Senin, 24 Juni 2013

Oleh :

          Drs. Abdul Hamid, M. Pd. I

 MU’AMALAH

ASURANSI

Asuransi, Sifat, Macam dan Hukumnya
06/09/2006

(Keputusan Munas Alim Ulama Lampung, 1992)

1. Definisi Asuransi
Menurut KUHP Pasal 246:
"Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena: suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu."

2. Macam-macam Asuransi
2.1. Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
- Kehilangan nilai pakai atau
- Kekurangan nilainya atau
- Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
Penanggung tidak harus membayarganti rugi kepadatertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
2.2. Asuransi jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian dimaksud tidak termasuik perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam asuransi kerugian) berdasarkan pasal I a Bab I Staatblad 1941 - 101).
Dalam asuransi jiwa (yang mengandung SAVING) penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang diperjanjikan, kepada tertanggung
- Kalau tertanggung meninggalkan dalam massa berlaku perjanjian, atau
- Pada saat berakhirnyajangka waktu perjanjian keperluannya suka rela.
2.3. Asuransi Sosial
Ialah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu:
- Asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja).
- Asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI.
Sifat asuransi sosial
- Dapat bersifat asuransi kerugian
- Dapat bersifat asuransi jiwa.

Hukum Asuransi
1. Asuransi Sosial
Asuransi sosial diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.1. Asuransi sosial tidak termasuk akad mu'awadlah, tetapi merupakan syirkah ta'awuniyah.
1.2. Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
2. Asuransi kerugian, diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
2.1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank.
2.2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang di impor dan diekspor.
3. Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
3.1. Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
3.2. Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi).
3.3. Pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
3.4. Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian). ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannva, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau mcnarik kemballi sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
3.5. Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka :
3.5.1. Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
3.5.2. Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
3.5.3. Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
3.5.4. Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.
4. Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya asuransi secara Islam.
5. Sebelum tercapainya cita-cita terwajudnya Asuransi Islam hendaknya sistem perasuransian yang ada sekarang ini diperbaiki dengan menghilangkan unsur-unsur yang terlarang, sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Islam.

Bolehkah Mengasuransikan Harta dan Jiwa?
30/01/2007

Asuransi adalah suatu akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan sejumlah harta kepada nasabah atau kliennya (muamman) ketika terjadi musibah seperti kecelakaan, kebakaran atau lainnya sebagaimana disepakati dalam akad (transaksi). Dalam akad asuransi, nasabah membayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan kepada perusahaan asuransi di saat hidupnya. Sementara Perusahaan pada saatnya akan memberikan imbalan berupa uang atau ganti rugi barang.
Singkatnya, asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Forum Bahtsul Masa’il (BM) pada Muktamar Ke-14 Nahdlatul Ulama di Magelang pada 14 Jumadil Ula 1358 H atau 1 Juli 1939 M mengharamkan akad asuransi tersebut, baik dalam bentuk harta maupun jiwa.
Asuransi rumah, misalnya, disepakati merupakan transaksi judi. Para ulama mengambil keterangan dari Kitab al-Nahdlatul Islamiyah, halaman 471-472, bahwa asuransi menyerupai pemberian kupon “Ya Nashib..!” dimana seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh kemenangan.
Nasabah dijanjikan memperolah jaminan rumah jika terbakar. Jaminan ini memang disukai barangkali karena bila pemiliknya meningal atau terjadi kebakaran pada rumahnya maka ia memperoleh uang sebesar jaminan yang telah ditetapkan. Sementara selama menempati rumah tersebut ia harus membayar premi yang ditetapkan pihak perusahaan asuransi. Dikatakan, itu jelas merupakan judi murni karena dua pihak yang telah melakukan transaksi pada dasarnya masing-masing tidak mengetahui siapakah diantara mereka yang memeperoleh keuntungan, sampai uang yang disepakati oleh keduanya diberikan.
Mengingat akad asuransi sudah mulai membudaya, pada Konferensi Besar Pengurus Syuriah NU ke-1 di Jakarta, 21-25 Syawal 1379 H 18-22 April 1960, ditegaskan kembali keharaman akad asuransi tersebut, terutama berkenaan dengan jiwa.
Majelis Musyawarah memutuskan seperti yang sudah diputuskan oleh Muktamar NU ke-14, yakni mengasuransikan jiwa atau lainnya di kantor asuransi itu haram hukumnya, karena termasuk judi. Para ulama mengambil ibarat dari Syeikh Bakhit, seorang Mufti Mesir, dalam Ahkamul Fuqaha II , yang sempat diterbitkan dalam majalah Nurul Islam, Nomor VI, Jilid I halaman 367 berikut ini:
Asuransi jiwa itu jauh dari akal sehat dan menimbulkan kekaguman yang hebat. Tidak ada perusakan yang mampu memperpanjang umur dan menjauhkan takdir. Ia hanya memberikan iming-iming dengan keamanan serupa dengan yang dilakukan oleh para Dajjal. Para petugas mereka akan berkata kepada Anda sama seperti penyataan yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang asuransi harta benda atau pernyataan yang sejenisnya. Ia akan berkata:
“Sesungguhnya ketika aku membayar satu premi, jika aku mendadak meninggal, maka aku berhak atas warisanku yang telah aku jaminkan ketika aku masih hidup. Dan itu berarti membantu meringankan kepada ahli waris setelah kepergianku. Dan jika aku tetap hidup dalam tempo yang telah ditetapkan maka aku berhak memperoleh kembali semua yang telah dibayarkan beserta keuntungannya. Dengan demikian, maka aku beruntung dalam dua hal tersebut (mati dan hidup).”
“Demikian halnya perusahaan asuransi berhak mengelola keuangan yang dihimpun dariku dan dari orang lain sehingga menjadi modal yang besar sebagaimana yang Anda lihat berbentuk proyek-proyek niaga. Risiko kerugian sangat sedikit; karena masing-masing orang sangat menjaga hidup dan hartanya, dan akan berusaha semampunya. Masing-masing akan berkarya bagi kepentingan dirinya, sehingga masing-masing pihak beruntung.”
Para ulama menyatakan bahwa setiap yang diucapkan dalam akad asuransi mengandung klaim denda terhadap satu pihak secara wajib tanpa suatu kepastian mengenai pengganti yang sepadan. Padahal dalam Islam hendaknya ada kesesuaian pengganti dari masing-masing pihak yang bertransaksi agar dapat mewujudkan keadilan, walaupun itu relatif. Jika salah satu pihak saja yang me!akukan klaim denda wajib tanpa memberikan keuntungan kepada yang lain maka tidak ada keadilan di sini, dan itu merupakan judi.
Sesungguhnya salah satu diantara mereka, entah pihak perusahaan asuransi atau nasabah, mempunyai keinginan untuk menundukkan orang lain. Para ulama menilai akad asuransi lebih besar bahayanya dari pada manfaatnya.
Mengutip Syeikh Bakhit, dikatakan, perundang-undangan Allah SWT yang benar itu mesti berpedoman pada adanya keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaamya lebih besar, maka Allah akan menghalalkannya. Sedangkan jika maharatnya lebih besar, maka Allah akan mengharamkannya.
Baru pada Munas Alim Ulama Lampung, 1992,  asuransi harta (kerugian) dan jiwa diperbolehkan, itu pun dengan syarat yang sangat ketat. Asuransi kerugian hanya diperbolehkan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank; dan atau ketika asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait oleh ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang diimpor dan diekspor.
Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan bahwa asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan). Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi). Sementara pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
Pada Munas yang sama para ulama secara mutlak membolehkan praktik ”asuransi sosial” dalam pengertian asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, seperti asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja), asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI. Asuransi sosial dapat bersifat asuransi kerugian (harta) dan asuransi jiwa. (A Khoirul Anam)

 

ASURANSI SYARI’AH

 

Mengenal Asuransi Syariah
15/06/2010

Pada hakikatnya manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, manusia harus saling tolong menolong dan saling menanggung antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hadits Nabi SAW riwayat Imam Muslim digambarkan, adanya saling tolong menolong diantara umat Islam bagaikan satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Tenggang rasa ini minimal dapat mengurangi beban penderitaan orang yang terkena musibah.
Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah. Semangat bertakaful dalam menghadapi risiko musibah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta.
Sebenarnya ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility)
Pedoman Umum Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tidak mengandung maghrib; maysir (perjudian), gharar (penipuan) dan  riba. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal mungkin dalam asuransi syariah. Akan tetapi ada pula yang menjadikan asuransi ajang spekulasi (maysir), yang menjadi asuransi sebagai akad jual beli atau tukar menukar (mu’awadlah) bukan akad saling tolong menolong (ta’awun’).
Dari definisi di atas juga tampak bahwa akad asuransi syariah tidak pernah dijelaskan secara khusus oleh para imam mazhab fiqh. Sebab pembahasan yang mirip dengan definisi asuransi syariah ini dalam kitab fiqh adalah pembahsan masalah ’aqila, muwalah, tanahud, ’aqd al hirasah, dlaman khathr at thariq,  dan al kafalah. Bentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb)  memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas ’amal tathawwu’ dan tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
Menurut sejarah, perkembangan asuransi baru muncul pada abad 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung risiko-risiko di laut yang kerap menimpa perahu layar atau penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Lalu setelah tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi seseorang yang mengasuransikan dirinya dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian atau yang lain sebagainya.
Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat muslim ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara para pesertanya. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti'man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala ad Dar al Mukhtar.
Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Selanjutnya, perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia.
Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah. Adapun perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga (jiwa), dan Mubarakah.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundangan, sementara asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah. Dari kedua perbedaan ini muncul perbedaan yang lainnya, mengenai hubungan perusahaan dan nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.
Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang telah disetorkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yang telah diniatkan untuk tabarru’.
Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan, sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
Implementasi akad takafuli dan tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke-gharar-an) asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10  juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.
Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib/wakil) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudlarabah (bagi hasil) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil.
Adapun asuransi akad tijari adalah model mudlarabah atau wakalah. Secara teknis, mudlarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara  (shahibul maal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudlarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 40 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 60 persen dari keuntungan.
Meski sampai saat ini akad mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, namun beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi “catatan khusus” terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudlarabah difokuskan pada beberapa hal : Definisi profit sharing dalam akad mudharabah adalah “tingkat pengembalian dana hasil investasi” sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan “profit sharing” tapi “surplus sharing” dimana yang dibagihasilkan adalah “hasil investasi + modal pokok” yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.
Dalam model mudlarabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain, termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dll), sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai kapasitasnya dalam akad mudlarabah.
Dalam kenyataan di beberapa model mudlarabah, biaya marketing dan komisi bukan merupakan pengeluaran operator tapi dibebankan kepada Takaful fund.
Berbeda dengan akad mudlarabah, yaitu akad wakalah, Takaful berfungsi sebagai wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka. Dalam konteks yang ideal, Takaful tidak lagi mendapatkan bagi hasil karena seluruh dana beserta hasil investasinya menjadi hak penuh dari peserta. Namun demikian, pihak pengelola berhak mengenakan biaya manajemen atau biaya operasional.
Pilihan keputusan hukum asuransi syariah yang ditetapkan oleh Munas Alim Ulama pada 2006 merupakan pilihan hukum dan model asuransi yang bebas dari perbedaan para ulama fiqh (al huruj minal khilaf mustahabbun) yang mengharamkan dan yang menghalalkan praktik asuransi konvensional. Sebab menurut sebagian pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, hukum asuransi konvensional adalah boleh dan halal. Dalil yang digunakan adalah kaidah, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan akad asuransi tidak ada teks (nash) yang mengharamkan maka berarti hukum asuransi adalah boleh seperti akad muamalah lainnya sepanjang menjadi maslahah dan tradisi (‘urf). Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengharamkan asuransi konvensional berargumentasi dengan dalil, bahwa praktik asuransi disamakan dengan praktik riba. Yaitu membayar uang di zaman tertentu dengan pengembalian yang bertambah pada waktu berikut. Maka praktik ini termasuk riba nasi’ah dan riba al fadl sekaligus.
HM. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Standardisasi Polis Syariah Perlu Dipahami Bersama

Selasa, 22 Juni 2010, 11:15 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Standardisasi polis membuat industri asuransi syariah memiliki standar baku terhadap penulisan polis asuransi syariah. Direktur Utama Harahap Business Consulting, Hadry Harahap, mengatakan adanya kebakuan polis di asuransi syariah akan dapat memberikan penjelasan lebih detail kepada peserta asuransi.
Namun, ia menambahkan, setidaknya sebelum standardisasi tersebut digunakan dapat dibentuk suatu majelis atau tim untuk dimintai pendapatnya mengenai standardisasi polis itu. ''Jadi dibuat sebuah pertemuan dan di sana diundang ahli hukum positif maupun syariah, lalu para pelaku asuransi syariah dan salah satu representatif dari nasabah. Jadi memperoleh masukan secara komprehensif,'' katanya, Selasa (22/6).
Dengan pembentukan tersebut, tambah dia, maka akan dapat diketahui perspektif masing-masing stakeholder asuransi syariah. Di lain pihak, tambah dia, walau standardisasi polis telah memasukkan terminologi syariah di dalamnya, agen pemasaran asuransi syariah tetap harus dapat menjelaskannya kepada peserta asuransi. Dengan demikian peserta akan terbantu dalam memahami ketentuan polis asuransi syariah.
Di sinilah, menurut Hadry, diperlukan agen asuransi syariah yang mumpuni dan memahami asuransi syariah. Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) tengah menyiapkan standardisasi polis asuransi syariah. Di antaranya adalah penyebutan penggunaan risk sharing dalam asuransi syariah, bukan risk transfer, penajaman penjelasan akad dalam polis, dan penyelesaian sengketa asuransi syariah.

BANK/SYARI’AH

 

(Lihat: 1. Riba  - Bunga dan Riba; 2. NU - Nahdlatul  Bank)

Ditulis oleh Agustianto   
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan syari’ah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang pada mulanya di tahun 1970-an hanya merupakan diskusi teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang mencengangkan banyak  kalangan.
Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berdasarkan prediksi McKinsey tahun 2008, total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006 mencapai 0,75 miliar dolar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun
Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga tumbuh makin pesat, secara fantastis.
Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius.  Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang.. Perkembangan  industri lembaga syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor hanya  456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440 (Data BI Okt 2008, Lihat tabel). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan  di  banyak kabupaten/kota. Sementara itu Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) juga bertambah 2 buah lagi, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima Bank Umum Syariah. Pada tahun 2009, akan hadir 8 Bank Umum Syariah  lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi 12 buah.

 
Penghimpunan dan Penyaluran dana
Pada tahun 2008, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.37,7 triliun. Pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan syariah 36,7 % (yoy).. Pertumbuhan tabungan mudharabah mencapai 31,65%  dan deposito mudharabah mencapai 38,79% yang merupakan proporsi terbesar pada triwulan ketiga tahun 2008. 
Sementara itu pembiayaan yang diberikan kepada UMKM oleh industri perbankan syariah dengan nominal mencapai Rp27,18 Trilyun (72,13%) sampai dengan posisi September 2008. Pembiayaan kepada non UMKM mencapai Rp10,5 Trilyun (27,87%). pertumbuhan pembiayaan kepada sektor UMKM sampai dengan posisi September 2008 (ytd), sebesar 38,91%.
Selama tahun 2008, ROA perbankan syariah mencapai 2,5% dan ROE mencapai 76,7%, rasio BOPO pada triwulan ketiga tahun 2008 sebesar 73,6%. Kontribusi utama dari piutang murabahah yang mencapai 45,3% dari seluruh total pendapatan perbankan syariah. Yahun 2008 kondisi permodalan perbankan syariah (tier 1) dibandingkan dengan pembiayaan yang diberikan masih tergolong rendah (dibawah 8%)

Perkembangan BPRS
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi. Jika pada tahun terdapat 114 BPRS, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 128 BPRS. Assetnya pada tahun 2007 sebesar Rp 1207 milyar  meningkat menjadi Rp 1.575 milyar (1,57 T) di tahun 2008 (Posisi September). Total pembiayaan BPRS tercatat sebesar 1,25 trilyun dengan pertumbuhan pembiayaan sebesar 41,8% Sementara pertumbuhan DPK yang mencapai sebesar 26,1% dengan total DPK yang berhasil diserap sebesar Rp.896,91 miliar. NPF BPRS terus mengalami penurunan, baik secara gross maupun nett mengalami penurunan dibandingkan posisi 2007 dengan persentase masing-masing dari 7,99% menjadi 6,92% dan 6,62% menjadi 5,11
Keterangan
2005
2006
2007
I-2008
II-2008
III-2008
Jumlah Kantor
105
105
114
117
124
128
Total Aset
60.497
90.632
1.207.198
1.295.145
1.456.451
1.575.915
Total Pembiayaan
43.591
63.629
879.744
944.412
1.112.763
1.247.657
Total DPK
35.357
53.015
711.250
772.220
865.319
896.909
FDR
123.29%
120.02%
123.69%
122.30%
128.60%
139.11%
NPF (Gross)
10.60%
8.29%
7.99%
7.90%
7.51%
6.92%
NPF (Netto)
9.47%
7.09%
6.62%
6.44%
5.54%
5.11%

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dikataan bahwa industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan industri yang fantantis  boleh membuat para pakar tersenyum, namun harus diingat bank-bank syariah harus ditetap dikawal, dan didesak untuk senantiasa istiqamah dalam penerapan manajemen resiko, syarah complience dan menerapkan Godd Syariah Govanrnance. Para pengawas Syariah harus aktif dan produktif dan tidak boleh sungkan untuk menegur setiap penyimpngan. Jika bank  syariah dinilai menyimpang, akan berakibat pada resiko reputasi yang pada giliranya akan mengakibatkan risiko likuiditas. Hal ini dapat  memundurkan bank-bank syariah di masa epan. Peneltian terkini (2008) yang dilakukan Bank Indonesia kerjasama  dengan Earnt & Young, menunjukan bahwa resiko reputasi akibat mengabaikan syariah berdampak buruk bagi kemajuan dan perkembangan perbakan syariah.
Bersmbung...

Ditulis oleh Agustianto

(Refleksi Tahun Baru Islam  1430 Hijriyah)
Setiap memasuki tahun baru Islam (tahun hijriyah), kita diingatkan kepada peristiwa paling bersejarah, yakni hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah yang terjadi 1430 tahun yang lalu. Dalam  sejarah Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum  paling penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar  dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan HAM, demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum, yang kesemuanya dilandasi  dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari’ah.
Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Demikian pendapat oleh Robert N Bellah seorang ahli sosiologi agama terkemuka dalam bukunya  Beyond Bilief (1976 h 150).
Ismail al Faruqi menyebut hijrah sebagai langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban. Jadi, hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan  karena kegagalan mengembangkan  Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi  yang penuh strategi  dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Tegasnya, substansi hijrah  merupakan strategi besar (grand strategy) dalam membangun peradaban Islam. oleh karena itu tepatlah apa yang dikatakan Hunston Smith dalam bukunya the Religion Man, bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
    Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : “al hijrah farragat bainal haq wall bathil fa-arrikhuha” (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikan kamulah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam).
J.H. Kramers dalam Shorter Encycolopeadia of Islam meneybut hijrah sebagai sebagai strategi jitu dan cerdas dalam pembangunan imperium Arab (baca ; Islam). Berdasarkan pernyataan-pernyataan para pakar di atas, maka  sangat relevan ungkapan Prof Dr Fazlur Rahman yang menyebut hijrah sebagai Marks of the founding of islamic community.
    Apabila kita cermati makna filosofis hijrah  secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna perubahan, pembaharuan dan  reformasi yang yang luar biasa. Salah satu perubahan yang mendesak dan mesti segera dikukan adalah perubahan dalam sistem ekonomi. Saat ini kita dicengkram oleh system ekonomi ribawi, maka saatnya sekarang kita hijrah meninggalkan system tersebut menuju system ekonomi syariah. Salah satu bentuk penerapan ekonomi syariah saat ini yang paling berkembang adalah institusi perbankan.
Karena itu, topik tulisan ini berkaitan dengan perbankan syariah yang dikaitkan dengan spirit hijrah.

 Hijrah   dan Spirit Reformasi Ekonomi  
Banyak upaya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan reformasi ekonomi, baik di bidang moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peranan negara dalam menciptakan pasar yang adil (hisbah), membangun etos entrepreneurship, penegakan etika bisnis, pemberantasan kemiskinan, pencatatan transaksi (akuntansi), pendirian Baitul Mal, dan sebagainya.
Beliau juga banyak mereformasi akad-akad  bisnis dan berbagai praktek bisnis yang fasid (rusak), seperti  gharar, ihtikar, talaqqi rukban, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, bai’ munabazah, mulamasah, muhaqalah. dan berbagai bentuk bisnis maysir atau spekulasi lainnya. dsb. Selanjutnya Nabi Muhammad juga mengajarkan konsep transaksi valas (sharf) yang sesuai syariah, pertukaran secara  forward atau tidak spot (kontan) dilarang, karena sangat rawan kepada praktik riba fadhl.
Apa yang dijarkan Nabi tersebut kini sedang diterapkan di lembaga perbankan Islam.

Pelarangan Riba.
Dari berbagai reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, praktek riba mendapat sorotan dan tekanan cukup tajam. Banyak ayat dan hadits yang mengecam riba dan menyebutnya sebagai perbuatan terkutuk dan dosa besar yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
Paradigma pemikiran masyarakat yang telah terbiasa dengan system riba (bunga) digesernya menjadi paradigma syariah secara bertahap. Menurut para ahli tafsir, proses perubahan tersebut memakan waktu 22 tahunan. Pada awalnya hampir semua orang beranggapan bahwa system riba (bunga) akan menumbuhkan perekonomian, tetapi justru menurut Islam, riba malah merusak perekonomian. (lihat surah 39 : 39-41).
Saat ini, juga masih banyak kaum muslimin (awam) yang menganggap system bunga pada perbankan dan keuangan dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat. Mereka berpandangan seperti itu, karena banyak pengaruh. Pertama, pengaruh pendidikan barat yang mengajarkan system kapitalisme, kedua, pengaruh informasi keilmuan yang minim dengan ekonomi Islam. Ketiga, pengaruh kebiasaan hidup dimana orang-orang sudah terbiasa dengan system bunga, sehingga menaggangpnya tak adac masalah. Keempat, pengaruh perut,  dimana banyak orang yang mencari makan di lembaga riba, tanpa pekerjaan itu, kehidupannya terancam.

Hijrah fi’liyah (Perilaku)
Hijrah yang kita lakukan saat ini bukanlah hijrah dalam bentuk fisik (hijrah badaniyah), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Hijrah yang seharusnya kita lakukan adalah hijrah perilaku. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Wal Muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu”. (Berhijrah itu ialah meninggalkan apa yang dilarang Allah).
Allah melarang kita melaksanakan transaki riba, seperti bunga dalam perbankan. Seluruh pakar ulama (pakar ekonomi Is;am sdunia ) telah ijma’ tentang keharaman bunga bank tersebut. Para peneliti dari berbagai negara menyimpulkan tidak ada seorangpun yang membantah keharaman bunga bank. Riba merupakan dosa besar yang harus dijauhi. Alquran dan sunnah sangat banyak mengutuk dn mengecam perlalu riba. Maka saatnya sekarang umat Islam wajib hijrah ke system ilahi (ekonomi Islam) yang adil dan maslahah.
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata, “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.
Menurut sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
    Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
    Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak  yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).
    Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)
    Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).
    Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)
    Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda, Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

Penutup
Momentum tahun baru Hijrah 1430 H ini hendaknya memberikan spirit hijrah ekonomi (hijrah iqtishadiyah) kepada kaum muslimin Indonesia untuk segera hijrah dari belenggu ekonomi kapitalistik ribawi kepada ekonomi syariah. Jika selama ini lembaga perbankan yang kita gunakan adalah lembaga perbankan konvensional, maka  di tahun depan (1430 H), kita hijrah ke perbankan syariah. Semangat  dan spirit hijrah harus kita implementasikan secara riil dalam kehidupan kita dewasa ini. Kita harus segera hijrah dan berubah. ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya”. (Ar-Ra’d : 110.
Sistem perbankan konvensional yang menerapkan bunga terbukti telah membawa bencana besar bagi ekonomi  semua negara. Bacalah sejarah krisis selama seratus 100 tahun, tulisan Glyn Davis dan Roy Davis. Semuanya krisis keuangan dan perbankan. Krisis financial yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa system ekonomi kapitalisme yang berbasis riba, maysir dan gharar telah terbukti nyata tidak bisa dijadikan sebagai system ekonomi untuk mensejahteraan ekonomi manusia secara adil dan ampuh, tetapi malah sebaliknya menimbulkan kesengsaraan ekonomi, kesenjangan dan kehancuran ekonomi banyak negara.
 Di Indonesia, lembaga perbankan konvensional telah menguras APBN setiap tahun dalam jumlah ratusan triliun dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI, Belum lagi kasus BLBI yang menghisap uang negara lebih dari 650 triliun rupiah. Ini adalah fakta yang memilukan bagi kesejahteraan bangsa. Sistem bunga telah menimbulkan penderitaan dan kemiskinan yang menyakitkan  bagi bangsa Indonesia. Karena itu kalau ingin selamat, segeralah hijrah ke perbankan  syariah. (Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana di Empat Perguruan Tinggi  di Jakarta, UI,Trisakti,Paramadina dan UI Az-Zahra)

Bank Syari’ah =Arabisasi Bank?
Irfan Syauqy Beik/Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor IIU Malaysia (Suara Hidayatullah, Edisi April 2010)

Dalam sebuah forum milis  para penggiat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) belum lama ini, muncul sebuah perdebatan hangat tentang praktek institusi ekonomi syariah (bank). Oleh sebagian kalangan, praktek ekonomi syariah yang ada sekarang ini dianggap belum 100 persen sesuai syariah, karena masih mengandung unsur eksploitasi. Muncul pro dan kontra yang disertai argumentasi masing-masing.
          Di sisi lain, tokoh liberal Ulil Abshar Abdalla juga menuding ekonomi syariah sebagai proses “Arabisasi” terminologi Bank, sementara secara substansial tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Kondisi iniperlu mendapat perhatian, karena akan menimbulkan persepsi yang salah terhadap ekonomi syariah jika tidak ditanggapi dengan baik.

Wasail dan Maqashid
Salah satu sebab utama munculnya stigma tersebut adalah akibat kurang dipahaminya tujuan dari ekonomi syariah itu sendiri, yang bersumber dari tujuan syariah secara umum (maqashid syari’ah). Dalam ajaran Islam dikenal istilah wasail (jamak dari wasilah, yaitu alat atau media), dan maqashid (jamak dari maqshud, yaitu tujuan yang hendak dicapai).
          Keduanya mempunyai keterikatan antara satu dengan lainnya. Pemisahan kedua konsep tersebut  akan mengakibatkan kesalahan pemahaman dan aplikasinya. Misalnya, shalat adalah washilah untuk mencapai maqshud mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Jika keduanya dipisah, akan berbahaya.
          Orang yang lebih berorientasi pada maqshud akan menganggap bahwa jika kita telah mampu mengendalikan diri dari perbuatan keji dan munkar, maka tidak perlu melaksanakan shalat. Sebaliknya, orang yang washilah-oriented akan melaksanakan shalat sekadar untuk melepaskan diri dari kewajiban sehingga tidak ada dampaknya terhadap perilaku sesudah shalat.
          Inilah yang barangkali menjadi tantangan dunia ekonomi syariah saat ini, yaitu bagaimana mensinergikan antara wasail dengan maqashid. Secara fikih benar, dan secara tujuan syariat tercapai. Jika ekonomi syariah hanya berorientasi pada wasail, maka ia akan memandang segala praktek yang ada  dari sudut pandang fikih semata. Sifatnya hanya boleh atau tidak boleh. Sementara aspek kemasalahatan dan tujuan yang lebih besar menjadi kurang diperhatikan.
          Sebaliknya, jika ekonomi syariah hanya berorientasi pada maqashid dan mengabaikan wasail, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan penyimpangan pada sisi prakteknya dengan dalih demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
          Karena itu, integrasi washail dan maqashid menjadi sebuah kebutuhan yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi syariah ke depan.

Tiga Tujuan Syariah
Menurut Prof Hasyim Kamali, paling tidak ada tig tujuan syariah yang hendak dicapai, yaitu edukasi individual, keadilan, dan kemaslahatan publik. Segala yang disyariatkan Allah Swt akan bermuara kepada tiga tujuan tersebut, sehingga memahami ketiganya merupakan sebuah keniscayaan. Demikian pula dengan maqashid ekonomi syariah, tidak bisa dilepaskan dari ketiga tujuan tersebut.
          Dalam kaitan dengan edukasi individual, masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai alasan disyariatkannya sesuatu. Harapannya akan muncul kesadaran dan kebutuhan untuk melaksanakan syariat agama, karena ia berangkat dari pemahaman yang benar.
          Pada konteks ekonomi, adalah hal yang sangat urgen untuk memberikan pemahaman tentang kenapa Allah Swt dan Rasul-Nya membuat rambu-rambu dan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh umat Islam dalam menjalankan aktivitas ekonominya.
          Sebagai contoh, ibadah ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan wakaf). Penulis melihat ada tiga dimensi maqashid  dari disyariatkannya ibadah ZISWAF, yaitu dimensi spiritual personal, dimensi spiritual sosial, dan dimensi ekonomi. Pada dimensi spiritual personal, ibadah ZISWAF bakal melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki jiwa dan raga yang bersih dan suci (QS/9: 103).  Ibadah ini juga akan menciptakan etika bisnis yang benar, di mana kita hanya akan berusaha mencari rezeki yang halal. Allah Swt tidak akan menerima ZIS yang mengandung unsur tipu daya (HR Muslim).Sifat-sifat buruk, seperti bakhil, egois, tidak peduli sesama, cinta harta secara berlebihan, dan sebagainya, akan dapat dikikis secara bertahap. Yang muncul adalah keberkahan hidup.
          Sementara secara ekonomi, jika ZISWAF yang dikelola dengan benar, akan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Riset penulis ketika mengevaluasi kinerja pendayagunaan zakat BAZNAS di DKI Jakarta menunjukkan bahwa program BAZNAS mampu meningkatkan proporsi pendapatan kelompok 40 persen termiskin masyarakat mustahik sebesar 1,30 persen. Kesenjangan antara kelompok terbawah 40  persen dan teratas 20 persen dapat diturunkan sebesar 0,286 persen berdasarkan indeks Gini. Sedangkan jumlah kemiskinan mustahik dapat dikurangi 7,7 persen dan tingkat kedalaman kemiskinan berkurang 13,05 persen (Beik, 2010).
          Jika saja masyarakat  memahami maqashid ini, penulis yakin bahwa mereka secara sadar dan sengaja akan  menjadikan kebiasaan ber-ZISWAF sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Contoh lain, praktek pembiayaan murabahah, yang hingga saat ini mendominasi praktek perbankan syariah di tanah air. Murabahah mensyaratkan adanya transparansi harga pokok pembelian. Besarnya marjin profit ditentukan oleh proses negoisasi antara pembeli dan penjual. Ini menunjukkan bahwa dalam praktek murabahah, ada  maqashid yang ingin dicapai selain sekadar jual beli biasa. Yaitu transparansi, keterbukaan, dan saling memahami kondisi masing-masing. Karena itu, kalau dalam praktek perbankan syariah tidak muncul hal tersebut, maka secara maqashid, belum seratus persen tercapai.
          Demikian pula dengan musyarakah, yang mencerminkan adanya semangat untuk berbagi, baik berbagi hasil keuntungan maupun risiko kerugian. Ada maqashid lain  yang ingin dicapai selain dri proses yang berorientasi bisnis semata. Yaitu kebersamaan, persaudaraan, dan kepercayaan. Termasuk pula unsur keadilan di dalam berbagi beban dan tanggung jawab. Inilah universal values yang ingin diajarkan oleh ajaran Islam mlalui transaksi-transaksi muamalah yang ada. Jadi hubungan yang muncul bersifat multidimensional, mencakup dimensi bisnis, sosial  kemanusiaan, dan keadilan.
          Ketika maqashid ini dilanggar, maka akan muncul deviasi dan ekses buruk. Mulai dari munculnya persepsi negatif terhadap ekonomi syariah hingga munculnya eksploitasi dari satu pihak kepada  pihak yang lain. Karena itu, agar hal tersebut tidak terjadi, maka keberadaan maqashid yang lain, yaitu keadilan dan kemaslahatan publik, harus menjadi bagian yang integral. Keduanya harus menjadi framework yang memperkuat praktek ekonomi syariah.
            Dengan bingkai keadilan, maka penentuan marjin profit murabahah atau rasio bagi hasil mudarabah/musyarakah akan menguntungkan pihak bank dan nasabah. Tidak ada pihak yang akan dizalimi. Sedangkan dengan bingkai kemasalahatan publik, maka keberadaan bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh lapisan masyarakat, di samping memberi keuntungan ekonomis kepada pelakunya. Inilah yang harus kita kerjakan bersama, yaitu bagaimana mengaplikasikan maqashid ekonomi syariah ini dalam tataran yang lebih riil. Wallahu a’lam.

Kehadiran Asing Harus Picu Kompetisi Bank Syariah

Senin, 25 Oktober 2010, 16:18 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kehadiran asing dalam dunia perbankan syariah nasional tak perlu mendapatkan kekhawatiran yang berlebihan. Sikap nasionalisme yang ingin menghindari dominasi modal asing dalam perbankan syariah nasional, hendaknya tidak dimaknai sebagai jalan buntu untuk investasi dari luar negeri.
Hal itu dikatakan Direktur Center for Islamic Studies in Finance, Economic, and Development (Cisfed), Masyhudi Muqorobin, terkait rencana Asian Finance Bank Berhad-Malaysia membeli saham tiga bank syariah di Indonesia. Masyhudi menerangkan, perbankan syariah nasional harus tetap membuka diri terhadap investasi asing selama hal itu bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan peran bank syariah dalam perekonomian nasional.
Terlebih, lanjut Masyhudi, dalam beberapa hal, bank-bank syariah yang sudah ada masih mengalami kesulitan untuk memberikan pembiayaan dalam skala besar lantaran modal yang terbatas. “Sehingga masuknya modal atau investasi asing bisa meningkatkan daya saing bank-bank syariah untuk pembiayaan yang lebih besar,” kata Masyhudi kepada Republika, Senin (25/10).
Secara internal, lanjut Masyhudi, penguatan modal yang didapatkan bank syariah mampu melecutkan agresifitas pasar bank tersebut. Sasarannya tentu saja peningkatan kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas serta menyimpan uangnya di bank-bank syariah. “Semakin luas pasarnya maka semakin bagus untuk perkembangan perbankan syariah nasional.”
Masyhudi menyatakan, tingginya animo pihak asing menanamkan modal/investasi di Indonesia, sejatinya menunjukkan betapa menggiurkannya potensi pasar bank syariah nasional. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dan penerapan syariah compliant yang sangat hati-hati, Masyhudi berkeyakinan, Indonesia akan menjadi pusat kegiatan perbankan syariah dunia di masa mendatang. Terlebih, pasar syariah nasional saat ini didominasi oleh nasabah-nasabah umum yang tidak terafiliasi dengan perusahaan pemerintah (BUMN).
Dari segi jumlah Dana Pihak Ketiga dan aset, kata Masyhudi, perbankan syariah nasional memang masih jauh dari Malaysia. Namun demikian, nasabah bank syariah di Malaysia umumnya adalah perusahaan-perusahaan negara yang memang disarankan pemerintah agar menaruh dananya di bank syariah.
“Kalau di Indonesia kan lain, walau masih kecil asetnya tapi dari segi nasabah mayoritas nasabah umum. Inilah yang dilihat asing sebagai potensi investasi yang menggiurkan,” papar Masyhudi.
Ke depan, Masyhudi menyarankan agar para pemangku kepentingan perbankan syariah untuk terus meningkatkan edukasi dan sosialisasi terhadap produk-produk perbankan syariah. “Kalau kita tak mau dikuasai asing, ya harus siap-siap diri. Jangan hanya menolak, tapi diam saja tanpa melakukan apa-apa,” tandas Masyhudi.

Fatwa Muhammadiyah Soal Bunga Bank Bermanfaat

Tuesday, 06 April 2010 08:14
Hukum haramnya bunga bank tidak hanya diberikan oleh Muhammadiyah. Sebelumnya, 2003,  MUI sudah lebih dulu mengeluarkan haram
Hidayatullah.com--Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh menyatakan, meski tidak ada yang baru dari fatwa Muhammadiyah yang mengharamkan bunga bank, namun fatwa itu tetap bermanfaat bagi masyarakat.
"Memang tidak ada yang baru, baik dari segi substansi maupun argumentasinya, Namun fatwa tersebut bermanfaat dapat menjadi pengingat bagi masyarakat," katanya di Jakarta, Senin.
Selain itu, kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, fatwa tersebut juga diharapkan mampu mendorong tumbuhnya lembaga keuangan syariah.
"Khususnya bagi anggota Muhammadiyah untuk melakukan konversi kegiatan ekonominya dari konvensional ke syariah," katanya.
Sabtu (3/4), Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bunga bank. Fatwa haram terhadap bunga bank tersebut sebenarnya sudah diputuskan Majelis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 2006.
MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa haram bunga bank pada 2003. MUI menyarankan kaum muslimin beralih ke bank syariah.
Sementara Nahdlatul Ulama (NU) menganggap persoalan bunga bank termasuk masalah khilafiyah atau masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sebagian ulama NU menyatakan bunga bank adalah haram karena ada unsur spekulasi, sebagian lain berpendapat bunga bank halal karena adanya kesepakatan antara dua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati tanpa paksaan, dan sebagian yang lain menganggap hukumnya syubhat atau tidak jelas haram atau halalnya.
Sejak 2003
Sebagaimana diketahui,  hukum haramnya bunga bank tidak hanya diberikan oleh Muhammadiyah. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah lebih dulu mengeluarkan hukum haram bunga bank sejak tahun 2003 lalu.
"MUI sudah lebih dulu soal hukum itu, tahun 2003. Itu berlaku untuk semua bunga bank," kata Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin dikutip detikcom.
Menurut Kiai Ma'ruf, agar masyarakat terhindar dari hukum haram bunga bank, sementara tetap bisa menyimpan uangnya dengan aman, bank syariah bisa menjadi solusinya.
Sebab, hukum keharaman bunga bank itu tidak sekedar adanya timbal balik dari simpanan kita, tetapi juga dana yang kita simpan di bank yang juga digunakan untuk upaya riba.
"Dulu, sebelum ada bank syariah, kita menyimpan dana di bank karena alasan darurat. Kalau hukumnya ya tetap saja sama, bunga bank itu ya haram. Kalau sekarang, setelah ada bank syariah, harus dipindah ke bank syariah, bank tanpa bunga," terangnya.

