginya biaya energi akibat cenderung terus naiknya harga energi seperti listrik, BBM, dll. Faktor lain adalah karena dibukanya pasar dalam negeri lewat liberalisasi perdagangan yang dilakukan tanpa persiapan. Terakhir, sulitnya UMKM mendapatkan bahan baku akibat absennya prioritas bahan mentah untuk kepentingan dalam negeri.
Dengan fakta-fakta di atas, solusi bagi perbaikan ekonomi umat tentu tidak cukup hanya dengan memberikan dukungan modal dengan menawarkan berbagai produk pendanaan bagi UMKM. Juga tidak cukup hanya membuatkan model-model usaha bisnis yang tepat bagi ekonomi umat yang berskala mikro dan kecil. Karena ada banyak faktor non modal, seperti keterbatasan pasar, SDM, energi, teknologi, industri pendukung, dll, yang menghambat ekonomi umat untuk dapat berkembang dan kompetitif.
Akses dan ketersediaan modal
Kebijakan pemberian subsidi bunga untuk usaha mikro, kecil dan menengah telah banyak diberikan dengan disain beragam dan relatif spesifik. Ada empat jenis kredit program yakni, KKP-E untuk pangan, KUR untuk usaha mikro kecil, KPEN-RP untuk perkebunan, dan KLBI kepada bank untuk dukung program pemerintah. Namun, akses UMKM terhadap dukungan modal masih menjadi masalah besar. Berbagai kredit program yang telah ditawarkan tersebut pun belum berkinerja baik. Memang sangat banyak masalah administrasi yang menjadi penghambat. Namun, ada masalah lain dari rendahnya realisasi kredit yang ditawarkan antara lain karena sumber dana berasal dari dana bank (dana APBN hanya sebagai dana penjamin). Hal ini mengakibat perbankan akan sangat berhati-hati/mensyaratkan adanya bunga, agunan dan dokumen yang rumit karena dana yang disalurkan adalah dana komersial. Berbeda bila dana tersebut berasal dari dana pemerintah. Tingkat bunga, agunan, persyaratan mungkin akan lebih fleksible.
Memang ada kendala lain yang menjadi ancaman bagi penyediaan permodalan bagi UMKM yakni struktur kepemilikan perbankan nasional yang semakin didominasi modal asing. Bahkan untuk bank pemerintah akan segera diberlakukan kebijakan single presence policy yang melarang bank hanya dimiliki oleh pemerintah. Artinya, bank pemerintahpun didorong untuk segera diswastakan. Akhirnya porsi kepemilikan asing di perbankan nasional meningkat. Bila tahun 1999, hanya sebesar 11.6%, saat ini sudah hampir separuh industri perbankan nasional (47.02%). Kondisi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang merupakan perubahan Perpres 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres itu, antara lain, memberikan peluang bagi investor asing untuk menguasai 99 persen saham perbankan nasional.
Padahal di negara-negara lain saja, kepemilikan perbankan asing sangat dibatasi. Kepemilikan asing di Filipina maksimal hanya 51%, Thailand 49%, India 49%, Korsel 30%, Malaysia 30%, Vietnam 30%, AS 30%, RRC 25%, dan Australia 15%. Pembatasan ini penting karena kepemilikan sektor keuangan oleh asing akan membatasi intervensi dan peran aktif pemerintah dalam memberikan dukungan pendanaan bagi ekonomi mikro, kecil dan menengah (karena akan kalah bersaing dengan modal besar). Hal tersebut juga akan membatasi peluang untuk mendukung ekonomi UMKM dengan basis non bank atau model pendanaan bukan pinjaman. Inilah sebabnya saat ini dukungan pendanaan bagi ekonomi kecil akhirnya hanya berupa penjaminan dan tetap menggunakan mekanisme pinjaman dengan bunga.
Regulasi yang telah salah kaprah ini tentu harus dilakukan koreksi substansial karena dalam perspektif ekonomi kelembagaan, regulasi memiliki peran signifikan dalam mengatur dan mengarahkan perekonomian suatu negara. Dalam Islam, regulasi yang memberikan perlindungan dan proteksi kepada perbankan dan lembaga keuangan yang melakukan transaksi berbasisi suku bunga tentu keliru dan sangat disayangkan karena selain diharamkan (QS. al-Baqarah [2]:275; 279) transaksi ribawi juga sangat destruktif dalam kegiatan ekonomi. Apalagi memberikan peluang kepada pihak asing melakukan hegemoni terhadap perekonomian umat melalui sektor keuangan yang merupakan jantung ekonomi akan mengakibatkan hilangnya kemerdekaan politik ekonomi umat. Allah swt berfirman: ”Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai/memusnahkan orang-orang Mukmin”. (QS: An Nisaa' [4]:141).
Peningkatan sumber daya manusia
Lemahnya dukungan SDM adalah hambatan besar bagi UMKM. Saat ini sebanyak 53 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD. Dengan kondisi tersebut tidak heran jika 69,5 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal lantaran sulit untuk masuk ke dalam sektor formal. Pendidikan dan ketrampilan yang rendah inilah yang akhirnya mengakibatkan daya saing serta produktivitas tenaga kerja UMKM relatif rendah. Artinya pendidikan umat harus ditingkatkan. Namun, rendahnya tingkat pendidikan tentu tidak bisa dilepaskan dari rendahnya akses umat terhadap pendidikan. Meski anggaran pendidikan telah dialokasikan 20% dari APBN namun pada faktanya nilainya hanya mampu meng-cover belanja rutin dan biaya pendidikan hingga tingkat SMP. Itupun masih menyisakan biaya ain-lain yang harus ditanggung oleh para peserta didik seperti biaya seragam dan biaya pembelian buku.
Liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan pemangkasan subsidi pendidikan dan pembebasan lembaga pendidikan untuk menetapkan harga, telah mendorong mahalnya pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia. Kebijakan salah arah ini tentu harus diubah. Dalam Islam menuntut ilmu bahkan merupakan kewajiban atas setiap muslim laki-laki dan perempuan. Sabda Rasulullah saw: ”Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, Al-Baihaqi). Di samping membentuk kepribadian yang islami, pendidikan juga merupakan sarana untuk mengembangkan skill dan intelektual yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan termasuk menghadapi persaingan di tingkat global. Selain itu upaya untuk meraih keunggulan umat dalam bidang ekonomi termasuk dalam teknologi, komunikasi dan persenjataan yang dituntut atas umat Islam (QS al-Anfal [8]: 60) hanya dapat terealisir jika didukung oleh SDM yang tangguh. Oleh karenanya, menjadi sebuah keharusan untuk mendorong perubahan kebijakan penyediaan pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau seluruh rakyat.
Dukungan pengelolaan energi
Akses dan keterbatasan dukungan energi murah juga telah menjadi hambatan besar bagi UMKM. Pasalnya, gas dan berbagai mineral Indonesia tidak dikelola dengan benar sehingga tidak mampu mendukung kemajuan UMKM antara lain dengan penyediaan harga BBM dan listrik murah. Selama ini tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energy mix) PLN yang berasal dari BBM masih sangat tinggi, mencapai 85%. Akibatnya, biaya bahan bakar PLN juga menjadi sangat mahal. Padahal jika energi PLN didiversifikasi ke gas dan batu bara misalnya, biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Adalah ironis saat produksi gas di Indonesia melimpah, selama hampir 40 tahun terakhir gas Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Keadaan ini tentu tidak lepas dari buruknya pengelolaan migas pemerintah. Sejak awal tahun 1970-an hingga 2007, kontrak jual beli gas yang dialokasikan untuk domestik mencapai 20,12 TCF (48%) dan ekspor sebesar 21,55 TCF (52%). (Buletin BP Migas, No. 46, Juni 2008). Bahkan, paska kerjasama dengan IMF lewat LoI sejak tahun 1998 dan terbitnya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, bagian gas untuk kepentingan dalam negeri semakin dibatasi.
Hal yang sama terjadi pada pengelolaan minyak bumi yang mengakibatkan masyarakat harus selalu dihantui oleh kenaikan harga BBM. Pemerintah seolah berhak dan bahkan wajib menaikkan harga BBM agar tidak membebani APBN. Padahal akar masalahnya bukan sekadar alokasi subsidi, tetapi karena pengeloan migas yang salah sehingga saat ini 86% migas didominasi oleh asing dan swasta. Pemerintah yang diwakili oleh Pertamina hanya menguasai 14% produksi minyak bumi. Konsekwensinya, langkah pemerintah untuk segera menyamakan harga BBM dalam negeri pada harga pasar internasional seolah menjadi sebuah kebenaran. Bahkan akhirnya sering tanpa canggung menggunakan rujukan kebijakan Singapura, Jepang, dll. Padahal negara-negara tersebut bukan negara yang oleh Allah SWT diberikan rizki kekayaan energi alam seperti Indonesia. Tambahan lagi sistem bagi hasil dengan cost recovery saat ini sering diselewengkan sehingga kontraktor asing lebih banyak menikmati hasil dibanding pemerintah.
Fakta ini sangat ironis karena ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 telah menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini tak lain mempertegas bahwa pengelolaan SDA diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan perorangan, meskipun hak individu tetap dihormati. Dalam perspektif ekonomi Islam, pengelolaan migas dan tambang non migas yang diserahkan kepada swasta termasuk asing tentu merupakan kebijakan fatal. Migas dan tambang lain yang depositnya melimpah merupakan public goods (barang publik) yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw: ”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Di sisi lain, secara ekonomis penyerahan kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh swasta/asing menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang. Padahal kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan secara optimal dan melakukan kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang layak, termasuk memberikan modal dan penguatan bagi ekonomi umat. Sehingga tidak harus bersandar pada utang dan pembebanan pajak kepada publik. Akibat pengelolaan kekayaan SDA yang salah, kini Indonesia meskipun memiliki kekayaan SDA yang melimah, namun telah menangguk utang yang sangat besar. Nilainya mencapai Rp 1.619,96 triliun (Februari 2010). Porsi penerimaan pemerintah dari sumber daya alam juga hanya sekitar 36%, sedangkan sisanya bersumber dari berbagai pungutan pajak dan utang. Seolah Indonesia adalah negara tanpa kekayaan alam.
Masih sangat banyak hambatan yang dihadapi para pengusaha terutama kelompok mikro dan kecil untuk maju dan lebih kompetitif. Salah satunya liberalisasi ekonomi sudah dimulai sejak belasan tahun lalu, tetapi industri domestik tetap tidak siap memasuki pasar bebas karena dilakukan tanpa industrial policy and strategy yang jelas. Berbagai kesepakatan perdagangan bebas telah dibuat tanpa jelas keuntungan apa yang akan diperoleh masyarakat. ASEAN-China FTA yang kini menjadi monster hanyalah salah satunya. Berbagai kerjasama ekonomi telah semakin giat dilakukan tidak hanya lewat ASEAN, seperti kesepakatan ASEAN-China, Korea, Jepang, Australia, New Zealand dan India. Tetapi juga secara bilateral, seperti perjanjian dengan Amerika, Hungaria, Hongkong dll. Akhirnya liberalisasi hanya untuk liberalisasi itu sendiri. Padahal semestinya dilakukan bila dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional.
3. Urgensi perubahan paradigma ekonomi
Jelas bahwa penguatan ekonomi umat memerlukan perubahan strategi dan kebijakan ekonomi di berbagai bidang. Tidak hanya pengembangan kewirausahaan umat dan kebijakan perbankan dan permodalan yang lebih berpihak pada umat, tetapi juga dukungan kebijakan di berbagai bidang antara lain: mengoreksi pengelolaan sumber daya alam, merubahan haluan liberalisasi ekonomi yang telah salah arah, menghentikan kecenderungan kebijakan pendidikan yang tidak memberikan kesempatan bagi umat untuk menguasai pendidikan dan teknologi tinggi, dan lain sebagainya.
Namun demikian, perubahan strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa dilakukan apabila dilakukan perubahan paradigma ekonomi. Saat ini pengelolaan ekonomi cenderung menggunakan paradigma liberal kapitalistik dan jauh dari sistem ekonomi Islam, sehingga harus segera ditinggalkan dan ganti dengan paradigma kebijakan ekonomi yang Islami. Selanjutnya, segera melakukan dua pekerjaan besar. Pertama, merancang strategi untuk menyusun model pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat, baik dengan pelatihan, peningkatan akses, mengembangkan jaringan para pengusaha muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan dan aturan perundangan yang berkait masalah ekonomi. Sangat banyak undang-undang maupun peraturan yang bersifat kapitalistik dan merugikan umat, sehingga akan menghambat upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi umat.
Sebagai penutup, untuk mewujudkan perubahan yang mendasar, peran dari berbagai lembaga dan organisasi keumatan menjadi sangat diperlukan. Selama ini banyak lembaga dan organisasi umat telah banyak melakukan upaya perbaikan dalam distribusi ekonomi agar lebih adil. Namun, peran tersebut ternyata masih belum cukup karena diperlukan peran yang lebih high level untuk dapat mendorong perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi untuk menuju pada pengelolaan ekonomi yang Islami.***
(Makalah pernah disampaikan
pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII)Ke-5, di Asrama Haji Pondok Gede –
Jakarta, 7-8 Mei 2010)
Paradigma
Ekonomi Islam
Wednesday, 21 October 2009
14:25 | Written by Shodiq Ramadhan
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang
pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam (tadbîr syu’un al-mâl
min wijhah nazhar al-islam) (An-Nabhani, 1990).
Secara epistemologis, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu;
Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam
yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Cakupannya adalah: (1)
kepemilikan (al-milkiyah), (2) pemanfaatan kepemilikan
(tasharruf fi al-milkiyah), dan (3) distribusi kekayaan
kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas).
Bagian ini merupakan pemikiran yang terikat nilai (value-bond)
atau valuational, karena diperoleh dari
sumber nilai Islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah, melalui metode deduksi (istinbath)
hukum syariah dari sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ekonomi Islam normatif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1990)
disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua,
ekonomi Islam positif, yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan
dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan
jasa. Cakupannya adalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang
digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Bagian ini merupakan pemikiran
universal, karena diperoleh dari pengalaman dan fakta empiris, melalui metode
induksi (istiqra’) terhadap fakta-fakta empiris parsial dan
generalisasinya menjadi suatu kaidah atau konsep umum (Husaini, 2002). Bagian
ini tidak harus mempunyai dasar konsep dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi cukup
disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi
Islam positif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut ilmu ekonomi
Islam (al-‘ilmu al-iqtishadi fi al-islam).
Paradigma Sistem Ekonomi Islam
Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam
karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The
Univesity of Chicago Prerss, 1970). Paradigma di sini diartikan Khun sebagai
kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan
pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a
world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of
the real world.” [suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum,
atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata] (Fakih, 2001).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2001) menggunakan istilah lain yang maknanya
hampir sama dengan paradigma, yaitu al-qa’idah fikriyah, yang berarti pemikiran
dasar yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya.
Dengan pengertian itu, paradigma sistem ekonomi Islam ada 2 (dua),
yaitu: Pertama, paradigma umum, yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan
pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti
sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan
sebagainya. Aqidah Islamiyah di sini dipahami bukan sekedar sebagai Aqidah
Ruhiyah (aqidah spiritual), yakni aqidah yang menjadi landasan
aktivitas-aktivitas spiritual murni seperti ibadah, namun juga sebagai Aqidah
Siyasiyah (aqidah politis), yakni aqidah yang menjadi landasan untuk mengelola
segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali termasuk ekonomi.
Kedua, paradigma khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan
mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus
menjadi landasan bangunan sistem ekonomi Islam. Paradigma khusus ini terdiri dari
tiga asas (pilar), yaitu: (1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, (2)
pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan (3)
distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), melalui
mekanisme syariah.
Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus
terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga
kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah
syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip
dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam)
(Ibnu Khalil, 2000).
Paradigma sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras
dengan paradigma sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah
Islamiyah sebagai paradigma umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah
agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa
kecuali, termasuk aspek ekonomi (lihat Qs. al-Mâ’idah [5]: 3; Qs. an-Nahl [16]:
89) (Zallum, 2001).
Paradigma Islam ini berbeda dengan paradigma sistem ekonomi
kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).*1) Paham
sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di
satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan
harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para
filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi
Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak
keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan.
Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas
ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama (An-Nabhani, 2001).
Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu
siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri,
bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja).
Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia
harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama
(hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan
berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah
al-tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir sistem
ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula, bahwa
paradigma sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme (An-Nabhani, 2001).
Sekularisme ini pula yang mendasari paradigma cabang kapitalisme
lainnya, yaitu paradigma yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan
kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat.
Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan agama.
Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka
dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya
kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang
melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan
manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia,
maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya
babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang
memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT (idzn
Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah
mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu
mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan
minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan
Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim (An-Nabhani,
1990).
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat
batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya
(kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin
dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka
seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan
cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam
usaha perjudian dan pelacuran. Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan
tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara
itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan
(tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul
mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan
harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah
(industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja,
sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam
masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena
telah diharamkan oleh syariah.
Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada
mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk
akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi
secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa
yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena
itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak
banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga,
upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini
terbukti gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya
miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar
kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan
yang sangat sedikit.*2)
Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui
mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah
yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme
syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas
ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta
(tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab
at-tamalluk) (An-Nabhani, 1990). Mekanisme ini, misalnya ketentuan syariah
yang: (1) membolehkan manusia bekerja di sektor pertanian, industri, dan
perdagangan; (2) memberikan kesempatan berlangsungnya pengembangan harta
(tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi, seperti dengan syirkah inan,
mudharabah, dan sebagainya; dan (3) memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan
barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara
seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi
kesejahteraan rakyat.
Sedang mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang
berlangsung tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui
aktivitas non-produktif. Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah,
zakat, dan lain-lain) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk
melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang
tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik
yang disebabkan adanya sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik,
maupun sebab non-alamiah, misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti
penimbunan).
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat
segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, dan memperkecil jurang
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara
bersama dan sinergis antara individu dan negara.
Mekanisme non-ekonomi ada yang bersifat positif
(ijabiyah) yaitu berupa perintah atau anjuran syariah, seperti: (1) pemberian
harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan, (2) pemberian harta
zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik, (3) pemberian infaq,
sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan,
dan (4) pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.
Ada pula yang mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah)
yaitu berupa larangan atau cegahan syariah, misalnya (1) larangan menimbun
harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2)
larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu; (3) larangan
kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar; (4)
larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa;
yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya
atau pejabat.
Penutup
Demikianlah uraian sekilas paradigma sistem ekonomi
Islam. Dengan memahaminya, diharapkan umat Islam terdorong untuk menerapkannya
dan sekaligus mengetahui perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme
yang tengah diterapkan.
Sudah saatnya sistem ekonomi kapitalisme yang hanya
menimbulkan penderitaan itu kita hancurkan dan kita gantikan dengan ekonomi
Islam yang insyaAllah akan membawa barakah bagi kita semua. Marilah kita
renungkan firman Allah SWT:
“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
berrtakwa, niscaya akan Kami limpahkan bagi mereka barakah dari langit dan
bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya itu.” (Qs. al-A’râf [7]: 96). [ M. Shiddiq Al Jawi]
Catatan Kaki:
1. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasal dab
tumbuh di Barat pasca abad pertengahan (mulai abad ke-15), yang bercirikan
adanya kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi dan pemanfaatan
sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam situasi pasar
yang kompetitif (Milton H. Spencer, Contemporary Macro Economics, New York :
Worth Publishers, 1977).
2. Pada tahun 1985 misalnya, negara-negara industri yang
kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang penduduknya hanya
26 % penduduk dunia, menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 %
penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia (Rudolf H. Strahm,
Kemiskinan Dunia Ketiga, Jakarta : CIDES, 1999, hlm. 8-9). Pada tahun 1985
juga, pendapatan nasional (GNP) Indonesia besarnya adalah 960 dolar AS per
orang setahunnya, sejumlah 80 % daripadanya merupakan nilai aktivitas ekonomi
dari 300 grup konglomerat saja. Sedangkan selebihnya (hampir
200 juta rakyat) kebagian 20 % saja dari seluruh porsi ekonomi nasional
(Republika, 28 Agustus 2000).
Daftar Pustaka
1. Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan
dan Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2. Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences. New
Delhi : Goodwork Book.
3. Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir Al-Wushul
Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah.
4. An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut
: Dar Al-Ummah.
5. ———-. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
6. Strahm, Rudolf H. 1999. Kemiskinan Dunia Ketiga. Jakarta : CIDES
7. Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem
Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka
Thariqul Izzah.
EMAS
Aurum
Et Argentum Comparenda Sunt…
Tuesday, 08 June 2010
14:06
Jumlah berapa pun tidak
akan pernah cukup bila emas disimpan alias ditimbun
Oleh Muhaimin Iqbal*
JUDUL tulisan ini saya ambilkan dari pepatah latin, yang terjemahan bebasnya kurang lebih berarti “Emas dan Perak Adalah Untuk Untuk Dibeli…” Pepatah ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada emas dan perak; dalam ilmu pemasaran, produk-produk yang baik akan selalu dicari dan ‘dibeli’ orang. Sebaliknya produk yang buruk akan dengan susah payah harus ‘dijual’ oleh si penjual, sebelum akhirnya ‘dibeli’ orang.
Emas sebagai salah satu produk yang baik, dalam sejarah peradaban manusia menempati tempat tersendiri, baik sebagai simpanan barang berharga, sebagai uang, sebagai alat investasi, sebagai instrumen untuk membangun ketahanan ekonomi, dan berbagai fungsi lainnya. Di zaman ini ketika rezim uang dunia didominasi oleh uang fiat yang rentan inflasi dan rentan isu; dan investasi dunia pun didominasi oleh instrumen investasi yang berbasis spekulasi, maka emas tetap memiliki tempat tersendiri, yaitu sebagai tempat bersandar yang aman (safe haven) –yang setiap saat selalu dibutuhkan, terutama ketika uang dan investasi yang lain menjadi terlalu berisiko.
Masalahnya adalah kalau kebutuhan terhadap emas terus tumbuh – karena emas terus dicari orang untuk dibeli—lantas dari mana supply emas tersebut akan dipenuhi? Inilah masalah dan sekaligus peluangnya.
Masalah karena pertumbuhan emas yang ada di permukaan bumi hanya berkisar antara 2,000 ton – 2,500 ton per tahun, jumlah yang jelas tidak cukup bila dunia usaha rame-rame beralih ke emas sebagai safe haven-nya. Apalagi bila negeri-negeri yang persentase cadangan emasnya masih sangat rendah, seperti China dan Jepang, mengoreksi (menambah) cadangan emasnya.
Oleh Muhaimin Iqbal*
JUDUL tulisan ini saya ambilkan dari pepatah latin, yang terjemahan bebasnya kurang lebih berarti “Emas dan Perak Adalah Untuk Untuk Dibeli…” Pepatah ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada emas dan perak; dalam ilmu pemasaran, produk-produk yang baik akan selalu dicari dan ‘dibeli’ orang. Sebaliknya produk yang buruk akan dengan susah payah harus ‘dijual’ oleh si penjual, sebelum akhirnya ‘dibeli’ orang.
Emas sebagai salah satu produk yang baik, dalam sejarah peradaban manusia menempati tempat tersendiri, baik sebagai simpanan barang berharga, sebagai uang, sebagai alat investasi, sebagai instrumen untuk membangun ketahanan ekonomi, dan berbagai fungsi lainnya. Di zaman ini ketika rezim uang dunia didominasi oleh uang fiat yang rentan inflasi dan rentan isu; dan investasi dunia pun didominasi oleh instrumen investasi yang berbasis spekulasi, maka emas tetap memiliki tempat tersendiri, yaitu sebagai tempat bersandar yang aman (safe haven) –yang setiap saat selalu dibutuhkan, terutama ketika uang dan investasi yang lain menjadi terlalu berisiko.
Masalahnya adalah kalau kebutuhan terhadap emas terus tumbuh – karena emas terus dicari orang untuk dibeli—lantas dari mana supply emas tersebut akan dipenuhi? Inilah masalah dan sekaligus peluangnya.
Masalah karena pertumbuhan emas yang ada di permukaan bumi hanya berkisar antara 2,000 ton – 2,500 ton per tahun, jumlah yang jelas tidak cukup bila dunia usaha rame-rame beralih ke emas sebagai safe haven-nya. Apalagi bila negeri-negeri yang persentase cadangan emasnya masih sangat rendah, seperti China dan Jepang, mengoreksi (menambah) cadangan emasnya.
Selain dari hasil
penambangan baru dan daur ulang emas scrap, kebutuhan emas sebagai instrumen
investasi ini selama beberapa dekade terakhir di-supply oleh penjualan
cadangan emas negara. Namun supply dari sumber yang satu ini juga tidak akan
bertahan lama – lihat pada grafik di atas untuk buktinya. Amerika sudah tidak
menjual lagi emasnya lebih dari seperempat abad terakhir (terlhat dari
cadangannya yang tetap), Indonesia yang punya sedikit (hanya sekitar 96 ton
sampai 2006) – penjualan terakhirnya (maksud saya mudah-mudahan tidak menjual
lagi) 23 ton terjadi 4 tahun lalu (cadangan emas kita di BI kini tinggal
sekitar 73.1 ton); hanya Eropa nampaknya yang masih melakukan penjualan sampai
sekarang, meskipun jumlah yang bisa dijual akan semakin sedikit dari waktu ke
waktu.
Lantas darimana lagi emas kebutuhan investasi akan di-supply? Inilah peluang pertamanya, yaitu karena supply akan semakin tidak sebanding dengan demand maka kecil kemungkinan harga emas akan turun di pasar dunia di tahun-tahun mendatang. Sebaliknya harga emas akan secara fundamental cenderung naik karena keterbatasan supply.
Lantas apa yang akan terjadi setelah itu? Bagaimana jika orang tetap butuh emas, tetapi supply emasnya tidak ada atau tidak cukup? Ada dua kemungkinannya, pertama dengan hard-way orang akan berburu emas melalui cara-cara perang, penyitaan emas rakyat oleh negara (seperti terjadi di Amerika tahun 1930-an) dan cara-cara primitif lainnya untuk sekedar menguasai emas.
Atau dengan cara yang elegance, yaitu umat manusia akan dapat mencukupi kebutuhan emasnya melalui guidance atau petunjuk-Nya. Jumlah yang sedikit akan selalu cukup bila emas itu beredar/berputar; jumlah berapa pun tidak akan pernah cukup bila emas disimpan/ditimbun. Jadi ketersediaan emas yang cukup untuk ‘dibeli’ oleh manusia yang membutuhkannya, akan terjamin bila:
1) Emas tidak ditimbun
2) Emas tidak digunakan untuk perhiasan laki-laki
3) Emas tidak dipakai untuk bermewah-mewah membuat tempat
Lantas darimana lagi emas kebutuhan investasi akan di-supply? Inilah peluang pertamanya, yaitu karena supply akan semakin tidak sebanding dengan demand maka kecil kemungkinan harga emas akan turun di pasar dunia di tahun-tahun mendatang. Sebaliknya harga emas akan secara fundamental cenderung naik karena keterbatasan supply.
Lantas apa yang akan terjadi setelah itu? Bagaimana jika orang tetap butuh emas, tetapi supply emasnya tidak ada atau tidak cukup? Ada dua kemungkinannya, pertama dengan hard-way orang akan berburu emas melalui cara-cara perang, penyitaan emas rakyat oleh negara (seperti terjadi di Amerika tahun 1930-an) dan cara-cara primitif lainnya untuk sekedar menguasai emas.
Atau dengan cara yang elegance, yaitu umat manusia akan dapat mencukupi kebutuhan emasnya melalui guidance atau petunjuk-Nya. Jumlah yang sedikit akan selalu cukup bila emas itu beredar/berputar; jumlah berapa pun tidak akan pernah cukup bila emas disimpan/ditimbun. Jadi ketersediaan emas yang cukup untuk ‘dibeli’ oleh manusia yang membutuhkannya, akan terjamin bila:
1) Emas tidak ditimbun
2) Emas tidak digunakan untuk perhiasan laki-laki
3) Emas tidak dipakai untuk bermewah-mewah membuat tempat
makan, minum, dan lain sebagainya.
4) Emas tidak dipakai untuk bangunan
5) Dan lain sebagainya.
Di mana aturan-aturan tersebut ada? Hanya syariah Islam yang memiliki aturan sedetil ini. Jadi, bahkan untuk menjamin kelangsungan pepatah latin kuno yang artinya “Emas dan Perak Untuk Dibeli…” tersebut di atas – diperlukan syariah untuk mengawalnya. Di sinilah rahmatan lil-alamin-nya agama akhir zaman ini. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? Wa Allahu A’lam.
Penulis adalah Direktur Gerai Ginar
4) Emas tidak dipakai untuk bangunan
5) Dan lain sebagainya.
Di mana aturan-aturan tersebut ada? Hanya syariah Islam yang memiliki aturan sedetil ini. Jadi, bahkan untuk menjamin kelangsungan pepatah latin kuno yang artinya “Emas dan Perak Untuk Dibeli…” tersebut di atas – diperlukan syariah untuk mengawalnya. Di sinilah rahmatan lil-alamin-nya agama akhir zaman ini. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? Wa Allahu A’lam.
Penulis adalah Direktur Gerai Ginar
Belajarlah Emas Walau Sampai Negeri China
Thursday,
11 March 2010 10:34
Menimbun emas adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam
Islam. Di disisi lain, emas dan perak dijadikan “hakim” yang adil dalam
bermuamalah
Oleh: Muhaimin Iqbal*
PADA dasawarsa pertama kemerdekaan RI, negeri ini pernah memiliki cadangan emas sebesar 248 ton, tetapi kemudian cadangan emas ini juga pernah nyaris habis tahun 1971 menjadi tinggal 1.8 ton saja. Ketika Oil Boom tahun 70-an sampai puncaknya 1981, negeri ini alhamdulillah berhasil kembali membangun cadangan emasnya sampai mencapai sekitar 96 ton.
Sayangnya selama seperempat abad kemudian, tepatnya sampai 2006, cadangan emas ini tidak berhasil dinaikkan dan bahkan berkurang 24%-nya pada akhir 2006 sehingga tinggal 73 ton saja. Lihat detilnya di tulisan saya tanggal 28 Desember 2008 dengan judul Emas dan Kemakmuran Negeri Ini.
Mengapa sampai bangsa ini tidak menganggap penting cadangan emas yang bisa menjadi instrumen untuk membangun ketahanan ekonomi (Yukhsinun) selama lebih dari seperempat abad terakhir? Dugaan saya sendiri adalah karena ekonomi kita adalah ekonomi ala IMF banget. Kita tahu dalam sistem IMF, bahkan mereka melarang negara-negara anggotanya menggunakan emas sebagai rujukan mata uangnya (Article IV, Section 2. B).
Akibat pelarangan ini, sampai-sampainya otoritas pasar modal kita beberapa tahun lalu ketika ingin mempromosikan dagangannya menggunakan iklan yang memojokkan emas. Dalam iklan tersebut investasi emas digambarkan sebagai investasinya ibu-ibu yang suka pamer, yang lagi meringis menunjukkan gigi emasnya sambil mengangkat tangannya yang dipenuhi gelang emas.
Inilah gambaran betapa kita termakan oleh propaganda anti-emas yang distimulasi oleh IMF melalui salah satu pasal di articles of agreement tersebut.
Negara-negara yang tidak termakan propaganda IMF ini melakukan hal yang exactly sebaliknya. Kita bisa belajar dari China misalnya untuk yang terakhir ini.
Ketika kita mengurangi cadangan emas kita sampai 24%-nya; China berhasil meningkatkan cadangan emasnya dari 600-an ton tahun 2003, sampai mencapai 1.054 ton akhir tahun lalu.
Ketika institusi resmi pasar modal kita membuat iklan yang memojokkan orang-orang yang berinvestasi pada emas, pemerintah China bahkan mendorong rakyatnya agar rame-rame membeli emas melalui kampanye besar-besaran yang disiarkan oleh China Central Television. Lebih jauh lagi pemerintah China juga mendirikan Shanghai Gold Exchange untuk mempermudah rakyatnya dalam berinvestasi emas.
Mengapa China melakukan hal yang berlawanan dengan resep umum IMF ini? Dugaan saya lagi karena China tahu bahwa sesungguhnya emas itulah instrumen yang paling efektif dalam mengamankan kekayaan negeri itu beserta kekayaan rakyatnya.
Di antara negara-negara yang paling drastis penurunan cadangan emasnya, mayoritasnya justru negara yang penduduk mayoritasnya muslim seperti Indonesia. Bangladesh contohnya, saat ini tinggal memiliki cadangan emas sebesar 3.5 ton saja; Iraq tinggal 5.9 ton; dan negeri jiran kita kini hanya memiliki 36.4 ton. Padahal sebelum krisis 1997/1998 mereka memiliki cadangan emas sekitar dua kali dari yang dimilikinya sekarang.
Mungkin Anda bertanya, lho kan memang menimbun emas adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam? Betul, menimbun emas dan perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah diancam dengan siksa yang sangat pedih. Tetapi di sisi lain, emas dan perak juga dijadikan hakim/timbangan yang adil dalam bermuamalah. Bahkan batas kewajiban orang kaya dengan hak orang miskin juga ditentukan dengan emas ini, yaitu dalam bentuk nishab zakat yang 20 Dinar.
Artinya membangun cadangan emas, baik oleh negara maupun rakyat, tidak harus identik dengan menimbun. Ketika kita berhasil menjadikan emas atau Dinar kita sebagai hakim yang adil dalam menggerakkan ekonomi; maka di situlah ketahanan ekonomi umat dan bangsa ini insya Allah akan terbangun.
Misi untuk menjadikan emas/Dinar sebagai penggerak sektor riil seperti yang pernah saya tulis tanggal 25 November 2009 lalu misalnya, adalah salah satu upaya kecil yang bisa kita lakukan untuk membangun ketahanan ekonomi agar kita tidak mudah terjajah – dan pada saat bersamaan kita juga terlibat langsung dalam mempercepat putaran ekonomi.
Enam bulan sejak tulisan tersebut diluncurkan, kini produk-produk solusi pembiayaan berbasis emas/Dinar benar-benar telah dapat ditangani dengan baik oleh GeraiDinar beserta mitra-mitranya. Semoga Allah selalu menunjuki kita jalanNya. Amin. (*)
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar
Oleh: Muhaimin Iqbal*
PADA dasawarsa pertama kemerdekaan RI, negeri ini pernah memiliki cadangan emas sebesar 248 ton, tetapi kemudian cadangan emas ini juga pernah nyaris habis tahun 1971 menjadi tinggal 1.8 ton saja. Ketika Oil Boom tahun 70-an sampai puncaknya 1981, negeri ini alhamdulillah berhasil kembali membangun cadangan emasnya sampai mencapai sekitar 96 ton.
Sayangnya selama seperempat abad kemudian, tepatnya sampai 2006, cadangan emas ini tidak berhasil dinaikkan dan bahkan berkurang 24%-nya pada akhir 2006 sehingga tinggal 73 ton saja. Lihat detilnya di tulisan saya tanggal 28 Desember 2008 dengan judul Emas dan Kemakmuran Negeri Ini.
Mengapa sampai bangsa ini tidak menganggap penting cadangan emas yang bisa menjadi instrumen untuk membangun ketahanan ekonomi (Yukhsinun) selama lebih dari seperempat abad terakhir? Dugaan saya sendiri adalah karena ekonomi kita adalah ekonomi ala IMF banget. Kita tahu dalam sistem IMF, bahkan mereka melarang negara-negara anggotanya menggunakan emas sebagai rujukan mata uangnya (Article IV, Section 2. B).
Akibat pelarangan ini, sampai-sampainya otoritas pasar modal kita beberapa tahun lalu ketika ingin mempromosikan dagangannya menggunakan iklan yang memojokkan emas. Dalam iklan tersebut investasi emas digambarkan sebagai investasinya ibu-ibu yang suka pamer, yang lagi meringis menunjukkan gigi emasnya sambil mengangkat tangannya yang dipenuhi gelang emas.
Inilah gambaran betapa kita termakan oleh propaganda anti-emas yang distimulasi oleh IMF melalui salah satu pasal di articles of agreement tersebut.
Negara-negara yang tidak termakan propaganda IMF ini melakukan hal yang exactly sebaliknya. Kita bisa belajar dari China misalnya untuk yang terakhir ini.
Ketika kita mengurangi cadangan emas kita sampai 24%-nya; China berhasil meningkatkan cadangan emasnya dari 600-an ton tahun 2003, sampai mencapai 1.054 ton akhir tahun lalu.
Ketika institusi resmi pasar modal kita membuat iklan yang memojokkan orang-orang yang berinvestasi pada emas, pemerintah China bahkan mendorong rakyatnya agar rame-rame membeli emas melalui kampanye besar-besaran yang disiarkan oleh China Central Television. Lebih jauh lagi pemerintah China juga mendirikan Shanghai Gold Exchange untuk mempermudah rakyatnya dalam berinvestasi emas.
Mengapa China melakukan hal yang berlawanan dengan resep umum IMF ini? Dugaan saya lagi karena China tahu bahwa sesungguhnya emas itulah instrumen yang paling efektif dalam mengamankan kekayaan negeri itu beserta kekayaan rakyatnya.
Di antara negara-negara yang paling drastis penurunan cadangan emasnya, mayoritasnya justru negara yang penduduk mayoritasnya muslim seperti Indonesia. Bangladesh contohnya, saat ini tinggal memiliki cadangan emas sebesar 3.5 ton saja; Iraq tinggal 5.9 ton; dan negeri jiran kita kini hanya memiliki 36.4 ton. Padahal sebelum krisis 1997/1998 mereka memiliki cadangan emas sekitar dua kali dari yang dimilikinya sekarang.
Mungkin Anda bertanya, lho kan memang menimbun emas adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam? Betul, menimbun emas dan perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah diancam dengan siksa yang sangat pedih. Tetapi di sisi lain, emas dan perak juga dijadikan hakim/timbangan yang adil dalam bermuamalah. Bahkan batas kewajiban orang kaya dengan hak orang miskin juga ditentukan dengan emas ini, yaitu dalam bentuk nishab zakat yang 20 Dinar.
Artinya membangun cadangan emas, baik oleh negara maupun rakyat, tidak harus identik dengan menimbun. Ketika kita berhasil menjadikan emas atau Dinar kita sebagai hakim yang adil dalam menggerakkan ekonomi; maka di situlah ketahanan ekonomi umat dan bangsa ini insya Allah akan terbangun.
Misi untuk menjadikan emas/Dinar sebagai penggerak sektor riil seperti yang pernah saya tulis tanggal 25 November 2009 lalu misalnya, adalah salah satu upaya kecil yang bisa kita lakukan untuk membangun ketahanan ekonomi agar kita tidak mudah terjajah – dan pada saat bersamaan kita juga terlibat langsung dalam mempercepat putaran ekonomi.
Enam bulan sejak tulisan tersebut diluncurkan, kini produk-produk solusi pembiayaan berbasis emas/Dinar benar-benar telah dapat ditangani dengan baik oleh GeraiDinar beserta mitra-mitranya. Semoga Allah selalu menunjuki kita jalanNya. Amin. (*)
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar
GADAI
Gadai dalam Fikih Islam (Bagian
Pertama dari 3 Seri Tulisan)
12
Mei 2011 | Dibaca : 1722 kali | 0 Komentar
| Kategori: Hukum
Perdagangan, Fikih
Kontemporer
http://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/1154/gadai-dalam-fikih-islam-bagian-pertama-dari-3-seri-tulisan
(31-5-2011)
Islam adalah agama yang lengkap dan telah meletakkan
kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, secara
sempurna. Setiap orang mesti memerlukan interaksi dengan orang lain untuk
saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena itulah, sangat perlu sekali bagi kita untuk
mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di
antaranya adalah dalam interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya
berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Suburnya
usaha pegadaian
Utang-piutang, terkadang, tidak dapat dihindari.
Padahal, banyak fenomena ketidakpercayaan yang bermunculan di tengah manusia,
khususnya di zaman ini. Akhirnya, orang terdesak untuk meminta jaminan benda
atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri; suburnya
usaha-usaha pegadaian, baik yang dikelola oleh pemerintah atau yang dikelola
oleh pihak swasta, menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai-menggadai ini.
Ironisnya, banyak orang muslim yang belum mengenal aturan indah dan keadilan
Islam mengenai hal ini. Padahal, perkara ini bukanlah perkara baru dalam
kehidupan mereka. Sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.
Sebagai akibatnya, terjadilah kezaliman dan sikap saling memakan harta saudaranya
dengan jalan yang batil.
Kali ini, kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam
tinjauan syariat, yang meliputi beberapa sub-bab yang akan diuraikan dalam tiga
seri tulisan. Selamat membaca!
Definisi ar-rahn
Kata "rahn",
dalam bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'.[1] Dikatakan
"المَاءُ
الرَّاهِنُ", apabila 'tidak mengalir' dan kata "نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ" bermakna 'nikmat yang tidak putus'. Ada yang menyatakan bahwa
kata "rahn"
bermakna 'tertahan', dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan)
atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S. Al-Muddatstsir:38)
Kata "rahinah"
bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama
karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]
Ibnu Faris menyatakan, "Huruf ra', ha', dan nun adalah asal
kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari
kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn'
yaitu 'sesuatu yang digadaikan'." [3]
Adapun definisi "rahn", dalam istilah syariat,
dijelaskan oleh para ulama dengan ungkapan, "Menjadikan harta benda
sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan jaminan
tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [4]
Terdapat juga definisi lain, "Harta benda
yang dijadikan jaminan utang agar (utang tersebut) dilunasi dengan nilai barang
jaminan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [5]
Adapun Syekh Al-Basaam mendefinisikan "ar-rahn"
sebagai 'jaminan utang dengan barang, yang memungkinkan pelunasan utang dengan
barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasinya'. [7]
Hukum ar-rahn
Sistem utang-piutang dengan gadai ini
diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Alquran, Sunnah, dan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin.
Dalil dari Alquran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
عَلِيمٌ
"Jika
kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya (utangnya), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah,
Rabb-nya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa
saja yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang kamu kerjakan."
(Q.S. Al-Baqarah:283)
Ayat ini--walaupun ada pernyataan "dalam
perjalanan"--namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan
atau dalam keadaan mukim, karena kata "dalam perjalanan" pada ayat
ini hanya menunjukkan keadaan yang biasa memerlukan sistem ini. Hal ini pun
dipertegas dengan amalan Rasulullah yang melakukan pegadaian, sebagaimana
dikisahkan Ummul Mukminin, Aisyah, dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى
أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
"Sesungguhnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan
baju besi beliau." (H.R. Al-Bukhari, no. 2513; Muslim, no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan
pensyariatan ar-rahn
ini dalam keadaan safar (perjalanan), namun mereka masih berselisih pendapat
tentang kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al-Qurthubi menyatakan,
"Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn
pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Adh-Dhahak, dan Daud
(Azh-Zhahiri)." [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, "Diperbolehkan untuk
melakukan ar-rahn
dalam keadaan tidak safar (menetap), sebagaimana diperbolehkannya ar-rahn dalam
keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, 'Kami tidak mengetahui
seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid; ia menyatakan, 'Ar-rahn
tidak berlaku, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
'Jika
kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh orang yang memberikan piutang).''
Akan tetapi, yang benar dalam hal ini adalah
pendapat mayoritas ulama, dengan adanya perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
di atas, dan sabda beliau,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي
يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
'Ar-rahn
(barang gadai) itu ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila dia digadaikan;
susu hewan yang menyusui itu diminum dengan sebab nafkah, apabila hewan
tersebut digadaikan. Nafkah itu wajib diberikan oleh orang yang menunggangi
hewan tersebut dan oleh orang yang meminum susunya.' (H.R.
Al-Bukhari, no. 2512). Wallahu
a'lam." [9]
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah,
Al-Hafizh Ibnu Hajar, [10] dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi. [11]
Apakah ar-rahn
wajib ada dalam keadaan safar maupun mukim?
Setelah dijelaskan bahwa pensyariatan ar-rahn berlaku
dalam keadaan safar (perjalanan), maka tersisa pertanyaan: Apakah ar-rahn itu wajib ada
pada muamalah dalam keadaan safar dan mukim, tidak wajib pada seluruhan keadaan
tersebut, atau wajib dalam keadaan safar saja?
1. Ar-rahn
tidak wajib ada, baik pada muamalah dalam keadaan safar atau pun dalam keadaan
mukim.
Inilah pendapat mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan
Hanbaliyah).
Ibnu Qudamah berkata, "Ar-rahn itu tidak
wajib ada. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Ia adalah jaminan
atas utang, sehingga ia tidak wajib ada, sebagaimana tidak wajibnya dhiman (jaminan
pertanggung-jawaban). [12]
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang
menunjukkan pensyariatan ar-rahn
dalam keadaan mukim di atas, yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga
menunjukkan bahwa ar-rahn
ini tidak wajib ada.
Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga
ia tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya adh-dhiman
(jaminan pertanggung-jawaban) dan al-kitabah
(penulisan perjanjian utang). Selain itu, juga karena ar-rahn ini ada
ketika pihak yang bermuamalah mengalami kesulitan untuk melakukan penulisan
perjanjian utang. Bila
al-kitabah tidak wajib dilakukan maka demikian juga penggantinya.
2. Ar-rahn
wajib ada pada muamalah yang dilakukan dalam keadaan safar. Inilah pendapat
Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
"Jika
kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh orang yang memberikan piutang)."
Mereka menyatakan bahawa kalimat "maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberikan
piutang)" adalah berita yang bermakna perintah.
Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
"Semua
syarat yang tidak ada di Kitabullah maka ia batil, walaupun sebanyak seratus
syarat." (H.R. Al-Bukhari).
Mereka menyatakan, "Pensyaratan ar-rahn dalam
keadaan safar ada dalam Alquran, dan itu diperintahkan, sehingga kita wajib
mengamalkannya, dan dia tidak disyaratkan ada (pada muamalah yang berlangsung)
dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak (tidak diamalkan pada keadaan mukim, ed.).
Pendapat ini
dapat dibantah dengan argumentasi: bahwa perintah dalam ayat
tersebut bermaksud memberikan bimbingan, bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan
dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
"Akan
tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah pihak
yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)." (Q.S.
Al-Baqarah:283)
Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah
adalah kebolehan (mubah) yang tetap berlaku, hingga ada larangannya; dan di
sini tidak ada larangan yang berlaku. [13]
Yang rajih
adalah pendapat pertama. Wallahu
a'lam.
Catatan kaki:
[1] Lihat Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
[2] Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
[3] Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
[4] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
[5] Lihat Al-Mughni, 6:443.
[6] Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al-Aziz.
[7] Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.
[8] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:107.
[9] Lihat Al-Mughni, 6:444 dan Taudhih Al-Ahkam, 4:460.
[10] Fathul Bari, 5:140.
[11] Adhwa' Al-Bayan, 1:228.
[12] Al-Mughni, 6:444.
[13] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:112--112.
[1] Lihat Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
[2] Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
[3] Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
[4] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
[5] Lihat Al-Mughni, 6:443.
[6] Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al-Aziz.
[7] Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.
[8] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:107.
[9] Lihat Al-Mughni, 6:444 dan Taudhih Al-Ahkam, 4:460.
[10] Fathul Bari, 5:140.
[11] Adhwa' Al-Bayan, 1:228.
[12] Al-Mughni, 6:444.
[13] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:112--112.
Menggadaikan Barang, Apa Hukumnya?
Kamis, 25 November 2010, 02:09 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA--Setiap musim masuk sekolah dan hari raya, sebagian masyarakat
Indonesia biasa mendatangi pegadaian. Mereka menggadaikan barang berharga yang
dimilikinya agar bisa membiayai sekolah putra-putrinya serta bisa merayakan
hari raya. Terlebih, biaya pendidikan di Tanah Air setiap tahun terus naik dan
kian tak terjangkau.
Menggadaikan barang merupakan solusi yang cepat. Tak heran, jika minat masyarakat untuk menggadaikan barang berharga miliknya sangat tinggi. Dengan menggadaikan barang, mereka bisa menebusnya kembali sehingga barang berharga kesayangan tak akan hilang.
Ajaran Islam membolehkan transaksi gadai barang. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah SAW. "Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya."
Nabi SAW juga pernah bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."
Selain itu, para ulama bersepakat membolehkan akad gadai (rahn). Terlebih, berdasarkan kaidah fikih, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Terkait masalah gadai, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).
Dalam fatwa itu ditetapkan, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. "Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya," ujar Ketua Umum DSN-MUI, KH MA Sahal Mahfudz dalam fatwa itu.
Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
"Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah," papar Kiai Sahal. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Lalu bagaimana jika terjadi sengketa? Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, fatwa itu mengatur agar diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan.
Dalam fatwa itu, para ulama mendorong agar lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Selain itu, para ulama mengimbau agar proses gadai barang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Menggadaikan barang merupakan solusi yang cepat. Tak heran, jika minat masyarakat untuk menggadaikan barang berharga miliknya sangat tinggi. Dengan menggadaikan barang, mereka bisa menebusnya kembali sehingga barang berharga kesayangan tak akan hilang.
Ajaran Islam membolehkan transaksi gadai barang. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah SAW. "Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya."
Nabi SAW juga pernah bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."
Selain itu, para ulama bersepakat membolehkan akad gadai (rahn). Terlebih, berdasarkan kaidah fikih, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Terkait masalah gadai, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).
Dalam fatwa itu ditetapkan, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. "Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya," ujar Ketua Umum DSN-MUI, KH MA Sahal Mahfudz dalam fatwa itu.
Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
"Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah," papar Kiai Sahal. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Lalu bagaimana jika terjadi sengketa? Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, fatwa itu mengatur agar diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan.
Dalam fatwa itu, para ulama mendorong agar lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Selain itu, para ulama mengimbau agar proses gadai barang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Red: irf
Rep: heri ruslan
Rep: heri ruslan
HARTA
Kedudukan Harta Dalam Islam.
Islam adalah agama yang praktis. Dengan hukum-hukumnya,
kebutuhan-kebutuhan manusia, bahkan jalan-jalan untuk menuju kearah
kebahagiaannya, telah digariskan dan diatur
demikian rapi dan apik, baik untuk kepentingan dan kebahagiaan
jasmaninya ataupun rohaninya.
Di dalam
system ajaran Islam, harta kekayaan yang dimiliki manusia, mempunyai nilai
demikian tinggi dan kedudukan terhormat. Islam memandang terhadap harta dengan
pandangan yang realistis. Dinyatakan, bahwa harta—sebagaimana juga anak-anak,
berfungsi sebagai perhiasan hidup, dan ia merupakan kebutuhan primer bagi
kehidupan manusia, baik bagi kehidupan individu, maupun untuk kepentingan
bersama (QS Al-Kahfi:46). Oleh karenanya tidaklah diragukan lagi, bahwa harta
merupakan salah satu factor penting bagi tercapainya kebahagiaan, kehormatan,
ilmu pengetahuan, kesehatan, kekuatan, kemakmuran dan kedudukan tinggi dalam
kehidupan ini.
Karena
harta kekayaan tak mungkin didapatkan tanpa usaha, maka Islam menganjurkan
manusia untuk mencarinya, yakni melalui usaha pertanian (QS Abasa: 24-32), atau melalui usaha perdagangan/perniagaan
(QS Al-Baqarah 275 dan 282), ataupun
melalui usaha industri (QS Hud:37-38, Al-Kahfi: 96, Al-Anbiya’80 dan
Al-Hadid:25). Seseorang yang berusaha mencari harta melalui jalan-jalan
tersebut, dinamakan sebagai hamba-hamba Allah yang sedang mencari karunia-Nya
(QS Al-Jumu’ah: 10).
Fungsi Sosial dari Harta.
Banyak orang yang beranggapan, bahwa harta kekayaan yang
dimilikinya adalah mutlak seratus persen kepunyaannya. Sehingga menurutnya,
tindakan ataupun yang akan dilakukannya terhadap hartanya itu, adalah haknya
sepenuhnya. Anggapan yang demikian jelas keliru, dan ini jelas merupakan gambaran
paham individualisme-liberalisme yang sekuler, yang bertentangan secara
diametral dengan konsep dan hukum Islam.
Al-Qur’an
telah menggariskan prinsip-prinsip hukum mengenai harta benda, yang pada
hakekatnya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemiliknya. Di
antaranya kewajiban memelihara dan menjaga harta sebagai amanah atau titipan
Allah padanya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskannya (QS
Al-Kahfi: 46). Pemilik harta dilarang menghambur-hamburkan atau berfoya-foya dengan
hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang terlarang dan
merupakan kedurhakaan (QS Al-A’raf:31 dan Al-Isra’: 26).
Ditegaskan
bahwa terlalu boros atau terlalu kikir dalammembelanjakan harta, akan
menimbulkan penyesalan dan kerugian di akhirat kelak (QS Al-Furqan:67 dan
Al-Isra’:29). Seseorang yang memiliki harta kekayaan, akan dituntut
pertanggung-jawabannya di akhirat kelak, dari mana ia memperolehnya dan kemana
serta untuk apa harta itu dibelanjakan (QS Al-Ba, qarah: 254 dan 267).
Dengan demikian seseorang pada dasarnya
dibebani kewajiban mencari harta dengan cara yang legal dan halal, dan dalam
membelankannya pun dengan cara halal pula, bukan dengan cara illegal yang akan
dapat menimbulkan kejahatan dan kerusakan, seperti umpamanya dengan jalan riba
(Al-Baqarah:275) atau dengan cara mengekploitasi kelemahan dan kebodohan
orang-orang cilik, agar dapat memperoleh harta dengan jalan batil (QS
Al-Baqarah:188).
Dan lebih
dari itu, bahwa dalam harta kekayaan yang dimiliki seseorang hartawan, terdapat
hak orang-orang miskin dan orang-orang yang perlu memperoleh santunan dan
pertolongan (QS Az-Dzariyat: 19)
Waspadai 9
Dampak Makanan dan Harta Haram
Friday, 07 August 2009 20:22
Banyak kaum Muslim kurang
paham bahwa Allah akan menolak doa orang yang di dalam tubuhnya masuk
makanan haram
Hidayatullah.com--"Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal, "demikian ucapan sebagian orang, seolah-olah bisa melegalkan kita mendapatkan makanan yang haram. Tapi begitulah kondisi kehidupan duniawi saat ini.
Banyak orang jungkir-balik bekerja dan mengumpulkan harta demi sesuap nasi, meski harus mengambil dan mendapatkan makanan haram yang sangat dilarang oleh agama.
Padahal gara-gara makanan, doa kita bisa tidak diterima oleh Allah. Ibnu Abbas berkata bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah SAW, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya." (HR At-Thabrani)
Dalam Al-Quran disebutkan, "Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. "Katakanlah, "Adakah Allah telah memberikan izin kepadamu (dalam persoalan mengharamkan dan menghalalkan) atau kamu hanya mengada-adakan sesuatu terhadap Allah?" (Surah Yunus, 10: 59)
Di bawah ini beberapa dampak makanan haram yang masuk ke perut kita, sebagaimana banyak diungkapkan di hadis dan Al-Quran;
Tidak Diterima Amalan
Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa suapan haram jika masuk ke dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari." (HR At-Thabrani).
Tidak Terkabul Doa
Sa'ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullan saw, "Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul." Rasulullah menjawab, "Wahai Sa'ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan." (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?" (HR Muslim).
Mengikis Keimanan Pelakunya
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari Muslim).
Mencampakkan Pelakunya ke Neraka
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi).
Mengeraskan Hati
Imam Ahmad ra pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran, maka beliau menjawab, "Dengan memakan makanan halal." (Thabaqat Al Hanabilah : 1/219).
At Tustari, seorang mufassir juga mengatakan, "Barangsiapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan sunnah," (Ar Risalah Al Mustarsyidin : hal 216).
Sa'ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullan saw, "Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul." Rasulullah menjawab, "Wahai Sa'ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan." (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?" (HR Muslim).
Mengikis Keimanan Pelakunya
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari Muslim).
Mencampakkan Pelakunya ke Neraka
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi).
Mengeraskan Hati
Imam Ahmad ra pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran, maka beliau menjawab, "Dengan memakan makanan halal." (Thabaqat Al Hanabilah : 1/219).
At Tustari, seorang mufassir juga mengatakan, "Barangsiapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan sunnah," (Ar Risalah Al Mustarsyidin : hal 216).
Dampak Tidak Langsung
Haji dari Harta Haram Tertolak
Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan, "Labbaik, Allahumma labbaik!" Maka yang berada di langit menyeru, "Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangkan dosa dan tidak diterima." (HR At Thabrani)
Sedekahnya ditolak
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala, dan dosa untuknya." (HR Ibnu Huzaimah)
Shalatnya tidak diterima
Dalam kitab Sya'bul Imam disebutkan, " Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham di antaranya uang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakan." (HR Ahmad)
Silaturrahminya sia-sia
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa, lalu ia dengannya bersilaturahim (menyambung persaudaraan) atau bersedekah, atau membelanjakan (infaq) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu, kemudian Dia melemparkannya ke dalam neraka. Lalu Rasulullah saw bersabda, " Sebaik-baiknya agamamu adalah al-wara' (berhati-hati)." (HR Abu Daud).[www.hidayatullah.com]
JUAL BELI
(Lihat: 1. Islamic Electronic Book – 1001 Kisah Teladan - Kejujuran Saudagar Permata; 2. Hadis –
Dagang – Mempermudah Costumer dalam Transaksi Bisnis)
Hukum Transaksi Jual Beli
secara Kredit
19/05/2008
19/05/2008
Salah satu kegiatan bisnis yang terjadi di zaman modern
ini adalah jual
beli barang secara kredit dengan harga yang labih tinggi dari pada biasanya.
Prakteknya adakalanya si tukang kredit memasang dua harga, jika beli secara
kredit harganya sekian dan kalau tunai harganya sekian.
Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?