Muhammadiyah secara resmi memfatwa haram bunga bank pada Sabtu 3 April 2010 malam, lewat rapat pleno Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Fatwa haram terhadap bunga bank tersebut sebenarnya sudah diputuskan pada Musyawarah Nasional Muhammadiyah pada tahun 2006 lalu. [cha, bebrbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Perbankan Mengaku Tak Terpengaruh Fatwa Haram Bunga Bank

Tuesday, 06 April 2010 08:03
Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 itu diputuskan hukum bunga bank konvensional adalah haram

Hidayatullah.com--Kinerja perbankan nasional secara umum tidak akan terpengaruh signifikan terhadap keluarnya fatwa haram bunga bank yang ditetapkan ormas Muhammadiyah.
Pasalnya perbankan nasional masih didominasi sebesar 97% oleh bank-bank konvensional yang masih menggunakan instrumen bunga.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono di Jakarta Senin mengatakan, secara jangka pendek dan menengah tidak terpengaruh signifikan terhadap fatwa haram bunga bank tersebut.
"Saya belum melihat akan ada pengaruhnya," katanya.
Menurutnya industri perbankan nasional saat ini masih didominasi oleh bank konvensional. Bank konvensional yang menggunakan sistem bunga, masih mendominasi dibandingkan dengan bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil hanya 3 persen.
Selain itu perekonomian nasional saat ini masih ditopang oleh perbankan konvensional.
Dia menambahkan fatwa haram itu ditujukan kepada umat yang tergabung dalam ormas Muhammadiyah dan tidak berlaku secara umum kepada masyarakat muslim Indonesia.
Sementara itu Presiden Direktur of KARIM Business Consulting, Adiwarman Karim, menilai bunga bank itu haram bertujuan sebagai imbauan kepada organisasi Muhammadiyah yang masih menggunakan produk bank konvensional.
"Muhammadiyah mengimbau kepada badan usaha dan organisasi internalnya bahwa bunga bank tu haram, katanya.
Sebelumnya pada 3 April lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan rekomendasi terkait hukum bunga perbankan.
Berdasarkan kesimpulan dalam sidang pleno Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 itu diputuskan hukum bunga bank konvensional adalah haram.
[ant/www.hidayatullah.com]

 

BAPAK EKONOMI

 

Ibnu Khaldun : Bapak Ekonomi

http://www.agustiantocentre.com/?p=940 (4-6-2011)

 

Oleh : Agustianto
Dosen Pascasarjana Uiniversitas Indonesia

Pendahuluan
Marak dan berkembangnya  ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmwuan modern  kepada pemikiran ekonomi Islam klasik Dalam penjelajahan intelektual yang saya lakukan, khususnya ketika mengambil program doktor ekonomi Islam di UIN Jakarta, ternyata lebih 2000-an judul buku dan tulisan tentang ekonomi Islam sejak masa klasik hingga saat ini.
Melihat berlimpahnya literatur tentang ekonomi Islam, maka ada dua hal yang sangat disayangkan. Pertama, Dalam daftar bibliografi ekonomi Islam itu,  tak satupun di antaranya ada hasil karya tokoh Indonesia. Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Islamic Economics and Finance : A Bibliografy, tulisan Javed Ahmad Khan (1995). Buku ini berisi  1621 karya tulis tentang ekonomi Islam. Demikian pula daftar buku dalam Muslim Economic Thinking tulisan Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, yang  meneliti 700 buku ekonomi Islam, tak satupun mencantumkan karya ulama Indonesia.
Kedua, Yang paling disayangkan lagi adalah sikap para intelektual muslim atau ulama dalam dua abad belakangan ini yang tidak melanjutkan dan mengembangkan kajian ekonomi Islam yang telah dirintis dan dibangun  oleh para ulama terdahulu. Intelektual dan ulama kita di era kontemporer ini, lebih banyak fokus pada kajian pengembangan materi fikih ibadah, munakahat, teologi (ilmu kalam), pemkiran Islam dan tasawuf, di samping ilmu-ilmu tafsir dan hadits. Maka tak heran jika mereka dangkal sekali pengetahuannya tentang ilmu ekonomi Islam, termasuk soal bunga bank dan dampaknya terhadap inflasi, investasi, produksi dan pengangguran juga spekulasi dan stabilitas moneter. Mereka mengabaikan kajian-kajian ekonomi Islam yang ilmiah dan empiris yang telah dilakukan ilmuwan Islam klasik. Fenomena itulah yang disesalkan Prof.Dr. Muhammad Nejatyullah Ash-Shiddiqy, guru besar ekonomi Univ.King Abdul Aziz  Saudi . Ia mengatakan,
“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for  a thousand years  could not have been unaccompanied  by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century  to Tusi and Waliullah  we get a contiunity of serious  discussion on taxation,  government expenditure,  home economics, money  and exchange, division of labour, monopoly, price control,  etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)
(Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah (abad 18),  kita memiliki kesibambungan dari serentetan  pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh  yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi).
Di masa klasik Islam, yang sejak abad 2 Hijrah s/d  9 Hijriyah,  banyak lahir ilmuwan Islam yang mengembangkan kajian ekonomi (bukan fikih muamalah), tetapi kajian ekonomi empiris yang menjelaskan fenomena aktual aktivitas ekonomi secara ril di masyarakat dan negara, seperti mekanisme pasar (supply and demand), public finance, kebijakan fiskal dan moneter, Pemikiran ulama tentang ekonomi Islam di masa klasik sangat maju dan cemerlang, jauh mendahului  pemikir Barat modern seperti Adam Smith, Keynes, Ricardo, dan Malthus.

Bapak Ekonomi
Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai  raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia  lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.  Muhammad Hilmi Murad  secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun.(1962) Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikannya  pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif  hukum, moral  dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.
Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
Ibnu Khaldun has a wide range  of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade, property and prosperity, etc.  He discussses the various  stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour (Shiddiqy, 1976, hlm. 261).
(Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur,).
Sejalan dengan Shiddiqy Boulokia dalam tulisannya Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, menuturkan :
Ibnu Khaldun  discovered  a great number  of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered  the virtue and the necessity  of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated  a theory  of population before Malthus and insisted  on the role  of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation….(Boulokia, 1971)
(Ibn Khaldun telah  menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia  menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk  membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…)”
Lafter, penasehat economi president Ronald Reagan, yang menemukan teori Laffter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.
S.Colosia berkata dalam bukunya, Constribution A L’Etude D’Ibnu Khaldaun Revue Do Monde Musulman, sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan, ”Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan  kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern .(1974, hlm.477)
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi.[1] Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has  rightly been hailed  as the greatest  economist of Islam)(Shiddiqy, hlm. 260)
Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya dalam bidang ekonomi.   Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun’s  Writing dan  Nasha’t menulis “al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun).. Selain itu kita masih memiliki kontribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran briliyan tentang ekonomi.   Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An Introduction to History, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn Khaldun, Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fi’l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma’ashi khayalat”, (Economic Views of Ibn Khaldun), Rifa’at menulis   Ma’ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat” (Ibn Khaldun’s Views on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture”, Abdul Sattar menulis buku  Ibn Khaldun’s Contribution to Economic Thought” in: Contemporary Aspects of Economic and Social Thingking in Islam.

Penutup

Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi  Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia  bukan  hanya Bapak ekonomi  Islam, tapi Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim Barat sebagai Bapak ekonomi melalui buku The Wealth of Nation.. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar ummat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual ummat Islam.   Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secarfa detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal  atau buku
(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Pascasarjana Islamic Economivs and Finance Univ Trisakti, serta Dosen Pascasarjana Univ Paramadina Prfodi Manajemen BISNIS DAN Keuangan Islam, IAIN dan UIAz-Zahra).

BISNIS MLM

 

Batasan Hukum dalam Bisnis MLM
25/08/2008

Multi Level Marketing (MLM) adalah model pemasaran yang menggunakan mata rantai down line, dimana pihak produsen dapat mengurangi biaya marketing sehingga sebagian biaya marketing dipakai untuk bonus bagi orang yang memperoleh jaringan yang besar. Memang banyak alasan orang yang bergabung dalam bisnis MLM ini, di antaranya karena iming-iming bonus tetapi ada juga yang memang karena motivasi ingin memiliki produknya
Bagaimana menurut hukum Islam tentang bisnis MLM ini?
Multi Level Marketing (MLM) adalah menjual/memasarkan langsung suatu produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi barang sangat minim atau sampai ketitik nol. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan).
Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan.
MLM banyak sekali macamnya dan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri.
Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM.
Kami akan memberi jawaban yang bersifat batasan-batasan umum sebagai panduan bagi umat Islam yang akan terlibat dalam bidang MLM.

Memang pada dasarnya segala bentuk mu’amalah atau transaksi hukumnya boleh (mubah) sehingga ada argumentasi yang mengharamkannya.
Allah SWT berfirman
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah: 275)
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan. (QS Al Maidah: 2)
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Perdagangan itu atas dasar sama-sama ridha.
(HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah)
المُسْلِمُوْنَ عَلي شُرُوْطِهِمْ

Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka. (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)
Berdasarkan penjelasan tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:
1.Pada dasarnya sistem MLM adalah muamalah atau buyu' yang prinsip dasarnya boleh (mubah) selagi tidak ada unsur: - Riba' - Ghoror (penipuan) - Dhoror (merugikan atau mendhalimi fihak lain) - Jahalah (tidak transparan).
2.Ciri khas sistem MLM terdapat pada jaringannya, sehingga perlu diperhatikan segala sesuatu menyangkut jaringan tersebut: - Transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota dan alokasinya dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran anggota yang tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau yang mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil sesuatu tanpa hak dam hukumnya haram.
- Transparansi peningkatan anggota pada setiap jenjang (level) dan kesempatan untuk berhasil pada setiap orang. Peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat disetiap usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu hal yang dibolehkan selagi dilakukan secara transparan, tidak menzhalimi fihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas.
- Hak dan kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota. Seorang anggota atau distributor biasanya mendapatkan untung dari penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya. Perolehan untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang biasa dalam jual beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya disebabkan usaha down line-nya adalah sesuatu yang dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kedholiman.

3. MLM adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana untuk mendapatkan uang tanpa ada produk atau produk hanya kamuflase. Sehingga yang terjadi adalah money game atau arisan berantai yang sama dengan judi dan hukumnya haram.
4. Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya, karena anggota bukan hanya konsumen barang tersebut tetapi juga memasarkan kepada yang lainnya. Sehingga dia harus tahu status barang tersebut dan bertanggung-jawab kepada konsumen lainnya.
Demikan batasan-batasan ini barangkali dapat bermanfaat, khususnya dan bagi kaum muslimin Indonesia agar dapat menjadi salah satu jalan keluar dari krisis ekonomi. Wallahua’lam bishshawab.

HM Cholil Nafis Lc MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Transaksi Dua Aqad dalam Praktik MLM
27/04/2007

Dalam kajian fikih ada istilah al-‘aqdain fil ‘aqd atau al-bai’ain fi al-bai’ah yang berarti dua aqad yang terkumpul dalam sesuatu transaksi. Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad Bin Hanbal dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud RA telah melarang model transaksi seperti ini.
Para fuqaha merinci penjelasan mengenai al-‘aqdain fil ‘aqd ini ke dalam tiga model. Pertama, adanya dua harga dalam sebuah jual beli. Misalnya, jika seseorang mengatakan kepada orang lain, “Aku jual baju ini kepadamu  dengan harga sepuluh dirham jika tunai, dan dua puluh dirham jika hutang.” Kemudian kedua orang tersebut berpisah dan belum ada kesepakatan tentang salah satu model jual beli tersebut.
Dikatakan bahwa jual beli semacam ini telah rusak (fasid), karena kedua pihak yang bertransaksi tidak mengetahui harga mana yang dipastikan. Asy-Syaukani menyatakan, sebab diharamkannya jual beli semacam itu adalah tidak disepakatinya salah satu (aqad) harga dari dua (aqad) harga tersebut. Akan tetapi, jika kedua orang tersebut bersepakat tentang salah satu aqad (harga) dari dua aqad (harga) jual beli tersebut; misalnya pembeli menerima harga baju tersebut 20 dirham secara kredit sebelum keduanya berpisah, maka sahlah jual beli tersebut. Sebab, harga baju itu telah ditetapkan, dan kedua belah pihak mengetahui dengan jelas harga dari baju tersebut serta bentuk transaksinya.
Kedua, Imam Syafi’i, menafsirkan al-‘aqdain fil ‘aqd sebagai jual beli bersyarat. Misalnya, jika seseorang berkata kepada orang lain, “Saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian, akan tetapi engkau harus menikahkan putramu dengan putriku.” Muamalat semacam ini menyebabkan tidak jelasnya harga.
Ketiga, al-‘aqdain fil ‘aqd adalah memasukkan transaksi kedua ke dalam transaksi pertama yang belum selesai. Misalnya, jika seseorang memesan barang dalam jangka waktu satu bulan, dengan harga yang telah ditentukan. Ketika tempo masa telah tiba, pihak yang dipesan meminta kembali barangnya dengan berkata kepada pemesan, “Juallah barang yang seharusnya saya berikan kepada anda dengan harga sekian, tapi jangkanya ditambah dua bulan.” Jual beli semacam ini adalah fasid, sebab aqad yang kedua telah masuk pada aqad yang pertama. Demikianlah.
Para ahli fikih sering mengkaji transaksi multi level marketing (MLM) yang saat ini semakin beragam model melalui perspektif al-‘aqdain fil ‘aqd ini, yakni adanya dua akad dalam satu transaksi.
Paling tidak MLM bisa diklasifikasikan kedalam tiga model:  Pertama, MLM yang membuka pendaftaran member (posisi) dimana member tersebut harus membayar sejumlah uang sembari membeli produk. Pada waktu yang sama juga, dia menjadi referee atau makelar bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, karena ia akan mendapatkan "nilai lebih" jika berhasil merekrut orang lain menjadi member dan membeli produk. Maka praktek MLM seperti ini jelas termasuk dalam kategori al-‘aqdain fil ‘aqd. Sebab, dalam hal ini orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran (samsarah) secara bersama-sama dalam satu akad.
Kedua, ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk meski untuk keperluan itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (poin), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya. Maka praktek ini juga termasuk dalam kategori al-‘aqdain fil ‘aqd, yakni akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
Membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu, yakni ketika pada suatu hari dia membeli produk dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat poin karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member.
Ketiga, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang.
Ini sangat berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dalam MLM model ketiga ini pihak-pihak terkait sebenarnya tidak melakukan transaksi apa-apa, hanya melakukan semacam permainan bisnis yang mirip sekali dengan perjudian.(A Khoirul Anam)

BISNIS NABI

Meneledani Manajemen Bisnis Rasulullah


Oleh : Agustianto

Kehadiran Nabi Muhammad membawa agama Islam merupakan peristiwa  terpenting dalam sejarah kehidupan manusia., karena kehadirannya telah membuka zaman baru dalam pembangunan peradaban dunia bahkan alam semesta (rahmatul-lil’alamin 21:107) Beliau adalah utusan Allah SWT yang terakhir sebagai pembawa kebaikan dan kemaslahatan  bagi seluruh umat manusia. Michael Hart dalam bukunya, menempatkan beliau sebagai orang nomor satu dalam daftar seratus orang yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah. Kata Hart, “Muhammad Saw terpilih untuk menempati posisi pertama dalam urutan seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh, karena beliau merupakan satu-satunya manusia yang memiliki kesuksesan yang paling hebat di dalam kedua bidang-bidang sekaligus : agama dan bidang duniawi”.W. Montgomery Watt menulis buku Muhammad a Prophet and Statemen, yang menunjukkan fakta historis bahwa Nabi Mihammad adalah nabi dan negarawan, pemimpin agama dan negara, sementara Afzalur Rahman dalam Muhammad a Trader, menjelaskan sosok Nabi Muhammad sebagai pedagang ulung.
Kesuksesan Nabi Muhammad Saw telah banyak dibahas para ahli sejarah, baik sejarawan Islam maupun sejarawan Barat. Salah satu sisi kesuksesan Nabi Muhammad adalah kiprahnya sebagai seorang padagang (wirausahawan). Namun, sisi kehidupan Nabi Muhammad  sebagai pedagang dan pengusaha kurang mendapat perhatian dari kalangan ulama pada momentum peringatan maulid Nabi. Karena itu, dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw di tahun 1432 H ini (2011), kita perlu merekonstruksi sisi tijarah Nabi Muhammad Saw, khususnya manajemen bisnis yang beliau terapkan sehingga mencapai sukses spektakuler di zamannya.

Aktivitas Bisnis Muhammad
Reputasi Nabi Muhammad dalam dunia bisnis dilaporkan antara lain oleh Muhaddits Abdul Razzaq. Ketika mencapai usia dewasa beliau memilih perkerjaan sebagai pedagang/wirausaha. Pada saat belum memiliki modal, beliau menjadi manajer perdagangan para investor (shohibul mal) berdasarkan upah (ujrah) dan bagi hasil. Seorang investor besar Makkah, Khadijah, mengangkatnya sebagai manajer ke pusat perdagangan Habshah di Yaman. Kecakapannya sebagai wirausaha telah mendatangkan keuntungan besar baginya dan investornya.Tidak satu pun jenis bisnis yang ia tangani mendapat kerugian. Ia juga empat kali memimpin ekspedisi perdagangan untuk Khadijah ke Syiria, Jorash, dan Bahrain di sebelah timur Semenanjung Arab.
Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa   di sekitar masa mudanya, Nabi Saw banyak dilukiskan sebagai Al-Amin atau  Ash-Shiddiq dan bahkan pernah mengikuti pamannya berdagang ke Syiria pada usia anak-anak, 12 tahun.
Lebih dari dua puluh tahun Nabi Muhammad Saw berkiprah di bidang wirausaha (perdagangan), sehingga beliau dikenal di Yaman, Syiria, Basrah, Iraq, Yordania, dan kota-kota perdagangan di Jazirah Arab. Namun demikian, uraian mendalam tentang pengalaman dan keterampilan dagangnya kurang memperoleh pengamatan selama ini.
Sejak sebelum menjadi mudharib (fund manager) dari harta  Khadijah, ia kerap melakukan lawatan bisnis, seperti ke kota Busrah di Syiria dan Yaman. Dalam Sirah Halabiyah dikisahkan, ia sempat melakukan empat lawatan dagang untuk Khadijah, dua ke Habsyah dan dua lagi ke Jorasy, serta ke Yaman bersama Maisarah. Ia juga melakukan beberapa perlawatan ke Bahrain dan Abisinia. Perjalanan dagang ke Syiria adalah perjalanan atas nama Khadijah yang kelima, di samping perjalanannya sendiri- yang keenam-termasuk perjalanan yang dilakukan bersama pamannya ketika Nabi berusia 12 tahun.
Di pertengahan usia 30-an, ia banyak terlibat dalam bidang perdagangan seperti kebanyakan pedagang-pedagang lainnya. Tiga dari perjalanan dagang Nabi setelah menikah, telah dicatat dalam sejarah: pertama, perjalanan dagang ke Yaman, kedua, ke Najd, dan ketiga ke Najran. Diceritakan juga bahwa di samping perjalanan-perjalanan tersebut, Nabi terlibat dalam urusan dagang yang besar, selama musim-musim haji, di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz. Sedangkan musim lain, Nabi sibuk mengurus perdagangan grosir pasar-pasar kota Makkah. Dalam menjalankan bisnisnya Nabi Muhammad jelas menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang jitu dan handal sehingga bisnisnya tetap untung dan tidak pernah merugi.

Implementasi manajemen bisnis

Jauh sebelum Frederick W. Taylor (1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad Saw. sudah mengimplementasikan  nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktek bisnisnya. Ia telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya. Bagaimana gambaran beliau mengelola bisnisnya, Prof. Afzalul Rahman dalam buku Muhammad A Trader,  mengungkapkan:
Muhammad did his dealing honestly and fairly and never gave his customers to complain. He always kept his promise and delivered on time the goods of quality mutually agreed between the parties. He always showed a gread sense of responsibility and integrity in dealing with other people”. Bahkan dia mengatakan: “His reputation as an honest and truthful trader was well established while he was still in his early youth”.
Berdasarkan tulisan Afzalurrahman di atas, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang  pedagang yang jujur dan adil  dalam membuat perjanjian bisnis. Ia tidak pernah membuat para pelanggannya komplen. Dia sering menjaga  janjinya dan menyerahkan barang-barang yang di pesan dengan tepat waktu. Dia senantiasa menunjukkan  rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi dengan siapapun. Reputasinya  sebagai seorang pedagang yang jujur dan benar telah dikenal luas sejak beliau berusia muda.
Dasar-dasar etika dan menejemen bisnis tersebut, telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang diwariskan semakin mendapat pembenaran akademis di penghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan dan kepuasan konsumen (costumer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya telah menjadi gambaran pribadi, dan etika bisnis Muhammad Saw ketika ia masih muda.
Pada zamannya, ia menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan sehat. Ia tak segan-segan mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statemen yang tegas kepada para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara, law enforcement benar-benar ditegakkan kepada para pelaku bisnis nakal. Beliau pula yang memperkenalkan asas “Facta Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan perjanjian. Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan transaksi, yang dibangun atas dasar saling setuju “Sesungguhnya transaksi jual-beli itu (wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla)….” Terhadap tindakan penimbunan barang, beliau dengan tegas menyatakan: “Tidaklah orang yang menimbun barang (ihtikar) itu, kecuali pasti pembuat kesalahan (dosa)!!!”
Sebagai debitor, Nabi Muhammad tidak pernah menunjukkan wanprestasi (default) kepada krediturnya. Ia kerap membayar sebelum jatuh tempo seperti yang ditunjukkannya atas pinjaman 40 dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Bahkan kerap pengembalian yang diberikan lebih besar nilainya dari pokok pinjaman, sebagai penghargaan kepada kreditur. Suatu saat ia pernah meminjam seekor unta yang masih muda, kemudian menyuruh Abu Rafi’ mengembalikannnya dengan seekor unta bagus yang umurnya tujuh tahun. “Berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang paling utama adalah orang yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik” (HR.Muslim).
Sebagaimana disebut diawal, bahwa penduduk Makkah sendiri memanggilnya dengan sebutan Al-Shiddiq (jujur) dan Al-Amin (terpercaya). Sebutan Al-Amin ini diberikan kepada beliau dalam kapasitasnya  sebagai pedagang. Tidak heran jika Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Ini dilakukan kadang-kadang dengan kontrak biaya (upah), modal perdagangan, dan kontrak bagi hasil.
Dalam dunia manajemen, kata benar digunakan oleh Peter Drucker untuk merumuskan makna efisiensi dan efektivitas. Efisiensi berarti melakukan sesuatu secara benar (do thing right), sedangkan efektivitas adalah melakukan sesuatu yang benar (do the right thing).
Efisiensi ditekankan pada penghematan dalam penggunaan input untuk menghasilkan suatu output tertentu. Upaya ini diwujudkan melalui penerapan konsep dan teori manajemen yang tepat. Sedangkan efektivitas ditekankan pada tingkat pencapaian atas tujuan yang diwujudkan melalui penerapan leadership dan pemilihan strategi yang tepat.
Prinsip efisiensi dan efektivitas ini digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu bisnis. Prinsip ini mendorong para akademisi dan praktisi untuk mencari berbagai cara, teknik dan metoda yang dapat mewujudkan tingkat efisiensi dan efektivitas yang setinggi-tingginya. Semakin efisien dan efektif suatu perusahaan, maka semakin kompetitif perusahaan tersebut. Dengan kata lain, agar sukses dalam menjalankan binis maka sifat shiddiq dapat dijadikan sebagai modal dasar untk menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Demikian sekelumit sisi kehidupan Nabi Muhammad dalam dunia bisnis yang  sarat dengan nilia-nilai manajemen, Semoga para pebisnis modern, dapat meneladaninya sehingga mereka bisa sukses dengan pancaran akhlak terpuji dalam bisnis (Penulis adalah Sekjen IAEI dan  Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Indonesia Jakarta) .

Bisnis Ala Rasulullah SAW: Uang Bukan Modal Utama

Jumat, 28 Januari 2011, 19:54 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Apakah modal utama memulai usaha? Jika Anda menjawab uang, mungkin benar, tapi tidak dalam bisnis ala Rasulullah SAW.  "Yang menjadi number one capital dalam bisnis ala Rasulullah adalah kepercayaan (trust) dan kompetensi," kata pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio.
Menurutnya, dalam trust itu ada integritas dan kemampuan melaksanakan usaha. "Beliau membangun usaha dari kecil, dari sekadar menjadi pekerja, kemudian dipercaya menjadi supervisor, manajer, dan kemudian menjadi investor," ujarnya.
Perjalanan dari kuadran ke kuadran itu, katanya, menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang entrepreneur yang memiliki strategi dalam mengembangkan usahanya dan karakteristik untuk mencapai sukses.
Sebagai pengusaha dan pemimpin, Rasulullah mempunyai sumber income yang sangat banyak. Namun Rasul  sangat ringan tangan memberi bantuan. "Beliau sangat tidak sabar melihat ada umat yang menderita dan tidak ridha melihat kemiskinan di sekitarnya atau kelaparan di depan matanya," kata Syafii.
Itu sebabnya, kata Syafii, Rasulullah selalu berinfak dengan kecepatan yang luar biasa, yang digambarkan para sahabatnya sebagai "seperti hembusan angin". "Ia menyedekahkan begitu banyak hartanya dan mengambil sedikit saja untuk diri dan keluarganya," ujarnya.
Kepemimpinan dan manajemen ala Rasulullah ini akan dibedahnya dalam Eksiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager yang akan diluncurkan besok. Dalam buku itu, Syafii  merangkai dan menuangkan ketauladanan nabi Muhammad SAW dalam satu set ensiklopedia yang terdiri dari delapan buku.
Menurut Doktor Banking Micro Finance dari University of Melbourne itu, dalam diri Rasulullah banyak hikmah yang bisa dipetik mengangkut soal manajemen dan kepemimpinan. Sayangnya, sangat terbatas literatur yang menggali dimensi leadership dan manajemen dengan kaca mata analisa tematis dan modern. “Dalam arti dipandang dari sudut ilmu manajemen modern dan suasana modern,” kata pimpinan Tazkia Group itu.

BMT

Menepis Riba dengan Baitul Maal wat Tamwil
26/03/2007

Oleh Abdul Muiz
Ketika belum ada pilihan untuk menjadi tumpuan transaksi simpan pinjam kecuali bank konvensional, persoalan riba tidak menjadi masalah yang sangat serius, khususnya bagi umat Islam. Meski sebagian masyarakat telah ada yang beranggapan bahwa bunga bank adalah riba, akan tetapi sebagian masyarakat lain masih beranggapan masalah bunga bank masih termasuk subhat dengan alasan belum ada bank yang sesuai syari’ah. Lantas, bagaimanakah kondisi sekarang?
Seiring dengan perjalanan waktu, keinginan masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluk agama Islam, kebutuhan bank yang bersistem syari’ah tidak lagi bisa ditawar. Maka kemudian muncullah bank-bank syari’ah seperti Bank Muamalat disusul bank BNI Syari’ah, Bank Syari’ah Mandiri, Bank Danamon Syari’ah, Bank BRI Syari’ah. Lalu muncul juga lembaga keuangan mikro seperti Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), Baitut  Tamwil Muhammadiyah (BTM) hingga Koperasi Syari’ah seperti Kospin Jasa Syari’ah.
Menjamurnya lembaga keuangan syari’ah ini tentu saja disambut dengan suka cita oleh sebagian besar pemeluk agama Islam, meski masih ada juga sebagian umat Islam menjadi bank konvensional sebagai alat transaksi simpan pinjam. Bahkan untuk meyakinkan umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas penduduk Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui komisi fatwa menyatakan bunga bank adalah haram, semakin memantapkan posisi tawar lembaga keuangan syari’ah yang saat ini sedang tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan.
Di lingkungan warga nahdliyyin juga telah berkembang dengan pesatnya lembaga keuangan mikro syari’ah dengan nama Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Di Kabupaten Tegal saja saat ini saja telah berdiri 14 kantor cabang dan 1 kantor pusat Baitul Maal Wat Tamwil Syirkah Muawanah Nahdlatul Ulama (BMT SM NU). Di Kota Pekalongan telah ada 5 kantor cabang dan 1 kantor pusat BMT SM NU, di Kabupaten Cilacap ada 4 kantor cabang. Sedangkan dalam proses pendirian BMT SM NU ialah Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Magelang, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang. 
Kontribusi ke NU?
Mengapa lembaga keuangan mikro syari’ah di lingkungan nahdliyyin dapat berkembang dengan pesat? Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan, antara lain di samping system yang dipakai tidak lagi menggunakan bunga, akan tetapi dengan system bagi hasil, juga pengguna jasa tabungan maupun pembiayaan adalah mayoritas pengusaha berskala mikro, sehingga kehadiran lembaga ini sangat menguntungkan warga nahdliyyin yang memerlukan biaya dengan proses cepat bebas dari unsur riba, di tengah-tengah maraknya bank titil (pinjaman keliling tanpa jaminan dengan bunga yang cukup tinggi). Yang lebih penting adalah, berdirinya lembaga keuangan mikro ini telah memberikan keuntungan ganda yakni membantu keuangan warga nahdliyyin untuk memperkuat modal dan sangat bermanfaat bagi kebesaran organisasi warisan para ulama di bawah payung Nahdlatul Ulama. Benarkah?
Di Kota Pekalongan misalnya, kehadiran BMT SM NU yang didirikan pada tanggal 29 Agustus 2004  yang lalu  sangat dirasakan manfaatnya bagi PCNU Kota Pekalongan, pasalnya, lembaga keuangan ini tidak pernah absen setiap bulannya memberikan kontribusi dari pendapatan bersihnya  sebesar 40 %  atau 10 % dari pendapatan kotor. Jika dirupiahkan tidak kurang dari 7 – 8 juta per bulan. Tentu saja bantuan rutin ini dapat menggerakkan roda organisasi warga nahdliyyin baik untuk lembaga, lajnah, badan otonom bahkan MWC dan ranting juga mendapat limpahan bantuan dari BMT meski baru dalam bentuk bantuan dana stimulan. Paling tidak, organisasi tidak lagi mengalami banyak kesulitan di bidang pendanaan. Kontribusi kepada Nahdlatul Ulama secara rutin ini telah memacu semangat warga nahdlayyin untuk berbondong bondong menjadi nasabah BMT SM NU Kota Pekalongan. Hingga saat ini telah tercatat 2500 lebih nasabah dari warga NU, baik untuk penabung maupun peminjam. Hal ini diakui oleh Ketua PCNU Kota Pekalongan Drs. Achmad Marzuqi, kehadiran BMT SM NU telah mampu mendorong gerakan ekonomi warga NU kelas menengah ke bawah di samping kontribusi kongkrit ke PCNU, sehingga NU tidak lagi mengalami kesulitan dalam hal keuangan. 
Menurut Marzuqi, kontribusi rutin bulanan terbesar yang diberikan BMT kepada PCNU Kota Pekalongan ialah pada Bulan Desember 2006 kemarin dengan nominal  9,5 juta rupiah. Sedangkan pada bulan bulan sebelumnya rata-rata antara 7 sampai 8 juta rupiah per bulan dan ini tergantung dari keuntungan yang diperoleh BMT SM NU Kota Pekalongan. Dengan total asset yang dimilikinya sebesar 4,7 milyar lebih saat ini, tidak menutup kemungkinan kontribusi BMT ke depan akan semakin besar nilainya kepada PCNU Kota Pekalongan. Dan ini tentu akan memudahkan Nahdlatul Ulama menjalankan roda organisasinya baik untuk program pengkaderan maupun pembinaan umat di bidang pendidikan, dakwah, sosial maupun di bidang ekonomi.
Prinsip-prinsip Syari’ah
Banyak pihak yang masih meragukan proses transaksi system syari’ah di lingkup BMT SM NU adalah masih sebatas teori semata, sedangkan pada prakteknya tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Benarkah demikian?
Jauh sebelum BMT SM NU dioperasionalkan, Lembaga Bahtsul Masail Diniyah di bawah naungan PCNU Kota Pekalongan telah mengambil sikap dengan mengundang pengurus dan calon pengelola untuk duduk bersama membahas berbagai macam produk yang akan diluncurkan. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi keraguan khususnya warga nahdliyyin bertransaksi lewat BMT SM NU. Setelah melalui berbagai kajian yang mendalam, maka diputuskan produk-produk BMT SM NU yang dapat diluncurkan antara lain simpanan mudlarabah yaitu simpanan yang dilakukan oleh pemilik dana (shahibul maal) pada BMT yang akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan di muka berdasarkan prosentase pendapatan BMT pada setiap bulannya. Bila terjadi kerugian, akan ditutup dari keuntungan dari sisi yang lain bila dimungkinkan, bilamana tidak, maka pengelola akan menanggung kerugian pelayanan material dan kehilangan imbalan kerja.
Produk lainnya ialah simpanan wadi’ah adalah titipan dari pemilik dana kepada BMT untuk dikelola atas seijinnya. Dimana BMT sebagai penerima amanat, wajib menjaga keutuhan dan keselamatan nilai nominal yang dititipkan, pemilik dana tidak mendapat bagi hasil, dan titipan dapat diambil setiap saat.
Sedangkan produk pembiayaan antara lain Mudlarabah adalah perjanjian antar pemilik dana dengan pengelola dana yang keuntungannya dibagi menurut rasio / nisbah yang telah disepakati di muka dan bila terjadi kerugian, akan ditutup dari keuntungan dari sisi yang lain bila dimungkinkan, bila mana tidak, maka pengelola akan menanggung kerugian pelayanan material dan kehilangan imbalan kerja. Musyarakah adalah perjanjian kerja sama antara anggota dengan BMT, dimana modal dari kedua belah pihak digabungkan untuk usaha tertentu yang akan dijalankan oleh anggota dan BMT, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan bersama. Bai’ Bit Taqsith adalah proses jual beli dimana BMT membayar barang yang dibutuhkan kemudian dijual kepada pembeli dengan membayar harga yang disepakati untuk dibayar secara angsuran. Bai’ Bitsaman Ajil adalah proses jual beli dimana BMT membayar barang yang dibutuhkan  kemudian dijual kepada pembeli dengan membayar harga yang disepakati untuk dibayar secara tunai setelah jatuh tempo. Bai’ Murabahah adalah proses jual beli dimana BMT membayar barang yang dibutuhkan kemudian dijual kepada pembeli dengan membayar harga yang disepakati untuk dibayar secara tunai dan Qordlul Hasan adalah pembiayaan kebajikan / lunak, dimana anggota yang menerimanya hanya dikenakan membayar pokoknya saja tanpa bagi hasil.
Sedang transaksi bagi hasil antara pemilik modal (BMT) dengan pihak peminjam (nasabah) menggunakan akad nadzar, yakni sejenis akad yang dilakukan kedua belah pihak tanpa ditentukan bagi hasilnya sebelum transaksi, akan tetapi penentuannya setelah diketahui prospek usaha dan kemungkinan keuntungan yang diperoleh, kemudian peminjam bernadzar jika kelak berhasil dalam usahanya akan memberikan keuntungan kepada pemodal (BMT) sekian persen.
Siap Transfer Ilmu
Keberhasilan warga nahdliyyin Kota Pekalongan mengelola lembaga keuangan mikro syari’ah ditanggapi dan diapresiasi secara positif oleh PCNU Banjarnegara, Batang, Pemalang, Magelang dan lain-lain. Bahkan Pengurus BMT SM NU Kota Pekalongan telah berkomitmen, jika pendirian BMT untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, dirinya siap mentransfer ilmu secara gratis. Artinya, jika ada cabang-cabang yang berkeinginan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dengan cara mengirimkan calon pengelolanya untuk magang di BMT SM NU Kota Pekalongan, pihak pengurus telah siap tanpa dipungut biaya seperserpun, ini dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian pengurus dalam pengembangan potensi ekonomi warga nahdliyyin.
Komitmen ini diperlukan menurut Ketua BMT SM NU Kota Pekalongan H. Abdullah Sjatory, SE., MM adalah untuk memancing dan merangsang agar minimal tiap-tiap cabang NU berdiri satu lembaga keuangan mikro syari’ah. Jika gerakan dakwah ekonomi berhasil, akan lebih mempercepat program pembangunan pondasi ekonomi di lingkungan Nahdlatul Ulama. Jadi, menurutnya jangan sampai NU telah berusia 82 tahun lebih bangunan ekonominya masih rapuh dan kita sebagai warga NU harus bangkit dengan memulainya sejak sekarang, ujarnya.  Asal dikelola secara profesional dan amanah, Sjatory yang juga Direktur Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU) Jawa Tengah sangat yakin BMT di lingkungan nahdlayyin akan dapat berkembang dengan baik dan pesat. Yang jelas, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal dan Cilacap telah memulai dan membuktikannya.
Abdul Muiz
Kontributor NU Online, tinggal di Pekalongan

Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
05/08/2007

Baitul Mal wat Tamwil (BMT) adalah sebuah lembaga keuangan yang berbadan hukum koperasi simpan pinjam. Di Indonesia lembaga ini belakangan populer seiring dengan semangat umat Islam untuk mencari model ekonomi alternatif pasca krisis ekonomi tahun 1997. Kemunculan BMT merupakan usaha sadar untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.
Konsep ini sedianya ingin mengacu pada definisi ”baitul mâl” pada masa kejayaan Islam, terutama pada masa khalifah empat pasca-kepemimpinan Nabi Muhammad SAW atau masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Dalam bahasa Arab “bait “berarti rumah, dan "mâl" yang berarti harta: rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Waktu itu dikenal istilah “diwan” yakni tempat atau kantor yang digunakan oleh para penulis katakanlah sekretaris baitul mal untuk bekerja dan menyimpan arsip-arsip keuangan.
Baitul Mal adalah suatu lembaga yang bertugas mengumpulkan harta negara entah diperoleh dari umat Islam sendiri atau dari rampasan perang, untuk disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima atau untuk kebutuhan angkatan bersenjata. Para khalifah waktu itu memegang kebijakan utama kemana harta-harta itu akan disalurkan.
Searah dengan perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh, juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk harta yang diperoleh dari peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan oleh negara.
Beberapa organisasi, intansi atau perorangan yang menaruh perhatian pada sejarah Islam kemudian mengambil konsep baitul mal ini dan memperluasnya dengan menambah ”baitut tamwil” yang berarti rumah untuk menguangkan uang. Menjadilah baitul mal wat tamwil (BMT).
Di Indonesia, istilah baitul maal wat tamwil mengemuka sejak tahun 1992. Mulanya, lembaga ini sekedar menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari para pegawai atau karyawan suatu instansi untuk dibagikan kepada para mustahiqnya, lalu berkembang menjadi sebuah lembaga ekonomi berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di bidang simpan-pinjam dan usaha-usaha pada sektor riil.
Semangat yang luar biasa untuk berekonomi dengan ”ber-Islam” sekaligus itu harus didukung. BMT membuka kerjasama dengan lembaga pemberi pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil dengan berpegang pada prinsip dasar tata ekonomi dalam agama Islam yakni transparansi, saling rela, percaya dan tanggung jawab, serta terutama sistem ”bagi hasil”-nya.
BMT terus berkembang. Di beberapa pesantren dan kepengurusan cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) sudah terbentuk lembaga perekonomian umat ini. Sebagai sebuah konsep, BMT itu sendiri terus berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian masyarakat, karena masalah mua’malat memang berkembang dari waktu ke waktu. (A Khoirul Anam)

BUNGA BANK

Bunga Bank Konvensional Menurut Hukum Islam
28/08/2006

(Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992)
Para musyawirin masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :
a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut :
a. Bunga itu itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu soma dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut:
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum. 
Mengingat warga NU merupakan potensi terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonominnya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai pempinjam dan Pembina yang memenuhu persyaratan-persyaratan sesuai dengan keyakina kehidupan warga NU, maka dipandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki.
2. Perlu diatur :1) Dalam penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip.
a). Al-Wadi'ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama.
b). Al-mudlarabah.
Dalam prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka), misalnya 3 bulan, 6 bulan dsb. yang pada garis besamya dapat dinyatakan dalam:
1.
General investment account (GIA)
2. Special investment account (SIA)
2). Dalam Penanaman dana dan kegiatan usaha :
a. Pada garis besamya ada 3 kegiatan yaitu :
- Pembiayaan proyek.
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dsb.
b. Untuk proyek financing sistem yang dapat digunakan antara lain :
1. Mudharabah muqaradhah
2. Musyarakah syirkah
3. Murabahah
4. Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
5. Ijarfah
6. Bai'uddain, termasuk di dalamnya bai'ussalam
7. Al-qardul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service change)
8. Bai'u bitsumanin aajil
c. Untuk aqriten participation, bank dapat membuka L C (Letter of Credit) dan pengeluaran surat jaminan. Untuk ini dapat ditempuh kegiatan atas dasar:
1. Wakalah
2. Musyarakah
3. Murabahah
4. Ijarah
5. Sewa - beli
6. Bai' ussalam
7. Al-bai'ul aajil
8. Kafalah (garansi bank)
9. Warking capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order denganmenggunakan prinsip murabahah.
d. Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya, seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta danpenukarannya dll., tetap dapat dilaksanakandengan prinsip tanpa

 

DINAR

 

Mencetak Dinar di Tengah Krisis (1)

Jumat, 05/12/2008 16:49 WIB | email | print | share

Oleh Dr. Mohamad Daudah
Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (1/2)
Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim
Selintas judul di atas sangat bombaptis…Tapi, itulah kenyataan yang kami saksikan saat mengelilingi gunung Ringgit yang terletak di desa Sawaran Kulo, Kedung Jajang, Klakah, Lumajang, Jawa Timur. Rombongan kami terdiri dari pak M. Iqbal, pakar Islamic Financial Planning dan pemilik geraidinar yang ngetop sejak krisi global gelombang kedua dua bulan lalu, pak Azwin, seorang pakar kesehatan yang jadi professional di salah satu perusahan Jepang dan pak Aldin, pengusaha property yang tak sing lagi di Depok. Alhamdulillah, kami mendapat kesempatan berkunjung ke kawasan gunung Ringgit yang indah tersebut dari 26 – 28 Nopember 2008.
Gunung Ringgit adalah sebuah nama gunung yang terkenal di wilayah Klakah, Kabupaten Luamajang. Sejak dari kaki gunung sampai puncaknya terbentang sebuah areal perkebunan yang dikembangkan sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1912. Perkebunan Gunung Ruinggit yang dimiliki oleh PT. AGRI HALBA telah berganti-ganti pemilik. Kendati alamnya sangat ekstrim, namun berkat kesungguhan dan kepiawaian para pengelolanya yang baru mentakeovernya sekitar tujuh tahun lalu telah berubah menjadi areal perkebunan moderen yang exotic, bahkan bisa dikatakan berhasil disulap dari hutan ringgit (Ringgit adalah mata uang Malysia) menjadi hutan Dinar (dinar adalah mata uang emas Islam yang dapat bertahan sejak lebih dari 14 abad silam).
Di atas areal 1.200 Ha tersebut, Dinar tersebar di mana-mana dan bahkan berjarak hanya 1 sampai 3 meter. Kenapa penulis namakan dengan dinar? Karena setiap pohon kayu sengon atau kayu jati emas, diprediksi sekarang harganya mencapai setengah Dinar, yakni sekitar 700.000 rupiah/pohon. Namun, jika dinilai dalam 3 – 4 tahun ke depan, kemungkinan harga per pohon kayu keras di perkebunan tersebut bisa mencapai satu Dinar yakni sekitar 1.4 jt rupiah, harga dinar saat ini.
Di areal yang subur dan hijau tersebut terdapat ratusan ribu pohon kayu sengon, jati emas, mahoni dan berbagai macam kayu lainnya dengan umur antara satu bulan sampai 6 tahun. Belum lagi termasuk pohon karet yang menutupi areal sekitar 400 Ha atau 300.000 pohon dengan produksi saat ini 400 kg perhari. Diperkirakan 4 sampai 5 tahun ke depan produksi karetnya mencapai di atas 1 ton perhari. Harga karet saat kami berkunjung sekitar USD 2.00/kg. Belum lagi tanaman lain seperti pisang kualitas ekspor dan berbagai jenis kayu dan tumbuhan lainnya.
Yang lebih unik lagi, para pekerja/buruh yang berjumlah sekitar 400 orang mendapat kesempatan mengembangkan potensi ekonomi mereka dengan beternak kambing dan sapi di dalam arela perkebunan tersebut. Binatang ternak tersebut murni menjadi milik mereka. Salah seorang di anatara mereka yang kami temui saat selesai shalat Subuh berjamaah menjelaskan dia memiliki 20 ekor kambing yang dapat dijual saat membutuhkan uang tunai. Hanya beberapa menit, Bapak setengah baya itu langsung pamit karena mau memulai aktivitas perkebunannya. Lalu saya berkata pada teman-teman : Pantas mereka berkah hidupnya, karena bekerja pagi-pagi bangat, apalagi setelah shalat Subuh berjamaah di Masjid. Junjungan kita, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda : “Diberkahilah umatku yang keluar mencari rezki di pagi hari buta”. Kita di kota, pagi hari buta masih ngorok, terus paginya habis umur di jalan karena macet.
Sungguh fantastic memang melihat fakta yang ada di Bukit Ringgit tersebut. Sampai-sampai kami berucap : Kok bisa Indonesia bangkrut ya? Kok bisa mayoritas penduduknya miskin ya? Padahal potensi perkebunan dan pertanian sangat luar biasa, jika saja dikelola secara moderen seperti yang kami lihat di gunung Ringgit itu. Berarti banyak hal yang gak beres di negeri ini. Sungguh menyedihkan….
Sebelum diampbil alih oleh manajemen sekarang, nilai dan potensi perkebunan yang ada di dalam areal yang dikelilingi beberapa desa tersebut hanya sekitar 5 milyar rupiah. Dalam waktu 7 tahun kemudian berubah menjadi kebun Dinar (uang) yang sudah bernilai sangat tinggi. Baru-baru ini pernah ditawar oleh salah seorang Capres 2009 senilai 60 milyar. Allahu Akbar…
Sesungguhnya potensi ekonomi yang ada di dalam perkebunan tersebut jauh lebih besar dari itu. Perkirakan nilai aset sekarang tak kurang dari 100 milyar rupiah. Subhanallah…. Sebuah pertambahan nilai yang sangat fantastic dengan pertumbuhan lebih dari 200 % pertahun. Belum termasuk nilai tambah konservasi alam, kemakmuran buruh dan manfaat lain bagi masyarakat di sekitarnya. Padahal perkebunan tersebut ditakeover dan dikelola oleh manejemen yang baru sekaranag saat negeri ini sedang menghadapi krisis.
Rahasia Keberhasilan
Bagi yang belum menyaksikan dan memahami dunia perkebunan dengan konsep yag diterapkan di gunung Ringgit, keberhasilan tersebut memang tidak masuk akal. Saat dunia krisis, kok bisa merekayasa pertumbuhan asset menjadi lebih dari 200% pertahun? Tapi, inilah fakta yang kami lihat. Penilaian ini bukan hanya dari team kaimi, namun juga dari banyak kalangan yang sempat mendapat kesempatan berkunjung ke sana.
Lalu timbul pertanyaan mendasar : Apa rahasi keberhasilan luar biasa tersebut? Menurut hemat kami yang berdiskusi intensif - dari pagi sampai malam -, survey lapangan dan mendapat penjelasan serta pelajaran langsug dari perintis, pemilik dan sekaligus sebagi Dirut PT. AGRI HALBA, Bapak Dadang Muhammad, selama 2 haru 2 malam, kami dapat simpulkan sebagai berikut :
1. Paradigma Berfikir.
Selama ini, dalam pemikiran kebanyakan kita, bahwa perkebunan itu adalah aktivitas bercocok tanam di sebidang tanah yang dimilki sendiri atau kerjasama dengan pemilik tanah dengan konsep sewa atau kerjasama dengan sistem bagi hasil. Tanaman yang ditanam sebatas tumbuh-tumbuhan yang sudah diwariskan sejak turun temurun. Jika di lahan tersebut dulunya ditanami sayur-sayuran, maka sampai saat inipun masih sayur-sayuran. Jika di lahan tersebut sejak dahulu ditanami tanaman buah seperti rambutan, mangga, jeruk dan sebagainya, maka sampai hari ini para petaninya juga akan menanam hal yang sama..
Di samping itu, berkebun dianggap pekerjaan yang tidak keren, rendahan dan kampungan karena mengharuskan tinggal di pedesaan dan bahkan di hutan. Yang keren dan menarik ialah bekerja di kota, khususnya kota-kota besar kendati hanya sebagai kuli bangunan, pembersih jalan atau gedung, lalu bisa menikmati secuil kehidupan moderen materialistic yang berakibat hedonis.
Hal lain yang tak kalah kelirunya ialah bahwa menabung dan menumbuh kembangkan uang atau kekayaan hanya lewat institusi keuangan dan lembaga-lembaga isnvestasi lainnya yang menjanjikan, termasuk bursa saham. Lucunya, saat ekonomi dan keuangan koleps seperti sejak tahun 1998 sampai sekarang, dunia perbankan - terlebih lagi bursa saham - dan lembaga-lembaga investasi lainnya juga ikut koleps dan tidak mampu menahan kehancuran nilai tabungan dan investasi para penabung dan nasabahnya, apalagi menumbuhkembangkannya. Bahkan bisa berakibat ludesnya asset atau kekayaaan yang kita miliki.
Semua itu adalah gambaran kongkrit paradigma berfikir masyarkaat kita saat ini tentang uang, cara mencari uang dan menumbuhkembangkan uang (investasi).
Lain halnya dengan pak Dadang Muhammad. Jebolan IPB yang nyentrik ini melihat bahwa uang itu tidak identik dengan uang kertas rupiah atau dolar AS yang dicetak dengan menuliskan angka tertentu di lembaran depan dan belakangnya yang dapat disimpan di bank. Akan tetapi, uang adalah apa saja yang bisa melahirkan value, termasuk uang itu sendiri. Yang menarik, berbagai jenis pohon kayu keras maupun tumbuhan lainya di tangan pak Dadagn menjadi bernilai uang. Uang-uang tersebut akan tumbuh dan berkembang sesuai system yang diciptakan Tuhan Pencitanya, yakni Allah Taala, dan bisa berlipatganda dibandig dengan ditabung atau diinvestasikan melalui lembga-lembaga investasi lainnya.
Pada suatu hari, saat salah seorang partner pak Dadang ingin menebang kayu-kayu yang sudah besar untuk diuangkan. Lalu ia berkata ; Untuk apa? Kitakan belum butuh uang sejumlah itu. Pak Dadang seakan mengisyaratakan kalau dibiarkan kayu-kayu tersebut tumbuh dan membesar malah nialinya akan bertambah berlipat ganda. Kalau ditaruh di bank dan sebagainya, jelas nilainya turun dan bahkan bisa habis.
Itulah paradigma berfikir yag benar tentang uang, cara mencari uang dan menginvetasikan (melipatgandakan) uang, apalagi di saat krisis seperti saat ini. Jika saja para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri yang tak kunjung keluar dari krisi ekonomi dan keuangan sejak sepuluh tahun yang lalu ini mampu merubah paradigma berfikir mereka, pasti negeri ini tidak akan babak belur seperti saat ini. Yang menakutkan lagi ialah, indikator-indokator makro dan mikro menunjukkan bahwa Indonesia masih akan menghadapi krisis yang berkepanjangan. 2. Ilmu Yang Mendalam.
Ilmu adalah modal kedua setelah iman. Terkait dengan perkebunan gunung Ringgit, ilmu yang mendalam tersebut diaplikasikan dengan baik oleh Pak Dadang dan kawan-kawannya. Berbagai percobaan dilakukan, baik terkait dengan bibit, jenis tanaman, maupun pupuk organic. Di samping itu, ilmu tentang market dan kecenderungan pasar lokal dan dunia juga merupakan hal yang sangat menjadi perhatian mereka.
Ilmu yang dikembangkan di perkebunan gunung Ringgit tersebut secara holistic dan konprehensif, seperti terkait dengan lahan/ tanah, bit/benih, pupuk, perawatan dan market dan timing (maktu) yang tepat untuk menanam. Terkait dengan bibit misalnya, jika tidak ada di Indoensia pak Dadang mencarinya di Negara lain seperti bibit pohon yilang-yilang (flower of flowers) yang bunganya menjadi bahan baku perfume kelas atas. Secara teknis, pak Dadang paham betul bibit mana saja yang akan bekembang sesuai harapan dan mana yang tidak. Sebab itu, dari dini sudah diketahuai secara pasti bahwa bibit itu akan bisa berkembang dan menghasilkan secara maksimal. Lalu, bibit seperti itulah yang akan ditanam dan dikembangakan.
Demikian juga dengan ilmu tentang pupuk. Pak Dadang merekayasa pupuk organic sendiri sehingga mengurangi biaya ketergantungan kepada pupuk chemical, di samping pupuk organic tersebut bisa menjaga dan memperbaiki struktur tanah yang sudah rusak oleh pupuk chemical.
Demikian juag ilmu tentang manajamen tanaman. Pak Dadang akan memenej tanaman yang akan ditanam sejak dari yang bisa dipanen setiap hari seperti nilam, jangka 5-6 tahun seperti jati emas, Sengon / Jenjing, Suren/Surian, Balsa, Jabon, Gmelina/Jati Putih serta jangkan panjang yang berumur 30 tahunan seperti Karet.
Yang membuat semua tanaman tersebut bernilai tinggi, kata kuncinya treletak pada dua hal : a. Manajemen tanaman yang baik dan variatif dalam waktu yang sama sehingga lahan terfungsikan secara maksimal.
b. Memahami kebutuhan pasar lokal dan global bersifat jangka panjang, sehingga produksi tetap dapat dijual dengan harga yang tinggi, dan bahkan semakin tinggi.
3. Semangat Perjuangan (Keikhlasan)
Tak diragukan bahwa semangat perjuangan merupakan salah satu faktor keberhasilan. Sangat jelas tergambar dalam wajah pak Dadang bahwa beliu dan kawan-kawannya memiliki hal tersbeut. Bayangkan, dalam kondisi kiris, tujuh tahun lalu mereka bersepakat menekuni usaha perkebunan dengan modal dari kantong masing-masing. Sekarang, setelah Gunung Ringgit berubah menjadi kebun Dinar, apakah pak Dadang berhenti dan berleha-leha menikmatinya? Ternyata tidak. Beliau hidup sederhana dan berpenempilan low profile. Ia selau berfikir bagaimana menularkan ilmu dan pengelaman yang sangat berharga itu kepada semua orang, bahkan kepada pemerintah, kendati belum mendapat tanggapan yang serius.
Sebab itu, tak heran jiak pak Dadang dengan sangat semangat menyambut setiap orang yang datang dan berkunjung sambil menjelaskan pengalaman yang sangat berharga itu. Dalam pikiranya, tak ada yang harus disimpan, apalagi dimonompoli. Toh semua yang dia peroleh juga berasal dari kasih sayang Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Sebab itu, ilmu dan pengalaman harus dicurahkan untuk memperjuangkan mayoritas masyarakat yang masih miskin, khususnya masyarakat pertanian dan perkebunan. Untuk berjuang diperlukan keikhlasan. Kalaulah setiap pejabat, politisi, pemimpin dan pengusaha di negri ini berfikir dan berbuat demikian, dijamin berbagai persoalan negeri ini selesai. Namun disayangkan, yang ada di benak mereka dan praktek hidup mereka adalah sebaliknya. Sampai-sampai salah seorang pejabat tinggi BUMN pernah berkata kepada pebulis : Jangan heran Pak. Di mata mereka, yang penting untuk saya apa dan berapa. Sungguh menyedihkan…

Mencetak Dinar di Tengah Krisis (2)

Jumat, 19/12/2008 13:46 WIB | email | print | share

Oleh Dr. Mohamad Daudah
Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (2/2)
Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim
4. Ta’awun (Kerjasama)
Salah satu hal yang menggugah kami ialah betapa konsep ta’awun itu melahirkan keberkahan dan kesuksesan bersama. Pak Dadang selalu melandasi semua aktivitasnya dengan dasar ta’awun (kerjasama) atau apa yang selalu dia ucapkan dengan “bersyarikat”. Sejak mengambil alih kebun tersebut tujuh tahun silam dengan enam orang rekannya, samapai kepada sistem pengelolaan perkebunan dilandaskan dengan asas ta’awun.
Dalam manajemen pengelolaan kebun, manajemen pak Dadang tidak menerapkan konsep atasan dan bawahan. Kendati ada posisi struktural yang berbeda, seperti Direksi, General Manager, manager dan sampai buruh terendah tukang sadap karet dan sebagainya. Pekerjaan tersebut tidak lain merupakan job description saja. Semuanya punya kemuliaan yang sama. Hak dan kewawijiban sesuai dengan keahlian dan peran mereka masing-masing. Model Amtenar atu Bandar, atau Boss atau feudalism atau apa sajalah namanya tidak berlaku dalam manajemen pak Dadang. Yang perlu dibangun adalah kesetaraan, sehingga semangat ta’awun (kerjasama) dan saling mempercayai dan menghormati terbangun dengan sendirinya. Sebab itu, manajemen pak Dadang sangat efisien, mudah dan bersih. Bayangkan miliyaran uang dihasilkan perbulan, Pak Dadang cukup datang sebulan sekali. Bahkan teman-teman dierksi lainnya termasuk Direktur Keuangan datang hanya 3 bulan sekali.
5. Sistem Yang Adil.
Sering kita mendengar kata “ADIL”, baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun dari mulut para pemimpin, tokoh, kiyai, ulama dan masyarakat umum. Kata “ADIL” memang enteng diucapkan, namun sulit diamalkan. Pengalaman dan fakta menunjukkan bahwa adil atau keadilan itu dalam sistem dakwah dan jamaah saja sulit diamalkan apalagi dalam bentuk sistem bisnis.
Tapi lain halnya di perkebunan Gunung Ringgit. Sistem yang adil sesuatu hal yang dapat dilihat dalam kenyataan. Bukan hanya teriakkan dan bumper para pemilik bisnis sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis kapitalis umumnya, termasuk lembaga dan institusi yang dibungkus dengan baju agama.
Seperti yang diketahui bersama bahwa adil itu adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dan imbalan sesuai dengan ilmu dan amal yang dulakukan. Sistem keadilan ini merupakan sistem Allah, Pencipta alam semesta. Masnusia sebagai makhluk-Nya diperintahkan untuk menganut dan menerapkan sistem yang adil. (QS Annahl (16) : 90)
Dalam konteks Perkebunan Gunung Ringgit, sistem yang adil itu dapat kita lihat dari beberapa sisi berikut :
1. Setiap lahan akan ditanami dengan pohon atau bibit yang sesuai dengan jenis tanah dan kondisi alamnya. Bisa saja dalam waktu yang besamaan ditanam beberapa jenisi pohon tanaman yang berbeda atau apa yang lazim disebut dengan sistem tumpang sari.
2. Setiap SDM yang terlibat dalam menjalankan aktivitas perkebuanan yang mencapai 400 orang itu ditempatkan sesuai dengan ilmu dan keahliannya. Demikian juga imbalan yang diberikan sesuai dengan job dan level masing-msing.
3. Yang lebih menarik ialah terdapat kebebbasan mengmbangkan potensi diri baik di dalam areal perkebiuanan seperti beternak kambing dan sapi, atau di luar perkebunan seperti berkebun sendiri dan sebagainya. Karena, manajemen pak Dadang membebaskan mereka untuk memnfaatkan potensi diri merka dalam meninggkatkan income atau perkembangan ekonomi mereka baik di dalam lahan perkebuan, seperti mengembangkan koperasi dan berternak, maupun berkebun di luar lahan gunung Ringgit. Hal tersebut dimungkinkan karena rata-rata jam kerja di sana, khususnya terkait dengan karet, hanya sekitar 4 – 6 jam. Setelah utu bebas melakukan aktivitas lain.
Sebab itu tak heran jika seorang pekerja kebun di sana bisa memiliki asset puluhan dan bahkan ratusan juta seperti memliki puluhan binatang ternak dan usaha lain di laur areal perkebunan.
Konsep seprti di tas, jelas memperlihatkan betapa keadilan bukan hanya di mulut, tapi dipraktekkan. Dengan demikian para pekerja di paerkebunan tersebut tidak merasa budak kaum kapitalis. Di samping itu, perolehan ekonomi merekapun cukup baik dan tidak merasakan krisis lokal dan global, bahkan asset dan kekayaan mereka tumbuh dan berkembang.
Secara jujur kami merasakan dan harus diakui, menurut hemat kami, sistem manajemen yang diterapkan pak Dadang, khususnya terkait manajemen SDM, community development (pendidikan dan kesehatan) untuk mencerdaskan para pekerja dan masyarakat sekitarnya belum maksimal. Namun, apa yang sudah dicapai Beliau dan kawan-kawan merupakan hal yang harus kita syukuri dan sangat luar biasa. Semoga Allah membalas sjasa mereka dengan balasan yang berlipat ganda.
Dari kanan ke kiri pembaca : Ir. Dadang Muhammad, Dirut PT. AGRI HALABA, Perkebunan Gunung Ringgit, M. Iqbal, Fathuddin Ja’far, Aldin Renata dan Azwin Marlin dipuncak gunung Ringgit dengan ketinggian sekitar 700 M d.p.l
Kesimpulan
Apa yang dilakuakn pak Dadang dalam membangun ekonomi yang adil dan sehat sesungguhnya merupakan implementasi dari konsep ekonomi yang dikembangkan Nabi Yusuf as. saat memimpin Mesir yang sedang menghadapi kirisis. Penguasa dan para pakar ekonomi dan bisnis saat itu dengan jujur mengakui ketidakmampuan mereka dalam menghadapi badai ekonomi yang akan menimpa negeri mereka, karena konsep yanag mereka anut dan kembangakan barnasis secular, matriaistik dan kapitalis. Sendangkan Nabi Yusuf menerapkan konsep Ekonomi Rabbani, yakni sistem ekonomi yang sederhanan, namun adil dan mendasar. Karena datang dari yang Maha Adil, yakni Allah Ta’ala untuk memakmurkan manusia. (QS. Yusuf (12) : 47 – 49)
Bandingakan dengan negeri kita…. Penguasa, politisi, para ekonom dan pengusaha negeri ini selalu menampakkakan diri mereka pada masyarakat bawah mereka mampu, sampai-sampai punya sembiyan : Dengan bersama kita bisa. Apanya yang bisa? Nyatanya, sudah sepuluh tahun krisis dan bergontaganti pemerintahan dan pemimpin bukannya krisis ini berkurang apalagi tuntas, bahkan bertambah parah. Anehnya, mereka selalu mengambinghitamkan berbagai hal yang bisa dikambinghitamkan sperti, krisis global, kenaikan haraga BBM dan sebagainya. Lucunya, saat harga BBM turun seperti hari-hari terakhir ini, gak ada juga pengaruh positeifnya terhadap perbaikan ekonomi.
Kalau saja negeri ini dimenej dengan manajemen Ekonomi Raobbani (semoga istilah ini menjadi istilah yang dipakai dinegeri ini seperti yang diterapkan Pak Dadang), sejak dari perkebunan yang luasnya mencapai 17.25 jt Ha, pertanian, perikanan, peternakan, kelautan, perdagangan, pertambangan dan berbagai sektor ekonomi dan bisnis lainya, kami yakin seyakin-yakinnya negeri ini tak akan menegnal krisis berkepanjangan seperti ini. Tentunya konsep tersebut dijalankan oleh tangan-tangan yang amanah yang merasakan muroqobatullah (control Allah).
Dalam konsep Ekonomi Robbani yang diterapkan pertama kali di dunia oleh nabi Ysuf as. ialah tujuh tahun melakukan aktivitas menanami bumi secara maskimal dan bekrja keras.Hasilmnya cukup mengantisipasi tujuh tahun masa krisis/pecaklik. Maka pada tahun ke 15, masyarakat akan melalui masa kemakmurannya.
Lalu, babagaimana dengan Indonesia yang sudah merdeka sejak 63 tahun lalu? Sudah berganti presiden sebanyak enam orang? Ribuan anggota legislative dan para mentri serta direksi BUMN? Kok negeri ini malah semakin carut marut. Anehnya, mereka tidak malu mempertontonkan diri mereka di pilkada yang hampir 4 hari sekali dan pilpres setiap 5 tahun sekali, termasuk 2009 yang akan datang?
Dalam hitungan sederhana, sesuai yang dikembangakan Pak Dadang, untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global yang carut-marut dan menghindari kemiskinan, setiap keluarga, khususnya yang tinggal di pedesaan, cukup memiliki 2.5 Ha kebun, karena akan menghasilkan minimal 6 jt rupiah perbulan. Jika diasumsikan penduduk miskin di Indensia mencapai 100 juta orang dan setiap keluarga terdiri 4 orang, berarti jumlah keluarga miskin sekitar 25 juta keluarga.
Kalau saja mereka diberi kesempatan memiliki 2.5 Ha perkebunan dan dikelola secara profesioan seperti yang dilakukan Pak Dadang, maka dibutuhkan lahan perkebunan seluas 62.5 jt Ha. Kok besar sekali? Tidak sama sekali, karena hutan dan perkebunan yang dijarah para konglomerat berpuluh-puluh kali lipat dibanding jumlah yang dibutuhkan fakir miskin di negeri ini. Bisa gak diterapkan? Bisa dong… Katanya Indonesia milik bersama. Lalu kenapa segelintir penguasa, politisi dan kaum kapitalis saja yang berhak menikmati kekayaan negeri ini? Bahakan di zaman Soeharto berkuasa di antara merka ada yang memiliki areal / lahan hutan seluas 6 jt Ha. Sungguh suatu kezaliman yang pasti dibalas Allah dengan kezaliman berlipatganda pula di akhirat kelak.
Semoga Allah buka mata kepala dan mata hati mereka untuk menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohan yang dihadapi masyarakat menjadi tanggung jawab para pemimpin negeri ini. Allah pasti meminta tanggung jawab mereka di akhirat kelak. Umar Ibnul Khattab, Khalifah Rasul saw yang ke 2 pernah berkata : Aku takut jangan-jangan ada keledai terjatuh di Baghdad sana karena Umar belum perbaiki jalannya. Pasti Allah meminta pertanggung jawabannya di akhirat kelak…
Engkau benar wahai Khalifatal Muslimin…..
Semoga Allah lahirkan dari kalangan kami pemimpin seperti Engkau sebelum murka-Nya turun, agar negeri kami ini terlepas dari berbagai kirisis yang berkepanjangan… Amiin…

 

Ketika Dunia Harus Memilih Dollar Atau Dinar

Tuesday, 29 June 2010 14:51
Kebenaran Islam bahwa mata uang yang adil adalah Dinar atau Dirham, akan cepat terbukti di zaman modern seperti ini

Oleh: Muhaimin Iqbal*  
PADA  tahun 1982 ada film dengan latar belakang Perang Dunia ke II yang diberi judul Sophie’s Choice. Film yang meraih banyak piala ini, menceritakan pengalaman seorang ibu (Sophie) dengan dua anaknya – laki (Jan) dan perempuan (Eva)- yang ditahan oleh serdadu musuh. Si ibu diberi tawaran oleh serdadu musuh, salah satu dari anaknya hendak dibunuh. Si ibu disuruh memilih yang mana. Bila dia tidak mau memilih,maka keduanya akan dibunuh.
Dalam kondisi pilihan yang sulit, dipilihlah anak laki-lakinya Jan yang tetap hidup dan anak perempuannya Eva yang dibunuh musuh. Hal ini menyebabkan sepanjang sisa hidupnya si ibu hanya bisa menyesali keputusan yang harus diambilnya.
Judul film ini begitu terkenal sehingga istilah Sophie’s Choice menjadi istilah baru saat itu untuk menggambarkan bila kita dihadapkan pada suatu kondisi yang sama tidak enaknya –sama seperti istilah ‘Buah Simalakama’ yang kita kenal.
Istilah ini pun belakangan digunakan oleh para pengamat Dollar untuk menggambarkan kesulitan dunia untuk memilih antara mempertahankan Dollar sebagai reserve currency atau  menggantinya dengan mata uang lain yang belum diketahui apa bentuknya.
Seperti China misalnya; mereka tahu US$ akan ambruk. Namun bila dia berbuat sesuatu yang drastis untuk mengganti US$ dengan mata uang lain, maka cadangan devisanya yang sangat besar akan hancur nilainya bersamaan dengan hancurnya nilai US$.
Demikian pula dengan ekspornya ke Amerika akan runtuh bersamaan dengan runtuhnya ekonomi Amerika.
Lantas tidak berbuat sesuatu? Bukan juga pilihan. Ketika US$ perlahan turun nilainya, perlahan tetapi pasti menurun pula daya saing ekspor China ke Amerika; dan devisa yang terkumpul dalam US$ juga terus tergerus nilainya.
Dihadapkan situasi dilematis tersebut, China melakukan hal cerdik dengan diam-diam meningkatkan cadangan emasnya dan rakyatnya pun didorong untuk mengamankan asetnya dalam bentuk emas. Minggu lalu China juga membuat langkah yang penuh misteri dengan memperlebar rentang harga nilai tukar antara Yuan dengan US$ --sebagian pengamat mengartikan ini sebagai langkah cerdik berikutnya bagaimana China secara perlahan mempersiapkan pengganti US$.
Langkah serupa juga dilakukan oleh Rusia; di minggu yang sama Rusia mengumumkan keinginannya untuk memimpin rezim baru dunia dalam hal reserve currency.
Rusia memulainya dengan menambahkan Dollar Kanada dan Dollar Australia di keranjang reserve currency-nya. Jadi tidak hanya tergantung pada US Dollars.
Langkah diam-diam meningkatkan cadangan emas oleh bank central juga akhirnya terkuak, setidaknya ini diakui China tahun lalu yang mengungkapkan bahwa cadangan emasnya telah menjadi double dibandingkan dengan data publik sebelumnya. Demikian pula Saudia Arabia yang sepekan lalu akhirnya mengakui juga langkah diam-diamnya yang telah menaikkan cadangan emas bank central-nya menjadi dua kali dari cadangan yang selama ini diketahui publik.
Yang mengejutkan adalah hasil survei yang dilakukan oleh UBS terhadap para pimpinan bank central di seluruh dunia; lebih dari separuh ternyata berpendapat bahwa dominasi US$ sebagai reserve currency tidak akan bertahan sampai seperempat abad yang akan datang atau tepatnya tahun 2035.
Lantas apa gantinya? Ada yang berpendapat gantinya adalah mata uang negara Asia (mungkin maksudnya China?) Ada yang berpendapat Euro, tetapi mayoritas terbesarnya berpendapat bahwa emas-lah mata uang pengganti itu.
Mungkin inilah penyebabnya, meskipun saat ini emas dipojok-pojokkan, tetapi bank-bank sentral dunia rupanya diam-diam juga membeli kembali emas. Setelah dua dekade sebagai net sellers; kini mereka menjadi net buyers.
Apa makna ini semua sebenarnya? Kebenaran Islam bahwa mata uang yang adil adalah Dinar atau Dirham, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali, cepat atau lambat akan terbukti kembali di zaman modern ini. Kita tidak perlu menghadapi situasi pilihan yang amat sulit seperti Sophie’s Coice tersebut di atas; pilihan itu sudah ada di dua petunjuk kita – dan ulama-ulama besar kita-pun telah mengungkapkan kebenarannya.
Entah kapan itu terjadinya; di zaman kita, anak kita, atau cucu kita, tidak masalah. Tetapi apa yang kita mulai rintis untuk pengadaannya, mengatasi masalahnya, mencari solusi aplikasinya, dan seterusnya,  insyaAllah akan menjadi bekal yang baik sehingga generasi berikutnya tinggal menyempurnakannya bila waktunya tiba. InsyaAllah.