Para ulama merumuskan kaidah tentang hukum
transaksi (mu’amalah)
bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali
kalau di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar),
sepekulasi (maysir),
riba dan barangnya dijual dua kali.
Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.
Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat: (1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
(2).Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
(3). Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.
Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.
Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).
Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih).
Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?
Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.
Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat: (1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
(2).Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
(3). Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.
Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.
Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).
Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih).
HM Cholil Nafis, Lc., MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Dua
Harga Untuk Satu Barang
Saturday, 11 July 2009 20:
Di diler mobil ada yang menawarkan harga dengan
cara kredit sekian dan kontan sekian (lebih mahal kredit) dan saya pernah
mendengar bahwa dua akad jual beli dalam satu majlis itu di haramkan,
kalau itu memang benar bagaimana caranya untuk membeli mobil di diler tersebut.
sebelumnya saya ucapkan terima kasih
sebelumnya saya ucapkan terima kasih
Mas Muhammad, Rahimakallah, al hamdulullah agama
kita yaitu Islam telah memberikan aturan dalam segala aspek kehidupan kita.
Baik secara terinci maupun hanya dalam bentuk global. Termasuk hal yang
mendapat perhatian dalam aturan Islam adalah terkait dengan masalah
perdagangan. Tidak lain karena hubungan perdagangan merupakan salah satu pilar
ekonomi manusia yang menjadi sumber penghidupannya.
Banyak
sekali teks dalam Al Qur’an maupun hadits yang terkait dengan masalah ini. Demi
kemudahan memberikan penjelasan kepada umat ulama menyimpulkan, bahwa dalam
jual beli selain terlengkapinya rukun –yaitu, penjual, pembeli, akad dan
barang- diluar itu ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat
keabsahannya. Diantaranya adalah bebas dari unsur riba, ketidak jelasan dan
penipuan.( al Fiqhul Islamiy: 4 / 228)
Sebelum masuk secara khusus
dalam pembahasan mengenai pertanyaan pertama, perlu diketahui beberapa hal.
Pertama; pada dasarnya tidak ada larangan untuk menjual barang secara kredit
baik dengan cicilan maupun langsung. Kedua, penjual bebas menjual
barangnya dengan harga berapapun asal bebas dari unsur penipuan. Ketiga, tidak
ada kewajiban bagi penjual untuk menjual barangya dengan harga yang sama. Pada
saat yang samapun ia boleh melepas barangnya dengan harga yang berbeda kepada
konsumen.
Terkait
langsung dengan masalah yang anda kemukakan, ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, ia berkata:” Rasulullah s.a.w melarang dua
jual beli dalam satu penjualan (bai’ataini fi bai’ah)” ( HR. Ahmad,
Turmudzi . Subulussalam : 3 / 28 . No: 752 Abu Dawud: IX/323 no: 3002).
Imam Syafi’i mengatakan, model transaksi yang dilarang Rasulullah dengan
istilah “dua jual beli dalam satu penjualan (bai’aini fi bai’ah)”ada dua
macam. Pertama, bila penjual mengatakan :” Aku jual barang ini dengan harga
cash Rp A dan bila kredit Rp B lalu pembeli mengambil tanpa kejelasan cara dan
harga mana yang dia pilih. Dengan kata lain menjual dengan dua harga tawaran,
kemudian pembeli mengambil tanpa kejelasan pilihan harga dan cara pembayaran.
Kedua, aku jual ini kepada anda dengan syarat anda jual barang anda yang itu
kepada saya. Dan yang pertama itulah yang kita maksud disini.
Ulama dari
emapat madzhab kecuali madzhab Maliki mengatakan bahwa transaksi itu rusak atau
batal, sebab ada ketidak jelasan (gharar) akibat pembeli tidak
menentukan pilihan harga dan cara pembayaran ketika mengambil barang. Sama
tidak sahnya jika penjual mengatakan :” Aku jual salah satu barang ini” Lalu
pembeli berkata :”Ya”. Maka dari itu ulama Hanafiah menegaskan, bila saja
ketidak jelasan itu dihapus maka menjadi sah. Misalnya, sebelum mengambil
pembeli mengaskan pilihannya bahwa ia memilih pembayaran cash. Malahan dalam
madzhab Maliki dikatakan, tanpa kejelasan itupun transaksi itu tetap sah, namun
pilihan itu mnejadi jatuh pada harga kredit, karena nyatanya pembeli tidak
langsung membayar ketika mengambil barang.
Memang ada
sebagian ulama memberikan alasan bahwa transaksi itu batal karena adanya
selisih harga di atas harga rata-rata harga hari itu sebab penangguhan waktu
pembayaran,( Subulussalam : 3 / 28 . No: 752)tetapi alasan ini tidak masyhur
dan tidak pula ada dalil yang menegaskan demikian.
Memang
selintas ada keserupaan dengan pembungaan uang. Tapi sebenarnya jauh berbeda,
karena yang anda serahkan adalah barang, bukan uang. Sedangkan riba berlaku
pada uang atau yang sehukum. Dan seseorang bebas menjual barangnya dengan harga
berapapun asal jelas dan bebas penipuan, baik secara cash maupun kredit. Lagi
pula -sebagaimana di atas- tidak ada kewajiban bagi penjual, untuk menjual dengan
satu harga pada saat yang sama maupun waktu yang berbeda. Secara logika juga
bisa dipahami adanya perbedaan harga itu, karena selisih harga itu dapat
dianggap sebagai konsekwensi atau ganti dari kemudahan yang diberikan penjual
kepada konsumen, dimana konsumen bisa mengambil manfaat barang -bukan uang-
lebih awal sementara penjual belum bisa memanfaatkan haknya. Ini berarti ada
jasa / kerugian pada pihak penjual. Maka kerugian / jasa itu sudah selayaknya
mendapatkan ganti dari pihak pembeli sehingga terjadi keadilan bagi dua pihak.
Penjualan model demikian dalam bank syariah diistilahkan dengan ba’
bitsaman ajil (jual dengan pembayaran tunda)
Dengan
demikian semoga tidak ada keraguan lagi bagi anda tentang kebolehan transaksi
itu dan pertanyaan yang anda sampaikan bisa terjawab. Wallahu a’lam
Etika
Jual Beli
Pada suatu hari, seorang saudagar perhiasan di zaman
Tabiin bernama Yunus bin Ubaid, menyuruh saudaranya menjaga tokonya karena ia
akan keluar solat. Ketika itu datanglah seorang badwi yang hendak membeli
perhiasan di itu. Maka terjadilah jual
beli di antara badwi itu dan penjaga
yang diamanahkan tuannya tadi. Satu barang perhiasan permata yang hendak
dibeli harganya empat ratus dirham. Saudara Yunus menunjukkan suatu barang yang
sebetulnya harga dua ratus dirham. Barang tersebut dibeli oleh badwi tadi tanpa
diminta mengurangkan harganya. Di tengah jalan, dia bertemu dengan Yunus bin
Ubaid. Yunus bin Ubaid lalu bertanya kepada si badwi yang membawa barang
perhiasan yang dibeli dari tokonya tadi. Yunus mengenali barang tersebut adalah
dari tokonya. Yunus bertanya kepada badwi itu, “Berapakah harga barang ini kamu
beli?” Badwi itu menjawab, “Empat ratus
dirham.” “Tetapi harga sebenarnya Cuma dua ratus dirham saja. Mari ke saya supaya saya dapat kembalikan uang
selebihnya kepada saudara.” Kata Yunus
lagi. “Biarlah, aku telah merasa senang dan beruntung dengan harga yang empat
ratus dirham itu, sebab di kampungku harga barang ini paling murah lima ratus
dirham.” Tetapi saudagar Yunus itu tidak mau melepaskan badwi itu pergi.
Didesaknya juga agar badwi tersebut balik ke tokonya dan bila tiba dikembalikan
uang kelebihannya kepada badwi itu. Setelah badwi itu berjalan, berkatalah
Yunus kepada saudaranya, “Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah
atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan dua kali ganda?” “Tetapi dia
sendiri yang mau membelinya dengan harga empat ratus dirham.” Saudaranya coba
mempertahankan bahwa dia dipihak yang benar. Kata Yunus lagi, “Ya, tetapi di atas pundak kita
terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan
terhadap diri kita sendiri.” Jika kisah ini dapat dijadikan teladan bagi
pedagang kita yang beriman, amatlah tepat. Karena ini menunjukkan pribadi
seorang pedagang yang jujur dan amanah di jalan mencari rezeki yang halal. Semuanya
berjalan dengan aman dan tenteram karena tidak ada penipuan dalam perdagangan.
KARTU
KREDIT
Hukum Menggunakan Kartu Kredit
Tuesday, 19 January 2010 14:00
Mayoritas ulama menyatakan bahwa syarat yang tidak
sesuai dengan syariat yang terjadi dalam sebuah transaksi, akan merusak
transaksi dan pelakunya berdosa
Di dunia modern seperti ini, banyak kaum muslimin yang menggunakan kartu kredit di dalam melakukan transaksi jual beli. Kartu tersebut dirasa lebih efesien, aman, dan praktis ngina kalau membawa uang tunai kemana-mana. Bagaimana ngin menggunakan kartu kredit tersebut? Sebagian kalangan menyatakan haram karena di dalam kartu tersebut terdapat ngina riba. Namun, sebagian yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kartu kredit tersebut halal secara mutlak dan tidak ada ngina riba. Bagaimana sebenarnya ?
Di dunia modern seperti ini, banyak kaum muslimin yang menggunakan kartu kredit di dalam melakukan transaksi jual beli. Kartu tersebut dirasa lebih efesien, aman, dan praktis ngina kalau membawa uang tunai kemana-mana. Bagaimana ngin menggunakan kartu kredit tersebut? Sebagian kalangan menyatakan haram karena di dalam kartu tersebut terdapat ngina riba. Namun, sebagian yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kartu kredit tersebut halal secara mutlak dan tidak ada ngina riba. Bagaimana sebenarnya ?
Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah,
M.A
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa dalam kartu kredit ini terdapat tiga transaksi:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa dalam kartu kredit ini terdapat tiga transaksi:
Pertama: Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit dengan pengguna kartu kredit. Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit (dalam hal ini adalah perbankan) dan pihak yang menggunakannya (yaitu nasabah) adalah transaksi kafalah (jaminan). Dalam hal ini perbankan bertindak sebagai kafil (pihak penjamin), sedang pengguna kartu sebagai pihak yang terjamin, sedangkan kartu kredit itu sendiri adalah bukti dari kafalah.
Pihak penjamin berkewajiban membayar seluruh hutang-hutang pengguna dalam setiap transaksinya dengan para pedagang yang telah ditunjuk oleh pihak penjamin. Transaksi ini oleh para fuqaha disebut dengan “ dhoman ma lam yajib“ (jaminan pada sesuatu yang bukan kewajibannya), dan hal ini dibolehkan oleh mayoritas ulama, adapun ulama-ulama Syafi’iyah tidak membolehkannya.
Hanya saja, transaksi kafalah dalam bentuk ini menyisakan beberapa masalah, di antaranya bahwa transaksi kafalah di dalam syariat Islam tidak berorientasi kepada profit, tetapi hanya bantuan belaka. Sedang transaksi kafalah dalam kartu kredit bertujuan untuk mendapatkan keuntungan di balik bantuan yang diberikan kepada para pengguna kartu.
Hukum Membership Fee
Untuk memiliki kartu kredit, seseorang harus menjadi anggota dan membayar sejumlah uang pembuatan kartu. Begitu juga dia harus membayar uang untuk memperbaharui kartu tersebut tiap tahun, jika dia ingin meneruskan penggunaan kartu tersebut.
Bagaimana ngin membership fee tersebut menurut fikih? Para ulama menjelaskan bahwa uang dari jasa pembuatan kartu kredit tersebut adalah boleh, selama biayanya masih dalam batas kewajaran, karena hal itu termasuk dalam katagori upah pembuatan kartu. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa semua pengguna kartu tersebut dipungut biaya yang sama, baik dia menggunakan kartu kredit tersebut untuk membeli barang yang sangat banyak, maupun sedikit, bahkan bagi yang tidak menggunakannya sama sekali. Semuanya dikenakan biaya yang sama.
Telat Pembayaran
Para pengguna kartu sebagai pihak yang terjamin berkewajiban membayar hutang–hutangnya kepada pihak yang menjamin. Pembayaran hutang ini tentunya sesuai dengan nilai barang yang dia beli dari pedagang atau jasa yang ia manfaatkan darinya. Seandainya pihak penjamin meminta lebih dari itu atau mensyaratkan imbalan jasa dari jaminan yang diberikannya, maka tambahan atau imbalan jasa tersebut termasuk dalam katagori riba. Begitu juga, jika pihak penjamin memberlakukan ketentuan bunga kepada pihak pengguna kartu jika pelunasan hutang kepadanya lewat jatuh tempo atau menunggak. Ini semua tidak dibolehkan.
Bagaimana jika pengguna kartu meyakini karena melihat kondisi ngina dan ekonominya, mampu membayar tepat waktu kepada pihak penjamin sehingga tidak akan terkena denda atas keterlambatan membayar hutang? Mayoritas ulama menyatakan bahwa syarat yang tidak sesuai dengan syariat yang terjadi dalam sebuah transaksi, maka akan merusak transaksi itu sendiri dan pelakunya berdosa. Sedang madzhab Hanabilah menyatakan bahwa syarat yang menyelisihi syariat tersebut tidak mempengaruhi keabsyahaan transaksi, dan syarat tersebut dengan sendirinya batal. Oleh karenanya, menurut madzhab ini pengguna kartu yang membayar hutangnya kepada penjamin tepat pada waktunya tidak terkena riba dan ini dibolehkan.
Kedua: Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit dengan para pedagang.
Pihak yang mengeluarkan kartu berkewajiban untuk membayar hutang yang ditanggung pihak pengguna kepada para pedagang tersebut. Hutang tersebut bisa dipindahkan dari pihak pengguna kartu kepada pihak yang mengeluarkan kartu melalui transaksi hiwalah. Jadi, para pedagang tidak boleh lagi meminta bayaran kepada para pembeli yag merupakan pihak pengguna kartu atau pihak yang dijamin, karena hutang mereka sudah dipindahkan ke pihak yang mengeluarkan kartu. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “ az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin adalah pihak yang berhutang (karena jaminan tersebut).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah ).
Keuntungan Pihak Penjamin
Pihak penjamin, yaitu yang mengeluarkan kartu akan mendapat keuntungan dari pihak pedagang dalam bentuk diskon harga barang-barang yang telah dibeli oleh pihak pengguna kartu. Artinya pihak penjamin tidak membayar penuh dari jumlah harga yang telah dibeli oleh pengguna kartu atau dalam rekening pembayaran. Bagaimana ngin mengambil keuntungan dengan cara seperti ini? Sebagian ulama membolehkan transaksi semacam ini dengan mengemukakan beberapa ngina:
1. Keuntungan tersebut adalah biaya administrasi atau upah dari jasa pengambilan uang dari para nasabah (para pengguna kartu), dan ini dibolehkan.
2. Keuntungan tersebut adalah upah dari jasa pihak penjamin, karena membuat iklan dan pesan-pesan terhadap barang-barang yang dijual pedagang.
3. Keuntungan tersebut adalah upah dari jasa pihak penjamin, karena telah membantu pedagang untuk mencarikan pelanggan, yang dalam istilah fikih disebut samsarah atau mediator atau broker.
Yang menjadi masalah dalam transaksi ini adalah bahwa hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu (penjamin) dengan pihak pedagang adalah hubungan kafalah di dalam membayar hutang-hutang pihak pengguna kartu (yang dijamin) kepada pedagang. Tetapi di dalam satu waktu, ketika pihak penjamin mendapat keuntungan dari pedagang berupa diskon harga, maka hubungan antara keduanya berubah menjadi transaksi ijarah, atau mediator.
Ketiga: Transaksi antara para pengguna kartu dengan para pedagang
Transaksi antara para pengguna kartu dengan para pedagang mempunyai dua bentuk:
1.
Transaksi jual beli, hal ini
terjadi jika pembawa kartu tersebut membeli barang-barang dari pedagang.
2.
Transaksi ijarah (sewaan),
hal ini jika pembawa kartu memanfaatkan sesuatu dari pedagang.
Kedua transaksi tersebut sah dan diizinkan dalam syariat Islam.
Kedua transaksi tersebut sah dan diizinkan dalam syariat Islam.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa menggunakan kartu kredit di dalam transaksi jual beli hukumnya diperinci terlebih dahulu:
Jika pihak penjamin tidak mensyaratkan denda dari keterlambatan pembayaran hutang dari pihak yang dijamin, maka hukumnya boleh. Sebaliknya, jika disyaratkan seperti itu, maka hukumnya tidak boleh, kecuali jika pihak pengguna kartu berkeyakinan penuh bahwa dia bisa melunasi hutang tersebut tepat pada waktunya, maka hal ini dibolehkan menurut sebagian ulama.
Bagi pihak pembuat kartu (penjamin) dibolehkan memungut biaya pembuatan kartu dari pihak pengguna dalam batas-batas kewajaran. Begitu juga, pihak penjamin atau pembuat kartu dibolehkan mendapatkan keuntungan dari penjual berupa discount harga-harga yang dibeli oleh pengguna kartu, karena telah mempromosikan barang-barangnya kepada konsumen, atau karena telah membantu pedagang mencarikan pelanggan atau karena telah membantu untuk mengambil hutang-hutang dari pengguna kartu.
Walaupun begitu, dianjurkan seorang muslim untuk berhati-hati sekali menggunakan kartu dalam transaksi semacam ini. Jika tidak mendesak, sebaiknya ditinggalkan. Wallahu A’lam. [www.hidayatullah.com]
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa menggunakan kartu kredit di dalam transaksi jual beli hukumnya diperinci terlebih dahulu:
Jika pihak penjamin tidak mensyaratkan denda dari keterlambatan pembayaran hutang dari pihak yang dijamin, maka hukumnya boleh. Sebaliknya, jika disyaratkan seperti itu, maka hukumnya tidak boleh, kecuali jika pihak pengguna kartu berkeyakinan penuh bahwa dia bisa melunasi hutang tersebut tepat pada waktunya, maka hal ini dibolehkan menurut sebagian ulama.
Bagi pihak pembuat kartu (penjamin) dibolehkan memungut biaya pembuatan kartu dari pihak pengguna dalam batas-batas kewajaran. Begitu juga, pihak penjamin atau pembuat kartu dibolehkan mendapatkan keuntungan dari penjual berupa discount harga-harga yang dibeli oleh pengguna kartu, karena telah mempromosikan barang-barangnya kepada konsumen, atau karena telah membantu pedagang mencarikan pelanggan atau karena telah membantu untuk mengambil hutang-hutang dari pengguna kartu.
Walaupun begitu, dianjurkan seorang muslim untuk berhati-hati sekali menggunakan kartu dalam transaksi semacam ini. Jika tidak mendesak, sebaiknya ditinggalkan. Wallahu A’lam. [www.hidayatullah.com]
KASIR
PEREMPUAN
Al Lajnah
Ad Da`imah Haramkan Wanita Jadi Kasir
Monday, 01 November 2010
11:01 Hukum
Pemerintah Saudi sudah menurunkan keputusan bolehnya
wanita bekerja menjadi penjual pakaian dalam sejak 2006, namun hingga kini
belum terlaksana
Hidayatullah.com--Al Lajnah Ad Dai`imah li Al Buhuts Al
Ilmiah wa Al Ifta` Saudi mengeluarkan fawa baru pada hari Ahad (31/10/2010)
kemarin. Fatwa yang menyebutkan haramnya wanita menjadi kasir itu dikeluarkan
untuk mengakhiri polemik mengenai hukum wanita menjadi kasir di negeri itu,
demikian lansir onislam.net (31/10).
Teks fatwa menyebutkan,”Dilarang wanita bekerja di tempat
yang terdapat ikhtilath dengan laki-laki, wajib baginya untuk menjauhi tempat
berkumpulnya laki-laki dan mencari pekerjaan yang mubah, tidak menjerumuskan
dia kepada fitnah dan tidak menyebabkan ia menjadi sumber fitnah.”
Fatwa itu menjawab pertanyaan yang menyebutkan bahwa sejumlah
toko telah memperkerjakan wanita sebagai kasir, yang melayani konsumen
laki-laki dan perempuan. Dalam satu hari ia bisa bertemu dengan puluhan
laki-laki dan berkomunikasi dengan mereka. Demikian juga ia
berkumpul dan berinteraksi dengan teman seprofesi serta atasan. Bagaimana hukum
melakukan perkerjaan dalam keadaan demikian?
Al
Lajnah Ad Da`imah menjawab bahwa kondisi yang disebutkan dalam pertanyaan
menyebabkan wanita terjerumus dalam fitnah dan laki-laki juga terfitnah. Hal
ini adalah aktivitas yang diharamkan. Dan mengangkat wanita untuk bekerja dalam
keadaan demikian juga haram.
Sebagaimana
diketahui, bahwa Kementerian Tenaga Kerja Saudi telah mencanangkan sejak lima tahun lalu untuk
memperluas lapangan pekerjaan bagi para wanita Saudi, yang sebelumnya hanya
menempati sektor pendidikan. Namun, langkah tersebut belum terealisiasi,
semisal keputusan mengenai bolehnya wanita menjadi penjual pakaian dalam
wanita.
Keputusan
mengenai bolehnya wanita bekerja dalam sektor jual-beli khusus pakaian dalam
telah terbit sejak tahun 2006, namun hingga kini belum terlaksana di lapangan
karena ditentang sebagaian tokoh agama. [tho/oni/hidayatullah.com]
KOPERASI
SIMPAN PINJAM
Koperasi Simpan Pinjam
ataukah Syirkah?
06/03/2007
06/03/2007
Bahtsul Masail Diniyah
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pesantren Ihya
Ulumuddin, Kesugihan, Cilacap, 23-26 Rabi’ul Awwal 1408 H / 15-18 Nopember 1987
membahas pertanyaan seputar apakah uang administrasi dalam koperasi simpan
pinjam (Kosipa) termasuk riba? Bagaimana solusinya? Apakah Ada zakatnya?
Bahtsul Masa’il memutuskan
bahwa modal yang dikumpulkan dalam Kosipa dari uang simpanan pokok dan
simpanan wajib para anggota koperasi untuk dipinjamkan kepada yang memerlukan
pinjaman, tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab-kitab fiqh, karena:
a. Dalam syirkah pengumpulan
modal itu disyaratkan harus ada “lafadl” atau kalimat yang dapat dirasakan
sebagai pemberian izin dalam perdagangan. Sedangkan dalam Kosipa pengumpulan
modal tersebut dimaksudkan untuk dipinjamkan.
b. Dalam syirkah modal harus
sudah terkumpul sebelum dilakukan syirkah. Sedangkan dalam Kosipa biasanya
modal baru dikumpulkan sesudah disetujui oleh rapat anggota.
Jadi akad pengumpulan modal
dalam Kosipa tersebut tidak sah menurut ketentuan syara. Pengambilan dalil
antara lain: Dari kitab-kitab fiqh, antara lain kitab Minhajuth Thullab, hamisy
dari kitab Fathul Wahab juz I, hlm. 217 yang berbunyi:
Dan disyaratkan dalam
perseroan adanya lafal yang dapat memberikan pengertian adanya izin berdagang .
. . dan dalam barang yang diperserokan, maka harus merupakan barang yang
sepadan dan sudah tercampur (dengan barang dari pihak lain) sebelum dilakukan
transaksi sehingga tidak bisa dibedakan lagi.
Uang administrasi yang dipungut
oleh Kosipa dari setiap anggota Kosipa yang meminjam uang, hanyalah merupakan
istilah lain dari bunga, karena:
a. Uang administrasi tersebut
merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang;
sehingga pada hakikatnya tidak berbeda dengan manfaat yang ditarik oleh yang
meminjamkan uang, dalam hal ini Kosipa dari para peminjam uang.
b. Besarnya uang administrasi
yang dipungut oleh Kosipa dari para peminjam uang telah ditentukan sesuai
dengan besarnya uang yang dipinjam, yaitu sekian persen dari jumlah pinjaman
sesuai dengan keputusan rapat anggota.
Jadi tanpa memperhatikan
apakah syarat pemberian uang administrasi sedang berlangsung, atau sebelum akad
atau pun sesudah akad apakah syarat tersebut berbentuk ucapan atau berbentuk tulisan
yang kesemuanya itu memerlukan pembahasan tersendiri, maka pungutan uang
administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam makna hadits Nabi Muhammad SAW
yang berbunyi:
”Semua
peminjaman yang dapat menyebabkan adannya sesuatu manfaat; maka hukumnya riba.”
Oleh karena akad pengumpulan modal dalam Kosipa
tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah maka masalah zakanya
dikembalikan kepada masing-masing anggota Kosipa tersebut. Oleh karena Kosipa
ini telah dilaksanakan di seluruh tanah air Indonesia maka seluruh musyawirin
telah bersepakat untuk memberikan jalan keluar yang dapat dibenarkan oleh
syara. sebagai berikut.
a. Kosipa harus digantikan bentuknya dengan bentuk
koperasi biasa (syirkah) yang dibenarkan oleh syara, sebagaimana disinggung di
atas.
b. Uang yang telah menjadi milik koperasi dapat
dipinjamkan kepada para anggota tanpa dikenakan uang administrasi dari
prosentase jumlah uang yang dipinjam. (nam)
LEASING
MAKANAN
(Lihat: Harta)
Ditulis
oleh Dewan Asatidz
Ustadz yg saya hormati, saya mau tanya apa
hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah
Tanya Jawab (448): Memakan
Semut yang Tercampur di Makanan
Ass. Wr. Wb
Ustadz yg saya hormati, saya mau tanya apa hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah
Di forum tanya jawab sudah dijelaskan ada beberapa serangga yang boleh
dibunuh & yang tidak boleh dibunuh. Tapi di situ tdk dijelaskan
kehalalannya jika dimakan. Jadi saya minta penjelasannya lagi tentang
serangga-serangga yg saya sebutkan di atas apakah halal dimakan?
Terima kasih atas jawabannya
Wass.Wr.Wb
M Syahril M - Mojokerto
Jabab:
Sdr. Sharil
Assalamualaikum war. wab
Ustadz yg saya hormati, saya mau tanya apa hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah
Di forum tanya jawab sudah dijelaskan ada beberapa serangga yang boleh
dibunuh & yang tidak boleh dibunuh. Tapi di situ tdk dijelaskan
kehalalannya jika dimakan. Jadi saya minta penjelasannya lagi tentang
serangga-serangga yg saya sebutkan di atas apakah halal dimakan?
Terima kasih atas jawabannya
Wass.Wr.Wb
M Syahril M - Mojokerto
Jabab:
Sdr. Sharil
Assalamualaikum war. wab
Mayoritas
ulama mengatakan bahwa hewan yang dilarang membunuhnya, maka dilarang juga
mengkonsumsi atau memakannya. Seperti hadist yang melarang membunuh katak
ditafsirkan bahwa itu juga mengindikasikan larangan memakannya, maka para ulama
sepakat melarang makan katak.
Semut:
Dalam
hadist riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. melarang membunuh empat jenis hewan
melata, yaitu semut, lebah, burung hud-hud dan burung sejenis jalak. (h.r. Abu
Dawud sahih sesuai syarat sahihain). Khatabi dan Baghawi menegaskan bahwa semut
di sini bukan semua jenis semut, tapi semut Sulaimaniyah, yaitu semut besar
yang tidak membahayakan dan tidak menyerang manusia. Adapun semut-semut kecil
yang kadang termasuk wabah dan mengganggu serta menyerang manusia, maka boleh
dibunuh. Imam Malik mengatakan makruh hukumnya membunuh semut yang tidak
membahayakan. Namun meskipun boleh membunuh semut, tapi sebaiknya mebunuh semut
dengan cara tidak membakarnya, karena ada hadist yang menegaskan bahwa yang
berhak menyiksa dengan api adalah Tuhan api. (h.r. Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud).
Bagaimana
dengan semut yang kadang masuk di makanan kita? Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj,
Syah Minhaj (40/403) karangan Imam Zakariya al-Anshori dijelaskan bahwa apabila
semut jatuh ke madu kemudian madu itu dimasak, maka boleh memakan semut tadi
bersama madu, tetapi kalau jatuh di daging yang memungkinkan memisahkan bangkai
semut tadi, maka tidak boleh memakannya dan harus dipisahkan dari daging yang
dimasak. Sangat jelas, alasan diperbolehkan makan bangkai semut bersama makanan
yang tercampur adalah karena sulit memisahkannya, sejauh bisa dipisahkan dan
mungkin untuk mengeluarkannya dari makanan, maka harus dilakukan dan tidak
boleh memakannya. Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin (1/438) juga
menegaskan bahwa apabila semut atau lalat terjatuh ke dalam periuk makanan,
maka tidak harus menumpahkan dan membuang semua makanan yang ada dalam periuk
makanan tadi, karena yang dianggap menjijikkan adalah fisik bangkai semut atau
lalat tadi, sejauh keduanya tidak mempunyai darah maka tidak najis, ini juga
menunjukkan bahwa larangan makan keduanya karena dianggap menjijikkan.
Lebah
Kebanyakan
ulama mengatakan hukum lebah sama dengan semut dengan landasan hadist di atas,
yaitu larangan membunuhnya dan larangan memakannya. Namun para ulama
menerangkan bahwa larangan membunuh lebah karena menghasilkan madu yang berguna
bagi manusia. Meskipun demikian ada beberapa pendapat lemah yang mengatakan
boleh memakan lebah karena disamakan dengan belalang dan begitu juga boleh
membunuh lebah karena bisa menyengat, apalagi lebah yang membahayakan dan tidak
memproduksi madu.
Lalat
Melihat
keterangan di atas, sangat jelas bahwa lalat haram dikonsumsi meskipun
bangkainya tidak najis karena tidak mempunyai darah. Saat ini banyak ilmu
kesehatan menjelaskan bahwa lalat membawa penyakit, ini semakin memperkuat
keharaman lalat. Hadist Bukhari yang mengatakan bahwa apabila ada lalat jatuh
di makanan kita maka benamkanlah lalu buanglah, oleh para ulama dianggal tidak
menunjukkan kehalalan lalat.
Jangkrik
Hewan
dari jenis ini yang halal adalah belalang. Dalam satu hadist Rasulullah
menegaskan, ada dua bangkai yang halal yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang.
Selain belalang, maka hukum memakannya dikembalikan kapada apakah hewan
membahayakan atau menjijikkan, bila itu membahayakan dan menjijikkan, maka
jelas diharamkan.
Wallahu
a’lam bissowab
Semoga
membantu
Wassalam
Muhammad
Niam
*Sumber
Jawaban ini dikumpulkan menggunakan Software Maktabah Syamilah
MENIMBUN
BARANG
Haram,
Menimbun Barang Dagangan
Jumat,
24 Desember 2010, 19:13 WIB
Musiron/Republik
Harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan menjelang
akhir tahun. Lonjakan harga itu juga termasuk pada beras.
Masyarakat mengeluhkan melambungnya harga itu. Pengamat bahkan menduga terjadi penimbunan oleh pedagang. Tujuannya tentu untuk mengeruk keuntungan berlimpah. Bagaimana Islam merespons penimbunan barang dagangan?
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatwa Fatwa Kontemporer, menegaskan, jangan menimbun barang dagangan ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Sebab, itu merupakan perbuatan yang haram. Larangan ini mencakup semua barang dagangan. Tak hanya bahan-bahan pokok.
Ia mengutip hadis Rasulullah men dukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," demikian hadis yang diriwayatkan Muslim dan Abu Daud. Predikat khathi'un atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele. Allah SWT menyebut Fir'aun dan Hamman serta tentaranya dengan sebutan yang sama.
Dalam Al-Qashash ayat 8, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan yang sama juga disampaikan Sayyid Sabiq yang tertuang dalam bukunya Fiqih Sunnah. Ia beralasan, menimbun dilandasi sifat tamak dan akhlak rendah serta merugikan kepentingan publik.
Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Bazzaz, mengungkapkan, orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut.
Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang.
Melalui kitabnya, Jami, Razin menggambarkan perkataan Rasulullah mengenai para penimbun barang. Sejelek-jelek hamba adalah penimbun barang. Jika mereka mendengar barang maka tak akan senang. Sebaliknya, saat harga barang menjadi mahal maka kegembiraan menyelimuti mereka.
Menurut Sayyid Sabiq, sejumlah ahli fikih menetapkan batasan kapan penimbunan barang dinyatakan haram. Ada sejumlah kategori, yaitu pertama, barang yang ditimbun lebih dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh.
Seseorang diizinkan menimbun nafkah pangan bagi diri dan keluarganya selama satu tahun.
Kedua, pemilik barang yang ditimbun menunggu terjadinya kenaikan harga barang. Maka itu, ia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi. Ia mendapatkan keuntungan sangat tinggi.
Dan ketiga, penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang itu.
Misalnya, makanan, pakaian, dan barang lain yang sangat dibutuhkan. Menurut Sayyid Sabiq, jika barang-barang yang ada pada para pedagang itu tak dibutuhkan masyarakat maka bukan dianggap sebagai penimbunan. Dengan alasan, tak membuat kesulitan bagi publik.
Para pedagang juga diingatkan untuk menyempurnakan takaran barang yang dijualnya. "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil." Demikian Allah SWT menyatakan dalam Al-An'am ayat 152. Di surah lainnya, yaitu Al-Israa ayat 35, dan surah Al-Muthaffifin [83] ayat 1-3, juga menegaskan hal yang sama.
Dalam surat tersebut, para pedagang dituntut untuk menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Hal itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya. Allah pun melarang para pedagang mempermainkan dan berbuat curang ketika menakar dan menimbang.
Rasulullah menganjurkan pedagang melebihkan jumlah timbangan. Suwaid bin Qais, dalam riwayatnya mengatakan, ia dan Makhrafah Al-Abadi pernah mendatangkan beberapa pakaian dari tanah Hajar ke Makkah. Rasulullah melintas dan keduanya menawarkan sebuah celana. Rasulullah pun membelinya.
Kala itu, ada seseorang yang sedang menimbang barang, kemudian Muhammad SAW mengatakan, "Timbanglah dan lebihkan." Hadis ini diriwayatkan oleh Turmuzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.
Masyarakat mengeluhkan melambungnya harga itu. Pengamat bahkan menduga terjadi penimbunan oleh pedagang. Tujuannya tentu untuk mengeruk keuntungan berlimpah. Bagaimana Islam merespons penimbunan barang dagangan?
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatwa Fatwa Kontemporer, menegaskan, jangan menimbun barang dagangan ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Sebab, itu merupakan perbuatan yang haram. Larangan ini mencakup semua barang dagangan. Tak hanya bahan-bahan pokok.
Ia mengutip hadis Rasulullah men dukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," demikian hadis yang diriwayatkan Muslim dan Abu Daud. Predikat khathi'un atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele. Allah SWT menyebut Fir'aun dan Hamman serta tentaranya dengan sebutan yang sama.
Dalam Al-Qashash ayat 8, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan yang sama juga disampaikan Sayyid Sabiq yang tertuang dalam bukunya Fiqih Sunnah. Ia beralasan, menimbun dilandasi sifat tamak dan akhlak rendah serta merugikan kepentingan publik.
Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Bazzaz, mengungkapkan, orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut.
Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang.
Melalui kitabnya, Jami, Razin menggambarkan perkataan Rasulullah mengenai para penimbun barang. Sejelek-jelek hamba adalah penimbun barang. Jika mereka mendengar barang maka tak akan senang. Sebaliknya, saat harga barang menjadi mahal maka kegembiraan menyelimuti mereka.
Menurut Sayyid Sabiq, sejumlah ahli fikih menetapkan batasan kapan penimbunan barang dinyatakan haram. Ada sejumlah kategori, yaitu pertama, barang yang ditimbun lebih dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh.
Seseorang diizinkan menimbun nafkah pangan bagi diri dan keluarganya selama satu tahun.
Kedua, pemilik barang yang ditimbun menunggu terjadinya kenaikan harga barang. Maka itu, ia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi. Ia mendapatkan keuntungan sangat tinggi.
Dan ketiga, penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang itu.
Misalnya, makanan, pakaian, dan barang lain yang sangat dibutuhkan. Menurut Sayyid Sabiq, jika barang-barang yang ada pada para pedagang itu tak dibutuhkan masyarakat maka bukan dianggap sebagai penimbunan. Dengan alasan, tak membuat kesulitan bagi publik.
Para pedagang juga diingatkan untuk menyempurnakan takaran barang yang dijualnya. "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil." Demikian Allah SWT menyatakan dalam Al-An'am ayat 152. Di surah lainnya, yaitu Al-Israa ayat 35, dan surah Al-Muthaffifin [83] ayat 1-3, juga menegaskan hal yang sama.
Dalam surat tersebut, para pedagang dituntut untuk menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Hal itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya. Allah pun melarang para pedagang mempermainkan dan berbuat curang ketika menakar dan menimbang.
Rasulullah menganjurkan pedagang melebihkan jumlah timbangan. Suwaid bin Qais, dalam riwayatnya mengatakan, ia dan Makhrafah Al-Abadi pernah mendatangkan beberapa pakaian dari tanah Hajar ke Makkah. Rasulullah melintas dan keduanya menawarkan sebuah celana. Rasulullah pun membelinya.
Kala itu, ada seseorang yang sedang menimbang barang, kemudian Muhammad SAW mengatakan, "Timbanglah dan lebihkan." Hadis ini diriwayatkan oleh Turmuzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.
OBLIGASI
Ulama Al Azhar: “Obligasi dengan Bunga Riba, Haram”
Wednesday, 07 April 2010
08:26 Hukum
Perkumpulan ulama Al Azhar menilai, tidak berlaku hukum
darurat yang membolehkan mengeluarkan obligasi dengan bunga
Hidayatullah.com—Jabhah Ulama Al Azhar mengeluarkan pernyataan resmi di situsnya mengenai haramnya sanad (obligasi) yang dikeluarkan negara Mesir karena memberlakukan bunga. Mereka juga menegaskan bahwa tidak bisa diberlakukan hukum darurat dalam kasus ini.
Keputusan itu merespon talks show yang disiarkan oleh channel Al Azhar pada tanggal 2 April 2010 lalu, yang menghadirkan tiga pembicara yang menurut Jabhah, tidak ada satu pun dari mereka dikenal sebagai ahli fiqih dan ushulnya. Salah satu nara sumbernya menyebutkan bahwa pemerintah Mesir mengeluarkan sanad (obligasi) dengan bunga termasuk kategori perkara darurat.
Menanggapi pernyataan itu, perkumpulan ulama Al Azhar yang dikenal kritis ini menyampaikan bahwa hal itu tidak tergolong masalah darurat. Jabhah menjelaskan bahwa keadaan darurat yang oleh syariat diperbolehkan untuk melakukan perbuatan haram adalah hukum pengecualian yang berlaku pada perseorangan dengan berbagai syaratnya, bukan berlaku kepada negara yang telah memakan harta rakyat dengan batil, yang menjual hasil buminya untuk kepentingan musuh, serta yang menghalalkan khamr, dan lainnya.
Jabhah lalu menjelaskan bahwa keadaan darurat tidak menjadikan seseorang boleh melakukan hal yang haram, kecuali jika kehidupannya terancam, sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah daging babi serta apa-apa yang disembelih dengan menyebutkan nama selain Allah. Tapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [Al Baqarah [2]: 173]. Itulah yang dimaksud dengan darurat, sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Jabhah.
Fatwa Al Buhuts Al Islam
Pihak Jabhah juga menukil keputusan Al Majma’ Buhuts Al Islami, lembaga riset Islam tertinggi di institusi Al Azhar yang dikeluarkan pada 12 Muharram 1385 H (1965 H) mengenai haramnya bunga dari berbagai varian utang, baik dengan jumlah nominal yang sedikit ataupun banyak. Mengutangi dengan memberlakukan bunga adalah perkara yang juga diharamkan, baik karena hajat (kebutuhan) atau karena darurat. Adapun berhutang dengan beban bunga juga haram, namun dibolehkan jika pelakunya berada dalam keadaan darurat.
Sebagaiman diketahui, sanad (obligasi) merupakan salah satu bentuk dari surat berharga yang merupakan surat penegasan utang yang dikeluarkan oleh negara atau syirkan dengan disertai bunga, sesuai dengan nilai sanad. Negara biasa mengeluarkan sanad untuk mendukung dana proyek mereka dengan menjualnya kepada publik.
Adapun channel Al Azhar tidak ada hubungannya sama sekali dengan institusi pendidikan Al Azhar Mesir, ia merupakan channel televisi yang dibentuk oleh Khalid Jundi, salah seorang cendekiawan di Mesir.
Sebelumnya peserta sidang OKI kedua di Karachi Pakistan, bulan Desember 1970 M telah menyepakati dua hal utama , yaitu praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari`at Islam. Sementara Lajnah Daimah, Saudi dalam Fatwa No: 16576, Fatawa Lajnah 13/354 juga mengharamkan hal sama terhadap bunga bank. [tho/jbh/hidayatullah.com].
Hidayatullah.com—Jabhah Ulama Al Azhar mengeluarkan pernyataan resmi di situsnya mengenai haramnya sanad (obligasi) yang dikeluarkan negara Mesir karena memberlakukan bunga. Mereka juga menegaskan bahwa tidak bisa diberlakukan hukum darurat dalam kasus ini.
Keputusan itu merespon talks show yang disiarkan oleh channel Al Azhar pada tanggal 2 April 2010 lalu, yang menghadirkan tiga pembicara yang menurut Jabhah, tidak ada satu pun dari mereka dikenal sebagai ahli fiqih dan ushulnya. Salah satu nara sumbernya menyebutkan bahwa pemerintah Mesir mengeluarkan sanad (obligasi) dengan bunga termasuk kategori perkara darurat.
Menanggapi pernyataan itu, perkumpulan ulama Al Azhar yang dikenal kritis ini menyampaikan bahwa hal itu tidak tergolong masalah darurat. Jabhah menjelaskan bahwa keadaan darurat yang oleh syariat diperbolehkan untuk melakukan perbuatan haram adalah hukum pengecualian yang berlaku pada perseorangan dengan berbagai syaratnya, bukan berlaku kepada negara yang telah memakan harta rakyat dengan batil, yang menjual hasil buminya untuk kepentingan musuh, serta yang menghalalkan khamr, dan lainnya.
Jabhah lalu menjelaskan bahwa keadaan darurat tidak menjadikan seseorang boleh melakukan hal yang haram, kecuali jika kehidupannya terancam, sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah daging babi serta apa-apa yang disembelih dengan menyebutkan nama selain Allah. Tapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [Al Baqarah [2]: 173]. Itulah yang dimaksud dengan darurat, sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Jabhah.
Fatwa Al Buhuts Al Islam
Pihak Jabhah juga menukil keputusan Al Majma’ Buhuts Al Islami, lembaga riset Islam tertinggi di institusi Al Azhar yang dikeluarkan pada 12 Muharram 1385 H (1965 H) mengenai haramnya bunga dari berbagai varian utang, baik dengan jumlah nominal yang sedikit ataupun banyak. Mengutangi dengan memberlakukan bunga adalah perkara yang juga diharamkan, baik karena hajat (kebutuhan) atau karena darurat. Adapun berhutang dengan beban bunga juga haram, namun dibolehkan jika pelakunya berada dalam keadaan darurat.
Sebagaiman diketahui, sanad (obligasi) merupakan salah satu bentuk dari surat berharga yang merupakan surat penegasan utang yang dikeluarkan oleh negara atau syirkan dengan disertai bunga, sesuai dengan nilai sanad. Negara biasa mengeluarkan sanad untuk mendukung dana proyek mereka dengan menjualnya kepada publik.
Adapun channel Al Azhar tidak ada hubungannya sama sekali dengan institusi pendidikan Al Azhar Mesir, ia merupakan channel televisi yang dibentuk oleh Khalid Jundi, salah seorang cendekiawan di Mesir.
Sebelumnya peserta sidang OKI kedua di Karachi Pakistan, bulan Desember 1970 M telah menyepakati dua hal utama , yaitu praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari`at Islam. Sementara Lajnah Daimah, Saudi dalam Fatwa No: 16576, Fatawa Lajnah 13/354 juga mengharamkan hal sama terhadap bunga bank. [tho/jbh/hidayatullah.com].
PASAR
Runtuhnya Mitos Mekanisme Pasar
05/02/2009
05/02/2009
Ketika
negeri ini menganut tata-kapitalisme tulen sejak reformasi, yang sebelumnya
hanya kapitalisme semu, maka semua perkara mulai dari ekonomi sendiri, masalah
sosial, ilmu pengetahuan dan politik dijalankan dan ditimbang menurut
mekanisme pasar. Pasar dianggap sebagai tata kehidupan yang memiliki
mekanisme yang serba teratur dan objektif. Objektivitas itulah yang diserahi
tanggung jawab untuk mengelola mekanisme itu secara adil menurut hukum suplay and demand (ketersediaan
dan permintaan).
Mekanisme atau tepatnya hukum pasar itu memperlihatkan sosoknya ketika terjadi kenaikan atau penurunan harga minyak dunia, dimana pemerintah yang menetapkan harga berdasarkan daya beli masyarakat mulai dituntut untuk menyesuaikan dengan harga pasar. Pemerintah mengurangi subsidi minyak dengan alasan mengikuti kenaikan harga minyak dunia. Tetapi ketika harga minyak turun ternyata pemerintah tidak mau menurunkan harga, maka timbullah protes, dimana pemerintah tidak mentaati mekanisme pasar, padahal harga minyak tidak hanya turun tetapi telah anjlok serendah-rendahnya.
Baru ketika ada tekanan sosial dan politik baik dari rakyat, parlemen termasuk pengusaha pemerintah mau menurunkan harga, agar ekonomi nasional bangkit. Karena tekanan yang kuat beserta datangnya musim kampanye politik Pemilu 2009, pemerintah terpaksa menurunkan harga minyak, demi kepentingan politiknya sendiri, bukan untuk memulihkan ekonomi nasional. Sebagai rentetannya diharapkan oleh semua pihak dengan menurunnya harga minyak ini semua harga barang dan jasa juga turun, dan ini menjadi ajang kampanye yang subur.
Tetapi apa yang terjadi, walaupun harga minyak telah turun beberapa kali hingga mencapai belasan persen, tetapi tidak satupun pengusaha yang mau menurunkan harga, terutama pengguna minyak yaitu sektor transportasi. Ketika harga minyak naik, sektor ini langsung menuntut kenaikan. Tetapi ketika harga minyak turun mereka sepakat untuk tidak menurunkan ongkos angkutan. Mereka tidak mau tahu dengan mekanisme pasar, pengusaha angkutan dengan kasar memeras para pengguna jasa, mereka sama sekali tidak mau menurunkan tarif. Pemerintah mengklaim bahwa aturannya ditaati, padahal di lapangan dikhianati. Aparat pemerintah tidak ada yang melakukan pengawasan atau razia, hanya bikin pernyataan di mediamassa , akhirnya para
penumpang rugi sendiri tanpa perlindungan dari lembaga konsumen sekalipun.
Akhirnya rakyat sebagian melakukan reaksi dengan tindakannya sendiri, melakukan bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Hal itu dimungkinkan karena harga minyak sudah turun sehingga biaya bisa lebih ditekan, mengharapkan mekanisme pasar sudah tidak bisa lagi, langkah sendiri lebih dipercayai. Maka akibatnya kemacetan meningkat di mana-mana, para pengendara sepeda motor makin memadati kota-kota besar, sehingga kesemrawutan di jalan dan segala angkutannya tak lagi terkendalikan.
Ketika pemerintah tidak lagi berkuasa, karena telah menjadi pengusaha, sementara pengusaha tidak lagi taat pada mekanisme pasar. Maka pasar kemudian diatur oleh kekuatan politik, sementara politik tidak dikendalikan lagi oleh pemerintah tetapi oleh kekuatan pasar, maka pasar bukan lagi mekanisme yang terbuka berdasarkan penawaran dan permintaan, tetapi diatur berdasarkan kekuatan otot. Siapa yang berkuasa akan kuasa menentukan harga. Pengusaha baik konglomerat maupun pemilik angkot, tukang ojek atau penjual gorengan, merasa berkuasa di habitatnya sendiri, karena itu mereka akan memaksakan harga barang dan jasanya sesuai dengan kemauannya.
Kelompok fundamentalis pasar akan kehilangan argumen melihat kenyataan ini, apalagi kenyataan ini tidak hanya berlaku dalam ekonomi nasional. Ekonomi global yang menganut kapitalisme murni ternyata juga sangat mengandalkan kekuatan pemerintah. Mereka menolak intervensi pemerintah hanya ketika mereka jaya, ketika sepenuhnya menguasai pasar dan berhasil menghisap dan melenyapkan seluruh pesaingnya. Tetapi ketika mereka mengalami kemerosotan langsung mereka memaksa pemerintah untuk memberikan pertolongan, atas nama menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Limbungnya korporasi besar di negara-negara kapitalis Barat, yang selama ini mengutuk pemerintah dan mengharamkan subsidi, ternyata ketika mereka dilanda persoalan juga minta pertolongan pemerintah melakukan subsidi kepada mereka. Beberapa yang mendapatkan subsidi selamat, sementara yang tidak mendapatkan subsidi rontok. Di sini tidak ada mekanisme pasar, memang sejak awal mekanisme pasar itu hanya mitos, semua bentuk perdagangan antar negara diatur melalui pakta politik, yang saling menerkam. Karena itulah diperlukan adanya pangkalan militer diperlukan kapal induk untuk menjaga korporasi multi nasional.
Dari situ kelihatan bahwa imperialisme dan kolonialisme adalah anak dari kapitalisme, dari kapitalisme itulah timbul penjajahan dunia Barat yang dimulai oleh Portugis dilanjutkan oleh Spanyol, Inggris, Perancis Belanda dan sebagainya. Semua penjajahan politik dan militer itu bertujuan ekonomi, untuk mencari bahan mentah, mencari tenaga murah dan untuk memperluas pasar. Semuanya itu tidak dijalankan berdasarkan mekanisme pasar yang adil, tetapi dijalankan dengan cara monopoli. Salah satu sumbangan terbesar kapitalisme dalam sistem ekonomi adalah monopoli ini.
Sistem pasasr adalah sistem liberal, liberal bukan untuk semua tetapi liberal dan kebebasan untuk pemilik modal dalam upaya mengembangkan modalnya, termasuk kebebasan menyingkirkan pesaingnya, tidak peduli pesaingnya itu monglomerat atau usaha kecil termasuk kakilima .
Kalau dulu pernah ada aturan dalam membangun pasar swalayan, agar tidak
mengganggu pasar tradisional. Ketika kapitalisme telah diterapkan secara total,
maka pasar swalayan bisa didirikan di tengah pasar tradisional, sehingga
memreka kalah bersaing. Pasar Jaya milik pemerintah akhirnya mambasmi para
usaha kecil kemudian menyerahkannya pada pengusahi besar, sehingga ekonomi
semakin terkonsentrasi.
Mekanisme pasar yang adil yang diharapkan bisa memimpin perjalanan ekonomi itu hanya sekaadar mitos, mitos itu kini sudah runtuh dan terboingkar dan runtuh, ketika mereka ternyata takut dengan mekanisme pasar itu sendiri, pasar ternyata diatur melalui sebuah struggle, pertempuran antar kekuatan, kemapuan injak-menginjak, bentak-membentak, siapa yang punya kekuatan itu akan memangkan persaingan di pasar. Karena jelas bahwa mekanisme pasar yang adil tidak pernah ada , maka perlu lembaga pengatur yang adil yaitu pemerintah.
Maka pemerintah harus menjadi alat negara dan alat rakyat untuk mengatur kehidupan mereka. Ajaran sesat liberalisme bahwa pemerintah paling baik adalah apemerintah yang sedikit berkuasa harus dilenyapkan, karena pemerintah yang tidak berkuasa akan diterkam oleh kapitalis dan imperialis dan dijadikan budak dan alat mereka untuk menjarah negara dan menghisab rakyat. Di sinilah kita perlu membentuk negara yang kuat, pemerintah yang berwibawa dan rakyat yang cerdas. (Abdul Mun’im DZ)
Mekanisme atau tepatnya hukum pasar itu memperlihatkan sosoknya ketika terjadi kenaikan atau penurunan harga minyak dunia, dimana pemerintah yang menetapkan harga berdasarkan daya beli masyarakat mulai dituntut untuk menyesuaikan dengan harga pasar. Pemerintah mengurangi subsidi minyak dengan alasan mengikuti kenaikan harga minyak dunia. Tetapi ketika harga minyak turun ternyata pemerintah tidak mau menurunkan harga, maka timbullah protes, dimana pemerintah tidak mentaati mekanisme pasar, padahal harga minyak tidak hanya turun tetapi telah anjlok serendah-rendahnya.
Baru ketika ada tekanan sosial dan politik baik dari rakyat, parlemen termasuk pengusaha pemerintah mau menurunkan harga, agar ekonomi nasional bangkit. Karena tekanan yang kuat beserta datangnya musim kampanye politik Pemilu 2009, pemerintah terpaksa menurunkan harga minyak, demi kepentingan politiknya sendiri, bukan untuk memulihkan ekonomi nasional. Sebagai rentetannya diharapkan oleh semua pihak dengan menurunnya harga minyak ini semua harga barang dan jasa juga turun, dan ini menjadi ajang kampanye yang subur.
Tetapi apa yang terjadi, walaupun harga minyak telah turun beberapa kali hingga mencapai belasan persen, tetapi tidak satupun pengusaha yang mau menurunkan harga, terutama pengguna minyak yaitu sektor transportasi. Ketika harga minyak naik, sektor ini langsung menuntut kenaikan. Tetapi ketika harga minyak turun mereka sepakat untuk tidak menurunkan ongkos angkutan. Mereka tidak mau tahu dengan mekanisme pasar, pengusaha angkutan dengan kasar memeras para pengguna jasa, mereka sama sekali tidak mau menurunkan tarif. Pemerintah mengklaim bahwa aturannya ditaati, padahal di lapangan dikhianati. Aparat pemerintah tidak ada yang melakukan pengawasan atau razia, hanya bikin pernyataan di media
Akhirnya rakyat sebagian melakukan reaksi dengan tindakannya sendiri, melakukan bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Hal itu dimungkinkan karena harga minyak sudah turun sehingga biaya bisa lebih ditekan, mengharapkan mekanisme pasar sudah tidak bisa lagi, langkah sendiri lebih dipercayai. Maka akibatnya kemacetan meningkat di mana-mana, para pengendara sepeda motor makin memadati kota-kota besar, sehingga kesemrawutan di jalan dan segala angkutannya tak lagi terkendalikan.
Ketika pemerintah tidak lagi berkuasa, karena telah menjadi pengusaha, sementara pengusaha tidak lagi taat pada mekanisme pasar. Maka pasar kemudian diatur oleh kekuatan politik, sementara politik tidak dikendalikan lagi oleh pemerintah tetapi oleh kekuatan pasar, maka pasar bukan lagi mekanisme yang terbuka berdasarkan penawaran dan permintaan, tetapi diatur berdasarkan kekuatan otot. Siapa yang berkuasa akan kuasa menentukan harga. Pengusaha baik konglomerat maupun pemilik angkot, tukang ojek atau penjual gorengan, merasa berkuasa di habitatnya sendiri, karena itu mereka akan memaksakan harga barang dan jasanya sesuai dengan kemauannya.
Kelompok fundamentalis pasar akan kehilangan argumen melihat kenyataan ini, apalagi kenyataan ini tidak hanya berlaku dalam ekonomi nasional. Ekonomi global yang menganut kapitalisme murni ternyata juga sangat mengandalkan kekuatan pemerintah. Mereka menolak intervensi pemerintah hanya ketika mereka jaya, ketika sepenuhnya menguasai pasar dan berhasil menghisap dan melenyapkan seluruh pesaingnya. Tetapi ketika mereka mengalami kemerosotan langsung mereka memaksa pemerintah untuk memberikan pertolongan, atas nama menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Limbungnya korporasi besar di negara-negara kapitalis Barat, yang selama ini mengutuk pemerintah dan mengharamkan subsidi, ternyata ketika mereka dilanda persoalan juga minta pertolongan pemerintah melakukan subsidi kepada mereka. Beberapa yang mendapatkan subsidi selamat, sementara yang tidak mendapatkan subsidi rontok. Di sini tidak ada mekanisme pasar, memang sejak awal mekanisme pasar itu hanya mitos, semua bentuk perdagangan antar negara diatur melalui pakta politik, yang saling menerkam. Karena itulah diperlukan adanya pangkalan militer diperlukan kapal induk untuk menjaga korporasi multi nasional.
Dari situ kelihatan bahwa imperialisme dan kolonialisme adalah anak dari kapitalisme, dari kapitalisme itulah timbul penjajahan dunia Barat yang dimulai oleh Portugis dilanjutkan oleh Spanyol, Inggris, Perancis Belanda dan sebagainya. Semua penjajahan politik dan militer itu bertujuan ekonomi, untuk mencari bahan mentah, mencari tenaga murah dan untuk memperluas pasar. Semuanya itu tidak dijalankan berdasarkan mekanisme pasar yang adil, tetapi dijalankan dengan cara monopoli. Salah satu sumbangan terbesar kapitalisme dalam sistem ekonomi adalah monopoli ini.
Sistem pasasr adalah sistem liberal, liberal bukan untuk semua tetapi liberal dan kebebasan untuk pemilik modal dalam upaya mengembangkan modalnya, termasuk kebebasan menyingkirkan pesaingnya, tidak peduli pesaingnya itu monglomerat atau usaha kecil termasuk kaki
Mekanisme pasar yang adil yang diharapkan bisa memimpin perjalanan ekonomi itu hanya sekaadar mitos, mitos itu kini sudah runtuh dan terboingkar dan runtuh, ketika mereka ternyata takut dengan mekanisme pasar itu sendiri, pasar ternyata diatur melalui sebuah struggle, pertempuran antar kekuatan, kemapuan injak-menginjak, bentak-membentak, siapa yang punya kekuatan itu akan memangkan persaingan di pasar. Karena jelas bahwa mekanisme pasar yang adil tidak pernah ada , maka perlu lembaga pengatur yang adil yaitu pemerintah.