Menjadikan Dinar Sebagai Alat Transaksi

Tuesday, 30 March 2010 18:57
Jika untuk kebutuhan transaksi seperti untuk membeli baju, makanan tentu tidak praktis menggunakan Dinar

Oleh: Muhaimin Iqbal*  
DARI Aiman r.a berkata : “Saya masuk ke rumah Aisyah, di situ ada baju perempuan yang terbuat dari benang seharga lima Dirham. Kata Aisyah: “Lihatlah sahaya perempuanku, perhatikanlah dia !, dia merasa megah karena memakai pakaian itu dalam rumah. Saya pernah memakai baju itu pada masa Rasulullah SAW. Setiap wanita yang ingin berdandan di Madinah, selalu mengirimkan utusannya kepadaku buat meminjamnya”. (Shahih Bukhari, Kitab 47, Hadits no 796)
Diriwayatkan dari ‘Urwa : “Bahwa Nabi memberinya satu Dinar untuk membeli domba untuk beliau. ‘Urwa membeli dua ekor domba untuk beliau dengan uang tersebut. Kemudian dia menjual satu ekor domba seharga satu Dinar, dan membawa satu Dinar tersebut bersama satu ekor dombanya kepada Nabi. Atas dasar ini Nabi berdoa kepada Allah untuk memberkahi transaksi ‘Urwa. Sehingga  ‘Urwa selalu memperoleh keuntungan (dari setiap perdagangannya) – bahkan seandainya dia membeli debu”.  (Di riwayat lain) ‘Urwa berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW berkata, “Selalu ada kebaikan pada kuda sampai hari kiamat””. (Periwayat lainnya lagi menambahkan “saya melihat 70 ekor kuda di rumah ‘Urwa.”) ( Sufyan berkata, “Nabi menyuruh ‘Urwa untuk membeli domba untuk beliau sebagai hewan qurban”.) (Shahih Bukhari, Kitab 56, Hadits No 836).
Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar : Umar ibn Al Khattab memberi nama untanya bukhti untuk qurban. Ada yang menawar 300 Dinar untuk unta ini. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata : “ Ya Rasulullah, unta saya bukhti yang saya niatkan untuk qurban ditawar 300 Dinar. Boleh kah saya jual kemudian saya membeli unta lain dengan uang tersebut ?. Jangan, qurban kan saja yang ini.” ( Hadits Sunan Abudawud, Kitab 10, hadits no 1752).
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari serangkaian hadits tersebut diatas, diantaranya adalah :
Pertama, kita  bisa memperoleh perpektif yang lebih jelas tentang kehidupan Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau. Bahwa keluarga beliau dan para sahabatnya hidup sederhana  dan begitu akrab satu sama lain – sampai baju Aisyah yang indah sering dipinjamkan kepada kepada wanita-wanita Madinah.
Kedua, daya beli Dirham juga relatif stabil meskipun kursnya terhadap Dinar bisa saja berfluktuasi; yang disebut baju yang indah namun tidak berlebihan untuk Aisyah yang hidup sederhana – adalah seharga 5 Dirham. Dengan 5 Dirham, sekarang Anda-pun masih bisa memperoleh baju yang relatif indah yang tidak berlebihan.
Ketiga, harga yang wajar untuk kambing standar saat itu adalah 1 Dinar; bahwasanya ‘Urwah bisa membeli dua ekor kambing dengan 1 Dinar – ini nampaknya karena kepandaian ‘Urwah berdagang sehingga beliau di do’akan secara khusus oleh Rasulullah SAW. Dua ekor kambing yang dibeli ‘Urwah kemudian salah satunya dijual lagi dengan harga 1 Dinar dan 1 ekor yang lain dipertahankan untuk keperluan qurban Rasulullah SAW – ini menguatkan fakta bahwa baik kambing yang dijual maupun yang diserahkan ke Rasulullah SAW adalah kambing yang wajar ukurannya untuk  harga 1 Dinar (buktinya orang lain mau membeli 1 Dinar, dan Rasulullah-pun mau menerima kambing yang diperuntukkan sebagai hewan qurban beliau seharga 1 Dinar tersebut). Satu Dinar saat ini tetap dapat untuk membeli seekor kambing dengan standar yang baik – ini membuktikan betapa stabilnya daya beli Dinar terhadap benda riil.
Keempat, kita jadi tahu ukuran atau nilai ‘kendaraan mewah’ saat itu yaitu unta terbaik seharga 300 Dinar. Atau kalau saat ini kira-kira setara SUV menengah atas Toyota Fortuner atau Mitsubishi Pajero Sport. Nilai seperti inilah yang dijadikan qurban oleh sahabat Rasulullah SAW yang mampu seperti Umar. Jadi bila Anda tergolong orang yang mampu berqurban dengan hewan qurban pilihan; lakukanlah itu
Kelima, pelajaran yang tidak kalah menariknya adalah customary atau kebiasaan masyarakat saat itu – kapan menggunakan Dinar untuk transaksi dan kapan menggunakan Dirham.
Untuk kebutuhan transaksi yang nilainya tidak terlalu besar seperti untuk membeli baju, makanan sehari-hari dan lain sebagainya tentu tidak praktis menggunakan Dinar – maka digunakanlah Dirham. Jadi kalau sekarang-pun kita hendak mengganti uang fiat dengan uang riil untuk kebutuhan transaksi sehari-hari seperti membeli makanan dan belanja sehari-hari lainnya, Dirham insyallah akan lebih sesuai ketimbang Dinar.
Memang dengan teknologi yang kita miliki teknologi M-Dinar, bisa saja kita membeli buku di Dinarworld seharga 0.075 Dinar misalnya ; namun penggunaan Dinar untuk transaksi kecil diluar pasar yang sudah terintegrasi dengan system elektronik semacam Dinarworld dan M-Dinar ini kemungkinan masih perlu waktu untuk bisa berjalan praktis.
Diluar transaksi dengan nilai kecil tersebut, sudah sangat banyak transaksi lain yang bisa kita fasilitasi dengan menggunakan Dinar – yaitu transaksi barang/jasa yang bernilai cukup besar. Karena Islam tidak mengajari kita untuk boros, tentu transaksi yang bernilai cukup besar ini arahnya bukan untuk kebutuhan konsumtif tetapi untuk kebutuhan produktif.
‘Urwah menggunakan Dinar untuk perdagangan kambingnya dan ‘Unta Umar juga dinilai dalam satuan Dinar – ini contoh yang baik untuk penggunaan Dinar sebagai transaksi perdagangan dan sebagai timbangan yang adil atau unit of account yang saat itupun sudah praktis apalagi sekarang. Dalam bahasa ekonomi, transaksi-transaksi atau penilaian yang sudah praktis dilakukan dengan Dinar seperti dalam dua contoh hadits  tersebut adalah masuk kategori transaksi barang modal.
Karena Dinar kita arahkan untuk transaksi barang modal – artinya untuk menggerakkan kegiatan produktif – bukan konsumtif , maka tema sentral yang diusung geraidinar adalah Investasi dan Proteksi Nilai. Tema inilah yang  sering disalah pahami oleh pihak yang tidak bosan-bosannya mengkritisi kami, dalam pandangan mereka investasi ini diartikan sekedar membeli Dinar terus disimpan atau sekedar menumpuk Dinar untuk ditunggu naik nilainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, karena sejak awal sekali kami memperkenalkan Dinar – para pengguna Dinar sudah kami ingatkan untuk tidak menimbun. Lihat tulisan kami tanggal 25 Desember 2007 (
bangun Ketahanan Ekonomi Keluarga Tetapi Jangan Menimbun) misalnya.
Justru karena kami melihat bahwa transaksi dengan menggunakan Dinar yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini adalah transaksi barang modal atau investasi tersebut, maka tidak terlepas dari gerakan sosialisasi Dinar ini – kita juga mendorong kegiatan produktif masyarakat yang bisa didanai atau digerakkan dengan Dinar.
Pesantren Wirausaha, Pinjaman Modal Usaha Tanpa Beban, Project Planet Jamur, Project Susu Kambing, Indobarter, dan Berbagai Solusi Pembiayaan Berbasis Dinar yang kami lakukan bersama BMT Daarul Muttaqiin dlsb. Dlsb. Adalah upaya konkrit untuk mendorong penggunaan Dinar untuk transaksi produktif barang modal atau investasi. Disini investasi artinya memutar asset atau menjadikan asset  bergerak memutar roda kegiatan produktif lainnya.
Jadi saat ini Dinar telah secara praktis digunakan untuk kebutuhan transaksi-transaksi yang bersifat produktif, sedangkan untuk transaksi yang bersifat konsumtif – ini sebenarnya lebih tepat dilakukan dengan Dirham.  Namun karena nilai Dirham saat ini masih didominasi oleh biaya cetaknya yang mahal, sementara kami belum fokuskan disini. Semoga Allah memudahkan kita kepada jalan amal sholeh yang diridloiNya…
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com

EKONOMI ISLAM/SYARI’AH

Mewujudkan Kemandirian ekonomi Umat

Oleh : Agustianto
Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjana UI, dan Anggota Pleno DSN-MUI

Kondisi ekonomi umat di Indonesia, secara umum, masih belum mandiri, bahkan masih jauh dari kemandirian. Parameter ketidak mandirian ekonomi umat itu terlihat pada banyak fakta dan kondisi objektif perekonomian umat, yaitu :.
Pertama, angka kemiskinan masih menggurita di Indonesia. Kalau digunakan indicator kemiskian menurut ILO dimana perkapita di bawah 2 dolar sehari, maka angka kemiskinan di Indonesia mencapai 100 juta jiwa lebih.   Bagaimana bisa dikatakan mandiri, kalau kemiskinan masih menggeluti umat. Kedua,   sumber daya alam Indoensia yang strategis umumnya dikuasai oleh asing. Minyak Bumi dikuasai oleh asing sebesar 87 persen, Dengan demikian Indoenesia hanya menguasai 13 persen SDA minyak bumi, Fakta ini membuat bangsa kita (yg sebagian besar umat), tergantung kepada asing. Demikian pula hasil SDA lainnya, seperti emas dan gas.  Ketiga, kebutuhan pangan bagi rakyat yang semakin tergantung dari import dengan tingkat ketergantungan yang semakin tinggi. Fakta ini jelas menunjukkan ketidakmandirian pangan umat.
Keempat, lembaga produsen yang memproduksi kebutuhan umat, hampir semuanya dikuasai minhum (non umat), seperti kebutuhan sehari-hari sabun, shampoo, susu, odol dan hampir semua kebutuhan sehari-hari. Peran umat sangat kecil, bahkan umat, bukan saja marginal dalam produksi, tetapi juga marginal  dalam penguasaan jalur distribusi. Karena produsen bukan berasal dari gerakan ekonomi umat, maka posisi umat hanya sebagai konsumen belaka.Kebutuhan konsumsi umat tergantung kepada gerakan ekonomi lain. Seaharusnya bank-bank syariah dapat membiayai produsen-produsen muslim.
Kelima, jumlah pengusaha kecil dan mikro masih mendominasi di Indonesia, jumlahnya mencapai 40 jutaan. Usaha-usaha mikro dan kecil atau apa yang dikenal dengan “sector informal” atau lebih jelas lagi self-employed workers memiliki pendapatan yang sangat rendah. misalnya, penjual bakso, nasi goreng keliling, penjual sayur,  pedagang asongan, warteg sederhana, pedagang kaki lima (PKL), tukang parkir, dan lain-lain yang umumnya produktifitasnya rendah, sehingga pendapatannya pun rendah sekali.
Keenam, asset bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah masih kecil, selebihnya adalah didominasai lembaga keuangan konvensional. Merket share bank syariah baru sekitar 3 persen. Asset yang kecil ini, tentu berdampak terhadap kecilnya peran bank syariah dan sekaligus berimplikasi pada kecilnya upaya memandirikan umat. Selain itu,  Lembaga perbankan konvensional ini mayoritas dimiliki asing, yaitu  sekitar 67 persen, Secara makro fakta ini berpengaruh pada perwujudan kemandirian ekonomiumat, Jika ekonomi lebih dominan dikuasai asing, maka upaya memandirikan ekonomi umat akan terkendala.

Kendala dan tantangan
Cita cita mewujudkan kemandirian ekonomi umat sampai kini memang masih jauh panggang dari api. Upaya  untuk membangkitkan kemandirian itu menghadapi sejumlah tantangan dan kendala, antara lain struktur  kekuasaan yang belum pro-umat. Struktur eksisting  itu merupakan tembok terjal  menuju kemandirian ekonomi umat Baik itu kekuasaan yang ber asal dari dalam negeri (internal), kekuasaan ekonomi-politik neoliberalisme (eksternal), ataupun penggabungan dari keduanya.
Di tengah kepungan globalisasi ekonomi saat ini, rakyat dibiarkan sendiri bergelut dengan pasar (market) tanpa intervensi dari negara.  Rencana pencabutan subsidi BBM yang marak akhir-akhir ini merupakan fakta aktual ketidakberdayaan negara berhadapan dengan pasar (market). Belum lagi serangkaian perjanjian free trade seperti  ACFTA. Di tengah kepungan tersebut, seharusnya negara lebih proaktif membantu umat untuk bangkit dan mandiri dan bukan sebaliknya, yakni melakukan pencabutan subsidi serta membiarkan rakyat dan umat  berjalan sendiri.

Memandirikan ekonomi umat
Upaya mewujudkan kemandirian ekonomi umat, merupakan sebuah pekerjaan besar dan panjang. Pertama, membangun etos entreprenership ummat dan membekali mereka dengan skills yang unggul dan berdaya saing. Kedua, melaksanakan training-training dan workshop keterampilan. Hal ini penting, karena kualitas SDM umat masih rendah. Selain itu perlu meningkatan kualitas pendidikan dan strata pendidikan umat melalui pendidikan formal,    Ketiga, Jika Usaha kecil itu merupakan produduen, maka mereka harus dibantu dalam pamasaran  produk-produknya. Keempat meningkatkan kualitas produk yang memenuhi standar sehingga. Kelima, memberikan dukungan permodalan melalui program pemerintah, lembaga perbankan dan keuangan mikro syariah.  Keenam, mendorong dan memotvasi umat untuk produktif di sector pertanian, pertambangan, perkebunan, dsb, agar mereka mandiri secara ekonomi.  Ketujuh, membantu usaha kecil dn mikro dalam mengakses lembaga perbankan, baik dalam pembuatan proposal, membuat laporan keuangan dan penerapan manajemen keuangan yang modern.
Kedelapan, optimalisasi peran pemerintah dalam kebijakan dan regulasi. Kebijakan pemerintah harus benar2 prorakyat (proumat). Kita harus mendesain system ekonomi  yang lebih mengikuti kaidah-kaidah prorakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan keadilan. Inilah elan vital ekonomi syariah. Kebijakan ekonomi baik di pusat maupun di daerah haruslah diarahkan untuk pemberdayaan umat menuju kemandirian.
Ekonomi syariah meniscayakan  terwujudnya good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk (renegoisasi) kontrak karya. Kita harus kembali pada ajaran kemandirian yang diajarkan Umar bi Khattab,. “ Kuasai ekonomi dan produktif-lah, kalau tidak , saya khawatir kamu akan tergantung kepada mereka”. Semua ini dimaksudkan untuk mencapai peri kehidupan umat yang mandiri,   yang bebas, merdeka (liberty), adil (equality, justice), dan sejahtera (prosperity).

Wirausahawan Muda dan Peran pemerintah
Munculnya wirausahawan muda muslim dan unit usaha yang dibentuk ormas Islam memang suata fakta yang menggembirakan, namun skalanya masih kecil. Perlu upaya massif dari segenap stake holder umat, utamanya pemerintah, cendikiawan (akademisi), lembaga bank-bank syariah, lembaga pendidikan, ormas Islam dan para pengusaha besar dari umat.  Lahirnya wirauasaha muda muslim tersebut dapat menjadi titik awal terwujudnya kemandirian tersebut.
Upaya melahirkan wirausahawan muda tersebut harus dilaksanakan secara serius dan terprogram, terukur, dan harus terus menerus dilakukan. Faktor utama gerakan melahirkan wirausaha muda muslim, adalah  political will pemerintah, yaitu  melalui kebiajakan politik pemerintah, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Malaysia.
Peluang bisnis harus diberikan sebesar-besarnya kepada rakyat (umat), demikian pula penciptaan iklim bisnis yang kondusif, regulasi yang pro rakyat, dsb. Akademisi, ulama  dan pegiat ekonomi syariah serta LKS harus ikut sebagai penggerak dan terlibat langsung dalam program melahirkan wirausahawan. Bukankah Nabi selalu bersabda, tentang  perlunya (wajibnya) mengembangkan entrepreneurship dalam kegaiatan ekonomi (HR.Ahmad) Langkah penting lainnya yang harus dilakukan adalah program training dan workshop dengan biaya utamanya dari pemerintah, baik Kementerian Koperasi, social, industry, perdagangan dan lembaga terkait, seperti Bapenas.

Peran pondok pesantren
Upaya pesantren dan komunitas yang mengajaarkan ketrampilan usaha perlu didukung. Program tersebut perlu semakin diperluas di pesantren-pesantren lain, agar memberikan dampak yang signifikan dalam penciptaan wirausaha muda muslim. Secara bertahap program ini berdampak pada munculnya  pemuda-pemuda yang mandiri. Para pimpinan pondok pesanren yang belum melaksanakan program tersebut perlu diberi wawasan agar tergerak untuk menyiapkan munculnya wira usaha muda muslim. Namun jumlah pesantren yang menyiapkan munculnya wira usaha tersebut belum terlalu banyak. Padahal Jika 15.000 pesantren di Indonesia melakukan program terset, maka sedikit banyaknya akan berdampak pada lahirnya pemuda wira uasahaan yang mandiri.

Peranan lembaga  keuangan Islam.
Sebagaimana saya sebut di atas, Lembaga perbankan dan keuangan syariah sangat berperan mendukung terbangunnya kemandirian ekonomi umat. Lembaga BPR Syariah seharusnya terdapat di tiap kabupaten kota. Sekarang jumlah BPR Syariah baru sekitar 149, berarti masih banyak kabupaten dan kota yang belum memiliki BPR Syariah.  Selain BPR Syariah,  BMT, juga memiliki peran yang sangat penting. Kita sekarang sedang menggerakkan popgram SDSB Satu Desa Satu BMT. Jika kita memotret sebuah BMT Desa yang terdapat di desa Sidogiri Jawa Timur, niscaya gerakan kemandirian ekonomi umat akan berjalan sukses dan berdampak besar. BMT UGT di Sidogiri telah memberdayakan 60.000 nasabah. Assetnya sudah mencapai Rp 230 milyard, jauh melebihi asset rata-rata BPR Syariah. Belum termasuk koperasi pesantren yang telah meiliki 32 mini market, semacam indomaret dan alfamart. Lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah ini, sudah seharusnya berupaya keras untuk memandirikan ekonomi umat. Untuk itu masyarakat, aghniyah, ulama dan pemerintah daerah seharusnya mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga keuangan mikro syariah, seperti BPR Syariah dan BMT, serta koperasi syariah. Program pendampingan kepada usaha kecil dan mikro perlu dilakukan, demikian pula penciptaan kelompok usaha bersama melalui BMT, harus diteruskan dan diperluas oleh pemerintah(Depsos),
Bank-bank syariah baik bank umum maupun unit usaha syariah seharusnya juga didukung segenap kaum musulimin Indonesia, agar besaran market sharenya meningkat yg pada gilirannya akan berdampak pada kemandirian ekonomi umat. Kita harapkan kepada bank-bank syariah untuk tetap dan terus pro kepada umat agar ekonomi umat mandiri dan sejahtera. Selama ini, pembiayaan bank-bank syariah 70 persen sudah diperuntukkan bagi usaha kecil.

Rabu, 02 Mei 2007 07:49

Asa Ekonomi Bagi Ormas Islam

 
Oleh Ahmad Suaedy*
Kritik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terhadap Muhammadiyah pada pembukaan Tanwir organisasi Islam itu di Yogyakarta (26/4) menarik disimak, bukan hanya oleh Muhammadiyah sendiri tetapi juga oleh organisasi massa Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama (Jurnal Nasional, 27/4).
Menurut Presiden, meskipun Muhammadiyah banyak sumbangannya dalam pendidikan dan kesehatan tetapi belum maksimal dalam peningkatan ekonomi rakyat. Yang menarik pula dari kritik itu, Presiden tidak hanya menempatkan peningkatan ekonomi sebagai tantangan untuk keluar dari kemiskinan melainkan juga agar Indonesia bisa lepas dari dominasi kapitalisme global.
Membaca kritik itu, ingatan kita segera melayang ke latar belakang munculnya ormas-ormas Islam awal abad yang lalu. Semua organisasi itu pada awal kemunculannya diinspirasi oleh di samping kondisi kemiskinan juga untuk memerdekakan diri dari kolonialisme.
Dimulai dari Serikat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi dagang yang dipelopori kalangan saudagar Islam di Surakarta awal abad yang lalu. Ia dilatari politik kolonial yang lebih memberikan kesempatan kepada Belanda dan etnis China dengan serta merta mempersulit – menutup - peluang pedagang pribumi. Langkah SDI ini ternyata mengobarkan semangat kalangan saudagar pribumi untuk merebut kesempatan dan menuntut antidiskriminasi bagi semua sektor perdagangan.
NU pada mulanya dirintis dari sayap ekonomi, yaitu Nahdlatul Tujjar (NT) sekitar tahun 1915-an sebagai usaha meningkatkan kemampuan usaha bagi ummatnya dan bersaing dengan pedagang kulit putih dan etnis China. Akan halnya Muhammadiyah, meskipun ia dirintis dari pendidikan dan kesehatan tetapi usaha meningkatkan ekonomi tidak diabaikan sama sekali. Berbagai industri batik di Pekalongan dan pengecoran besi di Klaten tidak lepas dari campur tangan kalangan Muhammadiyah dan NU.
Masalahnya, meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad tetapi kini tantangan jauh lebih berat dari dulu dalam dua konteks tersebut, meningkatkan ekonomi rakyat dan lepas dari kungkungan kapitalisme global.

Kontradiksi politik industrialisasi
Industrialisasi memang tidak bisa dipungkiri bagi sebuah bangsa yang ingin maju, demikian pula Indonesia. Tetapi industrialisasi tanpa politik keperpihakan kepada rakyat akan membuat mereka terhimpit dan kehilangan napas.
Dalam acara berkumpul seperti arisan dan tahlilan, dan bahkan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, kita akan menemukan air meneral, makanan kecil, kopi, teh, semua dalam kemasan pabrik. Rakyat dimanjakan dengan produk serba instan.
Kita tidak menentang model-model kemasan yang menarik dan praktis supaya lebih efisien, bersih, tetapi apa peran masyarakat dalam industrialisasi. Praktis, mereka adalah konsumen semata. Sementara harga hasil pertanian yang menjadi tulang punggung penghidupan mereka terus menurun dari segi nilai tukar, pada saat yang sama mereka dipaksa melakukan pengeluaran ekstra untuk kemasan hasil produksi pabrikan.
Kalau peluang ekonomi yang paling dekat dengan mereka saja, yaitu makanan, tidak lagi ada peluang akses untuk ikut dalam proses guna peningkatan nilai tambah ekonomi, apalagi yang lebih jauh seperti industri garmen, mesin dan industri berat.

Industri Rumahan
Berbagai inisiatif telah dilakukan masyarakat sebagai kiat menghindari ganasnya industrialisasi yang tanpa keperpihakan, seperti industri kecil dengan memanfaatkan alam di sekitar mereka, seperti tapas (kulit serabut) pohon kelapa, kulit kelapa, kulit pohon pisang, lidi, kayu dan sebagainya.
Namun sebagian besar mereka, sangat tergantung pada pasar ekspor. Ini karena pasar dalam negeri tidak mampu menyerap industri kecil yang berorientasi hobi dan kelangenan dengan marjin yang menjamin kelanjutan usaha.
Para industriawan kerajinan ini pun banyak mengeluhkan ketergantungan mereka pada trading atau pihak pengepul untuk ekspor karena keterbatasan kemampuan mereka untuk bisa berhubungan langsung dengan pembeli (buyer) dan pengguna (user) di luar negeri. Menurut mereka, sangat sedikit yang dilakukan pemerintah, misalnya, memfasilitasi mereka untuk tujuan itu. Banyak birokrat justru memberi peluang monopoli kepada para trading yang sudah mapan sehingga mempersulit munculnya para industriawan kerajinan kecil berhubungan langsung dengan pemberli dan pengguna.
Hemat saya, ada dua tantangan pokok peningkatkan ekonomi rakyat dan melindungi mereka dari kapitalisme global. Pertama, secara politik harus ada keperpihakan dalam industrialisasi yang memberikan akses dan kesempatan kepada rakyat untuk ikut dalam proses industrialisasi. Kedua, harus ada usaha mencari jalan atas kreativitas masyarakat dalam industri kerajinan maupun hasil pertanian bagi peluang ekspor, sehingga mereka memperoleh marjin yang cukup untuk hidup berkelanjutan. Orientasi yang terlalu besar pada penyediaan modal tanpa diimbangi peluang pasar, justeru berisiko menjebak mereka pada hutang yang tak terbayar.
Ini saatnya ormas Islam untuk menempatkan diri kembali dalam usaha meningkatkan ekonomi rakyat dan merebut kesempatan dari monopoli kapitalisme global. Kritik presiden mestinya menjadi asa bagi ormas Islam untuk ini.
Penulis adalah Direktur Eksekutif the WAHID Institute.

Ditulis oleh Agustianto   

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali  meresmikan pembukaan Festival Ekonomi Syariah di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Rabu, 4 Februari 2009. Perhelatan ekonomi syariah terbesar ini dilaksanakan sejak tanggal 4 Februari sampai 8 Februari 2009. Festival ini  merupakan rangkaian kegiatan pameran, hiburan, lomba dan seminar yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia (BI) dan Islamic Bank (IB) dengan mengangkat tema "Indonesia Bisa Lebih Sejahtera". Bank Indonesia terhitung sudah dua kali melaksanakan kegiatan Festival Ekonomi Syariah. Yang pertama dilaksanakan pada tahun 2008 di tempat yang sama dan juga dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tak bisa dibantah, bahwa Festival Ekonomi Syariah adalah suatu kegiatan yang penting dan signifikan dalam upaya sosialisasi dan edukasi ekonomi dan bank syariah kepada publik. Karena itu, Festival Ekonomi Syariah, hendaknya tidak saja terpusat di Jakarta, tetapi di seluruh wilayah dan daerah Indonesia, agar program edukasi bank syariah secara khusus dan ekonomi syariah secara umum lebih meluas kepada masyarakat di pelosok negeri
Tulisan ini akan memaparkan sejarah Festival Ekonomi Syariah di Indonesia sebagai refleksi dan bahan pemikiran bagi para pegiat ekonomi syariah di daerah, baik pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah), IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), ASBISINDO, Perguruan Tinggi, MUI dan ormas Islam lainnya. Harapan dari tulisan ini adalah agar kegiatan Festival Ekonomi Syariah atau apapun namanya (Ekonomi Syariah Fair atau Ekonomi Syariah Expo atau Bandung Syariah Expo), dapat dilaksanakan di berbagai daerah dengan mencontoh daerah yang telah sukses menyelenggrakannya.
Ekonomi Syariah : Perspektif Historis
Festival ekonomi Syariah pertama kali dilaksanakan di Medan, pada tahun 2002, dengan berbagai kegiatan promosi yang luar biasa, dan banyak kegiatan promosi, seminar, workshop, tabligh akbar, perlombaan, pawai akbar, peluncuran buku, dan bedah buku   yang berlangsung selama 1 bulan penuh. Kegiatan itu terus menerus  dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya di Medan.
Festival Ekonomi Syariah pertama dan terbesar di Indonesia itu bertemakan, “Pencanangan Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara”. Rangkaian acaranya berlangsung sejak  tanggal  14 Maret 2002  sd 20 Mei 2002. Masa Festival berlangsung total 70 hari. Festival Ekonomi Syariah ini    menggelar banyak  agenda acara spektakuler.
Gaung Festival Ekonomi Syariah Sumatera Utara ini benar-benar  luar biasa. Pengunjung membludak dan padat. Dari segi publikasi, ratusan bahkan mencapai 500an spanduk dan baliho di pasang di setiap tempat keramaian, pasar, masjid, Perguruan Tinggi, tempat-tempat pemasangan spanduk. Boleh dikatakan spanduk dipasang setiap jarak 100 sampai 200 meter. Beberapa baliho raksasa di pasang di pusat-pusat kota.
Pendeknya masyarakat Medan benar-benar DEMAM Ekonomi Syariah saat itu. Media massa cetak dan elektonik (TV dan Radio)  turut menyemarakkan Festival Ekonomi Syariah itu. Semua unsur masyarakat Islam dilibatkan, puluhan ormas Islam (seluruh remaja masjid), sekolah (SMP-SMU), belasan perguruan Tinggi terbesar, pemerintah daerah sampai ke tingkat kelurahan, dan masyarakat ekonomi syariah secara luas.
Dampaknya juga luar biasa yang bisa dikur dari pertumbuhan asset lembaga keuangan syariah, persentase persepsi masyarakat tentang bunga bank dan market share bank syariah Sumatera Utara dibanding market share daerah lain dan market share bank syariah secara nasional.
Selain itu, Bank Muamalat Cabang Medan pasca Festival itu menjadi Bank Muamalat terbaik se Indonesia, terutama dari segi pertumbuhan dan laba. Demikian pula Kantor KAS Bank Muamalat yang didirikan di Medan  langsung menjadi kantor KAS terbaik se-Indonesia dari segi pengumpulan dana pihak ketiga. Jauh melampaui target. Hal ini berlangsung selama 3 tahun berturut.
 Kerjasama yang dibangun benar-benar menunjukkan ukhuwah dan kebersamaan semua lapisan masyarakat. Logo organisasi dan instansi yang dipajang juga berjumlah besar, mencapai 30an logo diluar bank dan lembaga keuangan syariah. Sehingga semua masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk kesuksesan acara ekonomi syariah.
Fenomena ini jauh berbeda dengan Festival Ekonomi Syariah yang digelar di Jakarta. Sehingga kesannya, penyelengara hanya Bank Indonesia dan bank-bank syariah. Logo ormas dan assosiasi tidak masuk, karena tidak memberikan konstribusi dana. Padahal peran kesuksesan bukan hanya melalui dana, tetapi juga tenaga, pikiran dan massa yang besar.  Tampilan logo dipublikasi  mengesankan, bahwa tanggung jawab mengembangkan bank syariah hanya ada pada Bank Indonesia dan bank-bank syariah. Inilah kesalahan fatal gerakan akselerasi bank syariah. Padahal tangung jawab untuk mengembangkan bank syariah dan ekonomi Islam menjadi kewajiban setiap muslim. Maka, pada FES ini, tak ada ormas Islam yang dilibatkan secara langsung untuk menyukseskan acara ini. (NU, Muhammadiyah, MUI, Dewan Masjid, BKPRMI dan banyak lagi. Apalagi melibatkan jamaah masjid (Dewan Masjid dan BKPRMI). Tak satupun assosiasi penting di negeri ini yang diajak maju bersama. mengkampanyekan ekonomi Islam pada momentum FES . Kalaupun ada diberi peluang untuk berseminar, hanya sekedar itu. Keberadaannya tidak dianggap sebagai panitia yang bertanggung jawab untuk kesuksesan acara.
Panitia FES juga tak ada kerjasama dengan ratusan majlis ta’lim dan majlis zikir . Tak ada kerjasama dengan Gubernur DKI dalam menghadirkan massa. Tidak ada kerjasama dengan dinas pendidikan DKI Jakarta dan Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta. Kedua institusi ini bisa bisa mengintruksikan  kepada para kepala sekolah untuk mengerahkan massa menghadiri Festival Ekonomi Syariah.
Selain itu, seyogianya, ribuan masjid di Jabodetabek mengumumkan acara FES selama 3 jumatan berturut-turut pada momentum shalat jumat. Poster juga harusnya di pajang di seluruh masjid dan pesantren, Perguruan Tinggi, sekolah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta.  Jadi iklan bukan hanya di kompas dan Republika atau di TV secara selintas.
Kembali kepada sejarah Festival Ekonomi Syariah di Medan Perlu dicatat Kegiatan Festival Ekonomi Syariah terbesar ini dimotori oleh IAIN-Sumatera bekerjasama dengan Bank-bank Syariah dan Pemerintah Sumatera Utara, tanpa sedikitpun bantuan Bank Indonesia. Bank Indonesia saat itu sangat sulit diajak kerjasama karena berbagai faktor.
Yang terjadi di Medan, adalah IAIN mengajak bank-bank syariah mengadakan Festival.. Karena IAIN bertanggung jawab untuk melaksanakan syariah dan membumikanya di Indonesia. Acara itu sukses secara spektakuler. Semua elemen masyarakat dilibatkan. Tidak ada yang ingin menonjol sendiri, tetapi maju bersama. Adapun kegiatan-kegiatan ekonomi syariah yang digelar sepanjang lebih dari 2 bulan itu ialah :
1. Pada tahun 2002 itu, kegiatan Ekonomi Syariah EXPO (Pameran Ekonomi Islam) berlangsung selama 1 (satu) bulan penuh, mengambil tempat di Medan Fair atau biasa juga disebut Pekan Raya Sumatera Utara. Ekonomi Syariah Expo ini dikunjungi dan dipadati  puluhan ribu pengunjung. Jumlah dan kepadatan pengunjung melebihi Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Centre (JCC). Meskipun jumlah bank syariah masih sedikit, hanya ada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, namun jumlah stand cukup banyak, karena melibatkan seluruh BPR Syariah, BMT, Asuransi Takaful,  dan Usaha Sektor Riil Syariah yang berasal dari para nasabah bank syariah, Perguruan Tinggi, Lembaga Assosiasi dan sebagainya.  Padatnya pengunjung disebabkan manajemen pengarahan massa dilakukan secara canggih. Seluruh agenda kegiatan FES diumumkan di seluruh masjid pada setiap shalat jumat. Sekolah dan pesantren diundang dan dimobilisasi. Demikian majlis ta’lim dan Perguruan Tinggi. Di masjid-masjid dan kampus ditempel poster publikasi Festival Ekonomi Syariah. Radio dan TV dioptimalkan. Dialog Ekonomi syariah Di TVRI diadakan tentang Festival Ekonomi syariah.
2.  Festival Ekonomi Syariah di Medan ini juga menyelenggarakan Seminar Nasional “Ekonomi Syari’ah dan Pemberdayaan Wakaf  Produktif pada tanggal 1 - 2 Mei 2002, menghadirkan 16 Pembicara Nasioanal/ Internasional di Asrama Haji Medan. Kegiatan ilmiah yang berlangsung selama dua hari ini dihadiri 300 peserta dari berbagai daerah, baik Sumatera Utara maupun di luar propinsi Sumut. Pada  seminar ini sebagai pembicara antara lain, Prof.Dr.M.Dawam Raharjo, Prof.Dr.M.Amin Aziz, Prof.Dr.M.Yasir Nasution, Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, Dr. Uswatun Hasanah, Dr. Adi Sasono, Prof. Dr. M.A,Mannan, Prof. Dr. Monzer Kahf, Drs.Muhammad Hidayat, MBA (DSN), Prof.Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA,  Ir.Adiwarman Karim, MA, MAEP, John Tafbu Ritonga, M.Ec,  Bapak Hilmi, SE (Mantan pejabat Seniar Bank Indonesia), dan Ahmad Bukhari dari Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. Bagi masyarakat akademis, seminar ini dipandang cukup penting dalam membuka cakrawala akademis untuk pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, baik studi akademis maupun di lapangan.
3. Kegiatan ketiga Festival Ekonomi Syariah ialah acara Internasional Seminar on Dinar Dirham as  Solution, oleh FKEBI (Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam) IAIN Medan, dan Yayasan Dinar Dirham, pada tanggal 14 Maret 2002 di Hotel Garuda Plaza Medan. Seminar ini juga menghadirkan banyak pakar dari luar negeri. Di antaranya dari Skotlandia dan dua orang pembicara asal Malaysia yang merupakan penasehat ekonomi PM Malaysia saat itu.
Pembicara dari Indonesia adalah Bapak Dr. Adi Sasono, dan lain-lain.
4.Kegiatan yang sangat spektakuler dan paling meriah adalah Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1423 H. Perlu dicatat, bahwa Festival Ekonoimi Syariah yang diselenggarakan di Medan berkaitan dengan Penyambutan Tahun Baru Islam. Kegitan pawai akbar ini mirip dengan Fun Walk yang digelar Bank Indonesia pada Festival Ekonomi Syariah 2008 dan 2009. Cuma dari segi jumlah massa, Pawai akbar ekonomi syariah Sumatera Utara jauh lebih besar, karena pawai akbar ini diikuti belasan ribu, bahkan 17.000 dari berbagai lapisan dan unsur  masyarakat. Padahal seharusnya jalan santai di Jakarta jauh lebih ramai, karena dilaksanakan di ibukota, bukan di daerah. Jadi jika dievaluasi kegiatan FES yang ada di Jakarta, masih jauh dari yang diharapkan.
Pawai akbar di Sumatera melibatkan belasan ribu massa dari berbagai lapisan, (Perguruan Tinggi, Sekolah, Ormas Islam, praktisi Lembaga Perbankan dan   Keuangan Syari’ah, jajaran Pemerintah sejak kelurahan, kecamatan, seluruh dinas pemerintah di Pemko Medan, partai politik  Islam, lembaga-lembaga zakat, Sekolah dan Madrasah, Pesantren, seluruh remaja mesjid (BKPRMI), dsb. Dengan melibatkan semua unsur ummat tersebut, jelas sekali, kalau jumlah peserta pawai akbar ekonomi Islam mencapai 17.000an orang.
Yang sangat luar biasa dalam kegiatan FES Sumatera Utara ini  adalah kerjasama hampir seluruh Lembaga  Islam di Sumatera Utara, belasan Perguruan Tinggi, MUI, ORMAS-ORMAS Islam, BAZIS, BMT, BPRS, pesantren, pengusaha, pemerintah propinsi Sumut, pemerintah kota Medan, Departemen Agama, bahkan partai Politik Islam. Hampir tidak ada unsur masyarakat Islam yang tak terlibat. Pendeknya dalam kegiatan ini terdapat 30 pendukung aktif yang masuk sebagai sponsor.
Route pawai akbar ekonomi Islam ini mulai dari Masjid Agung (Kantor Gubernur Sumatera Utara) sampai halaman masjid Ulul Albab IAIN-Sumatera Utara. Pada Pawai Akbar kedua tahun 2003, Route diubah menjadi dari Masjid Agung ke Majid Raya Medan.
5.    Festival Ekonomi Syariah pertama dan terbesar ini juga menggelar Tabligh Akbar Ekonomi Syari’ah di Istana Maimun yang dihadiri puluhan ribu jama’ah dan disponsori oleh lembaga-lembaga perbankan dan keuangan  syari’ah. Ceramah disampaikan  oleh  H A. Abdullah Gymnarniar (AA Gym)  dari Bandung. Pada momentum ini hadir banyak pejabat dan ormas Islam, tokoh masyarakat dari berbagai lembaga, pengusaha.
Bank Muamalat dan Dewan Perdagangan Islam, merupakan sposnor utama acara ini.
6. Pada momentum FES 2002 ini juga diresmikan dan dilantik Dewan Perdagangan Islam Sumatera Utara oleh Gubernur Sumatera Utara. Dewan Perdagangan Islam merupakan hasil kerjasama dengan Dewan Perniagaan Islam Malaysia. Boleh dikatakan, bahwa inilah Assosiasi pengusaha muslim pertama setelah Syarikat Dagang Islam tahun 1911.
7. Kegiatan FES selanjutnya ialah Peluncuran Dua buah Buku, yaitu Buku   Prospek Perbankan Syari’ah di Indonesia dan Percikan Pemikiran Ekonomi Islam karya Agustianto
8.    Lomba Pidato ekonomi Islam tingkat Mahasiswa, Pesantren dan SMU di Medan Fair Plaza. Lomba Karya Tulis Ekonomi Syari’ah

Kegiatan Tahunan
Kegiatan FES tersebut digelar setiap tahun di Sumatera Utara mulai tahun 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008. dengan berbagai kegiatan yang sering dipadati pengunjung.
Kegiatan FES Sumatera Utara kedua dilaksanakan pada tahun 2003 dengan menggelar beberapa kegiatan, seperti :
a.    Tabligh Akbar Ekonomi Syari’ah Empat Propinsi bersama K.H.Ma’ruf Amin (Ketua DSN MUI) di Gelanggang Mahasiswa IAIN_SU dan Orasi Ekonomi Syariah oleh Drs.Agustianto,MA.
b.    Peresmian Badan Waqaf Sumatera Utara oleh Menteri Agama Republik Indonesia, 2 April 2003. Perlu dicatat inilah Badan Waqaf Pertama di Indonesia yang didirikan berdasarkan wilayah propinsi. Badan Waqaf ini jauh mendahuli lahirnya Badan Waqaf Indonesia dalam skala nasional.
c.    Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara, 29 Maret 2003. Para peserta sama persis dengan Pawai Akbar pertama tahun 2002.
Kegiatan FES Ekonomi Syari’ah Ke 3 Propinsi Sumatera Utara tahun 2004. dengan menggelar beberapa agenda acara :
a.    Malam Penggalangan Dana Cash Wakaf dan Silaturrahmi Pengusaha Muslim, ulama dan Birokrat
b.    Peluncuran Buku Wakaf Produktif bersama Gubernur
c.    Lounching Pembukaan Unit Usaha Syari’ah PT Bank Sumut
d.    Pawai Akbar Masyarakat Ekonomi Syari’ah Sumatera Utara, yang melibatkan 15,000an masyarakat dari berbagai unsur masyarakat
e.    “Economi Syari’ah CUP” yaitu pertandingan olahraga sesama masyarakat Ekonomi Syariah, yang melibatkan seluruh karyawan Lembaga Keuangan dan Perbankan syari’ah, serta Akademisi Ekonomi Syari’ah di Lapangan.GOR (Gedung Olahraga) USU, Universitas Sumatera Utara.
Pada tahun 2005, kota Medan kembali disemarakkan oleh kegiatan besar ekonomi syariah internasional, yaitu dengan  dilaksanakannya Muktamar Pertama Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) di Medan, tepatnya tanggal 18 – 19 September 2005 di Hotel Garuda Plaza. Muktamar yang dirangkai dengan Seminar Internasional itu dihadiri lebih dari 300 peserta dari seluruh Indonesia yang merupakan utusan Perguruan Tinggi dan pemerintah setiap propinsi. Para pembicara didatangkan dari dalam dan luar negeri, seperti dari Mesir, USA, Bangladesh dan Malaysia.
Selanjutnya,  pada tahun  2007 kegiatan besar kembali digelar dengan nama Ekonomi Syariah  Fair 2007 yang dibuka langsung Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla dan dihadiri Gubernur bank Indonesia dan sejumlah Menteri. Kegiatan ini berlangsung selama tiga minggu sehingga banyak menyerap pengunjung. Dampaknya,   market share bank syariah di Sumut  meningkat secara fantastis dalam 1 bulan pasca acara, dari 1,9 menjadi 2,7 persen. Sementara di tingkat nasional, market share masih jauh tertinggal, belum menembus angka 1,8  persen saat itu.