Maka pemerintah harus menjadi alat negara dan alat rakyat untuk mengatur kehidupan mereka. Ajaran sesat liberalisme bahwa pemerintah paling baik adalah apemerintah yang sedikit berkuasa harus dilenyapkan, karena pemerintah yang tidak berkuasa akan diterkam oleh kapitalis dan imperialis dan dijadikan budak dan alat mereka untuk menjarah negara dan menghisab rakyat. Di sinilah kita perlu membentuk negara yang kuat, pemerintah yang berwibawa dan rakyat yang cerdas. (Abdul Mun’im DZ)
Nabi Pun
Mendirikan Pasar...
Tuesday, 28 September 2010
12:17
Hadits Nabi SAW
menjelaskan, akses ke pasar harus sama bagi seluruh umat dan tidak boleh
dikapling-kapling
Oleh: Muhaimin Iqbal*
Oleh: Muhaimin Iqbal*
SALAH satu yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrah ke Madinah yang kemudian membuat
perubahan besar dalam penguasaan ekonomi adalah konsep bahwa bekerja adalah
ibadah. Melalui konsep inilah kaum Muhajirin yang berhijrah mengikuti
Rasulullah SAW tanpa membawa harta pun segera menjadi asset bagi umat dan
bukannya liability - karena mereka dapat mengoptimalkan kemampuannya, baik
dalam kegiatan produksi maupun kegiatan perdagangan.
Digambarkan dalam sejarah bahwa setelah hijrahnya Rasulullah SAW dan para pengikutnya, bumi-bumi yang semula gersang pun kemudian terolah menjadi kebun-kebun yang subur dan taman-taman yang indah. Karena konsep bekerja adalah ibadah pula, maka hal-hal positif yang terkait dengan peribadatan seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, kehati-hatian, kebersahajaan, infaq dlsb. dapat termanifestasikan dalam kehidupan umat sehari-hari ketika mereka bekerja.
Awalnya tentu tidak mudah karena ketika kaum Muhajirin mulai aktif berdagang di Madinah misalnya, mereka berdagang di pasar yang sudah ada waktu itu yaitu pasar yang dikelola oleh Yahudi. Pengelolaan pasar oleh Yahudi yang di al-Qur’an digambarkan bahwa mereka menganggap halal untuk mengambil harta orang lain ini (orang-orang umi , QS 3:75), tentu saja bermasalah.
Oleh karena penguasaan pasar oleh kaum Yahudi tersebut pula maka umat Islam semula tidak bisa sepenuhnya mengimplementasikan nilai-nilai Islam di pasar – maka kemudian Rasulullah SAW-pun memandang penting untuk segera mendirikan pasar bagi kaum muslimin di awal-awal terbentuknya masyarakat yang akan hidup dengan nilai-nilai Islam yang menyeluruh di Madinah.
Di suatu tempat yang berjarak hanya beberapa rumah arah barat laut dari Masjid Nabi - yang telah didirikan terlebih dahulu, Rasulullah mendirikan pasar dangan sabdanya “Ini pasarmu, tidak boleh dipersempit (dengan mendirikan bangunan dlsb. di dalamnya) dan tidak boleh ada pajak di dalamnya.” (HR. Ibn Majah).
Pasar di area terbuka ini memiliki panjang sekitar 500 meter dan lebar sekirat 100 meter (luas sekitar 5 ha), jadi cukup luas untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk kota yang kemudian berkembang pesat – paskahijrah. Lokasinya juga dipilih sedemikian rupa sehingga penduduk yang datang dari berbagai wilayah – mudah mencapai pasar tersebut. Pasar Madinah inilah yang kemudian menjadi urat nadi perekonomian negara Islam yang pertama, yang berpusat di Madinah.
Lokasinya yang tidak jauh dari Masjid Nabi tetapi juga tidak terlalu dekat (selang beberapa rumah) juga memiliki nilai strategis sendiri. Nilai-nilai yang terbawa dari ketaatan beribadah di masjid dapat mewarnai aktivitas perdagangan di pasar, namun hal-hal yang buruk dari pasar seperti keramaiannya tidak mempengaruhi aktivitas dan kekhusukan umat yang beribadah di masjid.
Bahkan cara-cara pengelolaan pasar pun memiliki kemiripan dengan pengelolaan Masjid. Hal ini disampaikan oleh Umar Ibn Khattab yang menjadi muhtasib (pengawas pasar) setelah Rasulullah SAW dengan perkataaannya bahwa “Pasar itu menganut ketentuan masjid, barang siapa datang terlebih dahulu di satu tempat duduk, maka tempat itu untuknya sampai dia berdiri dari situ dan pulang ke rumahnya atau selesai jual belinya.”
Nilai pesan yang terkandung di dalam perkataan Umar ini sejalan dengan hadits Nabi SAW tersebut di atas yang intinya adalah akses ke pasar harus sama bagi seluruh umat; tidak boleh meng-kapling-kapling pasar. Hal ini diimplemantasikan Umar dengan melarang orang membangun bangunan di pasar, menandai tempatnya, atau mempersempit jalan masuk ke pasar. Bahkan dengan tongkatnya Umar menyeru “enyahlah dari jalan” kepada orang-orang yang menghalangi orang lain masuk ke pasar.
Lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sunah Rasulullah SAW mendirikan pasar – yang kemudian juga terus ditegakkan oleh para Khalifah tersebut di atas? Yang jelas situasi pasar-pasar yang ada dewasa ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pasar di Madinah yang dikelola Yahudi sebelum didirikannya pasar bagi kaum muslimin oleh Rasulullah SAW tersebut di atas. Segala macam kecurangan ala Yahudi terjadi di pasar ini, dan yang paling menyolok adalah akses pasar yang tidak mudah dijangkau oleh mayoritas umat.
Di Jabodetabek misalnya, Anda bisa membuat baju-baju yang indah dan makanan-makanan yang enak. Tetapi tidak berarti Anda dengan mudah bisa menjualnya ke pasar. Untuk menyewa tempat di mall atau food court pada umumnya sangat mahal – sehingga hanya bisa dijangkau segelintir orang saja – yang justru sudah kaya.
Bila Anda berusaha jualan di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan – maka bila tidak digusur oleh Tramtib atau Satpol PP – Anda akan menjadi bulan-bulanan para preman, tukang amen, pengemis dlsb. Walhasil, kesejahteraan umat secara luas – sulit sekali diangkat karena antara lain terbatasnya akses ke pasar ini.
Maka selain perjuangan-perjuangan lainnya seperti perjuangan melawan riba, ketidakadilan ekonomi dan sejenisnya , kini saatnya para pejuang ekonomi Islam juga harus mulai memperjuangkan pasar bagi kaum Muslimin ini.
Tentu juga tidak mudah, dan juga tidak langsung sempurna seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Para Khalifah tersebut di atas, tetapi langkah menuju kesana harus ada yang memulai.
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita pada amal yang diridloiNya...
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com dan kolumnis www.hidayatullah.com
Digambarkan dalam sejarah bahwa setelah hijrahnya Rasulullah SAW dan para pengikutnya, bumi-bumi yang semula gersang pun kemudian terolah menjadi kebun-kebun yang subur dan taman-taman yang indah. Karena konsep bekerja adalah ibadah pula, maka hal-hal positif yang terkait dengan peribadatan seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, kehati-hatian, kebersahajaan, infaq dlsb. dapat termanifestasikan dalam kehidupan umat sehari-hari ketika mereka bekerja.
Awalnya tentu tidak mudah karena ketika kaum Muhajirin mulai aktif berdagang di Madinah misalnya, mereka berdagang di pasar yang sudah ada waktu itu yaitu pasar yang dikelola oleh Yahudi. Pengelolaan pasar oleh Yahudi yang di al-Qur’an digambarkan bahwa mereka menganggap halal untuk mengambil harta orang lain ini (orang-orang umi , QS 3:75), tentu saja bermasalah.
Oleh karena penguasaan pasar oleh kaum Yahudi tersebut pula maka umat Islam semula tidak bisa sepenuhnya mengimplementasikan nilai-nilai Islam di pasar – maka kemudian Rasulullah SAW-pun memandang penting untuk segera mendirikan pasar bagi kaum muslimin di awal-awal terbentuknya masyarakat yang akan hidup dengan nilai-nilai Islam yang menyeluruh di Madinah.
Di suatu tempat yang berjarak hanya beberapa rumah arah barat laut dari Masjid Nabi - yang telah didirikan terlebih dahulu, Rasulullah mendirikan pasar dangan sabdanya “Ini pasarmu, tidak boleh dipersempit (dengan mendirikan bangunan dlsb. di dalamnya) dan tidak boleh ada pajak di dalamnya.” (HR. Ibn Majah).
Pasar di area terbuka ini memiliki panjang sekitar 500 meter dan lebar sekirat 100 meter (luas sekitar 5 ha), jadi cukup luas untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk kota yang kemudian berkembang pesat – paskahijrah. Lokasinya juga dipilih sedemikian rupa sehingga penduduk yang datang dari berbagai wilayah – mudah mencapai pasar tersebut. Pasar Madinah inilah yang kemudian menjadi urat nadi perekonomian negara Islam yang pertama, yang berpusat di Madinah.
Lokasinya yang tidak jauh dari Masjid Nabi tetapi juga tidak terlalu dekat (selang beberapa rumah) juga memiliki nilai strategis sendiri. Nilai-nilai yang terbawa dari ketaatan beribadah di masjid dapat mewarnai aktivitas perdagangan di pasar, namun hal-hal yang buruk dari pasar seperti keramaiannya tidak mempengaruhi aktivitas dan kekhusukan umat yang beribadah di masjid.
Bahkan cara-cara pengelolaan pasar pun memiliki kemiripan dengan pengelolaan Masjid. Hal ini disampaikan oleh Umar Ibn Khattab yang menjadi muhtasib (pengawas pasar) setelah Rasulullah SAW dengan perkataaannya bahwa “Pasar itu menganut ketentuan masjid, barang siapa datang terlebih dahulu di satu tempat duduk, maka tempat itu untuknya sampai dia berdiri dari situ dan pulang ke rumahnya atau selesai jual belinya.”
Nilai pesan yang terkandung di dalam perkataan Umar ini sejalan dengan hadits Nabi SAW tersebut di atas yang intinya adalah akses ke pasar harus sama bagi seluruh umat; tidak boleh meng-kapling-kapling pasar. Hal ini diimplemantasikan Umar dengan melarang orang membangun bangunan di pasar, menandai tempatnya, atau mempersempit jalan masuk ke pasar. Bahkan dengan tongkatnya Umar menyeru “enyahlah dari jalan” kepada orang-orang yang menghalangi orang lain masuk ke pasar.
Lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sunah Rasulullah SAW mendirikan pasar – yang kemudian juga terus ditegakkan oleh para Khalifah tersebut di atas? Yang jelas situasi pasar-pasar yang ada dewasa ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pasar di Madinah yang dikelola Yahudi sebelum didirikannya pasar bagi kaum muslimin oleh Rasulullah SAW tersebut di atas. Segala macam kecurangan ala Yahudi terjadi di pasar ini, dan yang paling menyolok adalah akses pasar yang tidak mudah dijangkau oleh mayoritas umat.
Di Jabodetabek misalnya, Anda bisa membuat baju-baju yang indah dan makanan-makanan yang enak. Tetapi tidak berarti Anda dengan mudah bisa menjualnya ke pasar. Untuk menyewa tempat di mall atau food court pada umumnya sangat mahal – sehingga hanya bisa dijangkau segelintir orang saja – yang justru sudah kaya.
Bila Anda berusaha jualan di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan – maka bila tidak digusur oleh Tramtib atau Satpol PP – Anda akan menjadi bulan-bulanan para preman, tukang amen, pengemis dlsb. Walhasil, kesejahteraan umat secara luas – sulit sekali diangkat karena antara lain terbatasnya akses ke pasar ini.
Maka selain perjuangan-perjuangan lainnya seperti perjuangan melawan riba, ketidakadilan ekonomi dan sejenisnya , kini saatnya para pejuang ekonomi Islam juga harus mulai memperjuangkan pasar bagi kaum Muslimin ini.
Tentu juga tidak mudah, dan juga tidak langsung sempurna seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Para Khalifah tersebut di atas, tetapi langkah menuju kesana harus ada yang memulai.
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita pada amal yang diridloiNya...
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com dan kolumnis www.hidayatullah.com
PENETAPAN HARGA OLEH PEMERINTAH
Soal
Penetapan Harga oleh Pemerintah
21/03/2007
21/03/2007
Diriwayatkan
dari Anas RA, pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, harga-harga barang naik
di kota Madinah, kemudian para sahabat meminta Rasulullah SAW menetapkan harga.
Maka Rasululah bersabda: Sesungguhnya
Allah SWT Dzat Yang Maha Menetapkan harga, yang Yang Maha Memegang, Yang Maha
Melepas, dan Yang Memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT
tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kedzaliman dalam
darah dan harta. (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh
At-Thirmidzi dan Ibnu Hibban).
Hadits
tersebut mengandung pengertian mengenai keharaman penetapan harga (termasuk
upah dalam transaksi persewaan atau perburuhan) walau dalam keadaan harga-harga
sedang naik, karena jika harga ditentukan murah akan dapat menyulitkan pihak
penjual. Sebaliknya, menyulitkan pihak pembeli jika harga ditentukan mahal.
Sementara penyebutan darah dan harta pada hadis tersebut di atas hanya
merupakan kiasan.
Selain itu, karena harga suatu barang adalah hak pihak yang bertransaksi maka kepadanya merekalah diserahkan fluktuasinya. Karenanya, imam atau penguasa tidak layak untuk mencampuri haknya kecuali jika terkait dengan keadaan bahaya terhadap masyarakat umum sebagaimana yang akan kami jelaskan.
Menurut madzhab Syafi'i, penguasa tidak berhak untuk metapkan harga, biarkan masyarakat menjual dagangan mereka sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan penetapan tersebut dikatakan sebagai tindakan zhalim. Hal ini mengingat, bahwa masyarakat itu sebagai pihak yang menguasai harta mereka, dan penetapan harga merupakan belenggu terhadap mereka. Penguasa memang diperintahkan untuk melindungi maslahat umat Islam namun tidaklah pandangannya pada kemaslahatatan pembeli dengan memurahkan harga itu lebih utama dibandingkan pandangannya pada kemaslahatan penjual dengan menaikkan harga.
Selain itu, karena harga suatu barang adalah hak pihak yang bertransaksi maka kepadanya merekalah diserahkan fluktuasinya. Karenanya, imam atau penguasa tidak layak untuk mencampuri haknya kecuali jika terkait dengan keadaan bahaya terhadap masyarakat umum sebagaimana yang akan kami jelaskan.
Menurut madzhab Syafi'i, penguasa tidak berhak untuk metapkan harga, biarkan masyarakat menjual dagangan mereka sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan penetapan tersebut dikatakan sebagai tindakan zhalim. Hal ini mengingat, bahwa masyarakat itu sebagai pihak yang menguasai harta mereka, dan penetapan harga merupakan belenggu terhadap mereka. Penguasa memang diperintahkan untuk melindungi maslahat umat Islam namun tidaklah pandangannya pada kemaslahatatan pembeli dengan memurahkan harga itu lebih utama dibandingkan pandangannya pada kemaslahatan penjual dengan menaikkan harga.
Jika terjadi perselisihan di antara dua pihak,
penjual dan pembeli, maka pihak terkait itu harus melakukan ijtihad bagi
kepentingan diri mereka sendiri. Menetapkan harga dengan tekanan berarti
bertentangan dengan firman Allah SWT: Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kamu. (An-Nisa`: 29)
Sementara itu Imam Malik berpendapat sebaliknya,
bahwa penguasa berhak menetapkan harga. Penetapan harga pada masyarakat itu
boleh dilakukan jika dikhawatirkan pelaku pasar akan menafsirkan ketaatan kaum
muslimin kepada "mekanisme pasar" dengan penafsiran yang negatif atau
disalahgunakan.
Semua ulama berdasarkan dzahir hadis di atas
memang tidak memperbolehkan penetapan harga kepada siapapun. Namun yang benar
adalah bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Parametenya adalah berdasarkan
kepada undang-undang yang tidak memuat kezhaliman terhadap pihak-pihak yang
terkait, dan undang-undang tersebut diperoleh dengan memperhatikan waktu dan
fluktuasi, serta situasi dan keadaan masyarakat.
Apa yang disabdakan Nabi yang
melarang penetapan harga itu benar. Namun, hal itu berlaku bagi suatu komunitas
masyarakat yang beriman teguh dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Sedangkan komunitas yang bermaksud untuk memangsa sesama anggota masyarakat dan
mempersulit mereka, melakukan monopoli harga, maka pintu Allah SWT sangat luas
dan hukumnya terus terbuka.
Disarikan dari Keputusan
Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama di Cipasung, Jawa Barat, pada 1 Rajab 1415 H / 4
Desember 1994.(nam)
PERANG EKONOMI
Ditulis oleh Untung Kasirin
Pasca krisis finansial global, dunia dibuat
suspense dan nervous. Saat ini, dunia tengah merasakan dampak ikutan dari
krisis tersebut yang ditengarai akan jauh lebih hebat dari krisis awal itu
sendiri. Jika dibuat perumpamaan, krisis finansial yang dipicu kasus subprime
mortgage di Amerika Serikat ibarat pengumuman akan terjadinya sebuah
‘peperangan’. Sementara, dampak krisis yang menjadi endemi sebagaimana sekarang
menandakan bahwa ‘perang’ benar-benar berkobar: The Economic War atau Perang
Ekonomi. Seluruh bangsa di bumi tengah berperang melawan kondisi ekonomi yang
begitu genting (fragile of economic).
Pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia melambat
bahkan ada yang terancam collaps. Berbagai perusahaan multinasional berkantong
tebal yang sebelumnya tak tersentuh krisis tiba-tiba berguguran. Yang masih
hidup tapi dalam kondisi sekarat disambung nyawanya oleh pemerintah dengan bail
out. Pasar modal dan keuangan rontok. Jumlah produksi barang maupun jasa
anjlok. Volume perdagangan menurun. Lapangan pekerjaan menguap. Sementara angka
pengangguran dan kemiskinan kian hari kian merebak.
Berbagai negara ramai-ramai ambil kebijakan. Segala diskusi, seminar hingga konferensi digelar. Agenda pertemuan tahunan baik nasional maupun internasional pun tak luput mendiskusikan masalah ini.
Seperti awal Maret silam, di Jakarta diselenggarakan 5th World Islamic Economic Forum—di manaIndonesia
mengambil bagian penting sebagai negara berpenduduk muslim terbesar—yang
membahas secara intens masalah tersebut dalam tajuk “Food and Energy Security
& Streaming the Tinde of Global Finansial Crisis”. Kini giliran menteri
keuangan negara-negara yang tergabung dalam Group of 20 (salah satunya adalah Indonesia )
mengadakan pertemuan awal sebagai persiapan pertemuan akbar G-20 di London
bulan depan. Pertemuan ini untuk membahas apa pun yang bisa dilakukan untuk
mereduksi dampak krisis global.
Berbagai negara ramai-ramai ambil kebijakan. Segala diskusi, seminar hingga konferensi digelar. Agenda pertemuan tahunan baik nasional maupun internasional pun tak luput mendiskusikan masalah ini.
Seperti awal Maret silam, di Jakarta diselenggarakan 5th World Islamic Economic Forum—di mana
‘Jurus
Pamungkas’
Berbagai negara di dunia pasang kuda-kuda dan mengeluarkan ‘jurus pamungkas’ ala negeri Paman Sam berupa paket stimulus (stimulus package), termasukIndonesia .
Tercatat, pemerintah telah bersepakat untuk mengeluarkan paket stimulus sebesar
Rp 73,3 triliun yang dibarengi dengan kebijakan bank sentral menurunkan suku
bunga untuk menggairahkan kembali perekonomian. Di
sela-sela proses realisasi stimulus tersebut, perekonomian kita sudah mendapat
ancaman pertumbuhan negatif pada triwulan ketiga 2009 mendatang (Kompas, 15/3).
Sedangkan di negara asalnya, Amerika, besaran paket stimulus mencapai 678 miliar dolar atau setara dengan 600 miliar euro. Keadaan ini semakin membuat ekonomi Amerika kian sakit. Sebelum paket stimulus saja, defisit AS sudah mencapai 6 persen dari PDB. Pasca stimulus, diperkirakan defisit ini akan membengkak hingga 12 persen dari PDB (Kompas, 14/3).
Berseberangan dengan Amerika, Uni Eropa cenderung memberlakukan pengetatan aturan perekonomian meskipun tak luput dari kebijakan paket stimulus tersebut. Sebagai perbandingan, besaran paket stimulus UE (yang merupakan gabungan beberapa negara di Benua Eropa) tersebut hanya mencapai kurang lebih 400 miliar euro. Mereka bahkan menjaga agar defisit maksimal sebesar 3 persen PDB.
Berdasarkan pengalaman UE, kebijakan mengendalikan inflasi dan tingkat defisit anggaran telah berhasil menjaga perekonomian mereka pada kondisi yang cukup stabil. UE berkeyakinan, pengguyuran dana ke pasar secara ’jor-joran’ hanya akan memicu tindakan spekulasi oleh para spekulan yang justru membahayakan perekonomian. Pendapat ini juga diamini sang mahaguru spekulan, George Soros.
Hingga sekarang, kebijakan pengguyuran dana ke pasar ala AS dan pengetatan anggaran UE menjadi dua kubu kebijakan yang saling tarik ulur dalam pertemuan awal G-20 tersebut. Meskipun, semua negara anggota G-20 diwakili menteri keuangan masing-masing akhirnya sepakat harus ada tindakan nyata yang diambil untuk menyelamatkan negara-negara yang berada di ambang kebangkrutan melalui IMF, melanjutkan paket stimulus dan menurunkan tingkat suku bunga (BBC News, 15/3).
Berbagai negara di dunia pasang kuda-kuda dan mengeluarkan ‘jurus pamungkas’ ala negeri Paman Sam berupa paket stimulus (stimulus package), termasuk
Sedangkan di negara asalnya, Amerika, besaran paket stimulus mencapai 678 miliar dolar atau setara dengan 600 miliar euro. Keadaan ini semakin membuat ekonomi Amerika kian sakit. Sebelum paket stimulus saja, defisit AS sudah mencapai 6 persen dari PDB. Pasca stimulus, diperkirakan defisit ini akan membengkak hingga 12 persen dari PDB (Kompas, 14/3).
Berseberangan dengan Amerika, Uni Eropa cenderung memberlakukan pengetatan aturan perekonomian meskipun tak luput dari kebijakan paket stimulus tersebut. Sebagai perbandingan, besaran paket stimulus UE (yang merupakan gabungan beberapa negara di Benua Eropa) tersebut hanya mencapai kurang lebih 400 miliar euro. Mereka bahkan menjaga agar defisit maksimal sebesar 3 persen PDB.
Berdasarkan pengalaman UE, kebijakan mengendalikan inflasi dan tingkat defisit anggaran telah berhasil menjaga perekonomian mereka pada kondisi yang cukup stabil. UE berkeyakinan, pengguyuran dana ke pasar secara ’jor-joran’ hanya akan memicu tindakan spekulasi oleh para spekulan yang justru membahayakan perekonomian. Pendapat ini juga diamini sang mahaguru spekulan, George Soros.
Hingga sekarang, kebijakan pengguyuran dana ke pasar ala AS dan pengetatan anggaran UE menjadi dua kubu kebijakan yang saling tarik ulur dalam pertemuan awal G-20 tersebut. Meskipun, semua negara anggota G-20 diwakili menteri keuangan masing-masing akhirnya sepakat harus ada tindakan nyata yang diambil untuk menyelamatkan negara-negara yang berada di ambang kebangkrutan melalui IMF, melanjutkan paket stimulus dan menurunkan tingkat suku bunga (BBC News, 15/3).
Adakah Jalan
Keluar?
Blessing in the disguise. Selalu ada hikmah dibalik kejadian sekalipun sebuah krisis. Krisis yang terjadi sekarang sejatinya adalah akibat dari perilaku bad faith para pelaku ekonomi dalam mengejar sebesar mungkin keuntungan. Perilaku tersebut berupa menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri, tak peduli apakah tindakan tersebut akan merugikan pihak lain, negara, perusahaan atau lingkungan (Henricus W. Ismanthono, 2003).
Dalam kasus subprime mortgage, kita bisa melihat bahwa pemicunya adalah pelipatgandaan utang disertai lemahnya kontrol dalam memberikan utang itu sendiri yang mengakibatkan bad debt atau utang yang tidak terbayar. Pada titik ini, ada prinsip ketuhanan yang dilanggar. Dalam kitab-kitab suci beberapa agama, pelipatgandaan utang dengan sistem bunga sendiri sudah merupakan hal yang tercela. Seperti dalam Islam, bunga (riba) disebut-sebut sebagai salah satu dosa besar.
Untuk segera keluar dari keterpurukan ekonomi, sepertinya manusia harus menghayati dan merenungkan kembali setiap tindakannya. Setiap tindakan ekonomi yang diambil perlu dibarengi etika moral dan tidak berseberangan dengan prinsip ketuhanan tadi. Sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai moral dan agama (sebut misalnya: Ekonomi Syariah) yang bahkan mulai berkembang di negara sekuler, bisa menjadi alternatif pilihan sebagai platform baru perekonomian. Mengeliminasi variabel bunga dalam perekonomian bukanlah hal yang mustahil sebagaimana dibuktikan oleh sistem Perbankan Syariah.
Tidak perlu panik berlebihan. Yang dibutuhkan sekarang adalah bahu-membahu segenap komponen untuk mereduksi dampak krisis ini. Pembuat kebijakan mesti cekatan mengambil segala tindakan yang tepat yang bisa menyelamatkan perekonomian dunia yang hampir karam. Yang diberi kekayaan berlebih berempatilah pada mereka yang kurang beruntung (rakyat miskin). Tahan segala keinginan untuk bersikap konsumerisme. Budayakan kembali sikap hemat, sederhana, tolong menolong dan bersikap ramah terhadap lingkungan. Yakinlah, badai pasti berlalu
Blessing in the disguise. Selalu ada hikmah dibalik kejadian sekalipun sebuah krisis. Krisis yang terjadi sekarang sejatinya adalah akibat dari perilaku bad faith para pelaku ekonomi dalam mengejar sebesar mungkin keuntungan. Perilaku tersebut berupa menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri, tak peduli apakah tindakan tersebut akan merugikan pihak lain, negara, perusahaan atau lingkungan (Henricus W. Ismanthono, 2003).
Dalam kasus subprime mortgage, kita bisa melihat bahwa pemicunya adalah pelipatgandaan utang disertai lemahnya kontrol dalam memberikan utang itu sendiri yang mengakibatkan bad debt atau utang yang tidak terbayar. Pada titik ini, ada prinsip ketuhanan yang dilanggar. Dalam kitab-kitab suci beberapa agama, pelipatgandaan utang dengan sistem bunga sendiri sudah merupakan hal yang tercela. Seperti dalam Islam, bunga (riba) disebut-sebut sebagai salah satu dosa besar.
Untuk segera keluar dari keterpurukan ekonomi, sepertinya manusia harus menghayati dan merenungkan kembali setiap tindakannya. Setiap tindakan ekonomi yang diambil perlu dibarengi etika moral dan tidak berseberangan dengan prinsip ketuhanan tadi. Sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai moral dan agama (sebut misalnya: Ekonomi Syariah) yang bahkan mulai berkembang di negara sekuler, bisa menjadi alternatif pilihan sebagai platform baru perekonomian. Mengeliminasi variabel bunga dalam perekonomian bukanlah hal yang mustahil sebagaimana dibuktikan oleh sistem Perbankan Syariah.
Tidak perlu panik berlebihan. Yang dibutuhkan sekarang adalah bahu-membahu segenap komponen untuk mereduksi dampak krisis ini. Pembuat kebijakan mesti cekatan mengambil segala tindakan yang tepat yang bisa menyelamatkan perekonomian dunia yang hampir karam. Yang diberi kekayaan berlebih berempatilah pada mereka yang kurang beruntung (rakyat miskin). Tahan segala keinginan untuk bersikap konsumerisme. Budayakan kembali sikap hemat, sederhana, tolong menolong dan bersikap ramah terhadap lingkungan. Yakinlah, badai pasti berlalu
PERDAGANGAN BEBAS
Tolak Perdagangan
Bebas!
Tuesday, 19 January 2010 09:32 | Written by Shodiq
Ramadhan |
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgia, berupa penjualan produk antarnegara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya, seperti kuota, muatan lokal, peraturan administrasi dan peraturan antidumping. Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas, maka hambatan-hambatan itu bisa dihilangkan.
Meski secara teori semua hambatan perdagangan itu ditolak oleh perdagangan bebas, namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena malah melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar milik asing.
Selain melindungi perusahaan-perusahaan besar asing, menurut Mansour Fakih dalam buku “Bebas Dari Neoliberalisme”, perdagangan bebas justru meningkatkan harga pangan dan mengancam ketahanan pangan di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Serbuan produk asing yang membanjiri negara berkembang seperti Indonesia akan mengalahkan produk-produk domestik. Daya saing produk dalam negeri akan kalah di pasaran.
Walhasil perdagangan bebas akan menciptakan ketergantungan ekonomi sebuah negara terhadap negara asing. Selanjutnya ketergantungan akan melahirkan penjajahan baru, imperialisme ekonomi.
Perdagangan Bebas Menurut Islam
Pada dasarnya perdagangan bebas adalah bagian dari paket liberalisasi sektor ekonomi. Liberalisasi sektor ekonomi, berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Selain itu juga akan menghilangkan hambatan perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan mengalirnya investasi. Dilihat dari sudut pandang Islam, praktik perdagangan bebas ini sangat bertentangan dengan Islam dilihat dari segi:
Pertama, dengan diserahkannya urusan perdagangan pada mekanisme pasar, berarti peran negara dan pemerintah hilang. Padahal menurut Islam negaralah yang wajib berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk urusan perdagangan.
Rasulullah Saw bersabda:
"Penguasa (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka". (HR Muslim).
Kedua, perdagangan bebas, di mana seluruh pelaku bisnis bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari negara kafir yang memerangi Islam (darul harbi fi’lan) atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, hukum perdagangan internasional menurut Islam dilihat dari isisi kewarganegaraan pelakunya. Berbeda dengan Kapitalisme yang menilai dari sudut komoditasnya. Menurut Islam, perjanjian perdagangan dengan darul harbi fi’lan seperti AS dan Israel serta sekutu-sekutunya adalah haram.
Ketiga, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi negara-negara maju (kafir) yang memiliki keuanggulan atas negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Dilihat dari sisi ini, perdagangan bebas jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Menurut Islam hal ini diharamkan sebab Allah SWT berfirman:
”Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin”. (QS. an-Nisa’ [04]: 141).
Selain itu, Rasulullah Saw juga bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya dan dhirar (bahaya) di dalam Islam” (HR. Ibnu Majah)
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia (baik seperti ACFTA maupun perjanjian perdagangan bebas secara bilateral dengan negara lainnya seperti AS, Australia, China, Hongkong dan Jepang), merupakan bentuk penghianatan terhadap umat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi.
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgia, berupa penjualan produk antarnegara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya, seperti kuota, muatan lokal, peraturan administrasi dan peraturan antidumping. Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas, maka hambatan-hambatan itu bisa dihilangkan.
Meski secara teori semua hambatan perdagangan itu ditolak oleh perdagangan bebas, namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena malah melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar milik asing.
Selain melindungi perusahaan-perusahaan besar asing, menurut Mansour Fakih dalam buku “Bebas Dari Neoliberalisme”, perdagangan bebas justru meningkatkan harga pangan dan mengancam ketahanan pangan di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Serbuan produk asing yang membanjiri negara berkembang seperti Indonesia akan mengalahkan produk-produk domestik. Daya saing produk dalam negeri akan kalah di pasaran.
Walhasil perdagangan bebas akan menciptakan ketergantungan ekonomi sebuah negara terhadap negara asing. Selanjutnya ketergantungan akan melahirkan penjajahan baru, imperialisme ekonomi.
Perdagangan Bebas Menurut Islam
Pada dasarnya perdagangan bebas adalah bagian dari paket liberalisasi sektor ekonomi. Liberalisasi sektor ekonomi, berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Selain itu juga akan menghilangkan hambatan perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan mengalirnya investasi. Dilihat dari sudut pandang Islam, praktik perdagangan bebas ini sangat bertentangan dengan Islam dilihat dari segi:
Pertama, dengan diserahkannya urusan perdagangan pada mekanisme pasar, berarti peran negara dan pemerintah hilang. Padahal menurut Islam negaralah yang wajib berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk urusan perdagangan.
Rasulullah Saw bersabda:
"Penguasa (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka". (HR Muslim).
Kedua, perdagangan bebas, di mana seluruh pelaku bisnis bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari negara kafir yang memerangi Islam (darul harbi fi’lan) atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, hukum perdagangan internasional menurut Islam dilihat dari isisi kewarganegaraan pelakunya. Berbeda dengan Kapitalisme yang menilai dari sudut komoditasnya. Menurut Islam, perjanjian perdagangan dengan darul harbi fi’lan seperti AS dan Israel serta sekutu-sekutunya adalah haram.
Ketiga, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi negara-negara maju (kafir) yang memiliki keuanggulan atas negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Dilihat dari sisi ini, perdagangan bebas jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Menurut Islam hal ini diharamkan sebab Allah SWT berfirman:
”Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin”. (QS. an-Nisa’ [04]: 141).
Selain itu, Rasulullah Saw juga bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya dan dhirar (bahaya) di dalam Islam” (HR. Ibnu Majah)
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia (baik seperti ACFTA maupun perjanjian perdagangan bebas secara bilateral dengan negara lainnya seperti AS, Australia, China, Hongkong dan Jepang), merupakan bentuk penghianatan terhadap umat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi.
Dengan
perjanjian tersebut, sengaja atau tidak, Pemerintah telah membunuh usaha dan
industri dalam negeri baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan
berdampak pada makin meningkatnya angka pengangguran. Jadi, hanya ada satu kata
untuk perdagangan bebas, TOLAK!!. Wallahu a’lam bi shawab.
REDENOMINISASI
Redenominasi Rupiah: Mahal dan Bukan Prioritas
Sunday, 15 August 2010 18:32 | Written by Shodiq Ramadhan
Oleh: Hendri Saparini, Ph.D
(Managing Director ECONIT)
Tidak lama, setelah
Darmin Nasution ditetapkan oleh sidang paripurna DPR sebagai Gubernur Bank Indonesia ,
sang Gubernur membuat pernyataan yang cukup menghebohkan. Dalam konferensi pers
Darmin Nasution menyampaikan bahwa BI telah berwacana untuk melakukan
redenominasi rupiah. Pernyataan tersebut tentu segera menimbulkan reaksi
beragam di masyarakat. Jangankan berita nilai tukar, untuk negara yang menganut
sistem nilai tukar mengambang (Floating Exchange Rate System) seperti
Indonesia, berita Gubernur sakit perut saja dapat mengguncang rupiah karena
nilai tukar sarat dengan spekulasi.
Keresahan masyarakat bertambah setelah Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian memberikan bantahan. Tidak heran karena masyarakat khawatir kebijakan ini akan mengulang kebijakan sanering pada jaman Orba. Padahal redenominasi bukan sanering. Sanering dalam konteks ekonomi diartikan sebagai pemotongan nilai uang. Sedangkan redenominasi hanyalah penyederhanaan penyebutan dan penulisan nilai mata uang dengan mengurangi jumlah digit (jumlah angka nol), tanpa pengurangan nilai uang.
Memang ada manfaatnya, semisal redenominasi akan membuat penulisan lebih praktis. Namun demikian, redenominasi lebih merupakan pencitraan mata uang rupiah agar lebih bergengsi. Paling tidak, keluar dari predikat tiga mata uang dunia yang nilai tukarnya terhadap dollar AS paling kecil. Selain itu, dengan berkurangnya angka nol rupiah juga seolah rupiah lebih kuat dan stabil. Tetapi ‘penguatan’ tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan penguatan fundamental ekonomi. Berbeda bila penguatan rupiah terjadi karena daya saing produk dan jasa meningkat sehingga mendorong ekspor, sehingga penerimaan ekspor inilah yang mendorong penguatan rupiah. Bila tidak, maka manfaat langsung bagi pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi menjadi sangat minimal.
Dalam berbagai diskusi radio banyak masyarakat yang mendukung dengan alasan yang sangat sederhana tetapi dalam yakni mengembalikan martabat bangsa. Tentu kelompok ini belum paham bahwa banyak prasyarat yang harus dilakukan untuk menerapkannya. Tidak sedikit pula yang menuduh wacana redenominasi ini sebagai pengalih berita yang terus mengkaitkan Darmin Nasution dengan kasus Century. Apapun, lontaran redenominasi rupiah telah menjadi topik diskusi hangat baik di Café maupun warung Kopi.
Ongkos Mahal
Tidak banyak yang tahu bahwa redenominasi memerlukan dukungan dana yang besar. Manfaat menjadi tidak signifikan bila ongkos yang harus disediakan ternyata sangat besar.Ada
beberapa persyaratan yang harus dilakukan sebelum menjalankan redenomonasi.
Pertama, anggaran untuk mencetak uang baru. Saat ini rupiah tidak memiliki uang
kertas dan koin dengan nilai kecil. Dengan redenominasi rupiah, kebutuhan
uang-uang koin dengan nilai di bawah Rp 1 sangat diperlukan karena masih banyak
komoditas yang diperdagangkan masyarakat yang nilainya antara Rp 100-Rp 500.
Bila dilakukan redenominasi dengan penyederhanaan nilai Rp 1000 menjadi Rp 1,
maka diperlukan koin 10-50 sen untuk mempermudah transaksi di masyarakat.
Kedua, kebutuhan anggaran untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan. Dengan penghilangan “angka nol” baik satu, dua dan seterusnya, diperlukan perubahan teknologi informasi. Tidak hanya lembaga bank atau non bank, tetapi juga perusahaan swasta lain memerlukan perangkat tekonomi
Ketiga, kebutuhan dana untuk sosialisasi kepada masyarakat. Selain dukungan kondisi makro diperlukan juga pemahaman masyarakat dan dukungan politik yang harus digalang lewat berbagai program sosialisasi. Berapa banyak dana dan waktu yang harus diperlukan? Sebagai gambaran, sosialisasi potensi manfaat dan resiko penggunaan gas elpiji akibat konversi mitan ke gas elpiji yang telah berjalan lebih dari 3 tahun ternyata dinilai tidak berhasil karena setelah lebih dari tiga tahun, masih banyak masyarakat yang belum memahami cara mengurangi resiko dari penggunaan gas dan tabung elpiji dari program konversi.
Keresahan masyarakat bertambah setelah Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian memberikan bantahan. Tidak heran karena masyarakat khawatir kebijakan ini akan mengulang kebijakan sanering pada jaman Orba. Padahal redenominasi bukan sanering. Sanering dalam konteks ekonomi diartikan sebagai pemotongan nilai uang. Sedangkan redenominasi hanyalah penyederhanaan penyebutan dan penulisan nilai mata uang dengan mengurangi jumlah digit (jumlah angka nol), tanpa pengurangan nilai uang.
Memang ada manfaatnya, semisal redenominasi akan membuat penulisan lebih praktis. Namun demikian, redenominasi lebih merupakan pencitraan mata uang rupiah agar lebih bergengsi. Paling tidak, keluar dari predikat tiga mata uang dunia yang nilai tukarnya terhadap dollar AS paling kecil. Selain itu, dengan berkurangnya angka nol rupiah juga seolah rupiah lebih kuat dan stabil. Tetapi ‘penguatan’ tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan penguatan fundamental ekonomi. Berbeda bila penguatan rupiah terjadi karena daya saing produk dan jasa meningkat sehingga mendorong ekspor, sehingga penerimaan ekspor inilah yang mendorong penguatan rupiah. Bila tidak, maka manfaat langsung bagi pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi menjadi sangat minimal.
Dalam berbagai diskusi radio banyak masyarakat yang mendukung dengan alasan yang sangat sederhana tetapi dalam yakni mengembalikan martabat bangsa. Tentu kelompok ini belum paham bahwa banyak prasyarat yang harus dilakukan untuk menerapkannya. Tidak sedikit pula yang menuduh wacana redenominasi ini sebagai pengalih berita yang terus mengkaitkan Darmin Nasution dengan kasus Century. Apapun, lontaran redenominasi rupiah telah menjadi topik diskusi hangat baik di Café maupun warung Kopi.
Ongkos Mahal
Tidak banyak yang tahu bahwa redenominasi memerlukan dukungan dana yang besar. Manfaat menjadi tidak signifikan bila ongkos yang harus disediakan ternyata sangat besar.
Kedua, kebutuhan anggaran untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan. Dengan penghilangan “angka nol” baik satu, dua dan seterusnya, diperlukan perubahan teknologi informasi. Tidak hanya lembaga bank atau non bank, tetapi juga perusahaan swasta lain memerlukan perangkat tekonomi
Ketiga, kebutuhan dana untuk sosialisasi kepada masyarakat. Selain dukungan kondisi makro diperlukan juga pemahaman masyarakat dan dukungan politik yang harus digalang lewat berbagai program sosialisasi. Berapa banyak dana dan waktu yang harus diperlukan? Sebagai gambaran, sosialisasi potensi manfaat dan resiko penggunaan gas elpiji akibat konversi mitan ke gas elpiji yang telah berjalan lebih dari 3 tahun ternyata dinilai tidak berhasil karena setelah lebih dari tiga tahun, masih banyak masyarakat yang belum memahami cara mengurangi resiko dari penggunaan gas dan tabung elpiji dari program konversi.
Tentu akan diperlukan
dana sangat besar dan waktu untuk menjamin agar semua masyarakat memahami
dengan benar tujuan dan langkah implementasi dari kebijakan redenominasi ini.
Keperluan dana sosialisasi menjadi sangat besar mengingat tingkat pendidikan
separuh penduduk Indonesia
hanya tingkat SD. Disamping itu wilayah geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau, perlu dukungan strategi dan pendanaan yang kuat. Bila sosialisasi tidak
maksimal maka justru berpotensi menimbulkan kericuhan di masyarakat.
Dorong inflasi
Meskipun BankIndonesia
meyakinkan bahwa redenominasi tidak akan berdampak pada penurunan daya beli
masyarakat, namun sangat mungkin pelaksanaan redenominasi yang tidak didukung
dengan berbagai persyaratan akan berpotensi mendorong inflasi yang pada
akhirnya memangkas daya beli masyarakat. Seperti disebutkan di atas saat ini
masih banyak barang yang diperdagangkan di masyarakat dengan harga Rp 450.
Paska redenominasi berarti akan menjadi 45 sen. Untuk memudahkan transaksi akan
ada kecenderungan penjual untuk membulatkan harga menjadi 50 sen. Pembulatan
ini oleh pembeli juga akan diterima karena secara psikologis hanya naik 5 sen.
Padahal sejatinya telah terjadi kenaikan harga sebesar 11 persen. Bila ini
terjadi secara meluas maka akan terjadi serangan inflasi secara diam-diam. Masyakat
tidak menyadari hanya merasakan bahwa daya beli mereka semakin lama semakin
melemah.
Dengan sistem ekonomi yang sudah sangat liberal dan barang impor sangat mudah untuk masuk maka redenominasi ini juga berpotensi untuk mendorong permintaan produk-produk impor. Mengapa? Barang seharga USD 20 semula dikonversikan menjadi Rp 200.000, namun dengan redenominasi seolah menjadi hanya Rp 200 (bila dilakukan penghilangan tiga angka nol). Bila ini terjadi pada makanan impor maka akan semakin menjerumuskanIndonesia
pada ketergantungan impor.
Bukan agenda prioritas
Ternyata kebijakan redenominasi rupiah memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Selain itu diperlukan dukungan dana, infrastruktur dan juga politik. Penyampaian wacana redenominasi oleh Gubernur BI untuk sebuah rencana kebijakan yang masih sangat premature, kajiannya belum selesai dan sama sekali belum ada pembicaraan dengan pemerintah dan legislatif, menunjukkan indikasi menejemen kebijakan publik Gubernur BI sangat lemah.
Redenominasi rupiah juga bukan kebutuhan sekunder dan tidak mendesak.Ada agenda lain yang seharusnya menjadi prioritas untuk
segera dilakukan oleh Bank Indonesia
seperti misalnya menyiapkan terobosan kebijakan agar peran perbankankan dalam
mendorong sector riil semakin besar. Kebijakan untuk mendorong agar investasi
di sektor keuangan memiliki keterkaitan dengan sektor riil juga agenda yang
jauh lebih penting untuk dilakukan saat ini dibanding redenominasi rupiah.
Pekerjaan rumah lainnya Bank Indonesia
dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menekan suku bunga pinjaman
saat ini yang relatif tinggi sehingga tidak menguntungkan bagi sektor riil.
Masih ada seabreg agenda lain yang dapat dijadikan program prioritas Bank Indonesia termasuk mendorong pembiayaan syariah dengan bagi hasil misalnya, yang memang diperlukan bagi Indonesia mengingat 90 persen unit usaha yang ada adalah usaha kecil menengah.
Bila akan mewacanakan mungkin BankIndonesia sebaiknya mencoba
mengkaji penentuan nilai tukar yang sesuai aturan Islam. Dalam Islam alat tukar
yang digunakan adalah dinar dan dirham mata uang yang dibuat dari mas dan
perak, sehingga nilai alat tukar sesuai dengan nilai dari komoditas yang
ditukar. Mungkin saat ini tidak mudah mendorong kembali digunakannya mata uang
dinar dan dirham, tetapi paling bila saat ini dianggap kondisi darurat, maka
Bank Indonesia yang notabene sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak
dan sekaligus kaya sumber daya alam emas dan perak, mencoba menawarkan nilai
tukar yang dijamin dengan emas sebagaimana pernah dilakukan pada abad 14.
Era nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikonversikan dengan emas. Pada era itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Data menyebutkan untuk mencetak uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus menjamin dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Artinya, secara tidak langsung seluruh nilai mata uang dikaitkan dengan emas melalui USD. Era ini berakhir setelah diawali tindakan The Fed yang “selingkuh” dengan cara mencetak dollar melebihi emas yang menjadi jaminannya.
BankIndonesia
sebenarnya tidak perlu ragu untuk mewacanakan nilai tukar yang di-back up emas
karena saat ini banyak negara barat yang telah menyuarakan kembalinya sistem
nilai tukar yang dijamin dengan emas yang sering dikenal dengan istilah Bretton
Woods II yang merupakan penyempurnaan Bretton Wood System. Tidak mudah tentu
saja, tetapi kalau redenominasi rupiahpun masih sekadar wacana, maka akan lebih
baik bila mewacanakan upaya penetapan nilai tukar rupiah yang kebenaran telah
dinyatakan dalam Islam. Apalagi sejarah membuktikan secara empiris dinar dan
dirham dapat menjadi mata uang yang dapat menjaga daya beli masyarakat.
Dorong inflasi
Meskipun Bank
Dengan sistem ekonomi yang sudah sangat liberal dan barang impor sangat mudah untuk masuk maka redenominasi ini juga berpotensi untuk mendorong permintaan produk-produk impor. Mengapa? Barang seharga USD 20 semula dikonversikan menjadi Rp 200.000, namun dengan redenominasi seolah menjadi hanya Rp 200 (bila dilakukan penghilangan tiga angka nol). Bila ini terjadi pada makanan impor maka akan semakin menjerumuskan
Bukan agenda prioritas
Ternyata kebijakan redenominasi rupiah memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Selain itu diperlukan dukungan dana, infrastruktur dan juga politik. Penyampaian wacana redenominasi oleh Gubernur BI untuk sebuah rencana kebijakan yang masih sangat premature, kajiannya belum selesai dan sama sekali belum ada pembicaraan dengan pemerintah dan legislatif, menunjukkan indikasi menejemen kebijakan publik Gubernur BI sangat lemah.
Redenominasi rupiah juga bukan kebutuhan sekunder dan tidak mendesak.
Masih ada seabreg agenda lain yang dapat dijadikan program prioritas Bank Indonesia termasuk mendorong pembiayaan syariah dengan bagi hasil misalnya, yang memang diperlukan bagi Indonesia mengingat 90 persen unit usaha yang ada adalah usaha kecil menengah.
Bila akan mewacanakan mungkin Bank
Era nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikonversikan dengan emas. Pada era itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Data menyebutkan untuk mencetak uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus menjamin dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Artinya, secara tidak langsung seluruh nilai mata uang dikaitkan dengan emas melalui USD. Era ini berakhir setelah diawali tindakan The Fed yang “selingkuh” dengan cara mencetak dollar melebihi emas yang menjadi jaminannya.
Bank
Siapa Butuh Redenominasi?
Monday, 09 August 2010 16:22
Salah satu cara melihat perlu tidaknya
redenominasi adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi
baku
Oleh: Muhaimin Iqbal*
PERDEBATAN mengenai isu redenominasi rupiah terus berlanjut di media-media sampai hari ini. Secara umum kalau saya baca sepintas yang menolak nampaknya lebih banyak dari yang mendukung. Pemerintah dan bahkan BankIndonesia pun yang meniup peluit
nampaknya cooling down dengan menyatakan bahwa redenominasi rupiah bukan fokus
utama saat ini. Masyarakat tidak perlu cemas karena redenominasi paling tidak -
tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Masalahnya adalah apakah redenominasi
rupiah ini memang perlu? Dan kalau perlu, kapan sebaiknya dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya, biarlah ahlinya yang menjawab, yaitu BankIndonesia .
Jangan biarkan para politikus yang menjawabnya, karena justru akan membuat isu
redenominasi ini menjadi bola liar yang tidak menguntungkan ekonomi dan tidak
menguntungkan rakyat.
Kita semua tahu isu ini tidak popular, para penguasa tentu akan berat hati seandainya harus mengambil keputusan ini karena akan berdampak buruk pada reputasinya. Sebaliknya lawan-lawan politik dapat menggunakan isu ini untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk meraih simpati rakyat dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat – dengan menolak redenominasi rupiah misalnya.
Salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditibaku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya
stabil sepanjang masa. Karena data yang saya punya untuk contoh stabilitas harga
sepanjang zaman itu adalah kambing dan emas, maka saya dapat gunakan salah
satunya untuk membuat analisa perlu tidaknya redenominasi ini. Di antara
keduanya saya pilih emas karena datanya lebih lengkap dan dapat Anda verifikasi
dengan berbagai sumber data lainnya seperti kitco.com, dan lain
sebagainya.
Pertama, saya ambil data harga emas per gram dalam dua mata uang, yaitu rupiah danUS $
selama 40 tahun terakhir. Mengapa 40 tahun? Karena sejak 40 tahun lalu tepatnya
Agustus 1971 mata uang fiat dunia dilepas kaitannya dari standar emas. Sejak
saat itulah uang fiat di seluruh dunia bergerak liar, sebagian lebih
terkendali dari sebagian yang lain.
Data-data tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik di mana jarak satu gridline yang satu dengan gridline di bawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama di bawah.
Perhatikan pada grafikUS $
yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal
ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40
tahun terakhir. Sebaliknya rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun
terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang
waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam rupiah mengalami kenaikan sampai 790
kalinya. Apa maknanya ini?
Negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apabila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya rupiah kita – perlu di redenominasi dari waktu ke waktu.
Lantas kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan? Lagi-lagi saya gunakan harga emas untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi – maka namanya adalah sanering.
Oleh: Muhaimin Iqbal*
PERDEBATAN mengenai isu redenominasi rupiah terus berlanjut di media-media sampai hari ini. Secara umum kalau saya baca sepintas yang menolak nampaknya lebih banyak dari yang mendukung. Pemerintah dan bahkan Bank
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya, biarlah ahlinya yang menjawab, yaitu Bank
Kita semua tahu isu ini tidak popular, para penguasa tentu akan berat hati seandainya harus mengambil keputusan ini karena akan berdampak buruk pada reputasinya. Sebaliknya lawan-lawan politik dapat menggunakan isu ini untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk meraih simpati rakyat dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat – dengan menolak redenominasi rupiah misalnya.
Salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi
Pertama, saya ambil data harga emas per gram dalam dua mata uang, yaitu rupiah dan
Data-data tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik di mana jarak satu gridline yang satu dengan gridline di bawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama di bawah.
Perhatikan pada grafik
Negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apabila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya rupiah kita – perlu di redenominasi dari waktu ke waktu.
Lantas kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan? Lagi-lagi saya gunakan harga emas untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi – maka namanya adalah sanering.
Itulah sebabnya ketika
terjadi di tahun 1965/1966 namanya sanering; kemudian sempat mencuat isu
sanering pula pada puncak krisis 1997/1998 karena saat itu inflasi sempat
mencapai angka 78 %. Karena fokus tulisan ini adalah penghilangan beberapa
angka nol tanpa mengurangi daya beli dan dilakukan pada saat ekonomi yang
relatif stabil atau disebut redenominasi dan bukan sanering; maka berdasarkan
grafik yang kedua diatas, kita dapat melihat ada dua waktu yang baik sebenarnya
untuk melakukan redenominasi, yaitu pada tahun 1983 dan 2004.
Pada tahun 1983 harga emas per gram dalam rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila rupiah di redominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar rupiah saat itu menjadi 1 US$ 1 = Rp 0.90, keren bukan...?.
Tahun 1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula di puncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun 2004 pada saat harga emas dalam rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar berada pada angka US$ 13.17/gram.
Bila redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau nilai tukar rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal ini pun tidak ada yang merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia) sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline berikutnya.
Seandainya pun dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh rata-rata inflasi rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.
Redenominasi baru akan memberikan nilai tukar rupiah yang keren di kisaran US$ 1,- = Rp 1,- adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau me-redenominasi rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol! Efek dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram, sementara harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar rupiah saat itu menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi rupiah yang lebih tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan memiliki nilai tukar rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp 0.92.
Well, karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun mendatang pengguna rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun –tahun sebelumnya. Sama dengan bersyukurnya kita saat ini – alhamdulillah pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering rupiah, bila tidak maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp 1.000.000,- !. Wa Allahu A’lam.
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis www.hidayatullah.com
Pada tahun 1983 harga emas per gram dalam rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila rupiah di redominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar rupiah saat itu menjadi 1 US$ 1 = Rp 0.90, keren bukan...?.
Tahun 1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula di puncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun 2004 pada saat harga emas dalam rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar berada pada angka US$ 13.17/gram.
Bila redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau nilai tukar rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal ini pun tidak ada yang merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia) sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline berikutnya.
Seandainya pun dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh rata-rata inflasi rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.
Redenominasi baru akan memberikan nilai tukar rupiah yang keren di kisaran US$ 1,- = Rp 1,- adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau me-redenominasi rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol! Efek dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram, sementara harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar rupiah saat itu menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi rupiah yang lebih tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan memiliki nilai tukar rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp 0.92.
Well, karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun mendatang pengguna rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun –tahun sebelumnya. Sama dengan bersyukurnya kita saat ini – alhamdulillah pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering rupiah, bila tidak maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp 1.000.000,- !. Wa Allahu A’lam.
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis www.hidayatullah.com
REKSADANA SYARI’AH
Reksadana Syari'ah*
06/01/2007
06/01/2007
MENGHADAPI globalisasi pada
abad 21 umat Islam dihadapkan pada realita dunia yang serba cepat dan canggih.
Tak terkecuali di dalamnya masalah ekonomi dan keuangan. Produk-produk baru
dikembangkan untuk menarik dana dari masyarakat. Namun bagi umat Islam,
produk¬produk tersebut perlu dicemati, karena dikembangkan dari jasa keuangan
konvensional yang netral terhadap nilai dari ajaran agama.
Salah satu produk yang tengah
dikembangkan saat ini di indonesia adalah reksadana, yang di luar negeri
dikenal dengan "unit
trust" atau "mutual
fund”. Reksadana adalah sebuah wahana di mana masyarakat dapat
menginvestasikan dananya dan pengurusnya atau fund manager dana itu diinvestasikan
ke portofolio efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil
yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kedl
dan resiko yang sedikit.
Reksadana memiliki andil yang
amat besar dalam perekonomian masyarakat karena dapat memobilisasi dana untuk
pertumbuhan dan pengembangan perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun
swasta. Di sisi lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa
keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan material.
Namun bagi umat Islam
reksadana merupakan hal yang perlu diteliti karena masih mengandung hal-hal yang
tidak sejalan dengan ajaran Is¬lam. Misalnya investasi rekasadana pada
produk-produkyang diharamkan dalam Islam, seperti minuman keras, judi,
pornografi dan jasa keuangan non-syariah. Di samping itu mekanisme transaksi
antara investor dengan reksadana, dan antara reksadana dengan emiten (pemilik
perusahaan) harus diklasifikasikan menurut hukum Islam.
Pandangan Syariah Terhadap Reksadana
Seperti telah dijelaskan di
atas bahwa dalam reksadana terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syariah
baik dalam segi akad, operasi, investasi, transaksi maupun pembagian
keuntungan. Namun demikian dalam reksadana konvensional tersebut terdapat pula
mu'amalah yang dibolehkan dalam Islam seperti jual beli dan bagi hasil
(mudharabah/qirad). Dalam hubungan ini terdapat kemaslahatan seperti memajukan
perekonomian, saling memberi keuntungan diantara para pelakunya, meminimalkan
risiko dalam pasar modal dan sebagainya.
Atas dasar pandangan di atas
maka Reksadana sepanjang produk-¬produk yang dihasilkan tidak menggunakan cara-cara
yang diharamkan oleh Islam dapat dibenarkan oleh syariah sesuai dengan prinsip
yang diajarkan oleh Islam yaitu: semua perjanjian atau transaksi yang dilakukan
oleh umat Islam dibolehkan oleh syariah sepanjang tidak menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal sebagairnana tertuang dalam hadis:
"Perjanjian itu boleh bagi orang
Islam kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan vang
haram. Dan orang Islam itu wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka kemukakan
kecuaIi s'yarat.vang mengharamkan yang haIal dan menghalalkan yang haram. (HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi dari Amr bin Auf).