Kegiatan Syariah EXPO di Sumetera Utara itu selanjutnya dikembangkan secara nasional di Jakarta yang dibawa oleh pegiat ekonomi syariah Medan berdasarkan pengamalan Medan selama bertahun-tahun mengelola Festival Ekonomi Syariah. Selanjutnya event Ekonomi Syariah Expo dipundakkan kepada MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Mulanya,  rencana kegiatan ISE (Indonesia Syariah Expo) itu dibicarakan pada rapat pengurus IAEI awal Agustus 2005 di Universitas Indonesia menjelang Muktamar Ikatan Ahli Ekonomi Islam di Medan. Rapat IAEI itu  dihadiri oleh para pegurus IAEI ; Prof.Syofyan Syafri Harahap, Aries Mufti, M.Syakir Sula, Mustafa Edwin Nasution, Dr.Uswatun Hasanah, Agustianto dan sejumlah pengurus IAEI lainnya, seperti Nurul Huda, Tatik Maryanti (Trisakti), dan lain-lain. Rapat itu  telah menyepakati diadakannya FES atau Indonesia Syariah Expo yang dimotori oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).
Pada rapat itu dibagi tugas pengembangan ekonomi syariah. Karena pengurus IAEI juga adalah pengurus MES dan pengurus MES juga adalah pegurus IAEI. Namun, focus penekanannya berbeda. IAEI lebih focus pada pengembangan pendidikan melalui dunia akademis, sedangkan MES pada kegiatan yang lebih besar dan luas dari itu, seperti Expo dan  Eksebisi. Maka EXPO ditangani oleh MES, sedangkan IAEI lebih focus pada pendidikan Ekonomi Islam dan studi akademis. Maka sejak tahun 2007, MES menggelar Indonesia Syariah Expo yang gaungnya juga angat hebat dan dampaknya sangat besar. Indonesia Syariah Expo kedua dilaksanakan oleh MES pada tahun 2008, bekerjasama dengan beberapa assosiasi ekonomi syaroiah lainnya, seperti IAEI, ASBISINDO, ASBINDO, PKES dan lain-lain.
  Bank Indonesia baru memulainya pada 2008 sebagai upaya untuk meningkatkan peran sistem keuangan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional. Selanjutnya pada 4 sd 8 Februari Bank Indonesia, kembali menggelar Festival Ekonomi Syariah kedua di Jakarta Convention Centre.
Demikian sekilas tentang sejarah Festival Ekonomi Syariah di Indonesia. Semoga bermanfaat.

Penutup
Festival Ekonomi Syariah (FES) merupakan ajang promosi, edukasi dan sosialisasi yang cukup penting bagi gerakan dan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. FES merupakan momentum paling strategis dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Karena itu, acara Fstival Ekonomi Syariah hendaknya dilaksanakan di seluruh daerah Indonesia. Tahun 2008 lalu, beberapa daerah sudah mulai menggelar Festival Ekonomi Syariah, seperti Surabaya, Ujung Pandang, Balik Papan, Palembang dan beberapa daerah lainnya. Namun manajemennya harus ditingkatkan secara lebih profesional dan merangkul banyak kalangan massa. Majlis Ulama dan Perguruan Tinggi harus menjadi pelopor di depan bersama Bank Indonesia dan Bank-Bank Syariah. Pemerintah propinsi wajib dilibatkan secara aktif, baik dalam masalah dana maupun massa.
Sejarah Festival Ekonomi Syariah ini dibentangkan dalam sebuah tulisan, dengan tujuan agar masyarakat di daerah dapat meniru kegiatan serupa, sehingga  seluruh propinsi bisa mengelar Festival Ekonomi Syariah. Mengapa masyarakat Sumatera Utara bisa melaksanakannya dengan rentang waktu yang panjang dan rangkaian kegiatan yang banyak. Daerah-daerah lain perlu belajar dan meniru Festival Ekonomi Syariah yang pernah digelar dengan sukses di Medan. Kalaupun pada tahun 2008 ada Festival Ekonomi Syariah di sebagian kecil daerah, hal itu terwujud berkat peranan Bank Indonesia. Harusnya Masyarakat Ekonomi Syariah di daerah bergerak dan bangkit, meskipun tanpa bantuan Bank Indonesia. Namun, jika Bank Indonesia di daerah mau membantu, tentu hal itu jauh lebih baik. Saya menyampaikan ini kepada teman-teman di seluruh daerah di Indonesia, agar jangan terlalu menggantungkan kegiatan ekonomi syariah kepada Bank Indonesia, meskipun Bank Indonesia di daerah harus diajak.
Di masa depan, Bank Indonesia didesak untuk menggandeng para assosiasi ekonomi syariah dan kalau perlu menyerahkan pelaksanaan FES kepada assosiasi yang memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan ekonomi syariah. Dengan demikian, kegiatan FES tidak perlu dilaksanakan dua kali setahun. Selama ini, kegiatan expo menjadi dua kali, yaitu dilaksanakan oleh MES dengan nama Indonesia Syariah Expo dan Bank Indonesia dengan nama Festival Ekonomi Syariah. Kedua Festival ekonomi syariah harus disatukan, sehingga bank-bank syarah tidak kehabisan energi. Bank Indonesia hendaknya jangan tampil sendirian, tetapi secara bersama-sama dengan penggiat ekonomi syariah lainnya menggelar kegiatan tersebut. Ingat, bersama kita bisa, bersatu kita teguh dan kuat.Al-Ittihadu Quwwatun. Wassalam 

(Penulis adalah Sekjen IAEI dan mantan Sekjen Festival Ekonomi Syariah Sumatera Utara

Penguatan Ekonomi Umat Menuntut Perubahan Paradigma

Friday, 14 May 2010 15:34 | Written by Shodiq Ramadhan

Oleh: Dr. Hendri Saparini
(Pengamat Ekonomi ECONIT/Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI

1.    Ketertinggalan ekonomi umat
Umat Islam merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Oleh karenanya, buruknya potret perekonomian sebagian besar masyarakat pada dasarnya mencerminkan buruknya kondisi ekonomi umat Islam. Ada tiga indikator kondisi ekonomi rakyat yang biasa digunakan yakni kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Hingga saat ini angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan penduduk masih sangat tinggi. Jika menggunakan standar Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, yakni batas pengeluaran Rp 200.262 per kapita per bulan, maka jumlah orang miskin sebanyak 32,53 juta atau 14,15 persen (Maret, 2009). Batasan kemiskinan tersebut tentu masih di bawah kriteria kemiskinan dalam Islam dimana seseorang dianggap tidak miskin jika ia telah memiliki makanan, pakaian dan tempat tinggal, sementara pendidikan, kesehatan, air dan listrik menjadi tanggung jawab negara untuk menjaminnya. Sementara batas pengeluaran BPS bagi orang miskin tersebut tidak menekankan apakah pakaian, makanan dan tempat tinggal yang dimiliki layak dan juga pengeluaran tersebut termasuk untuk pendidikan, kesehatan, air, listrik, yang saat ini hampir semua harus dibeli. 
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Saat ini angka pengangguran yang dipublikasikan oleh pemerintah memang ’hanya’ 8,97 juta jiwa (7.87%) tahun 2009. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja  1 (satu) jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir.
Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5%) ternyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kegiatan ekonomi umat jika dilihat dari struktur usaha di Indonesia, sebagian besarnya berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada tahun 2008 jumlah usaha mikro, kecil dan menengah mencapai 51,3 juta unit atau 99% dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan jumlah tenaga kerja sebanyak 90 juta atau 97% dari total tenaga kerja nasional. Meskipun dari sisi jumlah sangat besar tetapi dari sisi kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 54% (2008). Artinya, meskipun jumlahnya banyak tetapi produktifitas dan tentu saja daya saingnya relatif lemah.
Pertanyaan pentingnya, mengapa ekonomi umat hingga kini masih sangat terbelakang? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting karena akan mengantar pada strategi dan kebijakan yang tepat.

2.    Keterpurukan akibat kesalahan kebijakan
Memang bila dilakukan survei kepada pengusaha mikro dan kecil, maka masalah yang menurut mereka paling utama adalah modal. Fakta data pemerintah pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70%). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50% terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman juga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp12.9 juta per unit usaha. 
Akan tetapi, selain masalah modal usaha, tertinggalnya ekonomi umat atau UMKM juga disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya, disebabkan oleh lemahnya dukungan sumber daya manusia akibat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat bawah yang terbatas. Masalah lain adalah persaingan usaha yang dihadapi UMKM yang sangat ketat, sehingga akhirnya pasar bagi produk UMKM semakin berkurang karena tergusur oleh produk impor. Sangat banyak faktor yang mengakibatkan kekalahan UMKM dalam persaingan. Mulai dari tingginya biaya produksi UMKM karena tingginya biaya modal (tingginya suku bunga pinjaman), juga tingginya biaya energi akibat cenderung terus naiknya harga energi seperti listrik, BBM, dll. Faktor lain adalah karena dibukanya pasar dalam negeri lewat liberalisasi perdagangan yang dilakukan tanpa persiapan. Terakhir, sulitnya UMKM mendapatkan bahan baku akibat absennya prioritas bahan mentah untuk kepentingan dalam negeri.
Dengan fakta-fakta di atas, solusi bagi perbaikan ekonomi umat tentu tidak cukup hanya dengan memberikan dukungan modal dengan menawarkan berbagai produk pendanaan bagi UMKM. Juga tidak cukup hanya membuatkan model-model usaha bisnis yang tepat bagi ekonomi umat yang berskala mikro dan kecil. Karena ada banyak faktor non modal, seperti keterbatasan pasar, SDM, energi, teknologi, industri pendukung, dll, yang menghambat ekonomi umat untuk dapat berkembang dan kompetitif.

Akses dan ketersediaan modal
Kebijakan pemberian subsidi bunga untuk usaha mikro, kecil dan menengah telah banyak diberikan dengan disain beragam dan relatif spesifik. Ada empat jenis kredit program yakni, KKP-E untuk pangan, KUR untuk usaha mikro kecil, KPEN-RP untuk perkebunan, dan KLBI kepada bank untuk dukung program pemerintah. Namun, akses UMKM terhadap dukungan modal masih menjadi masalah besar. Berbagai kredit program yang telah ditawarkan tersebut pun belum berkinerja baik. Memang sangat banyak masalah administrasi yang menjadi penghambat. Namun, ada masalah lain dari rendahnya realisasi kredit yang ditawarkan antara lain karena sumber dana berasal dari dana bank (dana APBN hanya sebagai dana penjamin). Hal ini mengakibat perbankan akan sangat berhati-hati/mensyaratkan adanya bunga, agunan dan dokumen yang rumit karena dana yang disalurkan adalah dana komersial. Berbeda bila dana tersebut berasal dari dana pemerintah. Tingkat bunga, agunan, persyaratan mungkin akan lebih fleksible.
Memang ada kendala lain yang menjadi ancaman bagi penyediaan permodalan bagi UMKM yakni struktur kepemilikan perbankan nasional yang semakin didominasi modal asing. Bahkan untuk bank pemerintah akan segera diberlakukan kebijakan single presence policy yang melarang bank hanya dimiliki oleh pemerintah. Artinya, bank pemerintahpun didorong untuk segera diswastakan. Akhirnya porsi kepemilikan asing di perbankan nasional meningkat. Bila tahun 1999, hanya sebesar 11.6%, saat ini sudah hampir separuh industri perbankan nasional  (47.02%).  Kondisi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang merupakan perubahan Perpres 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres itu, antara lain, memberikan peluang bagi investor asing untuk menguasai 99 persen saham perbankan nasional.
Padahal di negara-negara lain saja, kepemilikan perbankan asing sangat dibatasi. Kepemilikan asing di Filipina maksimal hanya 51%, Thailand 49%, India 49%, Korsel 30%, Malaysia 30%, Vietnam 30%, AS 30%, RRC 25%, dan Australia 15%. Pembatasan ini penting karena kepemilikan sektor keuangan oleh asing akan membatasi intervensi dan peran aktif pemerintah dalam memberikan dukungan pendanaan bagi ekonomi mikro, kecil dan menengah (karena akan kalah bersaing dengan modal besar). Hal tersebut juga akan membatasi peluang untuk mendukung ekonomi UMKM dengan basis non bank atau model pendanaan bukan pinjaman. Inilah sebabnya saat ini dukungan pendanaan bagi ekonomi kecil akhirnya hanya berupa penjaminan dan tetap menggunakan mekanisme pinjaman dengan bunga. 
Regulasi yang telah salah kaprah ini tentu harus dilakukan koreksi substansial karena dalam perspektif ekonomi kelembagaan, regulasi memiliki peran signifikan dalam mengatur dan mengarahkan perekonomian suatu negara. Dalam Islam, regulasi yang memberikan perlindungan dan proteksi kepada perbankan dan lembaga keuangan yang melakukan transaksi berbasisi suku bunga tentu keliru dan sangat disayangkan karena selain diharamkan (QS. al-Baqarah [2]:275; 279) transaksi ribawi juga sangat destruktif dalam kegiatan ekonomi. Apalagi memberikan peluang kepada pihak asing melakukan hegemoni terhadap perekonomian umat melalui sektor keuangan yang merupakan jantung ekonomi akan mengakibatkan hilangnya kemerdekaan politik ekonomi umat. Allah swt berfirman: ”Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai/memusnahkan orang-orang Mukmin”. (QS: An Nisaa' [4]:141).

Peningkatan sumber daya manusia
Lemahnya dukungan SDM adalah hambatan besar bagi UMKM. Saat ini sebanyak 53 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD. Dengan kondisi tersebut tidak heran jika 69,5 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal lantaran sulit untuk masuk ke dalam sektor formal. Pendidikan dan ketrampilan yang rendah inilah yang akhirnya mengakibatkan daya saing serta produktivitas tenaga kerja UMKM relatif rendah. Artinya pendidikan umat harus ditingkatkan. Namun, rendahnya tingkat pendidikan tentu tidak bisa dilepaskan dari rendahnya akses umat terhadap pendidikan. Meski anggaran pendidikan telah dialokasikan 20% dari APBN namun pada faktanya nilainya hanya mampu meng-cover belanja rutin dan biaya pendidikan hingga tingkat SMP. Itupun masih menyisakan biaya ain-lain yang harus ditanggung oleh para peserta didik seperti biaya seragam dan biaya pembelian buku.
Liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan pemangkasan subsidi pendidikan dan pembebasan lembaga pendidikan untuk menetapkan harga, telah mendorong mahalnya pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia. Kebijakan salah arah ini tentu harus diubah. Dalam Islam menuntut ilmu bahkan merupakan kewajiban atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.  Sabda Rasulullah saw: ”Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, Al-Baihaqi). Di samping membentuk kepribadian yang islami, pendidikan juga merupakan sarana untuk mengembangkan skill dan intelektual yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan termasuk menghadapi persaingan di tingkat global. Selain itu upaya untuk meraih keunggulan umat dalam bidang ekonomi termasuk dalam teknologi, komunikasi dan  persenjataan yang dituntut atas umat Islam (QS al-Anfal [8]: 60) hanya dapat terealisir jika didukung oleh SDM yang tangguh. Oleh karenanya, menjadi sebuah keharusan untuk mendorong perubahan kebijakan penyediaan pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau seluruh rakyat.

Dukungan pengelolaan energi
Akses dan keterbatasan dukungan energi murah juga telah menjadi hambatan besar bagi UMKM. Pasalnya, gas dan berbagai mineral Indonesia tidak dikelola dengan benar sehingga tidak mampu mendukung kemajuan UMKM antara lain dengan penyediaan harga BBM dan listrik murah. Selama ini tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energy mix) PLN yang berasal dari BBM masih sangat tinggi, mencapai 85%. Akibatnya, biaya bahan bakar PLN juga menjadi sangat mahal. Padahal jika energi PLN didiversifikasi ke gas dan batu bara misalnya, biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Adalah ironis saat produksi gas di Indonesia melimpah, selama hampir 40 tahun terakhir gas Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Keadaan ini tentu tidak lepas dari buruknya pengelolaan migas pemerintah. Sejak awal tahun 1970-an hingga 2007, kontrak jual beli gas yang dialokasikan untuk domestik mencapai 20,12 TCF (48%) dan ekspor sebesar 21,55 TCF (52%). (Buletin BP Migas, No. 46, Juni 2008). Bahkan, paska kerjasama dengan IMF lewat LoI sejak tahun 1998 dan terbitnya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, bagian gas untuk kepentingan dalam negeri semakin dibatasi.
Hal yang sama terjadi pada pengelolaan minyak bumi yang mengakibatkan masyarakat harus selalu dihantui oleh kenaikan harga BBM. Pemerintah seolah berhak dan bahkan wajib menaikkan harga BBM agar tidak membebani APBN. Padahal akar masalahnya bukan sekadar alokasi subsidi, tetapi karena pengeloan migas yang salah sehingga saat ini 86% migas didominasi oleh asing dan swasta. Pemerintah yang diwakili oleh Pertamina hanya menguasai 14% produksi minyak bumi. Konsekwensinya, langkah pemerintah untuk segera menyamakan harga BBM dalam negeri pada harga pasar internasional seolah menjadi sebuah kebenaran. Bahkan akhirnya sering tanpa canggung menggunakan rujukan kebijakan Singapura, Jepang, dll. Padahal negara-negara tersebut bukan negara yang oleh Allah SWT diberikan rizki kekayaan energi alam seperti Indonesia. Tambahan lagi sistem bagi hasil dengan cost recovery saat ini sering diselewengkan sehingga kontraktor asing lebih banyak menikmati hasil dibanding pemerintah.
Fakta ini sangat ironis karena ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 telah menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini tak lain mempertegas bahwa pengelolaan SDA diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan perorangan, meskipun hak individu tetap dihormati. Dalam perspektif ekonomi Islam, pengelolaan migas dan tambang non migas yang diserahkan kepada swasta termasuk asing tentu merupakan kebijakan fatal. Migas dan tambang lain yang depositnya melimpah merupakan public goods (barang publik) yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw: ”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Di sisi lain, secara ekonomis penyerahan kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh swasta/asing menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang. Padahal kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan secara optimal dan melakukan kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang layak, termasuk memberikan modal dan penguatan bagi ekonomi umat. Sehingga tidak harus bersandar pada utang dan pembebanan pajak kepada publik. Akibat pengelolaan kekayaan SDA yang salah, kini Indonesia meskipun memiliki kekayaan SDA yang melimah, namun telah menangguk utang yang sangat besar. Nilainya mencapai Rp 1.619,96 triliun (Februari 2010). Porsi penerimaan pemerintah dari sumber daya alam juga hanya sekitar 36%, sedangkan sisanya bersumber dari berbagai pungutan pajak dan utang. Seolah Indonesia adalah negara tanpa kekayaan alam.
Masih sangat banyak hambatan yang dihadapi para pengusaha terutama kelompok mikro dan kecil untuk maju dan lebih kompetitif. Salah satunya liberalisasi ekonomi sudah dimulai sejak belasan tahun lalu, tetapi industri domestik tetap tidak siap memasuki pasar bebas karena dilakukan tanpa industrial policy and strategy yang jelas. Berbagai kesepakatan perdagangan bebas telah dibuat tanpa jelas keuntungan apa yang akan diperoleh masyarakat. ASEAN-China FTA yang kini menjadi monster hanyalah salah satunya. Berbagai kerjasama ekonomi telah semakin giat dilakukan tidak hanya lewat ASEAN, seperti kesepakatan ASEAN-China, Korea, Jepang, Australia, New Zealand dan India. Tetapi juga secara bilateral, seperti perjanjian dengan Amerika, Hungaria, Hongkong dll. Akhirnya liberalisasi hanya untuk liberalisasi itu sendiri. Padahal semestinya dilakukan bila dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional.

3.    Urgensi perubahan paradigma ekonomi
Jelas bahwa penguatan ekonomi umat memerlukan perubahan strategi dan kebijakan ekonomi di berbagai bidang. Tidak hanya pengembangan kewirausahaan umat dan kebijakan perbankan dan permodalan yang lebih berpihak pada umat, tetapi juga dukungan kebijakan di berbagai bidang antara lain: mengoreksi pengelolaan sumber daya alam, merubahan haluan liberalisasi ekonomi yang telah salah arah, menghentikan kecenderungan kebijakan pendidikan yang tidak memberikan kesempatan bagi umat untuk menguasai pendidikan dan teknologi tinggi, dan lain sebagainya.
Namun demikian, perubahan strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa dilakukan apabila dilakukan perubahan paradigma ekonomi. Saat ini pengelolaan ekonomi cenderung menggunakan paradigma liberal kapitalistik dan jauh dari sistem ekonomi Islam, sehingga harus segera ditinggalkan dan ganti dengan paradigma kebijakan ekonomi yang Islami. Selanjutnya, segera melakukan dua pekerjaan besar. Pertama, merancang strategi untuk menyusun model pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat, baik dengan pelatihan, peningkatan akses, mengembangkan jaringan para pengusaha muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan dan aturan perundangan yang berkait masalah ekonomi. Sangat banyak undang-undang maupun peraturan yang bersifat kapitalistik dan merugikan umat, sehingga akan menghambat upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi umat.
Sebagai penutup, untuk mewujudkan perubahan yang mendasar, peran dari berbagai lembaga dan organisasi keumatan menjadi sangat diperlukan. Selama ini banyak lembaga dan organisasi umat telah banyak melakukan upaya perbaikan dalam distribusi ekonomi agar lebih adil. Namun, peran tersebut ternyata masih belum cukup karena diperlukan peran yang lebih high level untuk dapat mendorong perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi untuk menuju pada pengelolaan ekonomi yang Islami.***
(Makalah pernah disampaikan pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII)Ke-5, di Asrama Haji Pondok Gede – Jakarta, 7-8 Mei 2010)

Paradigma Ekonomi Islam

Wednesday, 21 October 2009 14:25 | Written by Shodiq Ramadhan

Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam (tadbîr syu’un al-mâl min wijhah nazhar al-islam) (An-Nabhani, 1990).
Secara epistemologis, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu; Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Cakupannya adalah: (1) kepemilikan (al-milkiyah), (2) pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah), dan (3) distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas).
Bagian ini merupakan pemikiran yang terikat nilai (value-bond) atau valuational, karena diperoleh dari sumber nilai Islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah, melalui metode deduksi (istinbath) hukum syariah dari sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi Islam normatif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua, ekonomi Islam positif, yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Bagian ini merupakan pemikiran universal, karena diperoleh dari pengalaman dan fakta empiris, melalui metode induksi (istiqra’) terhadap fakta-fakta empiris parsial dan generalisasinya menjadi suatu kaidah atau konsep umum (Husaini, 2002). Bagian ini tidak harus mempunyai dasar konsep dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi cukup disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi Islam positif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1990) disebut ilmu ekonomi Islam (al-‘ilmu al-iqtishadi fi al-islam).

Paradigma Sistem Ekonomi Islam
Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970). Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world.” [suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata] (Fakih, 2001). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2001) menggunakan istilah lain yang maknanya hampir sama dengan paradigma, yaitu al-qa’idah fikriyah, yang berarti pemikiran dasar yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya.
Dengan pengertian itu, paradigma sistem ekonomi Islam ada 2 (dua), yaitu: Pertama, paradigma umum, yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Aqidah Islamiyah di sini dipahami bukan sekedar sebagai Aqidah Ruhiyah (aqidah spiritual), yakni aqidah yang menjadi landasan aktivitas-aktivitas spiritual murni seperti ibadah, namun juga sebagai Aqidah Siyasiyah (aqidah politis), yakni aqidah yang menjadi landasan untuk mengelola segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali termasuk ekonomi.
Kedua, paradigma khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan sistem ekonomi Islam. Paradigma khusus ini terdiri dari tiga asas (pilar), yaitu: (1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, (2) pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan (3) distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), melalui mekanisme syariah.
Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam) (Ibnu Khalil, 2000).
Paradigma sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras dengan paradigma sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai paradigma umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi (lihat Qs. al-Mâ’idah [5]: 3; Qs. an-Nahl [16]: 89) (Zallum, 2001).
Paradigma Islam ini berbeda dengan paradigma sistem ekonomi kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).*1) Paham sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama (An-Nabhani, 2001).
Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja). Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula, bahwa paradigma sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme (An-Nabhani, 2001).
Sekularisme ini pula yang mendasari paradigma cabang kapitalisme lainnya, yaitu paradigma yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan agama.
Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT (idzn Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim (An-Nabhani, 1990).
Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran. Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah (industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena telah diharamkan oleh syariah.
Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit.*2)
Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk) (An-Nabhani, 1990). Mekanisme ini, misalnya ketentuan syariah yang: (1) membolehkan manusia bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) memberikan kesempatan berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi, seperti dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya; dan (3) memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Sedang mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang berlangsung tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktivitas non-produktif. Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat, dan lain-lain) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah, misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara individu dan negara.
Mekanisme non-ekonomi ada yang bersifat positif (ijabiyah) yaitu berupa perintah atau anjuran syariah, seperti: (1) pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan, (2) pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik, (3) pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan, dan (4) pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.
Ada pula yang mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah) yaitu berupa larangan atau cegahan syariah, misalnya (1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu; (3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar; (4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat.

Penutup
Demikianlah uraian sekilas paradigma sistem ekonomi Islam. Dengan memahaminya, diharapkan umat Islam terdorong untuk menerapkannya dan sekaligus mengetahui perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang tengah diterapkan.
Sudah saatnya sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menimbulkan penderitaan itu kita hancurkan dan kita gantikan dengan ekonomi Islam yang insyaAllah akan membawa barakah bagi kita semua. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:
“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan berrtakwa, niscaya akan Kami limpahkan bagi mereka barakah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.” (Qs. al-A’râf [7]: 96). [ M. Shiddiq Al Jawi]

Catatan Kaki:
1. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasal dab tumbuh di Barat pasca abad pertengahan (mulai abad ke-15), yang bercirikan adanya kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi dan pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam situasi pasar yang kompetitif (Milton H. Spencer, Contemporary Macro Economics, New York : Worth Publishers, 1977).
2. Pada tahun 1985 misalnya, negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang penduduknya hanya 26 % penduduk dunia, menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, Jakarta : CIDES, 1999, hlm. 8-9). Pada tahun 1985 juga, pendapatan nasional (GNP) Indonesia besarnya adalah 960 dolar AS per orang setahunnya, sejumlah 80 % daripadanya merupakan nilai aktivitas ekonomi dari 300 grup konglomerat saja. Sedangkan selebihnya (hampir 200 juta rakyat) kebagian 20 % saja dari seluruh porsi ekonomi nasional (Republika, 28 Agustus 2000).

Daftar Pustaka
1. Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2. Husaini, S. Waqar Ahmed. 2002. Islamic Sciences. New Delhi : Goodwork Book.
3. Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir Al-Wushul Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah.
4. An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-Ummah.
5. ———-. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
6. Strahm, Rudolf H. 1999. Kemiskinan Dunia Ketiga. Jakarta : CIDES
7. Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.

EMAS

Aurum Et Argentum Comparenda Sunt…

Tuesday, 08 June 2010 14:06
Jumlah berapa pun tidak akan pernah cukup bila emas disimpan  alias ditimbun

Oleh Muhaimin Iqbal* 
JUDUL tulisan ini saya ambilkan dari pepatah latin, yang terjemahan bebasnya kurang lebih berarti “Emas dan Perak Adalah Untuk Untuk Dibeli…”  Pepatah ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada emas dan perak; dalam ilmu pemasaran, produk-produk yang baik akan selalu dicari dan ‘dibeli’ orang. Sebaliknya produk yang buruk akan dengan susah payah harus ‘dijual’ oleh si penjual, sebelum akhirnya ‘dibeli’ orang.
Emas sebagai salah satu produk yang baik, dalam sejarah peradaban manusia menempati tempat tersendiri, baik sebagai simpanan barang berharga, sebagai uang, sebagai alat investasi, sebagai instrumen untuk membangun ketahanan ekonomi, dan berbagai fungsi lainnya. Di zaman ini ketika  rezim uang dunia didominasi oleh uang fiat yang rentan inflasi dan rentan isu; dan investasi dunia pun didominasi oleh instrumen investasi yang berbasis spekulasi, maka emas tetap memiliki tempat tersendiri, yaitu sebagai tempat bersandar yang aman (safe haven) –yang setiap saat selalu dibutuhkan, terutama ketika uang dan investasi yang lain menjadi terlalu berisiko.
Masalahnya adalah kalau kebutuhan terhadap emas terus tumbuh – karena emas terus dicari orang untuk dibeli—lantas dari mana supply emas tersebut akan dipenuhi? Inilah masalah dan sekaligus peluangnya.
Masalah karena pertumbuhan emas yang ada di permukaan bumi hanya berkisar antara 2,000 ton – 2,500 ton  per tahun, jumlah yang jelas tidak cukup bila dunia usaha rame-rame beralih ke emas sebagai safe haven-nya. Apalagi bila negeri-negeri yang persentase cadangan emasnya masih sangat rendah, seperti China dan Jepang, mengoreksi (menambah) cadangan emasnya.
Selain dari hasil penambangan baru dan daur ulang emas scrap, kebutuhan emas sebagai instrumen investasi ini selama beberapa dekade terakhir di-supply oleh penjualan cadangan emas negara. Namun supply dari sumber yang satu ini juga tidak akan bertahan lama – lihat pada grafik di atas untuk buktinya. Amerika sudah tidak menjual lagi emasnya lebih dari seperempat abad terakhir (terlhat dari cadangannya yang tetap), Indonesia yang punya sedikit (hanya sekitar 96 ton sampai 2006) – penjualan terakhirnya (maksud saya mudah-mudahan tidak menjual lagi) 23 ton terjadi 4 tahun lalu (cadangan emas kita di BI kini tinggal sekitar 73.1 ton); hanya Eropa nampaknya yang masih melakukan penjualan sampai sekarang, meskipun jumlah yang bisa dijual akan semakin sedikit dari waktu ke waktu.
Lantas darimana lagi emas kebutuhan investasi akan di-supply? Inilah peluang pertamanya, yaitu karena supply akan semakin tidak sebanding dengan demand maka kecil kemungkinan harga emas akan turun di pasar dunia di tahun-tahun mendatang. Sebaliknya harga emas akan secara fundamental cenderung naik karena keterbatasan supply.
Lantas apa yang akan terjadi setelah itu? Bagaimana jika orang tetap butuh emas, tetapi supply emasnya tidak ada atau tidak cukup? Ada dua kemungkinannya, pertama dengan  hard-way orang akan berburu emas melalui cara-cara perang,  penyitaan emas rakyat oleh negara (seperti terjadi di Amerika tahun 1930-an) dan cara-cara primitif lainnya untuk sekedar menguasai emas.
Atau dengan cara yang elegance, yaitu umat manusia akan dapat mencukupi kebutuhan emasnya melalui guidance atau petunjuk-Nya. Jumlah yang sedikit akan selalu cukup bila emas itu beredar/berputar; jumlah berapa pun tidak akan pernah cukup bila emas disimpan/ditimbun.  Jadi ketersediaan emas yang cukup untuk ‘dibeli’ oleh manusia yang membutuhkannya, akan terjamin bila:
1)     Emas tidak ditimbun
2)     Emas tidak digunakan untuk perhiasan laki-laki
3)     Emas tidak dipakai untuk bermewah-mewah membuat tempat
        makan, minum,  dan lain sebagainya.
4)     Emas tidak dipakai untuk bangunan
5)     Dan lain sebagainya.
Di mana aturan-aturan tersebut ada? Hanya syariah Islam yang memiliki aturan sedetil ini. Jadi, bahkan untuk menjamin kelangsungan pepatah latin kuno yang artinya “Emas dan Perak Untuk Dibeli…” tersebut di atas – diperlukan syariah untuk mengawalnya. Di sinilah rahmatan lil-alamin-nya agama akhir zaman ini. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? Wa Allahu A’lam.
Penulis adalah Direktur Gerai Ginar

Belajarlah Emas Walau Sampai Negeri China

Thursday, 11 March 2010 10:34
Menimbun emas adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam. Di  disisi lain, emas dan perak dijadikan “hakim” yang adil dalam bermuamalah

Oleh: Muhaimin Iqbal*  
PADA dasawarsa pertama kemerdekaan RI, negeri ini pernah memiliki cadangan emas sebesar 248 ton, tetapi kemudian cadangan emas ini juga pernah nyaris habis tahun 1971 menjadi tinggal 1.8 ton saja. Ketika Oil Boom tahun 70-an sampai puncaknya 1981, negeri ini alhamdulillah berhasil kembali membangun cadangan emasnya sampai mencapai sekitar 96 ton.
Sayangnya selama seperempat abad kemudian, tepatnya sampai 2006, cadangan emas ini tidak berhasil dinaikkan dan bahkan berkurang 24%-nya pada akhir 2006 sehingga tinggal 73 ton saja. Lihat detilnya di tulisan saya tanggal 28 Desember 2008 dengan judul Emas dan Kemakmuran Negeri Ini.
Mengapa sampai bangsa ini tidak menganggap penting cadangan emas yang bisa menjadi instrumen untuk membangun ketahanan ekonomi (Yukhsinun) selama lebih dari seperempat abad terakhir?
Dugaan saya sendiri adalah karena ekonomi kita adalah ekonomi ala IMF banget. Kita tahu dalam sistem IMF, bahkan mereka melarang negara-negara anggotanya menggunakan emas sebagai rujukan mata uangnya (Article IV, Section 2. B).
Akibat pelarangan ini, sampai-sampainya otoritas pasar modal kita beberapa tahun lalu ketika ingin mempromosikan dagangannya menggunakan iklan yang memojokkan emas. Dalam iklan tersebut investasi emas digambarkan sebagai investasinya ibu-ibu yang suka pamer, yang lagi meringis menunjukkan gigi emasnya sambil mengangkat tangannya yang dipenuhi gelang emas.
Inilah gambaran betapa kita termakan oleh propaganda anti-emas yang distimulasi oleh IMF melalui salah satu pasal di articles of agreement tersebut.
Negara-negara yang tidak termakan propaganda IMF ini melakukan hal yang exactly sebaliknya. Kita bisa belajar dari China misalnya untuk yang terakhir ini.
Ketika kita mengurangi cadangan emas kita sampai 24%-nya;  China berhasil meningkatkan cadangan emasnya dari 600-an ton tahun 2003, sampai mencapai 1.054 ton akhir tahun lalu.
Ketika institusi resmi pasar modal kita membuat iklan yang  memojokkan orang-orang yang berinvestasi pada emas, pemerintah China bahkan mendorong rakyatnya agar rame-rame membeli emas melalui kampanye besar-besaran yang disiarkan oleh China Central Television. Lebih jauh lagi pemerintah China juga mendirikan Shanghai Gold Exchange untuk mempermudah rakyatnya dalam berinvestasi emas.
Mengapa China melakukan hal yang berlawanan dengan resep umum IMF ini? Dugaan saya lagi karena China tahu bahwa sesungguhnya emas itulah instrumen yang paling efektif dalam mengamankan kekayaan negeri itu beserta kekayaan rakyatnya.
Di antara negara-negara yang paling drastis penurunan cadangan emasnya, mayoritasnya justru negara yang penduduk mayoritasnya muslim seperti Indonesia. Bangladesh contohnya, saat ini tinggal memiliki cadangan emas sebesar 3.5 ton saja; Iraq tinggal 5.9 ton; dan negeri jiran kita kini hanya memiliki 36.4 ton. Padahal sebelum krisis 1997/1998 mereka memiliki cadangan emas sekitar dua kali  dari yang dimilikinya sekarang.
Mungkin Anda bertanya, lho kan memang menimbun emas adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam? Betul, menimbun emas dan perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah diancam dengan siksa yang sangat pedih. Tetapi di sisi lain, emas dan perak juga dijadikan hakim/timbangan yang adil dalam bermuamalah. Bahkan batas kewajiban orang kaya dengan hak orang miskin juga ditentukan dengan emas ini, yaitu dalam bentuk nishab zakat yang 20 Dinar.
Artinya membangun cadangan emas, baik oleh negara maupun rakyat, tidak harus identik dengan menimbun. Ketika kita berhasil menjadikan emas atau Dinar kita sebagai hakim yang adil dalam menggerakkan ekonomi; maka di situlah ketahanan ekonomi umat dan bangsa ini insya Allah akan terbangun.
Misi untuk menjadikan emas/Dinar sebagai penggerak sektor riil seperti yang pernah saya tulis tanggal 25 November 2009 lalu misalnya, adalah salah satu upaya kecil yang bisa kita lakukan untuk membangun ketahanan ekonomi agar kita tidak mudah terjajah – dan pada saat bersamaan kita juga terlibat langsung dalam mempercepat putaran ekonomi.
Enam bulan sejak tulisan tersebut diluncurkan, kini produk-produk solusi pembiayaan berbasis emas/Dinar benar-benar telah dapat ditangani dengan baik oleh GeraiDinar beserta mitra-mitranya. Semoga Allah selalu menunjuki kita jalanNya. Amin. (*)
Penulis adalah Direktur  Gerai Dinar