Berdasarkan hadis tersebut
maka segala macam akad dapat disamakan dengan syarat sepanjang tidak
bertentangan dengan syariah. Sebagairnana disebutkan dalam Al-fjqhul Islami wa
AdiIlatuhu yang berbunyi:
Dan dikiaskan terhadap
syarat-syarat yang sah semua akad yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar
svariah. (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz 4 hlm. 200)
Dan atas dasar hadis tersebut
maka jumhur ulama sepakat bahwa pada prinsipnya setiap muamalah dibolehkan oleh
syara'selama tidak bertentangan dengan syariah, sebagaimana dituangkan dalam
sebuah kaidah yang berbunyi:
Prinsip dasar dalam transaksi
dan syarat-syarat yang berkenaa dengannya boleh selama tidak dilarangoleh
syariah atau bertentangan dengan syariah. (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz
4 shohifah 199)
Masalah-masalah Pokok yang Berkaitan dengan Reksadana
Di antara masalah-masalah
yang perlu memperoleh perhatian antara lain:
A. Kelembagaan
Reksadana dapat ditangani oleh sebuah lembaga keuangan yang berbentuk Badan Hukum. Islam sendiri sejak lama telah mengenal Badan Hukum. Karena itu Badan Hukum tidak bebas taklif sebab Badan Hukum tersebut pada hakkikatnya merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Badan Hukum dinyatakan oleh para ulama sebagai syakhsiyyah hukmiyyah atau syakhsiyyah itibariyyah, sebagaimana dijelaskan:
Reksadana dapat ditangani oleh sebuah lembaga keuangan yang berbentuk Badan Hukum. Islam sendiri sejak lama telah mengenal Badan Hukum. Karena itu Badan Hukum tidak bebas taklif sebab Badan Hukum tersebut pada hakkikatnya merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Badan Hukum dinyatakan oleh para ulama sebagai syakhsiyyah hukmiyyah atau syakhsiyyah itibariyyah, sebagaimana dijelaskan:
Bahwa fiqih Islam mengakui
adanya syakhsiyyah hukmiyyah atau i'tibariyyah (Badan Hukum).
(Al-Madkhal Al-Fiqhul Aam, DR. Musthofa Ahmad Zarqa, juz III hlm 256).
"Fiqh Islam mengakui apa yang
disebut dalam hukum positf syakhsiyyah i’bariyyah atau syakhsiyyah mujarrada
melalui pengakuan terhadap lembaga-lembaga umum seperti yayasan perhimpunan
perusahaan dan masjid. Dengan adanya sakhsiyah yang menyerupai keperibadian
manusia dalam hal kelayakan memiliki dan mempunyai hak dan kewajiban serta
mempunyai tanggung jawab tersendiri secara umum terlepas dari tanggung jawab
anggota." (Al-Fiqhul
Islam wa Adillatuhu, juz IV h1m 11).
B. Hubungan Investor Dan
Lembaga
Hubungan investor dan lembaga
dilakukan melalui akad qiradh mudharalbah tasarruf ini dibenarkansebagaimana
dijelaskan:
"Seorang memberikan hartanya
kepada yang lain untuk dijadikan modal dagang dengan ketentuan keuntungan
yangdiperoleh dibagi antara dua belah pihak sesuai dengan syarat-syarat yang
disetujui. Ahli iraq menyebutnya dengan mudharabah,sedang penduduk hijaz
menyebutnya dengan qiradh. "(AI-Mughni juz V hlm 26).
C. Saham Reksadana
Saham reksadana dapat
dijualbelikan karena saham merupakan harta milik investor yang nilainya dapat
diketahui secara jelas dan sudah menjadi kebiasaan di kalangan para pengusaha.
Penjelasan hal tersebut dapat dilihat antara lain:
Kaidah fiqh "sesuatu yangtetap berdasarkan
atas kebiasaan sama yang tetap menurut nash”: cukup untuk membuka
pintu ta'aqut
(transaksi) dan mut/ak bebas bagipihak-pihak yang berakad untuk menghindarkan
kesulitan dan kesempitan dalam muamalah antar sesama manusia pada saat wilayah
muamalah maliyah semakin meluas dan semakin berkembang bentuk dan macam
kegiatannya, khususnya dalam hal kontrak atau akad (salah satunya serikat
saham). (Aswaq
Al-Auraq AI-Maliyah, hIm 258)
D. Kegiatan Investasi
Dalam melakukan kegiatan
investasi reksadana dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan
dengan syariah. Diantara investasi yang tidak halal adalah perjudian,
pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang haram, lembaga keuangan ribawi
dan lain-lain.
Dalam melakukan transaksi reksadana
tidak dibolehkan melakukan tindakan sepekulasi yang didalamnya mengandung
gharar atau ikhtisar atau tindakan sepekulasi lainya seperti najasy (penawaran
palsu) seperti dalam riwayat berikut ini:
Imam Bukhori dan Muslim
meriwayatkan dari ibnu umar yang menyatakan bahwa NabiSaw: Melarang najasy
(menawar sesuatu bukan untuk membeli tapi untuk menaikkan harga). Imam Bukhori
dan Muslim juga meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan Nabi Saw.
Melarang orang kota menghadang dan membeli barang orang kampong sebelum sampai
ke kota dan janganlah kamu melakukan najasy. (Subulus Salam Juz III Hlm 18).
Manajer investasi dapat
melakukan kegiatan investasi akad mudharabah apabila telah memperoleh izin dari
investor pada waktu investor melakukan perjanjian investasi.
Ketahuilah bahwa amil dalam
qiradh dilarang untuk melakukan muqarabah kepada orang lain denga harta/modal
qiradh selama tidak ada izin dari pemilik modal dengan izin yang shahih dan
jelas. (Al-Mudharabah
Lil Mawardi, hlm 198-199).
Jika pemilik harta
menyetujui/mengizinkan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai mudharabah
hukurnnya boleh. Demikian disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal. (AI Mughni juz V hlm
50-51).
Produk-produk reksadana
seperti spot,
forward, swap, option dan
produk-produk lainya yang bisa dilakukan perlu memperoIeh penelitian dan
pengkajian untuk menjadi bahan pertimbangan apakah produk-¬produk tersebut
dibenarkan oleh syariah atau tidak.
Urgensi Reksadana Syariah
Reksadana adalah tuntutan
perkembangan ekonomi yang tidak dapat dihindari karena akan menghimpun dana
dari umat untuk berinvestasi di reksadana dan hal ini tidak mungkin dapat
dicegah. Di sisi lain umat Islam harus dapat bersaing dalam bidang ekonomi
dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong era gIobalisasi.
Sementara itu kegiatan
reksadana yang ada sekarang masih banyak mengandung unsur-unsur yang tidak
sesuai dengan syariah Islam baik yang menyangkut akad, sasaran investasi,
teknik transaksi, pendapatan maupun dalam hal pembagian keuntungannya. Untuk
itu perlu ditumbuhkan reksadana syariah yang kegiatannya mengikuti
prinsip-prinsip syariah dalam bidang muamalah maliyah.
Adanya reksadana syariah
merupakan upaya untuk memberi jalan bagi Umat Islam agar tidak bermuamalah dan
memakan harta dengan cara yang bathil seperti disebutkan dalam Al-Quran:
Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan peniagaan yang bathil
kecuali dengan jalan perniagaan yang ber/aku dengan suka sama suka diantara
kamu. (QS.
An-Nisa' : 29).
Di samping merupakan ssesuatu kelaziman dalam
kehidupan social bahwa sebagian orang yang memiliki harta seringkali tidak
cakap untuk mengembangkannya dan sebaliknya orang yang kemampuan dalam
berbisnis tidak memiliki modal sehingga antara kedua belah pihak dapat saling
menunjang sebagaimana dijelaskan didalam kitab Al-Bajuri dalam kaitannya dengan
Qiradh yang berbunyi:
Dalil atas qiradh adalah ijma' dan kebutuhan
(hajat) karena kadang¬-kadang pemilik harta tidak cakap pengelolaannya dan ada
orang yang tidak punya harta tapi pandai mengelola. Maka yang pertama
membutuhkan pengelola dan yang kedua membutuhkan pekerjaan. (Hasyiah Fathul-Qorib Al-Bajuri,
Juz II hlm 21).
Selain itu reksadana syariah juga diharapakan
dapat menjadi sarana untuk ikut berpertisispasi dalam pembangunan nasional
melalui investasi yang sesuai dengan syariah khususnya bagi umat Islam.
Organisasi NU diharapkan dapat merintis berdirinya reksadana syariah sebagai
wahana bagi warga NU untuk melakukan investasi dan untuk membantu warga yang
memerlukan permodalan.
*Keputusan
Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1997 di Lombok Tengah NTB.
(Anam)
RIBA
(Lihat: Hadis – Riba – Bahaya Riba)
Riba dan
Dampak-dampak Ekonominya (1)
Oleh
Dr. Mohamad Daudah
Oleh: Dr. Abdul Majid Diyah
(Guru Besar Fakultas Syariah Universitas az-Zarqa al-Ahliyyah, Jordan)
(Guru Besar Fakultas Syariah Universitas az-Zarqa al-Ahliyyah, Jordan)
Riba dalam Islam hukumnya
haram, karena mengandung unsur ketidak-adilan dan pengambilan harta orang lain
dengan cara batil. Inilah yang dipahami umat di awal sejarah Islam.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa
hak seseorang itu terbatas pada harta pokoknya, tidak lebih. Kelebihan yang
diambil sebagai kompensasi kredit adalah zhalim, dimana kezhaliman itu hukumnya
jelas-jelas haram. Allah berfirman, ‘Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.’ (al-Baqarah: 279)
Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud
dari tidak menganiaya dan tidak dianiaya adalah: kalian tidak mengambil melebih
hak dengan cara yang bati, dan hak kalian tidak dikurangi.
Allah sebenarnya telah
mengharamkan riba kepada Yahudi, namun mereka mempraktikkan riba dengan
berbagai intrik, dan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Allah
berfirman, ‘Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.’ (an-Nisa’: 161)
Pada hari ini, para pakar
ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti perkembangan
praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan,
kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi dan permodalan,
pengangguran, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa aturan syariat ini
sarat dengan mukjizat, dan bahwa al-Qur’an ini bersumber dari Allah, bukan dari
Muhammad saw.
Distribusi Kekayaan secara Tidak Adil:
Praktik kredit dengan bunga
hanya terpusat pada individu-individu yang mampu memberi jaminan pelunasan
hutang dan bunganya, dan hal itu mengakibatkan konsentrasi kekayaan negara pada
sejumlah kecil individu.
Hal ini ditegaskan Dr.
Hjalmer Schacht, warganegara Jerman mantan direktur Reichsbank, ‘Dengan praktik
yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah
pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur
beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara
matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.’
Fenomena lain distribusi kekayan yang tidak adil adalah subordinasi profesionalisem terhadap kapitalisme. Produksi sesungguhnya berpijak pada dua unsur: keahlian dan modal. Keahlian-lah yang seharusnya menjadi fundamen, karena keahlian menghasilkan kekayaan, dan implikasinya adalah kedua unsur itu sama-sama menanggung untung-rugi.
Fenomena lain distribusi kekayan yang tidak adil adalah subordinasi profesionalisem terhadap kapitalisme. Produksi sesungguhnya berpijak pada dua unsur: keahlian dan modal. Keahlian-lah yang seharusnya menjadi fundamen, karena keahlian menghasilkan kekayaan, dan implikasinya adalah kedua unsur itu sama-sama menanggung untung-rugi.
Manhaj Islam dalam hal ini
adalah mendistribusikan kekayaan secara merata kepada masyarakat dan memutar
kekayaan di antara mereka. Karena itu, alasan Islam membagi-bagikan harta
rampasan—sebagai salah satu sumber kekayaan dalam Islam—kepada orang-orang yang
berhak adalah agar kekayaan itu tidak terpusat pada tangan orang-orang kaya
saja, melainkan berputar di antara masyarakat. Allah berfirman, ‘Apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.’ (al-Hasyr: 7)
Yang menjadi perhatian Islam
adalah agar individu-individu yang menjalankan bisnis itu adalah
individu-individu yang memiliki sifat amanah, kapabilitas, dan komitmen. Hal
inilah yang mendorong realisasi keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dan
penghasilan di tengah masyarakat.
Hancurnya Sumber-Sumber Ekonomi
Kredit sistem bunga lebih
membidik program-progam yang tidak memiliki manfaat yang hakiki bagi kehidupan
manusia, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kehancuran sumber-sumber ekonomi.
Bukti mencolok yang kita saksikan hari ini adalah banyak orang yang meminjam
uang bank hanya untuk membeli perabotan rumah yang sifatnya, seperti kulkas,
mesin cuci, televisi, atau barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman,
dan benda-benda lain yang sifatnya untuk hiburan.
Pembiayaan dengan sistem
bunga mengakibatkan kemudahan hutang-piutang, tanpa ada kaitan dengan kegiatan
ekonomi yang konkret, dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan dua hal:
Pertama, prosentase yang
besar dari pinjaman individual itu lebih dialokasikan pada kebutuhan-kebutuhan
jangka pendek daripada kebutuhan-kebutuhan jangka panjang. Hal ini menunjukkan
kesemrawutan cara belanja di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan
individu-individu lebih bergantung pada hutang untuk menjalankan kehidupannya
sehari-hari.
Contoh, kalau seseorang
membeli secara kredit kulkas dengan harga satu juta rupiah, maka manfaat dari
kulkas itu sebanding dengan margin laba yang ditetapkan dalam jual-beli tempo.
Ini adalah kegiatan ekonomi yang konkret. Tetapi jika seseorang meminjam uang 1
juta dan mengembalikan 1.5 juta, maka manfaat dari seratus lima ratus ribu itu
ada kalanya sebanding dengan kelebihan nilai karena berlakunya pembayaran
tempo, dan ada kalanya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kreditur.
Bisa jadi uangnya itu habis untuk melunasi hutang, atau membiayai keluarga,
atau membeli barang-barang konsumtif secara berlebih.
Dengan contoh tersebut, kita bisa membedakan
antara margin laba dan riba sebagai berikut:
1. Kelebihan dalam jual beli itu merupakan
kompensasi pengadaan barang, sedangkan kelebihan dalam riba merupakan
kompensasi terhadap pembayaran tempo semata.
2. Kelebihan dalam jual beli adalah kelebihan
dalam barter yang sah antara dua benda yang berbeda bentuknya. Sedangkan
kelebihan dalam hutang tidak, karena pembayarannya dengan satu jenis, dimana
tidak boleh ada kelembihan dan kekuarangan di dalamnya.
3. Barang yang dijual itu diambil keuntungannya
satu kali, dan meski demikian manfaatnya berlangsung, baik lama atau singkat.
Hal itu berbeda dengan riba, dimana hutang diserahkan satu kali, tetapi ribanya
atau manfaatnya berlangsung tanpa terputus.
4. Jual beli mengandung
resiko dari dua segi: Pertama, resiko penurunan harga atau keausan barang
ketika akan dijual. Kedua, resiko kerusakan saat barang itu masih ada di tangan
penjual. Sementara harta riba itu tidak terkena resiko, melainkan sebagai
pinjaman yang terjamin dan wajib dikembalikan.
Islam memberi setiap jenis
modal itu keuntungan yang sesuai. Islam memberi modal SDM (pekerjaan) upah
tetap atau saham (saham pekerja, misalnya), memberi keuntungan kepada modal
asumtif berupa saham, bukan gaji tetap, dan memberi modal value berupa upah
tetap, bukan saham, seperti sewa alat produki.
Riba dan
Dampak-dampak Ekonominya (2)
Oleh
Dr. Mohamad Daudah
Lemahnya Peningkatan Ekonomi dan Investasi
Lemahnya Peningkatan Ekonomi dan Investasi
Di antara tujuan sistem
keuangan Islam dan lembaga perbankan Islam adalah kemitraan dalam pembangunan,
membiayai proyek-proyek positif dengan sistem kerjasama, sesuai kaidah
untung-rugi ditanggung bersama. Akad-akad dalam Islam—seperti mudharabah,
musyarakah, istishna’, murabahah, dan lain-lain—memiliki keistimewaan karena ia
berinteraksi dengan barang (produksi) untuk melahirkan sejumlah kegiatan
ekonomi yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi
pengangguran dan kemiskinan.
Di antara tujuan sistem
keuangan Islam dan lembaga perbankan Islam adalah kemitraan dalam pembangunan,
membiayai proyek-proyek positif dengan sistem kerjasama, sesuai kaidah
untung-rugi ditanggung bersama. Akad-akad dalam Islam—seperti mudharabah,
musyarakah, istishna’, murabahah, dan lain-lain—memiliki keistimewaan karena ia
berinteraksi dengan barang (produksi) untuk melahirkan sejumlah kegiatan
ekonomi yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi
pengangguran dan kemiskinan.
Sistem bunga menghambat
pertumbuhan ekonomi karena faktor-faktor berikut:
1. Besarnya jaminan pinjaman
berbunga sehingga tidak ada yang bisa memenuhinya selain orang-orang kaya, dan
ini menghalangi para profesional dari kalangan menengah ke bawah untuk
berbisnis karena tidak adanya jaminan yang cukup.
2. Perhatian kreditur untuk
mengembalikan pembayaran hutang pokok dan bunga itu lebih besar daripada
perhatian mereka terhadap kesuksesan proyek.
3. Adanya beban produksi yang
lebih sehingga mengakibatkan penurunan laba bersih, dan ini pada gilirannya
tidak mendorong investasi.
4. Upaya menjaga legal
reserve setiap bank sentral mengakibatkan banyak dana tidak tersalur untuk
ivestasi dan produksi.
Inflasi:
Arti inflasi berkisar pada
peningkatan jumlah uang yang mengakibatkan tingginya barang. Inflasi adalah
fenomena yang ditunjukkan oleh menurunnya daya beli masyarakat disebabkan
naiknya harga barang, yang secara garis besar dipicu faktor-faktor sebagai
berikut:
1. Peningkatan peredaran mata
uang di pasar yang salah satunya diakibatkan sistem kredit dengan bunga,
sehingga pada gilirannya mengakibatkan peningkatan harga barang. Karena itu,
berbagai otoritas moneter di sebagian besar negara berkembang menaikkan suku
bunga sebagai bagian dari program penahanan laju inflasi, dan untuk menekan
angka permintaan kreditur terhadap kredit, karena pembatasan kredit itu menjadi
salah satu faktor penahanan laju inflasi.
2. Peningkatan suku bunga
mengakibatkan peningkatan harga, dan herannya penurunan suku bunga juga
mengakibatkan peningkatan harga barang. Jadi, harga akan terus naik selama
sistem bunga berlaku, dan harga tidak akan stabil kecuali dengan hilangnya
bunga.
Pengangguran:
Dua masalah terbesar yang
dihadapi ekonomi kapitalis adalah pengangguran dan inflasi. Meningkatnya angka
pengangguran itu korelatif dengan peningkatan inflasi, karena peningkatan harta
tanpa dibarengi kenaikan gaji yang cukup akan mengakibatkan penurunan demand
terhadap barang, dan pada gilirannya akan mengurangi volume investasi dan
produksi, dan hali tu memicu meningkatnya angka pengangguran.
Sistem bunga mendorong munculnya satu kelompok
pengangguran yang mapan, yang para nasabah bank yang duduk ongkang-ongkang kaki
namun memperoleh masukan tetap dari bunga simpanannya. Demikian pula, para
pemilik modal lebih memilih meminjamkan kekayaan mereka dengan sistem riba
daripada menginvestasikannya untuk mendirikan proyek-proyek industri atau
pertanian atau perdagangan. Karena itu ia memperkecil lapangan kerja, sehingga
pengangguran tersebar di tengah masyarakat yang menganut sistem riba.
Gagasan ini dikemukakan oleh ekonom Kenzi, ‘Full
employment (nol pengangguran) adalah kewajiban pertama negara, dan itu tidak
terealisir kecuali jika suku bunga diturunkan hingga nol atau mendekati nol.
Full employment berarti setiap pencari kerja memperoleh peluangnya.’
Jadi, Kenzi berpandangan bahwa solusi terhadap
masalah pengangguran adalah dengan menghapus bunga atau menurunkannya hingga
batas paling rendah. Ini adalah pendapat seorang pakar ekonomi non-muslim, yang
menunjukkan bahwa Islam sarat mukjizat berkaitan dengan masalah riba. Kita tahu
bahwa negara Jepang telah menerapkan konsep bunga nol persen sejak 15 tahun
yang lalu, sehingga memicu ekonominya berkembang pesat. Alasannya adalah bunga
mengakibatkan peningkatan harga barang, dan itu mengakibatkan permintaan
terhadap barang berkurang dan konsumsi menurun, dan itu memicu kelebihan
produksi. Terkadang untuk menekan harga barang produsen mengambil langkah
penurunan standar gaji pekerja atau mem-PHK sebagian dari mereka.
Hadist Riba
Rabu,
15/12/2010 16:13 WIB
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, saya ingin tahu lebih jelas tentang hadist
berikut ini :
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW
melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua
saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Bisa minta tolong dijelaskan arti secara
menyeluruh dari hadist tersebut. Pada zaman sekarang siapa saja yang termasuk
dalam pemakan riba, pemberi riba, penulis, dan saksinya?
Apa yang harus saya lakukan apabila saya termasuk
dalam salah satunya? Pekerja yang mendapatkan gaji dari riba, apakah
hukuman bagi dia? Sangat berterima kasih sebelumnya.
add
Jawaban
Wa'alaikumussalam Wr Wb
Riba berarti ziyadah (tambahan). Maksudnya
tambahan atas modal, sedikit maupun banyak, sebagaimana dsebutkan didalam
firman Allah swt :
وَإِن تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] :
279)
Riba ini diharamkan oleh semua agama samawi,
karena dianggap sesuatu yang membahayakan menurut agama Yahudi, Nasrani dan
Islam. Bahkan islam memandangnya sebagai salah satu dosa besar yang dapat
membinasakan seseorang.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah tujuh
perkara yang membinasakan". Para sahabat
bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: "Syirik
kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan
haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan
menuduh seorang wanita mu'min yang suci berbuat zina"
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan
riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya."
Dia berkata, "Mereka semua sama."
Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan bahwa
makna ‘pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun dirinya tidak
memakannya. Sesungguhnya pengkhususan dengan kata-kata makan karena ia adalah
jenis pemanfaatan yang paling besar.
Adapun makna orang yang menyuruh makan riba adalah
yang orang yang memberikannya kepada orang yang mengambilnya. Sedangkan makna
saksi dan penulis riba, menurut Imam Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan
pengharaman penulisan antara dua orang yang bertransaksi riba dan penyaksian
terhadap keduanya dan juga pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada
kebatilan. (Aunul Ma’bud juz VII hal 2893)
Riba ini ada dua macam :
1. Riba Nasi’ah yaitu
pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi utang dari orang dari orang
yang berutang karena penangguhan atas pembayaran. Jenis riba ini diharamkan
menurut al Qur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
2. Riba Fadhal yaitu
jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan yang
disertai tambahan. Jenis ini diharamkan karena termasuk perantara riba nasi’ah.
Imam Bukhori meriwayatkan dari Umar bin Khattab
mengabarkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual
beli emas dengan emas adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara
kontan), beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya
secara kontan), kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini
(maksudnya secara kontan), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali
begini-begini (maksudnya secara kontan) ".
Terhadap orang yang melakukan praktek-praktek riba
diatas maka diwajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan
menghentikan segala bentuk yang termasuk didalam praktek ribawi. Diantara
keharusan seorang yang bertaubat dari perbuatan riba adalah mencukupkan dirinya
dengan modal pokok hartanya saja dan tidak mengambil tambahan (riba) darinya,
sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] :
276)
Begitu juga terhadap seorang pekerja yang
mendapatkan gaji dari riba atau bekerja di Bank Konvensional maka hendaklah
dirinya mencari pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal. Akan tetapi jika
dirinya melihat bahwa bekerja di tempat itu adalah sesuatu yang darurat dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya maka dibolehkan baginya menerima
gaji itu dengan hati yang tidak rela sambil tetap berusaha mencari alternatif
pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal.
Syeikh Yusuf al Qaradhawi di dalam bukunya
“Fatwa-Fatwa Kontemporer” ketika ditanya tentang hukum bekerja di Bank
Konvensional, beliau menjawab,”Jangan pula dilupakan adanya kebutuhan hidup
yang oleh para fuqaha diistilahkan telah sampai tingkat darurat. Kondisi inilah
yang menjadikan saudara penanya untuk menerima —tetap bekerja di bank— sebagai
sarana mencari kehidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt :
فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya : “.....tetapi
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Baqarah [2] : 173)
Wallahu A’lam
Bunga dan
Riba
M.Dawam Rahardjo (Tempo No.
15 Tahun XX, 9 Juni 1990)
Barangkali fatwa resmi
mengenai halalnya bunga bank, sekalipun oleh MUI, NU, atau Muhammadiyah, malah
akan memancing kontroversi. Nyatanya, umat Islam umumnya, termasuk para
ulamanya, telah menyimpan uangnya di bank atau mendapatkan kredit, kesemuanya
mengandung unsur bunga. Mungkin mereka telah membayar atau menerima bunga uang,
atas dasar hukum “halal dalam keadaan darurat”, yang merupakan pendapat umum di
kalangan ulama berpandangan “maju” dewasa ini.
Tapi banyak pula yang sebenarnya telah merasa yakin bahwa
bunga bank itu halal adanya, berdasarkan
pendapat ualama terkenal seperti A. Hassan, Pemimpin Pengurus Persis, Bangil
(dan guru tokoh Masyumi M.Natsir) atau ulama Minang, Syaikh Abdullah Ahmad.
Golongan terpelajarnya mungkin mengikuti pendapat tokoh-tokoh berwibawa seperti
Mohammad Hatta, Syafrudin Prawiranegara, atau Kasman Singodimedjo. Karena
itu, tanpa didahului oleh fatwa,
Muhammadiyah sudah memutuskan untuk mendirikan 200 BPR, dan NU menyusul dengan
impiannya akan membiakkan 20.000 BPR dalam 20 tahun mendatang.
Argumentasi SebelumFatwa
Tentu masih ada juga sebagian
umat yang berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba dan riba itu haram
hukumnya, walaupun mungkin punya deposito di bank. Segolongan intelektual dan
kaum profesional yang sependapat lalu
memberikan model bank alternatif yang
disebut mereka “bank non ribawi” yang menerapkan prinsip los and profit sharing sebagai modellembaga keuangan yang sesuai
dengan Islam.
Adanya kelompok di atas agaknya menimbulkan tuntutan
pertanggungjawaban, baik berdasarkan
kaidah hukum fikih maupun argumentasi ilmiah atas pandangan bahwa bunga bank
itu halal. Karena itu, menjelang dikeluarkannya suatu fatwa, perbincangan
terbuka mengenai soal ini perlu dilakukan.
Pendekatan Baru
Sering dikatakan oleh para
ulama serta intelektual muslim, bahwa hukum Islam itu sifatnya lentur dan selalu
bisa menyesuaikan diri karena perubahan zaman, tanpa mengubah esensinya yang bersifat adil. Kini tafsir dan pengertian mengenai riba bisa pula
berubah. Dulu, soal ini dilihat dalam konteks sosial. Kini, definisi riba dan
bunga perlu pula dilihat dari sudut ekonomi.
Ustad A.Hassan mengatakan bahwa yang dilarang itu adalah
bunga atau riba yang berlipat ganda. Karena itu, riba yang haram itu masih
tetap ada, yaitu kredit yang dijalankan oleh pembunga uang dalam sistem
mindering atau sistem ijon yang mencekik itu. Kalau tingkat bunga itu diumumkan
dan diterima oleh yang melakukan transaksi secara sukarela, artinya tingkat
bunga itu wajar, kata ustad Abdullah Ahmad, maka ia halal hukumnya.
Sekarang, bank adalah lembaga resmi yang diatur oleh UU
negara. Kehadirannya justru berfungsi memberantas mindering atau riba yang
dilarang itu. Tingkat bunganya dapat disebut wajar, karena ditentukan oleh
permintaan dan penawaran yang terbuka, selain juga dilindungi dari
ketidakwajaran oleh kebijaksanaan moneter pemerintah.
Bank adalah lembaga
perantara antara mereka yang ingin menyimpan uangnya dan yang membutuhkan uang
untuk keperluan produksi atau konsumsi. Untuk bisa menyediakan uang guna
dipinjam, bank perlu memberikan jasa
bunga kepada pemilik uang atas dasar opportunity
cost dan melindunginya dari kerugian akibat inflasi, membayar ongkos
administrasi, dan menyediakan cadangan untuk kemungkinan tak dibayarnya
piutang. Selain itu, bank perlu pula menarik keuntungan. Semua beban itu harus
bisa dipikul oleh mereka yang membutuhkan uang dari bank.