GADAI

Gadai dalam Fikih Islam (Bagian Pertama dari 3 Seri Tulisan)

12 Mei 2011 | Dibaca : 1722 kali | 0 Komentar | Kategori: Hukum Perdagangan, Fikih Kontemporer


Islam adalah agama yang lengkap dan telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, secara sempurna. Setiap orang mesti memerlukan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena itulah, sangat perlu sekali bagi kita untuk mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya adalah dalam interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Suburnya usaha pegadaian
Utang-piutang, terkadang, tidak dapat dihindari. Padahal, banyak fenomena ketidakpercayaan yang bermunculan di tengah manusia, khususnya di zaman ini. Akhirnya, orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri; suburnya usaha-usaha pegadaian, baik yang dikelola oleh pemerintah atau yang dikelola oleh pihak swasta, menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai-menggadai ini. Ironisnya, banyak orang muslim yang belum mengenal aturan indah dan keadilan Islam mengenai hal ini. Padahal, perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka. Sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadilah kezaliman dan sikap saling memakan harta saudaranya dengan jalan yang batil.
Kali ini, kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat, yang meliputi beberapa sub-bab yang akan diuraikan dalam tiga seri tulisan. Selamat membaca!
Definisi ar-rahn
Kata "rahn", dalam bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'.[1] Dikatakan "المَاءُ الرَّاهِنُ", apabila 'tidak mengalir' dan kata "نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ" bermakna 'nikmat yang tidak putus'. Ada yang menyatakan bahwa kata "rahn" bermakna 'tertahan', dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S. Al-Muddatstsir:38)
Kata "rahinah" bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]
Ibnu Faris menyatakan, "Huruf ra', ha', dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn' yaitu 'sesuatu yang digadaikan'." [3]
Adapun definisi "rahn", dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama dengan ungkapan, "Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan jaminan tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [4]
Terdapat juga definisi lain, "Harta benda yang dijadikan jaminan utang agar (utang tersebut) dilunasi dengan nilai barang jaminan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [5]
Ada definisi lain pula, "Memberikan harta sebagai jaminan utang agar harta atau nilai harta itu digunakan sebagai pelunasan utang bila pihak yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." [6]
Adapun Syekh Al-Basaam mendefinisikan "ar-rahn" sebagai 'jaminan utang dengan barang, yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya'. [7]
Hukum ar-rahn
Sistem utang-piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Alquran, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Dalil dari Alquran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Rabb-nya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa saja yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Baqarah:283)
Ayat ini--walaupun ada pernyataan "dalam perjalanan"--namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata "dalam perjalanan" pada ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasa memerlukan sistem ini. Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin, Aisyah, dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
"Sesungguhnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besi beliau." (H.R. Al-Bukhari, no. 2513; Muslim, no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan ar-rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan), namun mereka masih berselisih pendapat tentang kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al-Qurthubi menyatakan, "Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Adh-Dhahak, dan Daud (Azh-Zhahiri)." [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, "Diperbolehkan untuk melakukan ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap), sebagaimana diperbolehkannya ar-rahn dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, 'Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid; ia menyatakan, 'Ar-rahn tidak berlaku, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
'Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberikan piutang).''
Akan tetapi, yang benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dan sabda beliau,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
'Ar-rahn (barang gadai) itu ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila dia digadaikan; susu hewan yang menyusui itu diminum dengan sebab nafkah, apabila hewan tersebut digadaikan. Nafkah itu wajib diberikan oleh orang yang menunggangi hewan tersebut dan oleh orang yang meminum susunya.' (H.R. Al-Bukhari, no. 2512). Wallahu a'lam." [9]
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, [10] dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi. [11]
Apakah ar-rahn wajib ada dalam keadaan safar maupun mukim?
Setelah dijelaskan bahwa pensyariatan ar-rahn berlaku dalam keadaan safar (perjalanan), maka tersisa pertanyaan: Apakah ar-rahn itu wajib ada pada muamalah dalam keadaan safar dan mukim, tidak wajib pada seluruhan keadaan tersebut, atau wajib dalam keadaan safar saja?
Para ulama berselisih dalam dua pendapat mengenai hal ini:
1. Ar-rahn tidak wajib ada, baik pada muamalah dalam keadaan safar atau pun dalam keadaan mukim. Inilah pendapat mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah).
Ibnu Qudamah berkata, "Ar-rahn itu tidak wajib ada. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Ia adalah jaminan atas utang, sehingga ia tidak wajib ada, sebagaimana tidak wajibnya dhiman (jaminan pertanggung-jawaban). [12]
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas, yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan bahwa ar-rahn ini tidak wajib ada.
Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga ia tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya adh-dhiman (jaminan pertanggung-jawaban) dan al-kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain itu, juga karena ar-rahn ini ada ketika pihak yang bermuamalah mengalami kesulitan untuk melakukan penulisan perjanjian utang. Bila al-kitabah tidak wajib dilakukan maka demikian juga penggantinya.
2. Ar-rahn wajib ada pada muamalah yang dilakukan dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
"Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberikan piutang)."
Mereka menyatakan bahawa kalimat "maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberikan piutang)" adalah berita yang bermakna perintah.
Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
"Semua syarat yang tidak ada di Kitabullah maka ia batil, walaupun sebanyak seratus syarat." (H.R. Al-Bukhari).
Mereka menyatakan, "Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar ada dalam Alquran, dan itu diperintahkan, sehingga kita wajib mengamalkannya, dan dia tidak disyaratkan ada (pada muamalah yang berlangsung) dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak (tidak diamalkan pada keadaan mukim, ed.).
Pendapat ini dapat dibantah dengan argumentasi: bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud memberikan bimbingan, bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
"Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)." (Q.S. Al-Baqarah:283)
Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah kebolehan (mubah) yang tetap berlaku, hingga ada larangannya; dan di sini tidak ada larangan yang berlaku. [13]
Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a'lam.
Catatan kaki:
[1] Lihat Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
[2] Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
[3] Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
[4] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
[5] Lihat Al-Mughni, 6:443.
[6] Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al-Aziz.
[7] Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.
[8] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:107.
[9] Lihat Al-Mughni, 6:444 dan Taudhih Al-Ahkam, 4:460.
[10] Fathul Bari, 5:140.
[11] Adhwa' Al-Bayan, 1:228.
[12] Al-Mughni, 6:444.
[13] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:112--112.

Menggadaikan Barang, Apa Hukumnya?

Kamis, 25 November 2010, 02:09 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setiap musim masuk sekolah dan hari raya, sebagian masyarakat Indonesia biasa mendatangi pegadaian. Mereka menggadaikan barang berharga yang dimilikinya agar bisa membiayai sekolah putra-putrinya serta bisa merayakan hari raya. Terlebih, biaya pendidikan di Tanah Air setiap tahun terus naik dan kian tak terjangkau.
Menggadaikan barang merupakan solusi yang cepat. Tak heran, jika minat masyarakat untuk menggadaikan barang berharga miliknya sangat tinggi. Dengan menggadaikan barang, mereka bisa menebusnya kembali sehingga barang berharga kesayangan tak akan hilang.
Ajaran Islam membolehkan transaksi gadai barang. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah SAW.  "Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya."
Nabi SAW juga pernah bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."
Selain itu, para ulama bersepakat membolehkan akad gadai (rahn). Terlebih, berdasarkan kaidah fikih, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.  Terkait masalah gadai, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).
Dalam fatwa itu ditetapkan, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. "Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya," ujar Ketua Umum DSN-MUI, KH MA Sahal Mahfudz dalam fatwa itu.
Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
"Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah," papar Kiai Sahal. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Lalu bagaimana jika terjadi sengketa? Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, fatwa itu mengatur agar diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan.
Dalam fatwa itu, para ulama mendorong agar lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Selain itu, para ulama mengimbau agar proses gadai barang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Red: irf
Rep: heri ruslan
HARTA

Kedudukan Harta Dalam Islam.
Islam adalah agama yang praktis. Dengan hukum-hukumnya, kebutuhan-kebutuhan manusia, bahkan jalan-jalan untuk menuju kearah kebahagiaannya, telah digariskan dan diatur  demikian rapi dan apik, baik untuk kepentingan dan kebahagiaan jasmaninya ataupun rohaninya.
          Di dalam system ajaran Islam, harta kekayaan yang dimiliki manusia, mempunyai nilai demikian tinggi dan kedudukan terhormat. Islam memandang terhadap harta dengan pandangan yang realistis. Dinyatakan, bahwa harta—sebagaimana juga anak-anak, berfungsi sebagai perhiasan hidup, dan ia merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan manusia, baik bagi kehidupan individu, maupun untuk kepentingan bersama (QS Al-Kahfi:46). Oleh karenanya tidaklah diragukan lagi, bahwa harta merupakan salah satu factor penting bagi tercapainya kebahagiaan, kehormatan, ilmu pengetahuan, kesehatan, kekuatan, kemakmuran dan kedudukan tinggi dalam kehidupan ini.
          Karena harta kekayaan tak mungkin didapatkan tanpa usaha, maka Islam menganjurkan manusia untuk mencarinya, yakni melalui usaha pertanian  (QS Abasa: 24-32), atau melalui usaha perdagangan/perniagaan (QS Al-Baqarah 275 dan 282),  ataupun melalui usaha industri (QS Hud:37-38, Al-Kahfi: 96, Al-Anbiya’80 dan Al-Hadid:25). Seseorang yang berusaha mencari harta melalui jalan-jalan tersebut, dinamakan sebagai hamba-hamba Allah yang sedang mencari karunia-Nya (QS Al-Jumu’ah: 10).

Fungsi Sosial dari Harta.
Banyak orang yang beranggapan, bahwa harta kekayaan yang dimilikinya adalah mutlak seratus persen kepunyaannya. Sehingga menurutnya, tindakan ataupun yang akan dilakukannya terhadap hartanya itu, adalah haknya sepenuhnya. Anggapan yang demikian jelas keliru, dan ini jelas merupakan gambaran paham individualisme-liberalisme yang sekuler, yang bertentangan secara diametral dengan konsep dan hukum Islam.
          Al-Qur’an telah menggariskan prinsip-prinsip hukum mengenai harta benda, yang pada hakekatnya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemiliknya. Di antaranya kewajiban memelihara dan menjaga harta sebagai amanah atau titipan Allah padanya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskannya (QS Al-Kahfi: 46). Pemilik harta dilarang menghambur-hamburkan atau berfoya-foya dengan hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang terlarang dan merupakan kedurhakaan (QS Al-A’raf:31 dan Al-Isra’: 26).
          Ditegaskan bahwa terlalu boros atau terlalu kikir dalammembelanjakan harta, akan menimbulkan penyesalan dan kerugian di akhirat kelak (QS Al-Furqan:67 dan Al-Isra’:29). Seseorang yang memiliki harta kekayaan, akan dituntut pertanggung-jawabannya di akhirat kelak, dari mana ia memperolehnya dan kemana serta untuk apa harta itu dibelanjakan (QS Al-Ba, qarah: 254 dan 267).
          Dengan demikian seseorang pada dasarnya dibebani kewajiban mencari harta dengan cara yang legal dan halal, dan dalam membelankannya pun dengan cara halal pula, bukan dengan cara illegal yang akan dapat menimbulkan kejahatan dan kerusakan, seperti umpamanya dengan jalan riba (Al-Baqarah:275) atau dengan cara mengekploitasi kelemahan dan kebodohan orang-orang cilik, agar dapat memperoleh harta dengan jalan batil (QS Al-Baqarah:188).
          Dan lebih dari itu, bahwa dalam harta kekayaan yang dimiliki seseorang hartawan, terdapat hak orang-orang miskin dan orang-orang yang perlu memperoleh santunan dan pertolongan (QS Az-Dzariyat: 19)

Waspadai 9 Dampak Makanan dan Harta Haram

Friday, 07 August 2009 20:22

Banyak kaum Muslim kurang paham bahwa  Allah akan menolak doa orang yang di dalam tubuhnya masuk makanan haram

Hidayatullah.com--"Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal, "demikian ucapan sebagian orang, seolah-olah bisa melegalkan kita mendapatkan makanan yang haram. Tapi begitulah kondisi kehidupan duniawi saat ini.
Banyak orang jungkir-balik bekerja dan mengumpulkan harta demi sesuap nasi, meski harus mengambil dan mendapatkan makanan haram yang sangat dilarang oleh agama.
Padahal gara-gara makanan, doa kita bisa tidak diterima oleh Allah. Ibnu Abbas berkata bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah SAW, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya." (HR At-Thabrani)
Dalam Al-Quran disebutkan,  "Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. "Katakanlah, "Adakah Allah telah memberikan izin kepadamu (dalam persoalan mengharamkan dan menghalalkan) atau kamu hanya mengada-adakan sesuatu terhadap Allah?" (Surah Yunus, 10: 59)
Di bawah ini beberapa dampak makanan haram yang masuk ke perut kita, sebagaimana banyak diungkapkan di hadis dan Al-Quran;
Dampak Langsung
Tidak Diterima Amalan
Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa suapan haram jika masuk ke dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari." (HR At-Thabrani).

Tidak Terkabul Doa
Sa'ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullan saw, "Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul." Rasulullah menjawab, "Wahai Sa'ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan." (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?" (HR Muslim).
Mengikis Keimanan Pelakunya
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari Muslim).
Mencampakkan Pelakunya ke Neraka
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi).
Mengeraskan Hati
Imam Ahmad ra pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran, maka beliau menjawab, "Dengan memakan makanan halal." (Thabaqat Al Hanabilah : 1/219).
At Tustari, seorang mufassir juga mengatakan, "Barangsiapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan sunnah," (Ar Risalah Al Mustarsyidin : hal 216).

Dampak Tidak Langsung
Haji dari Harta Haram Tertolak
Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan, "Labbaik, Allahumma labbaik!" Maka yang berada di langit menyeru, "Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangkan dosa dan tidak diterima." (HR At Thabrani)
Sedekahnya ditolak
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala, dan dosa untuknya." (HR Ibnu Huzaimah)
Shalatnya tidak diterima
Dalam kitab Sya'bul Imam disebutkan, " Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham di antaranya uang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakan." (HR Ahmad)
Silaturrahminya sia-sia
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa, lalu ia dengannya bersilaturahim (menyambung persaudaraan) atau bersedekah, atau membelanjakan (infaq) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu, kemudian Dia melemparkannya ke dalam neraka. Lalu Rasulullah saw bersabda, " Sebaik-baiknya agamamu adalah al-wara' (berhati-hati)." (HR Abu Daud).[
www.hidayatullah.com]

JUAL BELI

(Lihat: 1. Islamic Electronic Book – 1001 Kisah Teladan  - Kejujuran Saudagar Permata; 2. Hadis – Dagang – Mempermudah Costumer dalam Transaksi Bisnis)

Hukum Transaksi Jual Beli secara Kredit
19/05/2008

Salah satu kegiatan bisnis yang terjadi di zaman modern ini adalah jual beli barang secara kredit dengan harga yang labih tinggi dari pada biasanya. Prakteknya adakalanya si tukang kredit memasang dua harga, jika beli secara kredit harganya sekian dan kalau tunai harganya sekian.
Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?
Para ulama merumuskan kaidah tentang hukum transaksi (mu’amalah) bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali kalau di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), sepekulasi (maysir), riba dan  barangnya dijual dua kali.
Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.
Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat: (1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
(2).Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
(3). Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.
Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih).
Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.
Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).
Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih).

HM Cholil Nafis, Lc., MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Dua Harga Untuk Satu Barang

Saturday, 11 July 2009 20:
Di diler mobil ada yang menawarkan harga dengan cara kredit sekian dan kontan sekian (lebih mahal kredit) dan saya pernah mendengar  bahwa dua akad jual beli dalam satu majlis itu di haramkan, kalau itu memang benar bagaimana caranya untuk membeli mobil di diler tersebut.
sebelumnya saya ucapkan terima kasih
Mas Muhammad, Rahimakallah, al hamdulullah agama kita yaitu Islam telah memberikan aturan dalam segala aspek kehidupan kita. Baik secara terinci maupun hanya dalam bentuk global. Termasuk hal yang mendapat perhatian dalam aturan Islam adalah terkait dengan masalah perdagangan. Tidak lain karena hubungan perdagangan merupakan salah satu pilar ekonomi manusia yang menjadi sumber penghidupannya.
Banyak sekali teks dalam Al Qur’an maupun hadits yang terkait dengan masalah ini. Demi kemudahan memberikan penjelasan kepada umat ulama menyimpulkan, bahwa dalam jual beli selain terlengkapinya rukun –yaitu, penjual, pembeli, akad dan barang- diluar itu ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat keabsahannya. Diantaranya adalah bebas dari unsur riba, ketidak jelasan dan penipuan.( al Fiqhul Islamiy: 4 / 228)
Sebelum masuk secara khusus dalam pembahasan mengenai pertanyaan pertama, perlu diketahui beberapa hal. Pertama; pada dasarnya tidak ada larangan untuk menjual barang secara kredit baik dengan cicilan maupun langsung. Kedua, penjual bebas menjual  barangnya dengan harga berapapun asal bebas dari unsur penipuan. Ketiga, tidak ada kewajiban bagi penjual untuk menjual barangya dengan harga yang sama. Pada saat yang samapun ia boleh melepas barangnya dengan harga yang berbeda kepada konsumen.
Terkait langsung dengan masalah yang anda kemukakan, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, ia berkata:” Rasulullah s.a.w melarang dua jual beli dalam satu penjualan (bai’ataini fi bai’ah)” ( HR. Ahmad, Turmudzi . Subulussalam : 3 / 28 . No: 752 Abu Dawud: IX/323 no: 3002).  Imam Syafi’i mengatakan, model transaksi yang dilarang Rasulullah dengan istilah “dua jual beli dalam satu penjualan (bai’aini fi bai’ah)”ada dua macam. Pertama, bila penjual mengatakan :” Aku jual barang ini dengan harga cash Rp A dan bila kredit Rp B lalu pembeli mengambil tanpa kejelasan cara dan harga mana yang dia pilih. Dengan kata lain menjual dengan dua harga tawaran, kemudian pembeli mengambil tanpa kejelasan pilihan harga dan cara pembayaran. Kedua, aku jual ini kepada anda dengan syarat anda jual barang anda yang itu kepada saya. Dan yang pertama itulah yang kita maksud disini.
Ulama dari emapat madzhab kecuali madzhab Maliki mengatakan bahwa transaksi itu rusak atau batal, sebab ada ketidak jelasan (gharar) akibat pembeli tidak menentukan pilihan harga dan cara pembayaran ketika mengambil barang. Sama tidak sahnya jika penjual mengatakan :” Aku jual salah satu barang ini” Lalu pembeli berkata :”Ya”. Maka dari itu ulama Hanafiah menegaskan, bila saja ketidak jelasan itu dihapus maka menjadi sah. Misalnya, sebelum mengambil pembeli mengaskan pilihannya bahwa ia memilih pembayaran cash. Malahan dalam madzhab Maliki dikatakan, tanpa kejelasan itupun transaksi itu tetap sah, namun pilihan itu mnejadi jatuh pada harga kredit, karena nyatanya pembeli tidak langsung membayar ketika mengambil barang.
Memang ada sebagian ulama memberikan alasan bahwa transaksi itu batal karena adanya selisih harga di atas harga rata-rata harga hari itu sebab penangguhan waktu pembayaran,( Subulussalam : 3 / 28 . No: 752)tetapi alasan ini tidak masyhur dan tidak pula ada dalil yang menegaskan demikian.
Memang selintas ada keserupaan dengan pembungaan uang. Tapi sebenarnya jauh berbeda, karena yang anda serahkan adalah barang, bukan uang. Sedangkan riba berlaku pada uang atau yang sehukum. Dan seseorang bebas menjual barangnya dengan harga berapapun asal jelas dan bebas penipuan, baik secara cash maupun kredit. Lagi pula -sebagaimana di atas- tidak ada kewajiban bagi penjual, untuk menjual dengan satu harga pada saat yang sama maupun waktu yang berbeda. Secara logika juga bisa dipahami adanya perbedaan harga itu, karena selisih harga itu dapat dianggap sebagai konsekwensi atau ganti dari kemudahan yang diberikan penjual kepada konsumen, dimana konsumen bisa mengambil manfaat barang -bukan uang- lebih awal sementara penjual belum bisa memanfaatkan haknya. Ini berarti ada jasa / kerugian pada pihak penjual. Maka kerugian / jasa itu sudah selayaknya mendapatkan ganti dari pihak pembeli sehingga terjadi keadilan bagi dua pihak. Penjualan model demikian dalam bank syariah diistilahkan dengan ba’  bitsaman ajil (jual dengan pembayaran tunda)
Dengan demikian semoga tidak ada keraguan lagi bagi anda tentang kebolehan transaksi itu dan pertanyaan yang anda sampaikan bisa terjawab. Wallahu a’lam

Etika Jual Beli

Pada suatu hari, seorang saudagar perhiasan di zaman Tabiin bernama Yunus bin Ubaid, menyuruh saudaranya menjaga tokonya karena ia akan keluar solat. Ketika itu datanglah seorang badwi yang hendak membeli perhiasan di  itu. Maka terjadilah jual beli di antara badwi itu dan penjaga  yang diamanahkan tuannya tadi. Satu barang perhiasan permata yang hendak dibeli harganya empat ratus dirham. Saudara Yunus menunjukkan suatu barang yang sebetulnya harga dua ratus dirham. Barang tersebut dibeli oleh badwi tadi tanpa diminta mengurangkan harganya. Di tengah jalan, dia bertemu dengan Yunus bin Ubaid. Yunus bin Ubaid lalu bertanya kepada si badwi yang membawa barang perhiasan yang dibeli dari tokonya tadi. Yunus mengenali barang tersebut adalah dari tokonya. Yunus bertanya kepada badwi itu, “Berapakah harga barang ini kamu beli?”  Badwi itu menjawab, “Empat ratus dirham.” “Tetapi harga sebenarnya Cuma dua ratus dirham saja. Mari ke  saya supaya saya dapat kembalikan uang selebihnya kepada saudara.” Kata  Yunus lagi. “Biarlah, aku telah merasa senang dan beruntung dengan harga yang empat ratus dirham itu, sebab di kampungku harga barang ini paling murah lima ratus dirham.” Tetapi saudagar Yunus itu tidak mau melepaskan badwi itu pergi. Didesaknya juga agar badwi tersebut balik ke tokonya dan bila tiba dikembalikan uang kelebihannya kepada badwi itu. Setelah badwi itu berjalan, berkatalah Yunus kepada saudaranya, “Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan dua kali ganda?” “Tetapi dia sendiri yang mau membelinya dengan harga empat ratus dirham.” Saudaranya coba mempertahankan bahwa dia dipihak yang benar. Kata  Yunus lagi, “Ya, tetapi di atas pundak kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri.” Jika kisah ini dapat dijadikan teladan bagi pedagang kita yang beriman, amatlah tepat. Karena ini menunjukkan pribadi seorang pedagang yang jujur dan amanah di jalan mencari rezeki yang halal. Semuanya berjalan dengan aman dan tenteram karena tidak ada penipuan dalam perdagangan.


KARTU KREDIT

Hukum Menggunakan Kartu Kredit

Tuesday, 19 January 2010 14:00

Mayoritas ulama menyatakan bahwa syarat yang tidak sesuai dengan syariat yang terjadi dalam sebuah transaksi, akan merusak transaksi dan pelakunya berdosa
Di dunia modern seperti ini, banyak kaum muslimin yang menggunakan kartu kredit di dalam melakukan transaksi jual beli. Kartu tersebut dirasa lebih efesien, aman, dan praktis ngina kalau membawa uang tunai kemana-mana.
Bagaimana ngin menggunakan kartu kredit tersebut? Sebagian kalangan menyatakan haram karena di dalam kartu tersebut terdapat ngina riba. Namun, sebagian yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kartu kredit tersebut halal secara mutlak dan tidak ada ngina riba. Bagaimana sebenarnya ?
Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa dalam kartu kredit ini terdapat tiga transaksi:

Pertama: Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit dengan pengguna kartu kredit. Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit (dalam hal ini adalah perbankan) dan pihak yang menggunakannya (yaitu nasabah) adalah transaksi kafalah (jaminan). Dalam hal ini perbankan bertindak sebagai kafil (pihak penjamin), sedang pengguna kartu sebagai pihak yang terjamin, sedangkan kartu kredit itu sendiri adalah bukti dari kafalah.
Pihak penjamin berkewajiban membayar seluruh hutang-hutang pengguna dalam setiap transaksinya dengan para pedagang yang telah ditunjuk oleh pihak penjamin. Transaksi ini oleh para fuqaha disebut dengan “ dhoman ma lam yajib“ (jaminan pada sesuatu yang bukan kewajibannya), dan hal ini dibolehkan oleh mayoritas ulama, adapun ulama-ulama Syafi’iyah tidak membolehkannya.
Hanya saja, transaksi kafalah dalam bentuk ini menyisakan beberapa masalah, di antaranya bahwa transaksi kafalah di dalam syariat Islam tidak berorientasi kepada profit, tetapi hanya bantuan belaka. Sedang transaksi kafalah dalam kartu kredit bertujuan untuk mendapatkan keuntungan di balik bantuan yang diberikan kepada para pengguna kartu.

Hukum Membership Fee
Untuk memiliki kartu kredit, seseorang harus menjadi anggota dan membayar sejumlah uang pembuatan kartu. Begitu juga dia harus membayar uang untuk memperbaharui kartu tersebut tiap tahun, jika dia ingin meneruskan penggunaan kartu tersebut.
Bagaimana ngin membership fee tersebut menurut fikih? Para ulama menjelaskan bahwa uang dari jasa pembuatan kartu kredit tersebut adalah boleh, selama biayanya masih dalam batas kewajaran, karena hal itu termasuk dalam katagori upah pembuatan kartu. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa semua pengguna kartu tersebut dipungut biaya yang sama, baik dia menggunakan kartu kredit tersebut untuk membeli barang yang sangat banyak, maupun sedikit, bahkan bagi yang tidak menggunakannya sama sekali. Semuanya dikenakan biaya yang sama.

Telat Pembayaran  
Para pengguna kartu sebagai pihak yang terjamin berkewajiban membayar hutang–hutangnya kepada pihak yang menjamin. Pembayaran hutang ini tentunya sesuai dengan nilai barang yang dia beli dari pedagang atau jasa yang ia manfaatkan darinya. Seandainya pihak penjamin meminta lebih dari itu atau mensyaratkan imbalan jasa dari jaminan yang diberikannya, maka tambahan atau imbalan jasa tersebut termasuk dalam katagori riba. Begitu juga, jika pihak penjamin memberlakukan ketentuan bunga kepada pihak pengguna kartu jika pelunasan hutang kepadanya lewat jatuh tempo atau menunggak. Ini semua tidak dibolehkan.
Bagaimana jika pengguna kartu meyakini karena melihat kondisi ngina dan ekonominya, mampu membayar tepat waktu kepada pihak penjamin sehingga tidak akan terkena denda atas keterlambatan membayar hutang? Mayoritas ulama menyatakan bahwa syarat yang tidak sesuai dengan syariat yang terjadi dalam sebuah transaksi, maka akan merusak transaksi itu sendiri dan pelakunya berdosa. Sedang madzhab Hanabilah menyatakan bahwa syarat yang menyelisihi syariat tersebut tidak mempengaruhi keabsyahaan transaksi, dan syarat tersebut dengan sendirinya batal. Oleh karenanya, menurut madzhab ini pengguna kartu yang membayar hutangnya kepada penjamin tepat pada waktunya tidak terkena riba dan ini dibolehkan.

Kedua: Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit dengan para pedagang.
Pihak yang mengeluarkan kartu berkewajiban untuk membayar hutang yang ditanggung pihak pengguna kepada para pedagang tersebut. Hutang tersebut bisa dipindahkan dari pihak pengguna kartu kepada pihak yang mengeluarkan kartu melalui transaksi hiwalah. Jadi, para pedagang tidak boleh lagi meminta bayaran kepada para pembeli yag merupakan pihak pengguna kartu atau pihak yang dijamin, karena hutang mereka sudah dipindahkan ke pihak yang mengeluarkan kartu. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “ az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin adalah pihak yang berhutang (karena jaminan tersebut).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah ).

Keuntungan Pihak Penjamin
Pihak penjamin, yaitu yang mengeluarkan kartu akan mendapat keuntungan dari pihak pedagang dalam bentuk diskon harga barang-barang yang telah dibeli oleh pihak pengguna kartu. Artinya pihak penjamin tidak membayar penuh dari jumlah harga yang telah dibeli oleh pengguna kartu atau dalam rekening pembayaran. Bagaimana ngin mengambil keuntungan dengan cara seperti ini? Sebagian ulama membolehkan transaksi semacam ini dengan mengemukakan beberapa ngina:
1. Keuntungan tersebut adalah biaya administrasi atau upah dari jasa pengambilan uang dari para nasabah (para pengguna kartu), dan ini dibolehkan.
2. Keuntungan tersebut adalah upah dari jasa pihak penjamin, karena membuat iklan dan pesan-pesan terhadap barang-barang yang dijual pedagang.
3. Keuntungan tersebut adalah upah dari jasa pihak penjamin, karena telah membantu pedagang untuk mencarikan pelanggan, yang dalam istilah fikih disebut samsarah atau mediator atau broker.
Yang menjadi masalah dalam transaksi ini adalah bahwa hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu (penjamin) dengan pihak pedagang adalah hubungan kafalah di dalam membayar hutang-hutang pihak pengguna kartu (yang dijamin) kepada pedagang. Tetapi di dalam satu waktu, ketika pihak penjamin mendapat keuntungan dari pedagang berupa diskon harga, maka hubungan antara keduanya berubah menjadi transaksi ijarah, atau mediator.

Ketiga: Transaksi antara para pengguna kartu dengan para pedagang
Transaksi antara para pengguna kartu dengan para pedagang mempunyai dua bentuk:
1.   Transaksi jual beli, hal ini terjadi jika pembawa kartu tersebut membeli barang-barang dari pedagang.
2.   Transaksi ijarah (sewaan), hal ini jika pembawa kartu memanfaatkan sesuatu dari pedagang.
Kedua transaksi tersebut sah dan diizinkan dalam syariat Islam.

Kesimpulan
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa menggunakan kartu kredit di dalam transaksi jual beli hukumnya diperinci terlebih dahulu:
Jika pihak penjamin tidak mensyaratkan denda dari keterlambatan pembayaran hutang dari pihak yang dijamin, maka hukumnya boleh. Sebaliknya, jika disyaratkan seperti itu, maka hukumnya tidak boleh, kecuali jika pihak pengguna kartu berkeyakinan penuh bahwa dia bisa melunasi hutang tersebut tepat pada waktunya, maka hal ini dibolehkan menurut sebagian ulama.
Bagi pihak pembuat kartu (penjamin) dibolehkan memungut biaya pembuatan kartu dari pihak pengguna dalam batas-batas kewajaran. Begitu juga, pihak penjamin atau pembuat kartu dibolehkan mendapatkan keuntungan dari penjual berupa discount harga-harga yang dibeli oleh pengguna kartu, karena telah mempromosikan barang-barangnya kepada konsumen, atau karena telah membantu pedagang mencarikan pelanggan atau karena telah membantu untuk mengambil hutang-hutang dari pengguna kartu.
Walaupun begitu, dianjurkan seorang muslim untuk berhati-hati sekali menggunakan kartu dalam transaksi semacam ini. Jika tidak mendesak, sebaiknya ditinggalkan. Wallahu A’lam. [
www.hidayatullah.com]

KASIR PEREMPUAN

Al Lajnah Ad Da`imah Haramkan Wanita Jadi Kasir

Monday, 01 November 2010 11:01

Pemerintah Saudi sudah menurunkan keputusan bolehnya wanita bekerja menjadi penjual pakaian dalam sejak 2006, namun hingga kini belum terlaksana

Hidayatullah.com--Al Lajnah Ad Dai`imah li Al Buhuts Al Ilmiah wa Al Ifta` Saudi mengeluarkan fawa baru pada hari Ahad (31/10/2010) kemarin. Fatwa yang menyebutkan haramnya wanita menjadi kasir itu dikeluarkan untuk mengakhiri polemik mengenai hukum wanita menjadi kasir di negeri itu, demikian lansir onislam.net (31/10).
Teks fatwa menyebutkan,”Dilarang wanita bekerja di tempat yang terdapat ikhtilath dengan laki-laki, wajib baginya untuk menjauhi tempat berkumpulnya laki-laki dan mencari pekerjaan yang mubah, tidak menjerumuskan dia kepada fitnah dan tidak menyebabkan ia menjadi sumber fitnah.”
Fatwa itu menjawab pertanyaan yang menyebutkan bahwa sejumlah toko telah memperkerjakan wanita sebagai kasir, yang melayani konsumen laki-laki dan perempuan. Dalam satu hari ia bisa bertemu dengan puluhan laki-laki dan berkomunikasi  dengan mereka. Demikian juga  ia berkumpul dan berinteraksi dengan teman seprofesi serta atasan. Bagaimana hukum melakukan perkerjaan dalam keadaan demikian?
Al Lajnah Ad Da`imah menjawab bahwa kondisi yang disebutkan dalam pertanyaan menyebabkan wanita terjerumus dalam fitnah dan laki-laki juga terfitnah. Hal ini adalah aktivitas yang diharamkan. Dan mengangkat wanita untuk bekerja dalam keadaan demikian juga haram.
Sebagaimana diketahui, bahwa Kementerian Tenaga Kerja Saudi telah mencanangkan sejak lima tahun lalu untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi para wanita Saudi, yang sebelumnya hanya menempati sektor pendidikan. Namun, langkah tersebut belum terealisiasi, semisal keputusan mengenai bolehnya wanita menjadi penjual pakaian dalam wanita.
Keputusan mengenai bolehnya wanita bekerja dalam sektor jual-beli khusus pakaian dalam telah terbit sejak tahun 2006, namun hingga kini belum terlaksana di lapangan karena ditentang sebagaian tokoh agama. [tho/oni/hidayatullah.com]

KOPERASI SIMPAN PINJAM

Koperasi Simpan Pinjam ataukah Syirkah?
06/03/2007

Bahtsul Masail Diniyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pesantren Ihya Ulumuddin, Kesugihan, Cilacap, 23-26 Rabi’ul Awwal 1408 H / 15-18 Nopember 1987 membahas pertanyaan seputar apakah uang administrasi dalam koperasi simpan pinjam (Kosipa) termasuk riba? Bagaimana solusinya? Apakah Ada zakatnya?
Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa modal yang dikumpulkan dalam Kosipa dari uang simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi untuk dipinjamkan kepada yang memerlukan pinjaman, tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh, karena:
a. Dalam syirkah pengumpulan modal itu disyaratkan harus ada “lafadl” atau kalimat yang dapat dirasakan sebagai pemberian izin dalam perdagangan. Sedangkan dalam Kosipa pengumpulan modal tersebut dimaksudkan untuk dipinjamkan.
b. Dalam syirkah modal harus sudah terkumpul sebelum dilakukan syirkah. Sedangkan dalam Kosipa biasanya modal baru dikumpulkan sesudah disetujui oleh rapat anggota.
Jadi akad pengumpulan modal dalam Kosipa tersebut tidak sah menurut ketentuan syara. Pengambilan dalil antara lain: Dari kitab-kitab fiqh, antara lain kitab Minhajuth Thullab, hamisy dari kitab Fathul Wahab juz I, hlm. 217 yang berbunyi:
Dan disyaratkan dalam perseroan adanya lafal yang dapat memberikan pengertian adanya izin berdagang . . . dan dalam barang yang diperserokan, maka harus merupakan barang yang sepadan dan sudah tercampur (dengan barang dari pihak lain) sebelum dilakukan transaksi sehingga tidak bisa dibedakan lagi.
Uang administrasi yang dipungut oleh Kosipa dari setiap anggota Kosipa yang meminjam uang, hanyalah merupakan istilah lain dari bunga, karena:
a. Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang meminjam uang; sehingga pada hakikatnya tidak berbeda dengan manfaat yang ditarik oleh yang meminjamkan uang, dalam hal ini Kosipa dari para peminjam uang.
b. Besarnya uang administrasi yang dipungut oleh Kosipa dari para peminjam uang telah ditentukan sesuai dengan besarnya uang yang dipinjam, yaitu sekian persen dari jumlah pinjaman sesuai dengan keputusan rapat anggota.
Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang administrasi sedang berlangsung, atau sebelum akad atau pun sesudah akad apakah syarat tersebut berbentuk ucapan atau berbentuk tulisan yang kesemuanya itu memerlukan pembahasan tersendiri, maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimasukkan dalam makna hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
Semua peminjaman yang dapat menyebabkan adannya sesuatu manfaat; maka hukumnya riba.”
Oleh karena akad pengumpulan modal dalam Kosipa tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah maka masalah zakanya dikembalikan kepada masing-masing anggota Kosipa tersebut. Oleh karena Kosipa ini telah dilaksanakan di seluruh tanah air Indonesia maka seluruh musyawirin telah bersepakat untuk memberikan jalan keluar yang dapat dibenarkan oleh syara. sebagai berikut.
a. Kosipa harus digantikan bentuknya dengan bentuk koperasi biasa (syirkah) yang dibenarkan oleh syara, sebagaimana disinggung di atas.
b. Uang yang telah menjadi milik koperasi dapat dipinjamkan kepada para anggota tanpa dikenakan uang administrasi dari prosentase jumlah uang yang dipinjam. (nam)

LEASING

MAKANAN
(Lihat: Harta)

Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Ustadz yg saya hormati, saya mau tanya apa hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah
Tanya Jawab (448): Memakan Semut yang Tercampur di Makanan 
Ass. Wr. Wb
Ustadz yg saya hormati, saya mau tanya apa hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah
Di forum tanya jawab sudah dijelaskan ada beberapa serangga yang boleh
dibunuh & yang tidak boleh dibunuh. Tapi di situ tdk dijelaskan
kehalalannya jika dimakan. Jadi saya minta penjelasannya lagi tentang
serangga-serangga yg saya sebutkan di atas apakah halal dimakan?
Terima kasih atas jawabannya
Wass.Wr.Wb
M Syahril M - Mojokerto
Jabab:
Sdr. Sharil
Assalamualaikum war. wab
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hewan yang dilarang membunuhnya, maka dilarang juga mengkonsumsi atau memakannya. Seperti hadist yang melarang membunuh katak ditafsirkan bahwa itu juga mengindikasikan larangan memakannya, maka para ulama sepakat melarang makan katak.
 
Semut:
Dalam hadist riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. melarang membunuh empat jenis hewan melata, yaitu semut, lebah, burung hud-hud dan burung sejenis jalak. (h.r. Abu Dawud sahih sesuai syarat sahihain). Khatabi dan Baghawi menegaskan bahwa semut di sini bukan semua jenis semut, tapi semut Sulaimaniyah, yaitu semut besar yang tidak membahayakan dan tidak menyerang manusia. Adapun semut-semut kecil yang kadang termasuk wabah dan mengganggu serta menyerang manusia, maka boleh dibunuh. Imam Malik mengatakan makruh hukumnya membunuh semut yang tidak membahayakan. Namun meskipun boleh membunuh semut, tapi sebaiknya mebunuh semut dengan cara tidak membakarnya, karena ada hadist yang menegaskan bahwa yang berhak menyiksa dengan api adalah Tuhan api. (h.r. Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud).
Bagaimana dengan semut yang kadang masuk di makanan kita? Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, Syah Minhaj (40/403) karangan Imam Zakariya al-Anshori dijelaskan bahwa apabila semut jatuh ke madu kemudian madu itu dimasak, maka boleh memakan semut tadi bersama madu, tetapi kalau jatuh di daging yang memungkinkan memisahkan bangkai semut tadi, maka tidak boleh memakannya dan harus dipisahkan dari daging yang dimasak. Sangat jelas, alasan diperbolehkan makan bangkai semut bersama makanan yang tercampur adalah karena sulit memisahkannya, sejauh bisa dipisahkan dan mungkin untuk mengeluarkannya dari makanan, maka harus dilakukan dan tidak boleh memakannya. Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin (1/438) juga menegaskan bahwa apabila semut atau lalat terjatuh ke dalam periuk makanan, maka tidak harus menumpahkan dan membuang semua makanan yang ada dalam periuk makanan tadi, karena yang dianggap menjijikkan adalah fisik bangkai semut atau lalat tadi, sejauh keduanya tidak mempunyai darah maka tidak najis, ini juga menunjukkan bahwa larangan makan keduanya karena dianggap menjijikkan.
 
Lebah
Kebanyakan ulama mengatakan hukum lebah sama dengan semut dengan landasan hadist di atas, yaitu larangan membunuhnya dan larangan memakannya. Namun para ulama menerangkan bahwa larangan membunuh lebah karena menghasilkan madu yang berguna bagi manusia. Meskipun demikian ada beberapa pendapat lemah yang mengatakan boleh memakan lebah karena disamakan dengan belalang dan begitu juga boleh membunuh lebah karena bisa menyengat, apalagi lebah yang membahayakan dan tidak memproduksi madu.
 
Lalat
Melihat keterangan di atas, sangat jelas bahwa lalat haram dikonsumsi meskipun bangkainya tidak najis karena tidak mempunyai darah. Saat ini banyak ilmu kesehatan menjelaskan bahwa lalat membawa penyakit, ini semakin memperkuat keharaman lalat. Hadist Bukhari yang mengatakan bahwa apabila ada lalat jatuh di makanan kita maka benamkanlah lalu buanglah, oleh para ulama dianggal tidak menunjukkan kehalalan lalat.
 
Jangkrik
Hewan dari jenis ini yang halal adalah belalang. Dalam satu hadist Rasulullah menegaskan, ada dua bangkai yang halal yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang. Selain belalang, maka hukum memakannya dikembalikan kapada apakah hewan membahayakan atau menjijikkan, bila itu membahayakan dan menjijikkan, maka jelas diharamkan.
Wallahu a’lam bissowab
Semoga membantu
Wassalam
Muhammad Niam
*Sumber Jawaban ini dikumpulkan menggunakan Software Maktabah Syamilah

MENIMBUN BARANG

Haram, Menimbun Barang Dagangan

Jumat, 24 Desember 2010, 19:13 WIB

Musiron/Republik
Harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan menjelang akhir tahun. Lonjakan harga itu juga termasuk pada beras.
Masyarakat mengeluhkan melambungnya harga itu. Pengamat bahkan menduga terjadi penimbunan oleh pedagang. Tujuannya tentu untuk mengeruk keuntungan berlimpah. Bagaimana Islam merespons penimbunan barang dagangan?
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatwa Fatwa Kontemporer, menegaskan, jangan menimbun barang dagangan ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Sebab, itu merupakan perbuatan yang haram. Larangan ini mencakup semua barang dagangan. Tak hanya bahan-bahan pokok.
Ia mengutip hadis Rasulullah men dukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," demikian hadis yang diriwayatkan Muslim dan Abu Daud. Predikat khathi'un atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele. Allah SWT menyebut Fir'aun dan Hamman serta tentaranya dengan sebutan yang sama.
Dalam Al-Qashash ayat 8, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan yang sama juga disampaikan Sayyid Sabiq yang tertuang dalam bukunya Fiqih Sunnah. Ia beralasan, menimbun dilandasi sifat tamak dan akhlak rendah serta merugikan kepentingan publik.
Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Bazzaz, mengungkapkan, orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut.
Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang.
Melalui kitabnya, Jami, Razin menggambarkan perkataan Rasulullah mengenai para penimbun barang.
Sejelek-jelek hamba adalah penimbun barang. Jika mereka mendengar barang maka tak akan senang. Sebaliknya, saat harga barang menjadi mahal maka kegembiraan menyelimuti mereka.
Menurut Sayyid Sabiq, sejumlah ahli fikih menetapkan batasan kapan penimbunan barang dinyatakan haram. Ada sejumlah kategori, yaitu pertama, barang yang ditimbun lebih dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh.
Seseorang diizinkan menimbun nafkah pangan bagi diri dan keluarganya selama satu tahun.
Kedua, pemilik barang yang ditimbun menunggu terjadinya kenaikan harga barang. Maka itu, ia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi. Ia mendapatkan keuntungan sangat tinggi.
Dan ketiga, penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang itu.
Misalnya, makanan, pakaian, dan barang lain yang sangat dibutuhkan. Menurut Sayyid Sabiq, jika barang-barang yang ada pada para pedagang itu tak dibutuhkan masyarakat maka bukan dianggap sebagai penimbunan. Dengan alasan, tak membuat kesulitan bagi publik.
Para pedagang juga diingatkan untuk menyempurnakan takaran barang yang dijualnya. "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil." Demikian Allah SWT menyatakan dalam Al-An'am ayat 152. Di surah lainnya, yaitu Al-Israa ayat 35, dan surah Al-Muthaffifin [83] ayat 1-3, juga menegaskan hal yang sama.
Dalam surat tersebut, para pedagang dituntut untuk menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Hal itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya. Allah pun melarang para pedagang mempermainkan dan berbuat curang ketika menakar dan menimbang.
Rasulullah menganjurkan pedagang melebihkan jumlah timbangan. Suwaid bin Qais, dalam riwayatnya mengatakan, ia dan Makhrafah Al-Abadi pernah mendatangkan beberapa pakaian dari tanah Hajar ke Makkah. Rasulullah melintas dan keduanya menawarkan sebuah celana. Rasulullah pun membelinya.
Kala itu, ada seseorang yang sedang menimbang barang, kemudian Muhammad SAW mengatakan, "Timbanglah dan lebihkan." Hadis ini diriwayatkan oleh Turmuzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.

OBLIGASI

Ulama Al Azhar: “Obligasi dengan Bunga Riba, Haram”

Wednesday, 07 April 2010 08:26
Perkumpulan ulama Al Azhar menilai, tidak berlaku hukum darurat yang membolehkan mengeluarkan obligasi dengan bunga

Hidayatullah.com—Jabhah Ulama Al Azhar mengeluarkan pernyataan resmi di situsnya mengenai haramnya sanad (obligasi) yang dikeluarkan negara Mesir karena memberlakukan bunga. Mereka juga menegaskan bahwa tidak bisa diberlakukan hukum darurat dalam kasus ini.
Keputusan itu merespon talks show yang disiarkan oleh channel Al Azhar pada tanggal 2 April 2010 lalu, yang menghadirkan tiga pembicara yang menurut Jabhah, tidak ada satu pun dari mereka dikenal sebagai ahli fiqih dan ushulnya. Salah satu nara sumbernya menyebutkan bahwa pemerintah Mesir mengeluarkan sanad (obligasi) dengan bunga termasuk kategori perkara darurat.
Menanggapi pernyataan itu, perkumpulan ulama Al Azhar yang dikenal kritis ini menyampaikan bahwa hal itu tidak tergolong masalah darurat. Jabhah menjelaskan bahwa keadaan darurat yang oleh syariat diperbolehkan untuk melakukan perbuatan haram adalah hukum pengecualian yang berlaku pada perseorangan dengan berbagai syaratnya, bukan berlaku kepada negara yang telah memakan harta rakyat dengan batil, yang menjual hasil buminya untuk kepentingan musuh, serta yang menghalalkan khamr, dan lainnya.
Jabhah lalu menjelaskan bahwa  keadaan darurat tidak menjadikan seseorang boleh melakukan hal yang haram, kecuali jika kehidupannya terancam, sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah daging babi serta apa-apa yang disembelih dengan menyebutkan nama selain Allah. Tapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [Al Baqarah [2]: 173]. Itulah yang dimaksud dengan darurat, sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Jabhah.

Fatwa Al Buhuts Al Islam  
Pihak Jabhah juga  menukil keputusan Al Majma’ Buhuts Al Islami, lembaga riset Islam tertinggi di institusi Al Azhar yang dikeluarkan pada 12 Muharram 1385 H (1965 H) mengenai haramnya bunga dari berbagai varian utang, baik dengan jumlah nominal yang  sedikit ataupun banyak. Mengutangi dengan memberlakukan bunga adalah perkara yang juga diharamkan, baik karena hajat (kebutuhan) atau karena darurat. Adapun berhutang dengan beban bunga juga haram, namun dibolehkan jika pelakunya berada dalam keadaan darurat.
Sebagaiman diketahui, sanad (obligasi) merupakan salah satu bentuk dari surat berharga yang merupakan surat penegasan utang yang dikeluarkan oleh negara atau syirkan dengan disertai bunga, sesuai dengan nilai sanad. Negara biasa mengeluarkan sanad untuk mendukung dana proyek mereka dengan menjualnya kepada publik.
Adapun channel Al Azhar tidak ada hubungannya sama sekali dengan institusi pendidikan Al Azhar Mesir, ia merupakan channel televisi yang dibentuk oleh Khalid Jundi, salah seorang cendekiawan di Mesir.
Sebelumnya peserta sidang OKI kedua di Karachi Pakistan, bulan Desember 1970 M telah menyepakati dua hal utama , yaitu praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari`at Islam. Sementara Lajnah Daimah, Saudi dalam Fatwa No: 16576, Fatawa Lajnah 13/354 juga mengharamkan hal sama terhadap bunga bank.  [tho/jbh/hidayatullah.com].

PASAR

Runtuhnya Mitos Mekanisme Pasar
05/02/2009

Ketika negeri ini menganut tata-kapitalisme tulen sejak reformasi, yang sebelumnya hanya kapitalisme semu, maka semua perkara mulai dari ekonomi sendiri, masalah sosial, ilmu pengetahuan dan politik dijalankan dan ditimbang menurut mekanisme  pasar. Pasar dianggap sebagai tata kehidupan yang memiliki mekanisme yang serba teratur dan objektif. Objektivitas itulah yang diserahi tanggung jawab untuk mengelola mekanisme itu secara adil menurut hukum suplay and demand (ketersediaan dan permintaan).
Mekanisme atau tepatnya hukum pasar itu memperlihatkan sosoknya ketika terjadi kenaikan atau penurunan harga minyak dunia, dimana pemerintah yang menetapkan harga berdasarkan daya beli masyarakat mulai dituntut untuk menyesuaikan dengan harga pasar. Pemerintah mengurangi subsidi minyak dengan alasan mengikuti kenaikan harga minyak dunia. Tetapi ketika harga minyak turun ternyata pemerintah tidak mau menurunkan harga, maka timbullah protes, dimana pemerintah tidak mentaati mekanisme pasar, padahal harga minyak tidak hanya turun tetapi telah anjlok serendah-rendahnya.
Baru ketika ada tekanan sosial dan politik baik dari rakyat, parlemen termasuk pengusaha pemerintah mau menurunkan harga, agar ekonomi nasional bangkit.  Karena tekanan yang kuat beserta datangnya musim kampanye politik Pemilu 2009, pemerintah terpaksa menurunkan harga minyak, demi kepentingan politiknya sendiri, bukan untuk memulihkan ekonomi nasional. Sebagai rentetannya diharapkan oleh semua pihak dengan menurunnya harga minyak ini semua harga barang dan jasa juga turun, dan ini menjadi ajang kampanye yang subur.
Tetapi apa yang terjadi, walaupun harga minyak telah turun beberapa kali hingga mencapai belasan persen, tetapi tidak satupun pengusaha yang mau menurunkan harga, terutama pengguna minyak yaitu sektor transportasi. Ketika harga minyak naik, sektor ini langsung menuntut kenaikan. Tetapi ketika harga minyak turun mereka sepakat untuk tidak menurunkan ongkos angkutan. Mereka tidak mau tahu dengan mekanisme pasar, pengusaha angkutan dengan kasar memeras para pengguna jasa, mereka sama sekali tidak mau menurunkan tarif. Pemerintah mengklaim bahwa aturannya ditaati, padahal di lapangan dikhianati. Aparat pemerintah tidak ada yang melakukan pengawasan atau razia, hanya bikin pernyataan di media massa, akhirnya para penumpang rugi sendiri tanpa perlindungan dari lembaga konsumen sekalipun.
Akhirnya rakyat sebagian melakukan reaksi dengan tindakannya sendiri, melakukan bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Hal itu dimungkinkan karena harga minyak sudah turun sehingga biaya bisa lebih ditekan, mengharapkan mekanisme pasar sudah tidak bisa lagi, langkah sendiri lebih dipercayai. Maka akibatnya kemacetan meningkat di mana-mana, para pengendara sepeda motor makin memadati kota-kota besar, sehingga kesemrawutan di jalan dan segala angkutannya  tak lagi terkendalikan.
Ketika pemerintah tidak lagi berkuasa, karena telah menjadi pengusaha, sementara pengusaha tidak lagi taat pada mekanisme pasar. Maka pasar kemudian diatur oleh kekuatan politik, sementara politik tidak dikendalikan lagi oleh pemerintah tetapi oleh kekuatan pasar, maka pasar bukan lagi mekanisme yang terbuka berdasarkan penawaran dan permintaan, tetapi diatur berdasarkan kekuatan otot. Siapa yang berkuasa akan kuasa menentukan harga. Pengusaha baik konglomerat maupun pemilik angkot, tukang ojek atau penjual gorengan, merasa berkuasa di habitatnya sendiri, karena itu mereka akan memaksakan harga barang dan jasanya sesuai dengan kemauannya.
Kelompok fundamentalis pasar akan kehilangan argumen melihat kenyataan ini, apalagi kenyataan ini tidak hanya berlaku dalam ekonomi nasional. Ekonomi global yang menganut kapitalisme murni ternyata juga sangat mengandalkan kekuatan pemerintah. Mereka menolak intervensi pemerintah hanya ketika mereka jaya, ketika sepenuhnya menguasai pasar dan berhasil menghisap dan melenyapkan seluruh pesaingnya. Tetapi ketika mereka mengalami kemerosotan langsung mereka memaksa pemerintah untuk memberikan pertolongan, atas nama menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Limbungnya korporasi besar di negara-negara kapitalis Barat, yang selama ini mengutuk pemerintah dan mengharamkan subsidi, ternyata ketika mereka dilanda persoalan juga minta pertolongan pemerintah melakukan subsidi kepada mereka. Beberapa yang mendapatkan subsidi selamat, sementara yang tidak mendapatkan subsidi rontok. Di sini tidak ada mekanisme pasar, memang sejak awal mekanisme pasar itu hanya mitos, semua bentuk perdagangan antar negara diatur melalui pakta politik, yang saling menerkam. Karena itulah diperlukan adanya pangkalan militer diperlukan kapal induk untuk menjaga korporasi multi nasional.
Dari situ kelihatan bahwa imperialisme dan kolonialisme adalah anak dari kapitalisme, dari kapitalisme itulah timbul penjajahan dunia Barat yang dimulai oleh Portugis dilanjutkan oleh Spanyol, Inggris, Perancis Belanda dan sebagainya. Semua penjajahan politik dan militer itu bertujuan ekonomi, untuk mencari bahan mentah, mencari tenaga murah dan untuk memperluas pasar. Semuanya itu tidak dijalankan berdasarkan mekanisme pasar yang adil, tetapi dijalankan dengan cara monopoli. Salah satu sumbangan terbesar kapitalisme dalam sistem ekonomi adalah monopoli ini.
Sistem pasasr adalah sistem liberal, liberal bukan untuk semua tetapi liberal dan kebebasan untuk pemilik modal dalam upaya mengembangkan modalnya, termasuk kebebasan menyingkirkan pesaingnya, tidak peduli pesaingnya itu monglomerat atau usaha kecil termasuk kaki lima. Kalau dulu pernah ada aturan dalam membangun pasar swalayan, agar tidak mengganggu pasar tradisional. Ketika kapitalisme telah diterapkan secara total, maka pasar swalayan bisa didirikan di tengah pasar tradisional, sehingga memreka kalah bersaing. Pasar Jaya milik pemerintah akhirnya mambasmi para usaha kecil kemudian menyerahkannya pada pengusahi besar, sehingga ekonomi semakin terkonsentrasi.
Mekanisme pasar yang adil yang diharapkan bisa memimpin perjalanan ekonomi itu hanya sekaadar mitos, mitos itu kini sudah runtuh dan terboingkar dan runtuh, ketika mereka ternyata takut dengan mekanisme pasar itu sendiri, pasar ternyata diatur melalui sebuah struggle, pertempuran antar kekuatan, kemapuan injak-menginjak, bentak-membentak, siapa yang punya kekuatan itu akan memangkan persaingan di pasar. Karena jelas bahwa mekanisme pasar yang adil tidak pernah ada , maka perlu lembaga pengatur yang adil yaitu pemerintah.
Maka pemerintah harus menjadi alat negara dan alat rakyat untuk mengatur kehidupan mereka. Ajaran sesat liberalisme bahwa pemerintah paling baik adalah apemerintah yang sedikit berkuasa harus dilenyapkan, karena pemerintah yang tidak berkuasa akan diterkam oleh kapitalis dan imperialis dan dijadikan budak dan alat mereka untuk menjarah negara dan menghisab rakyat. Di sinilah kita perlu membentuk negara yang kuat, pemerintah yang berwibawa dan rakyat yang cerdas. (Abdul Mun’im DZ)

Nabi Pun Mendirikan Pasar...

Tuesday, 28 September 2010 12:17

Hadits Nabi SAW menjelaskan,  akses ke pasar harus sama bagi seluruh umat dan tidak boleh dikapling-kapling

Oleh: Muhaimin Iqbal* 
SALAH satu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrah ke Madinah yang kemudian membuat perubahan besar dalam penguasaan ekonomi adalah konsep bahwa bekerja adalah ibadah. Melalui konsep inilah kaum Muhajirin yang berhijrah mengikuti Rasulullah SAW tanpa membawa harta pun segera menjadi asset bagi umat  dan bukannya liability - karena mereka dapat mengoptimalkan kemampuannya, baik dalam kegiatan produksi maupun kegiatan perdagangan.
Digambarkan dalam sejarah bahwa setelah hijrahnya Rasulullah SAW dan para pengikutnya, bumi-bumi yang semula gersang pun kemudian terolah menjadi kebun-kebun yang subur dan taman-taman yang indah. Karena konsep bekerja adalah ibadah pula, maka hal-hal positif yang terkait dengan peribadatan seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, kehati-hatian, kebersahajaan, infaq dlsb. dapat termanifestasikan dalam kehidupan umat sehari-hari ketika mereka bekerja.
Awalnya tentu tidak mudah karena ketika kaum Muhajirin mulai aktif berdagang di Madinah misalnya, mereka berdagang di pasar yang sudah ada waktu itu yaitu pasar yang dikelola oleh Yahudi. Pengelolaan pasar oleh Yahudi yang di al-Qur’an digambarkan bahwa mereka menganggap halal untuk mengambil harta orang lain ini (orang-orang umi , QS 3:75), tentu saja bermasalah.
Oleh karena penguasaan pasar oleh kaum  Yahudi tersebut pula maka umat Islam semula tidak bisa sepenuhnya mengimplementasikan nilai-nilai Islam di pasar – maka kemudian Rasulullah SAW-pun memandang penting untuk segera mendirikan pasar bagi kaum muslimin di awal-awal terbentuknya masyarakat yang akan hidup dengan nilai-nilai Islam yang menyeluruh di Madinah.
Di suatu tempat yang berjarak hanya beberapa rumah arah barat laut dari Masjid Nabi - yang telah didirikan terlebih dahulu, Rasulullah mendirikan pasar dangan sabdanya “Ini pasarmu,  tidak boleh dipersempit (dengan mendirikan bangunan dlsb. di dalamnya) dan tidak boleh ada pajak di dalamnya.” (HR. Ibn Majah).
Pasar di area terbuka ini memiliki panjang sekitar 500 meter dan lebar sekirat 100 meter (luas sekitar 5 ha), jadi cukup luas untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk kota yang kemudian berkembang pesat – paskahijrah. Lokasinya juga dipilih sedemikian rupa sehingga penduduk yang datang dari berbagai wilayah – mudah mencapai pasar tersebut. Pasar Madinah inilah yang kemudian menjadi urat nadi perekonomian negara Islam yang pertama, yang berpusat di Madinah.
Lokasinya yang tidak jauh dari Masjid Nabi tetapi juga tidak terlalu dekat (selang beberapa rumah) juga memiliki nilai strategis sendiri. Nilai-nilai yang terbawa dari ketaatan beribadah di masjid dapat mewarnai aktivitas perdagangan di pasar, namun hal-hal yang buruk dari pasar seperti keramaiannya tidak mempengaruhi aktivitas dan kekhusukan umat yang beribadah di masjid.
Bahkan cara-cara pengelolaan pasar pun memiliki kemiripan dengan pengelolaan Masjid. Hal ini disampaikan oleh Umar Ibn Khattab yang menjadi muhtasib (pengawas pasar) setelah Rasulullah SAW dengan perkataaannya bahwa “Pasar itu menganut ketentuan masjid, barang siapa datang terlebih dahulu di satu tempat duduk, maka tempat itu untuknya sampai dia berdiri dari situ dan pulang ke rumahnya atau selesai jual belinya.”
Nilai pesan yang terkandung di dalam perkataan Umar ini sejalan dengan hadits Nabi SAW tersebut di atas yang intinya adalah akses ke pasar harus sama bagi seluruh umat; tidak boleh meng-kapling-kapling pasar. Hal ini diimplemantasikan Umar dengan melarang orang membangun bangunan di pasar, menandai tempatnya, atau mempersempit jalan masuk ke pasar. Bahkan dengan tongkatnya Umar  menyeru “enyahlah dari jalan” kepada orang-orang yang menghalangi orang lain masuk ke pasar.
Lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sunah Rasulullah SAW mendirikan pasar – yang kemudian juga terus ditegakkan oleh para Khalifah  tersebut di atas? Yang jelas situasi pasar-pasar yang ada dewasa ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pasar di Madinah yang dikelola Yahudi sebelum didirikannya pasar bagi kaum muslimin oleh Rasulullah SAW tersebut di atas. Segala macam kecurangan  ala Yahudi terjadi di pasar ini, dan yang paling menyolok adalah akses pasar yang tidak mudah dijangkau oleh mayoritas umat.
Di Jabodetabek misalnya, Anda bisa membuat baju-baju yang indah dan makanan-makanan yang enak. Tetapi tidak berarti Anda dengan mudah bisa menjualnya ke pasar. Untuk menyewa tempat di mall atau food court pada umumnya sangat mahal – sehingga hanya bisa dijangkau segelintir orang saja – yang justru sudah kaya.
Bila Anda berusaha jualan di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan – maka bila tidak digusur oleh Tramtib atau Satpol PP – Anda akan menjadi bulan-bulanan para preman, tukang amen, pengemis dlsb. Walhasil, kesejahteraan umat secara luas – sulit sekali diangkat karena antara lain terbatasnya akses ke pasar ini.
Maka selain perjuangan-perjuangan lainnya seperti perjuangan melawan riba, ketidakadilan ekonomi dan sejenisnya , kini saatnya para pejuang ekonomi Islam juga harus mulai memperjuangkan pasar bagi kaum Muslimin ini.
Tentu juga tidak mudah, dan juga tidak langsung sempurna seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Para Khalifah tersebut di atas, tetapi langkah menuju kesana harus ada yang memulai.
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita pada amal yang diridloiNya...
Penulis adalah Direktur GeraiDinar.com dan kolumnis www.hidayatullah.com

PENETAPAN HARGA OLEH PEMERINTAH

Soal Penetapan Harga oleh Pemerintah
21/03/2007

Diriwayatkan dari Anas RA, pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, harga-harga barang naik di kota Madinah, kemudian para sahabat meminta Rasulullah SAW menetapkan harga. Maka Rasululah bersabda: Sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Menetapkan harga, yang Yang Maha Memegang, Yang Maha Melepas, dan Yang Memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kedzaliman dalam darah dan harta. (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Hibban).
Hadits tersebut mengandung pengertian mengenai keharaman penetapan harga (termasuk upah dalam transaksi persewaan atau perburuhan) walau dalam keadaan harga-harga sedang naik, karena jika harga ditentukan murah akan dapat menyulitkan pihak penjual. Sebaliknya, menyulitkan pihak pembeli jika harga ditentukan mahal. Sementara penyebutan darah dan harta pada hadis tersebut di atas hanya merupakan kiasan.
Selain itu, karena harga suatu barang adalah hak pihak yang bertransaksi maka kepadanya merekalah diserahkan fluktuasinya. Karenanya, imam atau penguasa tidak layak untuk mencampuri haknya kecuali jika terkait dengan keadaan bahaya terhadap masyarakat umum sebagaimana yang akan kami jelaskan.
Menurut madzhab Syafi'i, penguasa tidak berhak untuk metapkan harga, biarkan masyarakat menjual dagangan mereka sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan penetapan tersebut dikatakan sebagai tindakan zhalim. Hal ini mengingat, bahwa masyarakat itu sebagai pihak yang menguasai harta mereka, dan penetapan harga merupakan belenggu terhadap mereka. Penguasa memang diperintahkan untuk melindungi maslahat umat Islam namun tidaklah pandangannya pada kemaslahatatan pembeli dengan memurahkan harga itu lebih utama dibandingkan pandangannya pada kemaslahatan penjual dengan menaikkan harga.
Jika terjadi perselisihan di antara dua pihak, penjual dan pembeli, maka pihak terkait itu harus melakukan ijtihad bagi kepentingan diri mereka sendiri. Menetapkan harga dengan tekanan berarti bertentangan dengan firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. (An-Nisa`: 29)
Sementara itu Imam Malik berpendapat sebaliknya, bahwa penguasa berhak menetapkan harga. Penetapan harga pada masyarakat itu boleh dilakukan jika dikhawatirkan pelaku pasar akan menafsirkan ketaatan kaum muslimin kepada "mekanisme pasar" dengan penafsiran yang negatif atau disalahgunakan.
Semua ulama berdasarkan dzahir hadis di atas memang tidak memperbolehkan penetapan harga kepada siapapun. Namun yang benar adalah bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Parametenya adalah berdasarkan kepada undang-undang yang tidak memuat kezhaliman terhadap pihak-pihak yang terkait, dan undang-undang tersebut diperoleh dengan memperhatikan waktu dan fluktuasi, serta situasi dan keadaan masyarakat.
Apa yang disabdakan Nabi yang melarang penetapan harga itu benar. Namun, hal itu berlaku bagi suatu komunitas masyarakat yang beriman teguh dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sedangkan komunitas yang bermaksud untuk memangsa sesama anggota masyarakat dan mempersulit mereka, melakukan monopoli harga, maka pintu Allah SWT sangat luas dan hukumnya terus terbuka.
Disarikan dari Keputusan Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama di Cipasung, Jawa Barat, pada 1 Rajab 1415 H / 4 Desember 1994.(nam)

PERANG EKONOMI

Ditulis oleh Untung Kasirin   

Pasca krisis finansial global, dunia dibuat suspense dan nervous. Saat ini, dunia tengah merasakan dampak ikutan dari krisis tersebut yang ditengarai akan jauh lebih hebat dari krisis awal itu sendiri. Jika dibuat perumpamaan, krisis finansial yang dipicu kasus subprime mortgage di Amerika Serikat ibarat pengumuman akan terjadinya sebuah ‘peperangan’. Sementara, dampak krisis yang menjadi endemi sebagaimana sekarang menandakan bahwa ‘perang’ benar-benar berkobar: The Economic War atau Perang Ekonomi. Seluruh bangsa di bumi tengah berperang melawan kondisi ekonomi yang begitu genting (fragile of economic).
Pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia melambat bahkan ada yang terancam collaps. Berbagai perusahaan multinasional berkantong tebal yang sebelumnya tak tersentuh krisis tiba-tiba berguguran. Yang masih hidup tapi dalam kondisi sekarat disambung nyawanya oleh pemerintah dengan bail out. Pasar modal dan keuangan rontok. Jumlah produksi barang maupun jasa anjlok. Volume perdagangan menurun. Lapangan pekerjaan menguap. Sementara angka pengangguran dan kemiskinan kian hari kian merebak.
Berbagai negara ramai-ramai ambil kebijakan. Segala diskusi, seminar hingga konferensi  digelar. Agenda pertemuan tahunan baik nasional maupun internasional pun tak luput mendiskusikan masalah ini.
Seperti awal Maret silam, di Jakarta diselenggarakan 5th World Islamic Economic Forum—di mana Indonesia mengambil bagian penting sebagai negara berpenduduk muslim terbesar—yang membahas secara intens masalah tersebut dalam tajuk “Food and Energy Security & Streaming the Tinde of Global Finansial Crisis”. Kini giliran menteri keuangan negara-negara yang tergabung dalam Group of 20 (salah satunya adalah Indonesia) mengadakan pertemuan awal sebagai persiapan pertemuan akbar G-20 di London bulan depan. Pertemuan ini untuk membahas apa pun yang bisa dilakukan untuk mereduksi dampak krisis global.

‘Jurus Pamungkas’
Berbagai negara di dunia pasang kuda-kuda dan mengeluarkan ‘jurus pamungkas’ ala negeri Paman Sam berupa paket stimulus (stimulus package), termasuk Indonesia. Tercatat, pemerintah telah bersepakat untuk mengeluarkan paket stimulus sebesar Rp 73,3 triliun yang dibarengi dengan kebijakan bank sentral menurunkan suku bunga untuk menggairahkan kembali perekonomian.
Di sela-sela proses realisasi stimulus tersebut, perekonomian kita sudah mendapat ancaman pertumbuhan negatif pada triwulan ketiga 2009 mendatang (Kompas, 15/3).
Sedangkan di negara asalnya, Amerika, besaran paket stimulus mencapai 678 miliar dolar atau setara dengan 600 miliar euro. Keadaan ini semakin membuat ekonomi Amerika kian sakit. Sebelum paket stimulus saja, defisit AS sudah mencapai 6 persen dari PDB. Pasca stimulus, diperkirakan defisit ini akan membengkak hingga 12 persen dari PDB (Kompas, 14/3).
Berseberangan dengan Amerika, Uni Eropa cenderung memberlakukan pengetatan aturan perekonomian meskipun tak luput dari kebijakan paket stimulus tersebut. Sebagai perbandingan, besaran paket stimulus UE (yang merupakan gabungan beberapa negara di Benua Eropa) tersebut hanya mencapai kurang lebih 400 miliar euro. Mereka bahkan menjaga agar defisit maksimal sebesar 3 persen PDB.
Berdasarkan pengalaman UE, kebijakan mengendalikan inflasi dan tingkat defisit anggaran telah berhasil menjaga perekonomian mereka pada kondisi yang cukup stabil. UE berkeyakinan, pengguyuran dana ke pasar secara ’jor-joran’ hanya akan memicu tindakan spekulasi oleh para spekulan yang justru membahayakan perekonomian. Pendapat ini juga diamini sang mahaguru spekulan, George Soros.
Hingga sekarang, kebijakan pengguyuran dana ke pasar ala AS dan pengetatan anggaran UE menjadi dua kubu kebijakan yang saling tarik ulur dalam pertemuan awal G-20 tersebut. Meskipun, semua negara anggota G-20 diwakili menteri keuangan masing-masing akhirnya sepakat harus ada tindakan nyata yang diambil untuk menyelamatkan negara-negara yang berada di ambang kebangkrutan melalui IMF, melanjutkan paket stimulus dan menurunkan tingkat suku bunga (BBC News, 15/3).

Adakah Jalan Keluar?
Blessing in the disguise. Selalu ada hikmah dibalik kejadian sekalipun sebuah krisis. Krisis yang terjadi sekarang sejatinya adalah akibat dari perilaku bad faith para pelaku ekonomi dalam mengejar sebesar mungkin keuntungan. Perilaku tersebut berupa menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri, tak peduli apakah tindakan tersebut akan merugikan pihak lain, negara, perusahaan atau lingkungan (Henricus W. Ismanthono, 2003).
Dalam kasus subprime mortgage, kita bisa melihat bahwa pemicunya adalah pelipatgandaan utang disertai lemahnya kontrol dalam memberikan utang itu sendiri yang mengakibatkan bad debt atau utang yang tidak terbayar. Pada titik ini, ada prinsip ketuhanan yang dilanggar. Dalam kitab-kitab suci beberapa agama, pelipatgandaan utang dengan sistem bunga sendiri sudah merupakan hal yang tercela. Seperti dalam Islam, bunga (riba) disebut-sebut sebagai salah satu dosa besar.
Untuk segera keluar dari keterpurukan ekonomi, sepertinya manusia harus menghayati dan merenungkan kembali setiap tindakannya. Setiap tindakan ekonomi yang diambil perlu dibarengi etika moral dan tidak berseberangan dengan prinsip ketuhanan tadi. Sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai moral dan agama (sebut misalnya: Ekonomi Syariah) yang bahkan mulai berkembang di negara sekuler, bisa menjadi alternatif pilihan sebagai platform baru perekonomian. Mengeliminasi variabel bunga dalam perekonomian bukanlah hal yang mustahil sebagaimana dibuktikan oleh sistem Perbankan Syariah.
Tidak perlu panik berlebihan. Yang dibutuhkan sekarang adalah bahu-membahu segenap komponen untuk mereduksi dampak krisis ini. Pembuat kebijakan mesti cekatan mengambil segala tindakan yang tepat yang bisa menyelamatkan perekonomian dunia yang hampir karam. Yang diberi kekayaan berlebih berempatilah pada mereka yang kurang beruntung (rakyat miskin). Tahan segala keinginan untuk bersikap konsumerisme. Budayakan kembali sikap hemat, sederhana, tolong menolong dan bersikap ramah terhadap lingkungan. Yakinlah, badai pasti berlalu

PERDAGANGAN BEBAS

Tolak Perdagangan Bebas!