Bank adalah Lembaga Tijarah
Transaksi kredit pada
hakikatnya adalah kegiatan perdagangan, dengan uang sebagai komoditi. Dalam
surat Al-Baqarah: 275, dikatakan bahwa: “Allah telah menghalalkan perdagangan
dan mengharamkan riba”. Kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip
perdagangan atau tijarah, maka hal itu dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya
berlipat ganda dan diharamkan itu perlu
digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan. Dengan meminjam
istilah Syafrudin Prawiranegara, “unsur pemerasan” dalam riba justru dihpuskan
dengan adanya bank atau koperasi.
Riba Dalam
Transaksi Utang Piutang
Abdul Azizi Setiawan/Peneliti
pada Pusat Penelitian STEI SEBI
(Hidayatullah, Janari 2008)
Al-Qur’an dan hadis telah
mengharamkan riba. Terdapat empat ayat dalam al-Qur’an yang menegaskan tentang
pengharaman itu. Pertama surat Ar-Rum/30: 39 yang diturunkan di Makkah, dan
tiga lainnyasurat An-Nisa/4: 161, surat Ali Imran/3: 130-132,dan surah
al-Naqarah/2: 275-281, yang turun di Madinah. Yang terakhir dari ayat tersebut
diwahyukan menjelang wafatnya Rasulullah saw.
Dalam ayat tersebut,
Allah melarang keras orang yang
mengambil riba dan mereka dalam keadaan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya.
Ayat ini juga menetapkan perbedaan yang
jelas antara perdagangan dan riba, serta memerintahkan kaum Muslim untuk
meninggalkan semua riba yang masih tersisa, memerintahkanmereka untuk hanya
mengambil jumlah pokok pinjaman saja, dan membebaskan peminjam yang mengalami
kesulitan.
Rasulullah saw melarang riba dengan kata-kata yang jelas.
Tidak hanya mengutuk mereka yang mengambilnya, tapi juga mereka yang
memberikannya, mereka yang mencatat transaksi, dan mereka yang bertindak
sebagai saksi terhadapnya (HR Muslim, Tirmidzi dan Ahmad). Beliau bahkan
menyamakan mengambil riba secara sengaja sama dengan melakukan perzinahan 60
kali (Riwayat Ahmad dan Darul-Quthni) atau berdosa seperti melakukan incest (berzina) dengan ibu kandungnya sendiri
(Riawayat Ibnu Majah dan Baihaqi). Dengan demikian mengambil atau memakan riba
adalah tergolong dosa besar dan disamakan dengan hal-hal yang sangat
menjijikkan.
Lebih Jauh
tentang Riba
Riba secara harfiah berarti
peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Meski demikian tidak
semua peningkatan atau pertumbuhan dilarang oleh Islam. Keuntungan juga
menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Yang dilarang oleh Rasulullah secara tegas adalah mengambil
hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman
(transaksi utang piutang).
Rasulullah saw bersabda, Jika seseorang memberikan
pinjaman kepada seseorang lainnya dia tidak boleh menerima hadiah” (HR
Bukhari). Di dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Ketika
seseorang memberikan pinjamana kepada
orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak
boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan” (HR
Baihaqi).
Dari sini jelas bahwa bunga bank masuk dalam kategori ini,
karena tidak mungkin tingkat suku bunga lebih rendah dari sepiring makanan atau
tumpangan dari kendaraan seseorang. Dengan demikian penegasan Rasulullah saw
ini dapat digunakan untuk menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami
sebagai bunga.
Pengertian riba ini menurut Dr.Umar Chapra (2001) juga
tercermin dalam tulisan-tulisan para ulama dalam sejarah Islam. Hampir tidak
ada tafsir al-Qur’an klasik atau kamus bahasa Arab yang memberikan arti
berbeda. Misalnya, al-Qurthubi (w.671 H/1070 M.), yang dianggap sebagai salah satu mufassir
al-Qur’an yang terkenal. Dalam tafsir al-Qurthubi dengan jelas menunjukkan
bahwa, “Kaum Muslimin sepakat perihal pengesahan Rasulullah saw bahwa adanya
syarat pertambahan atas jumlah pinjaman adalah riba, tidak peduli apakah berupa
segenggam tepung, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud atau sebutir gandum”
Ibnu Manzur (w. 711 H/1311 M) juga dengan jelas menyatakandalam kamus bahasa
Arabnya yang termasyhur Lisan
al-‘Arab bahwa “apa yang dilarang
adalah jumlah, manfat atau keuntungan lebih yang diterima dari pinjaman dalam
bentuk apapun”.
Jadi, istilah riba yang dipahami berarti ‘premium’ yang
harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pokok
pinjaman sebagai sayrat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu
jatuh temponya. Riba dari utang piutang ini dalam khazanah fikih Islam dikenal
dengan riba al-nasi’ah.
Riba
al-Nasi’ah
Istilah al-nasi’ah berasal dari akar kata nasa’a yang berarti menunda, menangguhkan, atau
menunggu dan merujuk pada waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar
kembali pinjamamnnya dengan imbalan berupa’tambahan’ atau ‘premium’. Jadi riba al-nasi’ah
sama dengan bunga yang dikenakan
atas pinjaman. Dalam arti inilah istilah riba digunakan di dalam al-Qur’an pada
surat al-Baqarah/2: 275 yang menyatakan bahwa “Allah swt te;lah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba (bunga)”. Riba ini juga disebut sebagai riba al-Qur’an (riba
yang dinyatakan di dalam al-Qur’an) atau riba al-duyun (riba atas
pinjaman).
Pengharaman riba al-nasi’ah pada dasarnya mengakibatkan bahwa penetapan di
muka tingkat keuntungan positif atas
pinjaman sebagai imbalan karena ‘waktu menunggu’ tidak diperbolehkan oleh
syari’ah. Tak ada bedanya apakah tingkat pengembalian tersebut kecil ataupun besar.
Persentase tetap atau variabel atas pokok pinjaman. Atau jumlah absolut yang
harus dibayarkan di muka atau pada waktu jatuh tempo. Atau hadiah maupun jasa
yang akan diterima sebagai sebagai syarat pemberian pinjaman. Persoalan
dasarnya adalah kepastian keuntungan yang ditentukan sebelumnya. Penting untuk
dicatat bahwa, menurut syari’ah, penantian atas pembayaran suatu pinjaman tidak
dengan sendirinyamembenarkan terjadinya suatu imbalan yang positif.
Bahkan tidak ada ruang bagi diskursus bahwa pelarangan ini
hanya berlaku pada pinjaman konsumsi dan
tidak pada pinjaman usaha. Ini karena pinjaman pada masa Rasulullah saw bukan
untuk tujuan konsumsi tetapi lebih ditujukan untuk pembiayaan perdagangan jarak
jauh. Bahkan Profesor Abraham Udovitch, mantan Ketua Jurusan Studi Timur Tengah
pada Princeton University, menjelaskan bahwa, “Setiap pernyataan bahwa pinjaman
pada abad pertengahan adalah untuk tujuan konsumsi saja dan tidak untuk
produksi, tidak bisa dipertahankan dengan merujuk pada Timur Dekat di abad
Pertengahan” (dikutip Chapra, 2001). Jadi, sama sekali tidak ada perbedaan
pendapat di antara semua mazhab fikih Islam bahwa tambahan atas utang piutang
atau bunga berarti riba nasi’ah dan haram.
Sifat dari pengharaman adalah tegas, absolut, dan tidak mendua.
Dan,
sebagaimana pernah dinyatakan oleh sekjen Ikatan Ahli Ekonomo Islam (IAEI),
Agustianto, dalam sebuah kesempatan bahwa sejatinya telah terjadi ijma’ di
kalangan ulama atas keharaman bunga bank tersebut. Dan ulama-ulama yang
terlibat di dalamnya sebagian besar adalah mereka yang ahli dalam bidang
ekonomi moneter dan diakui keilmuan, kefakihan, dan kredibilitasnya. Kalau ada
segelintir cendekiawan Muslim yang masih menolak hal ini, kita bisa melihat
biasanya mereka tidak fakih dalam persoalan ekonomi moneter. Wallau a’lam
bish-shawab.
SENI MUSIK
Pandangan Ulama Terhadap Seni
Musik
01/10/2009
01/10/2009
Oleh:
Jamaluddin Mohammad
Membincangkan dinamika dan wacana kesenian dan kebudayaan dalam dunia pesantren seolah sepi dan tidak begitu diminati. tulisan dalam artikel ini mencoba mencoba untuk menghidupkan kembali wacana tersebut.
Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik
Dalam menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.
Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru’ah).” [1]
Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya, “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2]
Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.[3]
Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik. [4]
Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.
Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.” [5]
Antara bentuk dan isi
Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar [6].
Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.
Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).
Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst [7]. Penilaian seperti itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal.
Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.
Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya dengan berpijak pada realitas kongkrit.
Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu).
Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.
Musik “Islam” dan “non-Islami”
Sekarang ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang mengidentifikasi musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumbui” nama-nama Tuhan, maka disebut “Islami”.
Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi dengan Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir (gambus/berbahasa Arab) dianggap musik Islam sementara lainnya dicap bukan dari Islam.
Penilaian tersebut tidak hanya keliru, melainkan menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Keislaman bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi) melainkan substansinya.
Juga muncul keinginan sebagian orang yang ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan memasukkan pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan menaburi lirik-lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”.
Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antar keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan melalui proses legitimasi. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan agama. Dengan ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sementara yang lain tidak [8].
Sebetulnya, tidak tepat menghadap-hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk musik). Keduanya memiliki independensi masing-masing. Terkadang hubungan keduanya bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang dan menyerang. Dalam kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan keduanya pada proporsi masing-masing secara adil, bebas, dan merdeka. Wallahu a’lam bi sawab.
Jamaluddin Mohammad, ketua Komunitas Seniman Santri (KSS) PP. Babakan Ciwaringin Cirebon
Endnotes
[1] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 267
[2] Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3
[3] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[4] Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273
[5] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[6] Mohammad Nawawi, Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 75
[7] Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 106
[7]Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, cetakan 2
Membincangkan dinamika dan wacana kesenian dan kebudayaan dalam dunia pesantren seolah sepi dan tidak begitu diminati. tulisan dalam artikel ini mencoba mencoba untuk menghidupkan kembali wacana tersebut.
Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik
Dalam menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.
Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru’ah).” [1]
Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya, “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2]
Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.[3]
Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik. [4]
Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.
Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.” [5]
Antara bentuk dan isi
Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar [6].
Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.
Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).
Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst [7]. Penilaian seperti itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal.
Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.
Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya dengan berpijak pada realitas kongkrit.
Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu).
Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.
Musik “Islam” dan “non-Islami”
Sekarang ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang mengidentifikasi musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumbui” nama-nama Tuhan, maka disebut “Islami”.
Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi dengan Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir (gambus/berbahasa Arab) dianggap musik Islam sementara lainnya dicap bukan dari Islam.
Penilaian tersebut tidak hanya keliru, melainkan menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Keislaman bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi) melainkan substansinya.
Juga muncul keinginan sebagian orang yang ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan memasukkan pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan menaburi lirik-lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”.
Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antar keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan melalui proses legitimasi. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan agama. Dengan ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sementara yang lain tidak [8].
Sebetulnya, tidak tepat menghadap-hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk musik). Keduanya memiliki independensi masing-masing. Terkadang hubungan keduanya bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang dan menyerang. Dalam kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan keduanya pada proporsi masing-masing secara adil, bebas, dan merdeka. Wallahu a’lam bi sawab.
Jamaluddin Mohammad, ketua Komunitas Seniman Santri (KSS) PP. Babakan Ciwaringin Cirebon
Endnotes
[1] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 267
[2] Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3
[3] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[4] Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273
[5] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[6] Mohammad Nawawi, Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 75
[7] Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 106
[7]Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, cetakan 2
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Hukum Transaksi via Elektronik
12/04/2010
12/04/2010
Berikut
ini adalah salah satu keputusan bahtsul masil diniyah waqi'iyah pada muktamar
ke-32 di Makassar , 23-28 Maret 2010. (red)
Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.
Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan. Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad nikah?
2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah?
3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?
Jawaban:
1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).
2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majlis terpisah tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah di majlis terpisah tidak sah.
3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah (pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan sesuai dengan nafsul-amri (sesuai dengan kenyataan).
Pengambilan dalil dari:
1. Nihayatul Muhtaj, Juz 11, hal. 285 (dalam maktabah syamilah)
2. Al-Majmu’, Juz 9, hal. 288.
3. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, Juz 11, hal. 476.
4. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, Juz 2, hal. 403.
5. I’anahtuth Thalibin, Juz 3, hal. 9. Dll.
Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.
Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan. Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad nikah?
2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah?
3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?
Jawaban:
1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).
2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majlis terpisah tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah di majlis terpisah tidak sah.
3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah (pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan sesuai dengan nafsul-amri (sesuai dengan kenyataan).
Pengambilan dalil dari:
1. Nihayatul Muhtaj, Juz 11, hal. 285 (dalam maktabah syamilah)
2. Al-Majmu’, Juz 9, hal. 288.
3. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, Juz 11, hal. 476.
4. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, Juz 2, hal. 403.
5. I’anahtuth Thalibin, Juz 3, hal. 9. Dll.
UANG
Mengenal Uang Kertas dalam
Perspektif Islam
16/11/2010
16/11/2010
Pada
awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan pertukaran antar barang
dan jasa secara barter samapai mereka mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk
membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang tambang emas dan perak
sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham berfungsi sebagai medium
untuk mengukur harga komoditas, disamping juga berfungsi untuk alat tukar
transaksi dan barang simpanan kekayaan.
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.
Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ( yakni dia membayarku harga dengan tunai.
Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Para ulama fikih menyebut mata uang dengan
menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham
mereka menggunakan kata naqdain
(mustanna).
Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk
transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai
berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan
manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan
demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif
fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi
dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat
simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.
M. Cholil Nafis, Ph D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Koordinator Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah Program Pascasarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.
Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ( yakni dia membayarku harga dengan tunai.
Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.
M. Cholil Nafis, Ph D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Koordinator Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah Program Pascasarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Ditulis oleh Untung Kasirin
Sejarah mencatat, dalam sistem moneter
Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang (kurs
valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating Exchange
Rate System dan Pegged Exchange Rate System.
Era fixed exchange rate
system ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947.
Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible
terhadap emas atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS
menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem
ini dikaitkan dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank
(Bank Sentral Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau
28,3496 gram. Dengan demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan
dengan emas melalui USD.
Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.
Floating exchange rate atau sistem kurs mengambang adalah sistem yang ditetapkan melaui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional” (Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan sebagai acuan.
Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).
Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.
Floating exchange rate atau sistem kurs mengambang adalah sistem yang ditetapkan melaui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional” (Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan sebagai acuan.
Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).
Keunggulan Gold Exchange Standard
Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain. Pertama, jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.
Kedua, dengan menggunakan gold exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus. Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan lebih besar.
Ketiga, keuntungan mengunakan gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya merupakan barrier bagi perdagangan.
Beberapa Catatan
Di depan telah disinggung bahwa perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan. Pertama, mata uang yang dipakai sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.
Kedua, harus ada kontrol ketat bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu, otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.
Referensi
Eramuslim Digest, Islamic Thematic Handbook, edisi koleksi 8.
Dr. Hamdy Hady, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Penerbit: Galia Utama (2001).
Luthfi Hamidi, Gold Dinar. Penerbit: Senayan Publishing Jakarta (2006).
*Mahasiswa Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI) Jakarta
Uang Masa Depan yang Memakmurkan
Thursday, 22 April 2010
12:46
Uang masa depan haruslah bisa mendatangkan
kemakmuran, yang menciptakan lapangan kerja. Inilah yang terjadi bila dikelola
sesuai Islam
Oleh: Muhaimin Iqbal*
SEPULUH tahun yang lalu (2001) seorang peneliti di Center of Sustainable Resources - University of California at Berkeley Bernard Lietaer menulis buku dengan judul The Future of Money: Creating New Wealth, Work and a Wiser World. Dalam bukunya yang futuristik ini Bernard antara lain menulis tentang berbagai fenomena pencarian uang baru yang sudah mulai saat itu karena kekecewaan masyarakat tentang sistem uang yang ada dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Menurut Bernard, sistem keuangan dunia dewasa ini tidak ubahnya seperti Casino raksasa yang dioperasikan dengan penuh spekulatif, yakni 100 kali lebih besar dari transaksi total bursa saham di seluruh dunia per harinya. Hanya 2 % saja dari perputaran tersebut yang terkait dengan transaksi barang dan jasa; 98%-nya murni untuk spekulasi.
Bila buku yang ditulis sebagai hasil penelitian Bernard ini dikaitkan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa penguasa hanya boleh mencetak fulus sebesar kebutuhan transaksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu negeri, maka ya hanya 2 % itulah uang yang perlu ada di dunia sesungguhnya.
Apa dampak dari besarnya porsi uang yang digunakan untuk keperluan transaksi spekulatif tersebut dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk transaksi riil? Nilai uang menjadi sangat rentan terhadap ulah spekulan. Porsi terbesar uang tidak menggerakkan sektor riil, pemerintah-pemerintah dunia menjadi sibuk menjaga nilai uang ketimbang menggerakkan sector riil. Lapangan pekerjaan tidak mudah tersedia, kemakmuran sulit terwujud, dan dunia menjadi tidak bijaksana karena lebih banyak mengharapkan durian runtuh dari ‘hasil spekulasi’ ketimbang hasil dari kerjaan yang riil.
Namun, di setiap zaman, di setiap masyarakat selalu ada sekelompok kecil orang yang melihat sesuatu sampai melewati batas horizon (beyond the horizon). Mereka ini sudah mulai mencari solusi untuk memecahkan problem, yang bahkan sebagian terbesar masyarakatnya belum menyadari adanya problem tersebut.
Dalam hal problem besar yang terkait uang ini misalnya; Bernard berhasil mengidentifikasi setidaknya saat itu sudah ada 1.900–an komunitas di seluruh dunia, termasuk ratusan di antaranya di Amerika, yang sudah mulai mengeluarkan ‘uang’-nya sendiri dalam berbagai bentuknya.
Di antara ‘uang swasta’ tersebut yang paling luas dikenal di masyarakat antara lain adalah Frequent Flyers Miles yang dikeluarkan oleh industri penerbangan; Reward Points yang dikeluarkan oleh perbankan, dan kini juga industri telekomunikasi; Vouchers yang dikeluarkan oleh para retailers; credit balances yang dikeluarkan pengelola transaksi barter; dan yang paling merepresentasikan uang yang sesungguhnya adalah apa yang disebut backed currencies.
Backed currencies adalah currencies atau alat tukar yang nilainya dijamin atau didukung langsung dengan barang atau jasa. Di antara barang-barang ini yang paling baku nilainya dan memang sudah digunakan sebagai uang selama ribuan tahun adalah emas dan perak. Maka backed currencies berbasis emas yang sudah dikenal luas di dunia maya seperti e-gold, menjadi primadona dalam pencarian uang modern tersebut.
Meskipun emas adalah uang yang paling ideal; berbagai pihak yang berusaha menggunakan emas sebagai uang di masa lampau banyak mengalami kegagalan. Contoh terbesarnya adalah kegagalan Breton Woods Agreement yang buyar Agustus 1971 – hanya seperempat abad saja usianya. Mengapa demikian? Sederhana saja, penggunaan emas sebagai uang haruslah disertai serangkaian peraturan yang sangat lengkap dan menyeluruh untuk menjamin ketersediaan emas sebagai uang itu sendiri.
Peraturan dan petunjuk pelaksanaan penggunaan emas yang sangat menyeluruh ini, adanya hanyalah di Syariat Islam seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Emas Cukup Untuk Seluruh Umat Manusia , Tetapi…”.
Seperti judul buku Bernard tersebut diatas, uang masa depan haruslah uang yang bisa mendatangkan kemakmuran, uang yang berguna untuk menciptakan lapangan kerja, dan uang yang bisa membuat dunia lebih bijaksana. Sekali lagi inilah yang akan terjadi bila uang dikelola sesuai syariat Islam, hanya dengan syariat inilah uang tidak menjadi harta yang tertimbun. Uang benar-benar mendatangkan kemakmuran bukan hanya pada golongan yang kaya saja.
Jadi sesungguhnya blueprint uang masa depan yang memakmurkan it, telah lama ada di dunia Islam dan telah pula diterapkan selama ribuan tahun. Kini blueprint ini pun siap diterapkan di era teknologi ini. Tinggal kita sendiri mau mengikuti orang lain yang dengan susah payah mencari bentuk uang modernnya ; atau kita kembali menggunakan uang yang sudah ada di syariat Islam – rujukan yang kita yakini kebenarannya. Waallahu A’lam
Penulis adalah Direktur GeraiDinar. Kolumnis di wwww.hidayatullah.com
Oleh: Muhaimin Iqbal*
SEPULUH tahun yang lalu (2001) seorang peneliti di Center of Sustainable Resources - University of California at Berkeley Bernard Lietaer menulis buku dengan judul The Future of Money: Creating New Wealth, Work and a Wiser World. Dalam bukunya yang futuristik ini Bernard antara lain menulis tentang berbagai fenomena pencarian uang baru yang sudah mulai saat itu karena kekecewaan masyarakat tentang sistem uang yang ada dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Menurut Bernard, sistem keuangan dunia dewasa ini tidak ubahnya seperti Casino raksasa yang dioperasikan dengan penuh spekulatif, yakni 100 kali lebih besar dari transaksi total bursa saham di seluruh dunia per harinya. Hanya 2 % saja dari perputaran tersebut yang terkait dengan transaksi barang dan jasa; 98%-nya murni untuk spekulasi.
Bila buku yang ditulis sebagai hasil penelitian Bernard ini dikaitkan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa penguasa hanya boleh mencetak fulus sebesar kebutuhan transaksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu negeri, maka ya hanya 2 % itulah uang yang perlu ada di dunia sesungguhnya.
Apa dampak dari besarnya porsi uang yang digunakan untuk keperluan transaksi spekulatif tersebut dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk transaksi riil? Nilai uang menjadi sangat rentan terhadap ulah spekulan. Porsi terbesar uang tidak menggerakkan sektor riil, pemerintah-pemerintah dunia menjadi sibuk menjaga nilai uang ketimbang menggerakkan sector riil. Lapangan pekerjaan tidak mudah tersedia, kemakmuran sulit terwujud, dan dunia menjadi tidak bijaksana karena lebih banyak mengharapkan durian runtuh dari ‘hasil spekulasi’ ketimbang hasil dari kerjaan yang riil.
Namun, di setiap zaman, di setiap masyarakat selalu ada sekelompok kecil orang yang melihat sesuatu sampai melewati batas horizon (beyond the horizon). Mereka ini sudah mulai mencari solusi untuk memecahkan problem, yang bahkan sebagian terbesar masyarakatnya belum menyadari adanya problem tersebut.
Dalam hal problem besar yang terkait uang ini misalnya; Bernard berhasil mengidentifikasi setidaknya saat itu sudah ada 1.900–an komunitas di seluruh dunia, termasuk ratusan di antaranya di Amerika, yang sudah mulai mengeluarkan ‘uang’-nya sendiri dalam berbagai bentuknya.
Di antara ‘uang swasta’ tersebut yang paling luas dikenal di masyarakat antara lain adalah Frequent Flyers Miles yang dikeluarkan oleh industri penerbangan; Reward Points yang dikeluarkan oleh perbankan, dan kini juga industri telekomunikasi; Vouchers yang dikeluarkan oleh para retailers; credit balances yang dikeluarkan pengelola transaksi barter; dan yang paling merepresentasikan uang yang sesungguhnya adalah apa yang disebut backed currencies.
Backed currencies adalah currencies atau alat tukar yang nilainya dijamin atau didukung langsung dengan barang atau jasa. Di antara barang-barang ini yang paling baku nilainya dan memang sudah digunakan sebagai uang selama ribuan tahun adalah emas dan perak. Maka backed currencies berbasis emas yang sudah dikenal luas di dunia maya seperti e-gold, menjadi primadona dalam pencarian uang modern tersebut.
Meskipun emas adalah uang yang paling ideal; berbagai pihak yang berusaha menggunakan emas sebagai uang di masa lampau banyak mengalami kegagalan. Contoh terbesarnya adalah kegagalan Breton Woods Agreement yang buyar Agustus 1971 – hanya seperempat abad saja usianya. Mengapa demikian? Sederhana saja, penggunaan emas sebagai uang haruslah disertai serangkaian peraturan yang sangat lengkap dan menyeluruh untuk menjamin ketersediaan emas sebagai uang itu sendiri.
Peraturan dan petunjuk pelaksanaan penggunaan emas yang sangat menyeluruh ini, adanya hanyalah di Syariat Islam seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Emas Cukup Untuk Seluruh Umat Manusia , Tetapi…”.
Seperti judul buku Bernard tersebut diatas, uang masa depan haruslah uang yang bisa mendatangkan kemakmuran, uang yang berguna untuk menciptakan lapangan kerja, dan uang yang bisa membuat dunia lebih bijaksana. Sekali lagi inilah yang akan terjadi bila uang dikelola sesuai syariat Islam, hanya dengan syariat inilah uang tidak menjadi harta yang tertimbun. Uang benar-benar mendatangkan kemakmuran bukan hanya pada golongan yang kaya saja.
Jadi sesungguhnya blueprint uang masa depan yang memakmurkan it, telah lama ada di dunia Islam dan telah pula diterapkan selama ribuan tahun. Kini blueprint ini pun siap diterapkan di era teknologi ini. Tinggal kita sendiri mau mengikuti orang lain yang dengan susah payah mencari bentuk uang modernnya ; atau kita kembali menggunakan uang yang sudah ada di syariat Islam – rujukan yang kita yakini kebenarannya. Waallahu A’lam
Penulis adalah Direktur GeraiDinar. Kolumnis di wwww.hidayatullah.com
MUI: Jual Beli Sesama Uang Haram
Friday, 27 August 2010 15:41 Hukum
Nabi
melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
kecuali dengan jumlah yang sama
Hidayatullah.com--Menjelang hari lebaran, di pinggir-pinggir jalan dikota besar kini mulai
marak penjualan uang pecehan. Gara-gara itu juga, banyak masyarakat yang
memanfaatkan jasa tersebut. Pasalnya, tak perlu repot-repot antri di bank,
untuk bisa mendapatkan uang pecahan. Tapi, tahukah Anda, jika Islam
mengharamkan perbuatan itu.
Ketua Majelis UlamaIndonesia
(MUI) Pusat KH. Ma’ruf Amin mengatakan, jual beli uang sesama jenis –rupiah
dengan rupiah-dengan nilai atau jumlah yang berbeda, tidak diperbolehkan dalam
agama. Bahkan, menurut Kiai Ma’ruf, hal itu termasuk riba.
“Islam mengharamkan jual beli model ini. Hal itu dilarang bahkan haram,” ujarnya ketika dihubungi hidayatullah.com Jum’at (27/8) siang tadi.
Lebih jelas Kiai Ma’ruf menjelaskan, pengharaman jual beli model itu sama seperti di dalam hadist Nabi. Nabi melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, kecuali dengan jumlah yang sama. Barangsiapa yang menambah atau bertambah, maka tergolong riba.
Namun, ujar Kiai Ma’ruf, beda halnya jika dengan jenis yang berbeda, seperti rupiah dengan dollar atau ringggit. Sebab, antara rupiah dan dollar memiliki nilai yang berbeda. Sedangkan jika sesama rupiah, tidak memiliki nilai lebih. “Jadi, apa yang mendasar dijual lebih mahal. Nilainya kan sama,” tegasnya.
Tidak hanya itu, Kiai Ma’ruf juga tidak setuju jika jual beli itu dibilang sah lantaran ada faktor jasa. “Ya, kalau tujuannya ingin mempermudah, ya niatkan menolong saja. Jangan sampai dijual lebih mahal,” katanya. [ans/hidayatullah.com]
Hidayatullah.com--Menjelang hari lebaran, di pinggir-pinggir jalan di
Ketua Majelis Ulama
“Islam mengharamkan jual beli model ini. Hal itu dilarang bahkan haram,” ujarnya ketika dihubungi hidayatullah.com Jum’at (27/8) siang tadi.
Lebih jelas Kiai Ma’ruf menjelaskan, pengharaman jual beli model itu sama seperti di dalam hadist Nabi. Nabi melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, kecuali dengan jumlah yang sama. Barangsiapa yang menambah atau bertambah, maka tergolong riba.
Namun, ujar Kiai Ma’ruf, beda halnya jika dengan jenis yang berbeda, seperti rupiah dengan dollar atau ringggit. Sebab, antara rupiah dan dollar memiliki nilai yang berbeda. Sedangkan jika sesama rupiah, tidak memiliki nilai lebih. “Jadi, apa yang mendasar dijual lebih mahal. Nilainya kan sama,” tegasnya.
Tidak hanya itu, Kiai Ma’ruf juga tidak setuju jika jual beli itu dibilang sah lantaran ada faktor jasa. “Ya, kalau tujuannya ingin mempermudah, ya niatkan menolong saja. Jangan sampai dijual lebih mahal,” katanya. [ans/hidayatullah.com]