Tuesday, 19 January 2010 09:32 | Written by Shodiq Ramadhan |
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgia, berupa penjualan produk antarnegara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya, seperti  kuota,  muatan lokal, peraturan administrasi dan peraturan antidumping. Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas, maka hambatan-hambatan itu bisa dihilangkan.
Meski secara teori semua hambatan perdagangan itu ditolak oleh perdagangan bebas, namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena malah melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar milik asing.
Selain melindungi perusahaan-perusahaan besar asing, menurut Mansour Fakih  dalam buku “Bebas Dari Neoliberalisme”, perdagangan bebas  justru meningkatkan harga pangan dan mengancam ketahanan pangan di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Serbuan produk asing yang membanjiri negara berkembang seperti Indonesia akan mengalahkan produk-produk domestik. Daya saing produk dalam negeri akan kalah di pasaran.
Walhasil perdagangan bebas akan menciptakan ketergantungan ekonomi sebuah negara terhadap negara asing. Selanjutnya ketergantungan akan melahirkan penjajahan baru, imperialisme ekonomi. 

Perdagangan Bebas Menurut Islam
Pada dasarnya perdagangan bebas adalah bagian dari paket liberalisasi sektor ekonomi. Liberalisasi sektor ekonomi, berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Selain itu juga akan menghilangkan hambatan perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan mengalirnya investasi. Dilihat dari sudut pandang Islam, praktik perdagangan bebas ini sangat bertentangan dengan Islam dilihat dari segi:
Pertama, dengan diserahkannya urusan perdagangan pada mekanisme pasar, berarti peran negara dan pemerintah hilang. Padahal menurut Islam negaralah yang wajib berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk urusan perdagangan.
Rasulullah Saw bersabda:
"Penguasa (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka".  (HR Muslim).
Kedua, perdagangan bebas, di mana seluruh pelaku bisnis bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari negara kafir yang memerangi Islam (darul harbi fi’lan) atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, hukum perdagangan internasional menurut Islam dilihat dari isisi  kewarganegaraan pelakunya. Berbeda dengan Kapitalisme yang menilai dari sudut komoditasnya. Menurut Islam, perjanjian perdagangan dengan darul harbi fi’lan seperti AS dan Israel serta sekutu-sekutunya adalah haram.
Ketiga, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi negara-negara maju (kafir) yang memiliki keuanggulan atas negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Dilihat dari sisi ini, perdagangan bebas jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Menurut Islam hal ini diharamkan sebab Allah SWT berfirman:
”Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin”.  (QS. an-Nisa’ [04]: 141).
Selain itu, Rasulullah Saw juga bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya dan dhirar (bahaya) di dalam Islam(HR. Ibnu Majah)
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia (baik seperti ACFTA maupun perjanjian perdagangan bebas secara bilateral dengan negara lainnya seperti AS, Australia, China, Hongkong dan Jepang), merupakan bentuk penghianatan terhadap umat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi.
Dengan perjanjian tersebut, sengaja atau tidak, Pemerintah telah membunuh usaha dan industri dalam negeri baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan berdampak pada makin meningkatnya angka pengangguran. Jadi, hanya ada satu kata untuk perdagangan bebas, TOLAK!!. Wallahu a’lam bi shawab.
REDENOMINISASI

Redenominasi Rupiah: Mahal dan Bukan Prioritas

Sunday, 15 August 2010 18:32 | Written by Shodiq Ramadhan

Oleh: Hendri Saparini, Ph.D (Managing Director ECONIT)
Tidak lama, setelah Darmin Nasution ditetapkan oleh sidang paripurna DPR sebagai Gubernur Bank Indonesia, sang Gubernur membuat pernyataan yang cukup menghebohkan. Dalam konferensi pers Darmin Nasution menyampaikan bahwa BI telah berwacana untuk melakukan redenominasi rupiah. Pernyataan tersebut tentu segera menimbulkan reaksi beragam di masyarakat. Jangankan berita nilai tukar, untuk negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang (Floating Exchange Rate System) seperti Indonesia, berita Gubernur sakit perut saja dapat mengguncang rupiah karena nilai tukar sarat dengan spekulasi.
Keresahan masyarakat bertambah setelah Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian memberikan bantahan. Tidak heran karena masyarakat khawatir kebijakan ini akan mengulang kebijakan sanering pada jaman Orba. Padahal redenominasi bukan sanering. Sanering dalam konteks ekonomi diartikan sebagai pemotongan nilai uang. Sedangkan redenominasi hanyalah penyederhanaan penyebutan dan penulisan nilai mata uang dengan mengurangi jumlah digit (jumlah angka nol), tanpa pengurangan nilai uang.
Memang ada manfaatnya, semisal redenominasi akan membuat penulisan lebih praktis. Namun demikian, redenominasi lebih merupakan pencitraan mata uang rupiah agar lebih bergengsi. Paling tidak, keluar dari predikat tiga mata uang dunia yang nilai tukarnya terhadap dollar AS paling kecil. Selain itu, dengan berkurangnya angka nol rupiah juga seolah rupiah lebih kuat dan stabil. Tetapi ‘penguatan’ tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan penguatan fundamental ekonomi. Berbeda bila penguatan rupiah terjadi karena daya saing produk dan jasa meningkat sehingga mendorong ekspor, sehingga penerimaan ekspor inilah yang mendorong penguatan rupiah. Bila tidak, maka manfaat langsung bagi pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi menjadi sangat minimal.
Dalam berbagai diskusi radio banyak masyarakat yang mendukung dengan alasan yang sangat sederhana tetapi dalam yakni mengembalikan martabat bangsa. Tentu kelompok ini belum paham bahwa banyak prasyarat yang harus dilakukan untuk menerapkannya. Tidak sedikit pula yang menuduh wacana redenominasi ini sebagai pengalih berita yang terus mengkaitkan Darmin Nasution dengan kasus Century. Apapun, lontaran redenominasi rupiah telah menjadi topik diskusi hangat baik di Café maupun warung Kopi.

Ongkos Mahal
Tidak banyak yang tahu bahwa redenominasi memerlukan dukungan dana yang besar. Manfaat menjadi tidak signifikan bila ongkos yang harus disediakan ternyata sangat besar. Ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan sebelum menjalankan redenomonasi. Pertama, anggaran untuk mencetak uang baru. Saat ini rupiah tidak memiliki uang kertas dan koin dengan nilai kecil. Dengan redenominasi rupiah, kebutuhan uang-uang koin dengan nilai di bawah Rp 1 sangat diperlukan karena masih banyak komoditas yang diperdagangkan masyarakat yang nilainya antara Rp 100-Rp 500. Bila dilakukan redenominasi dengan penyederhanaan nilai Rp 1000 menjadi Rp 1, maka diperlukan koin 10-50 sen untuk mempermudah transaksi di masyarakat.
Kedua, kebutuhan anggaran untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan. Dengan penghilangan “angka nol” baik satu, dua dan seterusnya, diperlukan perubahan teknologi informasi. Tidak hanya lembaga bank atau non bank, tetapi juga perusahaan swasta lain memerlukan perangkat tekonomi
Ketiga, kebutuhan dana untuk sosialisasi kepada masyarakat. Selain dukungan kondisi makro diperlukan juga pemahaman masyarakat dan dukungan politik yang harus digalang lewat berbagai program sosialisasi. Berapa banyak dana dan waktu yang harus diperlukan? Sebagai gambaran, sosialisasi potensi manfaat dan resiko penggunaan gas elpiji akibat konversi mitan ke gas elpiji yang telah berjalan lebih dari 3 tahun ternyata dinilai tidak berhasil karena setelah lebih dari tiga tahun, masih banyak masyarakat yang belum memahami cara mengurangi resiko dari penggunaan gas dan tabung elpiji dari program konversi.
Tentu akan diperlukan dana sangat besar dan waktu untuk menjamin agar semua masyarakat memahami dengan benar tujuan dan langkah implementasi dari kebijakan redenominasi ini. Keperluan dana sosialisasi menjadi sangat besar mengingat tingkat pendidikan separuh penduduk Indonesia hanya tingkat SD. Disamping itu wilayah geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, perlu dukungan strategi dan pendanaan yang kuat. Bila sosialisasi tidak maksimal maka justru berpotensi menimbulkan kericuhan di masyarakat.

Dorong inflasi
Meskipun Bank Indonesia meyakinkan bahwa redenominasi tidak akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, namun sangat mungkin pelaksanaan redenominasi yang tidak didukung dengan berbagai persyaratan akan berpotensi mendorong inflasi yang pada akhirnya memangkas daya beli masyarakat. Seperti disebutkan di atas saat ini masih banyak barang yang diperdagangkan di masyarakat dengan harga Rp 450. Paska redenominasi berarti akan menjadi 45 sen. Untuk memudahkan transaksi akan ada kecenderungan penjual untuk membulatkan harga menjadi 50 sen. Pembulatan ini oleh pembeli juga akan diterima karena secara psikologis hanya naik 5 sen. Padahal sejatinya telah terjadi kenaikan harga sebesar 11 persen. Bila ini terjadi secara meluas maka akan terjadi serangan inflasi secara diam-diam. Masyakat tidak menyadari hanya merasakan bahwa daya beli mereka semakin lama semakin melemah.
Dengan sistem ekonomi yang sudah sangat liberal dan barang impor sangat mudah untuk masuk maka redenominasi ini juga berpotensi untuk mendorong permintaan produk-produk impor. Mengapa? Barang seharga USD 20 semula dikonversikan menjadi Rp 200.000, namun dengan redenominasi seolah menjadi hanya Rp 200 (bila dilakukan penghilangan tiga angka nol). Bila ini terjadi pada makanan impor maka akan semakin menjerumuskan Indonesia pada ketergantungan impor.
Bukan agenda prioritas
Ternyata kebijakan redenominasi rupiah memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Selain itu diperlukan dukungan dana, infrastruktur dan juga politik. Penyampaian wacana redenominasi oleh Gubernur BI untuk sebuah rencana kebijakan yang masih sangat premature, kajiannya belum selesai dan sama sekali belum ada pembicaraan dengan pemerintah dan legislatif, menunjukkan indikasi menejemen kebijakan publik Gubernur BI sangat lemah.
Redenominasi rupiah juga bukan kebutuhan sekunder dan tidak mendesak. Ada agenda lain yang seharusnya menjadi prioritas untuk segera dilakukan oleh Bank Indonesia seperti misalnya menyiapkan terobosan kebijakan agar peran perbankankan dalam mendorong sector riil semakin besar. Kebijakan untuk mendorong agar investasi di sektor keuangan memiliki keterkaitan dengan sektor riil juga agenda yang jauh lebih penting untuk dilakukan saat ini dibanding redenominasi rupiah. Pekerjaan rumah lainnya Bank Indonesia dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menekan suku bunga pinjaman saat ini yang relatif tinggi sehingga tidak menguntungkan bagi sektor riil.
Masih ada seabreg agenda lain yang dapat dijadikan program prioritas Bank Indonesia termasuk mendorong pembiayaan syariah dengan bagi hasil misalnya, yang memang diperlukan bagi Indonesia mengingat 90 persen unit usaha yang ada adalah usaha kecil menengah.
Bila akan mewacanakan mungkin Bank Indonesia sebaiknya mencoba mengkaji penentuan nilai tukar yang sesuai aturan Islam. Dalam Islam alat tukar yang digunakan adalah dinar dan dirham mata uang yang dibuat dari mas dan perak, sehingga nilai alat tukar sesuai dengan nilai dari komoditas yang ditukar. Mungkin saat ini tidak mudah mendorong kembali digunakannya mata uang dinar dan dirham, tetapi paling bila saat ini dianggap kondisi darurat, maka Bank Indonesia yang notabene sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak dan sekaligus kaya sumber daya alam emas dan perak, mencoba menawarkan nilai tukar yang dijamin dengan emas sebagaimana pernah dilakukan pada abad 14.
Era nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikonversikan dengan emas. Pada era itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Data menyebutkan untuk mencetak uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus menjamin dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Artinya, secara tidak langsung seluruh nilai mata uang dikaitkan dengan emas melalui USD. Era ini berakhir setelah diawali tindakan The Fed yang “selingkuh” dengan cara mencetak dollar melebihi emas yang menjadi jaminannya.
Bank Indonesia sebenarnya tidak perlu ragu untuk mewacanakan nilai tukar yang di-back up emas karena saat ini banyak negara barat yang telah menyuarakan kembalinya sistem nilai tukar yang dijamin dengan emas yang sering dikenal dengan istilah Bretton Woods II yang merupakan penyempurnaan Bretton Wood System. Tidak mudah tentu saja, tetapi kalau redenominasi rupiahpun masih sekadar wacana, maka akan lebih baik bila mewacanakan upaya penetapan nilai tukar rupiah yang kebenaran telah dinyatakan dalam Islam. Apalagi sejarah membuktikan secara empiris dinar dan dirham dapat menjadi mata uang yang dapat menjaga daya beli masyarakat.

Siapa Butuh Redenominasi?

Monday, 09 August 2010 16:22
Salah satu cara melihat perlu tidaknya redenominasi adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi baku

Oleh: Muhaimin Iqbal*
PERDEBATAN mengenai isu redenominasi rupiah terus berlanjut di media-media sampai hari ini. Secara umum kalau saya baca sepintas yang menolak nampaknya lebih banyak dari yang mendukung. Pemerintah dan bahkan Bank Indonesia pun yang meniup peluit nampaknya cooling down dengan menyatakan bahwa redenominasi rupiah bukan fokus utama saat ini. Masyarakat tidak perlu cemas karena redenominasi paling tidak - tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Masalahnya adalah apakah redenominasi rupiah ini memang perlu? Dan kalau perlu, kapan sebaiknya dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut saya, biarlah ahlinya yang menjawab, yaitu Bank Indonesia. Jangan biarkan para politikus yang menjawabnya, karena justru akan membuat isu redenominasi ini menjadi bola liar yang tidak menguntungkan ekonomi dan tidak menguntungkan rakyat.
Kita semua tahu isu ini tidak popular, para penguasa tentu akan berat hati seandainya harus mengambil keputusan ini karena akan berdampak buruk pada reputasinya.  Sebaliknya lawan-lawan politik dapat menggunakan isu ini untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk meraih simpati rakyat dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat – dengan menolak redenominasi rupiah misalnya.
Salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya stabil sepanjang masa. Karena data yang saya punya untuk contoh stabilitas harga sepanjang zaman itu adalah kambing dan emas, maka saya dapat gunakan salah satunya untuk membuat analisa perlu tidaknya redenominasi ini. Di antara keduanya saya pilih emas karena datanya lebih lengkap dan dapat Anda verifikasi dengan berbagai sumber data lainnya seperti kitco.com, dan lain sebagainya.
Pertama, saya ambil data harga emas per gram dalam dua mata uang, yaitu rupiah dan US$ selama 40 tahun terakhir. Mengapa 40 tahun? Karena sejak 40 tahun lalu tepatnya Agustus 1971 mata uang fiat dunia dilepas kaitannya dari standar emas. Sejak saat itulah uang fiat di seluruh dunia  bergerak liar, sebagian lebih terkendali dari sebagian yang lain.
Data-data tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik di mana jarak satu gridline yang satu dengan gridline di bawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama di bawah.
Perhatikan pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir.
Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam rupiah mengalami kenaikan sampai 790 kalinya.  Apa maknanya ini?
Negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apabila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya rupiah kita – perlu di redenominasi dari waktu ke waktu.
Lantas kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan? Lagi-lagi saya gunakan harga emas untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi – maka namanya adalah sanering.
Itulah sebabnya ketika terjadi di tahun 1965/1966 namanya sanering; kemudian sempat mencuat isu sanering pula pada puncak krisis 1997/1998 karena saat itu inflasi sempat mencapai angka 78 %. Karena fokus tulisan ini adalah penghilangan beberapa angka nol tanpa mengurangi daya beli dan dilakukan pada saat ekonomi yang relatif stabil atau disebut redenominasi dan bukan sanering; maka berdasarkan grafik yang kedua diatas, kita dapat melihat ada dua waktu yang baik sebenarnya untuk melakukan redenominasi, yaitu pada tahun 1983 dan 2004.
Pada tahun 1983 harga emas per gram dalam rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam Dollar  adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila rupiah di redominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar rupiah saat itu menjadi 1 US$ 1 = Rp 0.90, keren bukan...?.
Tahun 1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula di puncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun 2004 pada saat harga emas dalam rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar berada pada angka US$ 13.17/gram.
Bila redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas dalam rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau nilai tukar rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal ini pun tidak ada yang merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia) sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline berikutnya.
Seandainya pun dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh rata-rata inflasi rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.
Redenominasi baru akan memberikan nilai tukar rupiah yang keren di kisaran US$ 1,- = Rp 1,- adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau me-redenominasi rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol! Efek dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram, sementara harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar rupiah saat itu menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi rupiah yang lebih tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan memiliki nilai tukar rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp 0.92.
Well, karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun mendatang pengguna rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun –tahun sebelumnya. Sama dengan bersyukurnya kita saat ini – alhamdulillah pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering rupiah, bila tidak maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp 1.000.000,- !.  Wa Allahu A’lam.
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis www.hidayatullah.com
REKSADANA SYARI’AH
Reksadana Syari'ah*
06/01/2007

MENGHADAPI globalisasi pada abad 21 umat Islam dihadapkan pada realita dunia yang serba cepat dan canggih. Tak terkecuali di dalamnya masalah ekonomi dan keuangan. Produk-produk baru dikembangkan untuk menarik dana dari masyarakat. Namun bagi umat Islam, produk¬produk tersebut perlu dicemati, karena dikembangkan dari jasa keuangan konvensional yang netral terhadap nilai dari ajaran agama.
Salah satu produk yang tengah dikembangkan saat ini di indonesia adalah reksadana, yang di luar negeri dikenal dengan "unit trust" atau "mutual fund”. Reksadana adalah sebuah wahana di mana masyarakat dapat menginvestasikan dananya dan pengurusnya atau fund manager dana itu diinvestasikan ke portofolio efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kedl dan resiko yang sedikit.
Reksadana memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian masyarakat karena dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan material.
Namun bagi umat Islam reksadana merupakan hal yang perlu diteliti karena masih mengandung hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran Is¬lam. Misalnya investasi rekasadana pada produk-produkyang diharamkan dalam Islam, seperti minuman keras, judi, pornografi dan jasa keuangan non-syariah. Di samping itu mekanisme transaksi antara investor dengan reksadana, dan antara reksadana dengan emiten (pemilik perusahaan) harus diklasifikasikan menurut hukum Islam.

Pandangan Syariah Terhadap Reksadana
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dalam reksadana terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syariah baik dalam segi akad, operasi, investasi, transaksi maupun pembagian keuntungan. Namun demikian dalam reksadana konvensional tersebut terdapat pula mu'amalah yang dibolehkan dalam Islam seperti jual beli dan bagi hasil (mudharabah/qirad). Dalam hubungan ini terdapat kemaslahatan seperti memajukan perekonomian, saling memberi keuntungan diantara para pelakunya, meminimalkan risiko dalam pasar modal dan sebagainya.
Atas dasar pandangan di atas maka Reksadana sepanjang produk-¬produk yang dihasilkan tidak menggunakan cara-cara yang diharamkan oleh Islam dapat dibenarkan oleh syariah sesuai dengan prinsip yang diajarkan oleh Islam yaitu: semua perjanjian atau transaksi yang dilakukan oleh umat Islam dibolehkan oleh syariah sepanjang tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal sebagairnana tertuang dalam hadis:
"Perjanjian itu boleh bagi orang Islam kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan vang haram. Dan orang Islam itu wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka kemukakan kecuaIi s'yarat.vang mengharamkan yang haIal dan menghalalkan yang haram. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi dari Amr bin Auf).
Berdasarkan hadis tersebut maka segala macam akad dapat disamakan dengan syarat sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Sebagairnana disebutkan dalam Al-fjqhul Islami wa AdiIlatuhu yang berbunyi:
Dan dikiaskan terhadap syarat-syarat yang sah semua akad yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar svariah. (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz 4 hlm. 200)
Dan atas dasar hadis tersebut maka jumhur ulama sepakat bahwa pada prinsipnya setiap muamalah dibolehkan oleh syara'selama tidak bertentangan dengan syariah, sebagaimana dituangkan dalam sebuah kaidah yang berbunyi:
Prinsip dasar dalam transaksi dan syarat-syarat yang berkenaa dengannya boleh selama tidak dilarangoleh syariah atau bertentangan dengan syariah. (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 4 shohifah 199)

Masalah-masalah Pokok yang Berkaitan dengan Reksadana
Di antara masalah-masalah yang perlu memperoleh perhatian antara lain:

A. Kelembagaan
Reksadana dapat ditangani oleh sebuah lembaga keuangan yang berbentuk Badan Hukum. Islam sendiri sejak lama telah mengenal Badan Hukum. Karena itu Badan Hukum tidak bebas taklif sebab Badan Hukum tersebut pada hakkikatnya merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Badan Hukum dinyatakan oleh para ulama sebagai syakhsiyyah hukmiyyah atau syakhsiyyah itibariyyah, sebagaimana dijelaskan:
Bahwa fiqih Islam mengakui adanya syakhsiyyah hukmiyyah atau i'tibariyyah (Badan Hukum). (Al-Madkhal Al-Fiqhul Aam, DR. Musthofa Ahmad Zarqa, juz III hlm 256).
"Fiqh Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positf syakhsiyyah i’bariyyah atau syakhsiyyah mujarrada melalui pengakuan terhadap lembaga-lembaga umum seperti yayasan perhimpunan perusahaan dan masjid. Dengan adanya sakhsiyah yang menyerupai keperibadian manusia dalam hal kelayakan memiliki dan mempunyai hak dan kewajiban serta mempunyai tanggung jawab tersendiri secara umum terlepas dari tanggung jawab anggota." (Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz IV h1m 11).

B. Hubungan Investor Dan Lembaga
Hubungan investor dan lembaga dilakukan melalui akad qiradh mudharalbah tasarruf ini dibenarkansebagaimana dijelaskan:
"Seorang memberikan hartanya kepada yang lain untuk dijadikan modal dagang dengan ketentuan keuntungan yangdiperoleh dibagi antara dua belah pihak sesuai dengan syarat-syarat yang disetujui. Ahli iraq menyebutnya dengan mudharabah,sedang penduduk hijaz menyebutnya dengan qiradh. "(AI-Mughni juz V hlm 26).

C. Saham Reksadana
Saham reksadana dapat dijualbelikan karena saham merupakan harta milik investor yang nilainya dapat diketahui secara jelas dan sudah menjadi kebiasaan di kalangan para pengusaha. Penjelasan hal tersebut dapat dilihat antara lain:
Kaidah fiqh "sesuatu yangtetap berdasarkan atas kebiasaan sama yang tetap menurut nash”: cukup untuk membuka pintu ta'aqut (transaksi) dan mut/ak bebas bagipihak-pihak yang berakad untuk menghindarkan kesulitan dan kesempitan dalam muamalah antar sesama manusia pada saat wilayah muamalah maliyah semakin meluas dan semakin berkembang bentuk dan macam kegiatannya, khususnya dalam hal kontrak atau akad (salah satunya serikat saham). (Aswaq Al-Auraq AI-Maliyah, hIm 258)

D. Kegiatan Investasi
Dalam melakukan kegiatan investasi reksadana dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Diantara investasi yang tidak halal adalah perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang haram, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain.
Dalam melakukan transaksi reksadana tidak dibolehkan melakukan tindakan sepekulasi yang didalamnya mengandung gharar atau ikhtisar atau tindakan sepekulasi lainya seperti najasy (penawaran palsu) seperti dalam riwayat berikut ini:
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari ibnu umar yang menyatakan bahwa NabiSaw: Melarang najasy (menawar sesuatu bukan untuk membeli tapi untuk menaikkan harga). Imam Bukhori dan Muslim juga meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan Nabi Saw. Melarang orang kota menghadang dan membeli barang orang kampong sebelum sampai ke kota dan janganlah kamu melakukan najasy. (Subulus Salam Juz III Hlm 18).
Manajer investasi dapat melakukan kegiatan investasi akad mudharabah apabila telah memperoleh izin dari investor pada waktu investor melakukan perjanjian investasi.
Ketahuilah bahwa amil dalam qiradh dilarang untuk melakukan muqarabah kepada orang lain denga harta/modal qiradh selama tidak ada izin dari pemilik modal dengan izin yang shahih dan jelas. (Al-Mudharabah Lil Mawardi, hlm 198-199).
Jika pemilik harta menyetujui/mengizinkan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai mudharabah hukurnnya boleh. Demikian disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal. (AI Mughni juz V hlm 50-51).
Produk-produk reksadana seperti spot, forward, swap, option dan produk-produk lainya yang bisa dilakukan perlu memperoIeh penelitian dan pengkajian untuk menjadi bahan pertimbangan apakah produk-¬produk tersebut dibenarkan oleh syariah atau tidak.

Urgensi Reksadana Syariah
Reksadana adalah tuntutan perkembangan ekonomi yang tidak dapat dihindari karena akan menghimpun dana dari umat untuk berinvestasi di reksadana dan hal ini tidak mungkin dapat dicegah. Di sisi lain umat Islam harus dapat bersaing dalam bidang ekonomi dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong era gIobalisasi.
Sementara itu kegiatan reksadana yang ada sekarang masih banyak mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariah Islam baik yang menyangkut akad, sasaran investasi, teknik transaksi, pendapatan maupun dalam hal pembagian keuntungannya. Untuk itu perlu ditumbuhkan reksadana syariah yang kegiatannya mengikuti prinsip-prinsip syariah dalam bidang muamalah maliyah.
Adanya reksadana syariah merupakan upaya untuk memberi jalan bagi Umat Islam agar tidak bermuamalah dan memakan harta dengan cara yang bathil seperti disebutkan dalam Al-Quran:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan peniagaan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang ber/aku dengan suka sama suka diantara kamu. (QS. An-Nisa' : 29).
Di samping merupakan ssesuatu kelaziman dalam kehidupan social bahwa sebagian orang yang memiliki harta seringkali tidak cakap untuk mengembangkannya dan sebaliknya orang yang kemampuan dalam berbisnis tidak memiliki modal sehingga antara kedua belah pihak dapat saling menunjang sebagaimana dijelaskan didalam kitab Al-Bajuri dalam kaitannya dengan Qiradh yang berbunyi:
Dalil atas qiradh adalah ijma' dan kebutuhan (hajat) karena kadang¬-kadang pemilik harta tidak cakap pengelolaannya dan ada orang yang tidak punya harta tapi pandai mengelola. Maka yang pertama membutuhkan pengelola dan yang kedua membutuhkan pekerjaan. (Hasyiah Fathul-Qorib Al-Bajuri, Juz II hlm 21).
Selain itu reksadana syariah juga diharapakan dapat menjadi sarana untuk ikut berpertisispasi dalam pembangunan nasional melalui investasi yang sesuai dengan syariah khususnya bagi umat Islam. Organisasi NU diharapkan dapat merintis berdirinya reksadana syariah sebagai wahana bagi warga NU untuk melakukan investasi dan untuk membantu warga yang memerlukan permodalan.
*Keputusan Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1997 di Lombok Tengah NTB. (Anam)
RIBA
(Lihat: Hadis – Riba – Bahaya Riba)

Riba dan Dampak-dampak Ekonominya (1)

Senin, 15/06/2009 11:41 WIB | email | print | share

Oleh Dr. Mohamad Daudah
Oleh: Dr. Abdul Majid Diyah
(Guru Besar Fakultas Syariah Universitas az-Zarqa al-Ahliyyah, Jordan)
Riba dalam Islam hukumnya haram, karena mengandung unsur ketidak-adilan dan pengambilan harta orang lain dengan cara batil. Inilah yang dipahami umat di awal sejarah Islam.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa hak seseorang itu terbatas pada harta pokoknya, tidak lebih. Kelebihan yang diambil sebagai kompensasi kredit adalah zhalim, dimana kezhaliman itu hukumnya jelas-jelas haram. Allah berfirman, ‘Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.’ (al-Baqarah: 279)
Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud dari tidak menganiaya dan tidak dianiaya adalah: kalian tidak mengambil melebih hak dengan cara yang bati, dan hak kalian tidak dikurangi.
Allah sebenarnya telah mengharamkan riba kepada Yahudi, namun mereka mempraktikkan riba dengan berbagai intrik, dan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Allah berfirman, ‘Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.’ (an-Nisa’: 161)
Pada hari ini, para pakar ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti perkembangan praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan, kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi dan permodalan, pengangguran, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa aturan syariat ini sarat dengan mukjizat, dan bahwa al-Qur’an ini bersumber dari Allah, bukan dari Muhammad saw.
Distribusi Kekayaan secara Tidak Adil:
Praktik kredit dengan bunga hanya terpusat pada individu-individu yang mampu memberi jaminan pelunasan hutang dan bunganya, dan hal itu mengakibatkan konsentrasi kekayaan negara pada sejumlah kecil individu.
Hal ini ditegaskan Dr. Hjalmer Schacht, warganegara Jerman mantan direktur Reichsbank, ‘Dengan praktik yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.’
Fenomena lain distribusi kekayan yang tidak adil adalah subordinasi profesionalisem terhadap kapitalisme. Produksi sesungguhnya berpijak pada dua unsur: keahlian dan modal. Keahlian-lah yang seharusnya menjadi fundamen, karena keahlian menghasilkan kekayaan, dan implikasinya adalah kedua unsur itu sama-sama menanggung untung-rugi.
Manhaj Islam dalam hal ini adalah mendistribusikan kekayaan secara merata kepada masyarakat dan memutar kekayaan di antara mereka. Karena itu, alasan Islam membagi-bagikan harta rampasan—sebagai salah satu sumber kekayaan dalam Islam—kepada orang-orang yang berhak adalah agar kekayaan itu tidak terpusat pada tangan orang-orang kaya saja, melainkan berputar di antara masyarakat. Allah berfirman, ‘Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.’ (al-Hasyr: 7)
Yang menjadi perhatian Islam adalah agar individu-individu yang menjalankan bisnis itu adalah individu-individu yang memiliki sifat amanah, kapabilitas, dan komitmen. Hal inilah yang mendorong realisasi keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dan penghasilan di tengah masyarakat.
Hancurnya Sumber-Sumber Ekonomi
Kredit sistem bunga lebih membidik program-progam yang tidak memiliki manfaat yang hakiki bagi kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kehancuran sumber-sumber ekonomi. Bukti mencolok yang kita saksikan hari ini adalah banyak orang yang meminjam uang bank hanya untuk membeli perabotan rumah yang sifatnya, seperti kulkas, mesin cuci, televisi, atau barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, dan benda-benda lain yang sifatnya untuk hiburan.
Pembiayaan dengan sistem bunga mengakibatkan kemudahan hutang-piutang, tanpa ada kaitan dengan kegiatan ekonomi yang konkret, dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan dua hal:
Pertama, prosentase yang besar dari pinjaman individual itu lebih dialokasikan pada kebutuhan-kebutuhan jangka pendek daripada kebutuhan-kebutuhan jangka panjang. Hal ini menunjukkan kesemrawutan cara belanja di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan individu-individu lebih bergantung pada hutang untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Contoh, kalau seseorang membeli secara kredit kulkas dengan harga satu juta rupiah, maka manfaat dari kulkas itu sebanding dengan margin laba yang ditetapkan dalam jual-beli tempo. Ini adalah kegiatan ekonomi yang konkret. Tetapi jika seseorang meminjam uang 1 juta dan mengembalikan 1.5 juta, maka manfaat dari seratus lima ratus ribu itu ada kalanya sebanding dengan kelebihan nilai karena berlakunya pembayaran tempo, dan ada kalanya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kreditur. Bisa jadi uangnya itu habis untuk melunasi hutang, atau membiayai keluarga, atau membeli barang-barang konsumtif secara berlebih.
Dengan contoh tersebut, kita bisa membedakan antara margin laba dan riba sebagai berikut:
1. Kelebihan dalam jual beli itu merupakan kompensasi pengadaan barang, sedangkan kelebihan dalam riba merupakan kompensasi terhadap pembayaran tempo semata.
2. Kelebihan dalam jual beli adalah kelebihan dalam barter yang sah antara dua benda yang berbeda bentuknya. Sedangkan kelebihan dalam hutang tidak, karena pembayarannya dengan satu jenis, dimana tidak boleh ada kelembihan dan kekuarangan di dalamnya.
3. Barang yang dijual itu diambil keuntungannya satu kali, dan meski demikian manfaatnya berlangsung, baik lama atau singkat. Hal itu berbeda dengan riba, dimana hutang diserahkan satu kali, tetapi ribanya atau manfaatnya berlangsung tanpa terputus.
4. Jual beli mengandung resiko dari dua segi: Pertama, resiko penurunan harga atau keausan barang ketika akan dijual. Kedua, resiko kerusakan saat barang itu masih ada di tangan penjual. Sementara harta riba itu tidak terkena resiko, melainkan sebagai pinjaman yang terjamin dan wajib dikembalikan.
Islam memberi setiap jenis modal itu keuntungan yang sesuai. Islam memberi modal SDM (pekerjaan) upah tetap atau saham (saham pekerja, misalnya), memberi keuntungan kepada modal asumtif berupa saham, bukan gaji tetap, dan memberi modal value berupa upah tetap, bukan saham, seperti sewa alat produki.

Riba dan Dampak-dampak Ekonominya (2)

Jumat, 19/06/2009 11:36 WIB | email | print | share

Oleh Dr. Mohamad Daudah
Lemahnya Peningkatan Ekonomi dan Investasi
Di antara tujuan sistem keuangan Islam dan lembaga perbankan Islam adalah kemitraan dalam pembangunan, membiayai proyek-proyek positif dengan sistem kerjasama, sesuai kaidah untung-rugi ditanggung bersama. Akad-akad dalam Islam—seperti mudharabah, musyarakah, istishna’, murabahah, dan lain-lain—memiliki keistimewaan karena ia berinteraksi dengan barang (produksi) untuk melahirkan sejumlah kegiatan ekonomi yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Di antara tujuan sistem keuangan Islam dan lembaga perbankan Islam adalah kemitraan dalam pembangunan, membiayai proyek-proyek positif dengan sistem kerjasama, sesuai kaidah untung-rugi ditanggung bersama. Akad-akad dalam Islam—seperti mudharabah, musyarakah, istishna’, murabahah, dan lain-lain—memiliki keistimewaan karena ia berinteraksi dengan barang (produksi) untuk melahirkan sejumlah kegiatan ekonomi yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Sistem bunga menghambat pertumbuhan ekonomi karena faktor-faktor berikut:
1. Besarnya jaminan pinjaman berbunga sehingga tidak ada yang bisa memenuhinya selain orang-orang kaya, dan ini menghalangi para profesional dari kalangan menengah ke bawah untuk berbisnis karena tidak adanya jaminan yang cukup.
2. Perhatian kreditur untuk mengembalikan pembayaran hutang pokok dan bunga itu lebih besar daripada perhatian mereka terhadap kesuksesan proyek.
3. Adanya beban produksi yang lebih sehingga mengakibatkan penurunan laba bersih, dan ini pada gilirannya tidak mendorong investasi.
4. Upaya menjaga legal reserve setiap bank sentral mengakibatkan banyak dana tidak tersalur untuk ivestasi dan produksi.
Inflasi:
Arti inflasi berkisar pada peningkatan jumlah uang yang mengakibatkan tingginya barang. Inflasi adalah fenomena yang ditunjukkan oleh menurunnya daya beli masyarakat disebabkan naiknya harga barang, yang secara garis besar dipicu faktor-faktor sebagai berikut:
1. Peningkatan peredaran mata uang di pasar yang salah satunya diakibatkan sistem kredit dengan bunga, sehingga pada gilirannya mengakibatkan peningkatan harga barang. Karena itu, berbagai otoritas moneter di sebagian besar negara berkembang menaikkan suku bunga sebagai bagian dari program penahanan laju inflasi, dan untuk menekan angka permintaan kreditur terhadap kredit, karena pembatasan kredit itu menjadi salah satu faktor penahanan laju inflasi.
2. Peningkatan suku bunga mengakibatkan peningkatan harga, dan herannya penurunan suku bunga juga mengakibatkan peningkatan harga barang. Jadi, harga akan terus naik selama sistem bunga berlaku, dan harga tidak akan stabil kecuali dengan hilangnya bunga.
Pengangguran:
Dua masalah terbesar yang dihadapi ekonomi kapitalis adalah pengangguran dan inflasi. Meningkatnya angka pengangguran itu korelatif dengan peningkatan inflasi, karena peningkatan harta tanpa dibarengi kenaikan gaji yang cukup akan mengakibatkan penurunan demand terhadap barang, dan pada gilirannya akan mengurangi volume investasi dan produksi, dan hali tu memicu meningkatnya angka pengangguran.
Sistem bunga mendorong munculnya satu kelompok pengangguran yang mapan, yang para nasabah bank yang duduk ongkang-ongkang kaki namun memperoleh masukan tetap dari bunga simpanannya. Demikian pula, para pemilik modal lebih memilih meminjamkan kekayaan mereka dengan sistem riba daripada menginvestasikannya untuk mendirikan proyek-proyek industri atau pertanian atau perdagangan. Karena itu ia memperkecil lapangan kerja, sehingga pengangguran tersebar di tengah masyarakat yang menganut sistem riba.
Gagasan ini dikemukakan oleh ekonom Kenzi, ‘Full employment (nol pengangguran) adalah kewajiban pertama negara, dan itu tidak terealisir kecuali jika suku bunga diturunkan hingga nol atau mendekati nol. Full employment berarti setiap pencari kerja memperoleh peluangnya.’
Jadi, Kenzi berpandangan bahwa solusi terhadap masalah pengangguran adalah dengan menghapus bunga atau menurunkannya hingga batas paling rendah. Ini adalah pendapat seorang pakar ekonomi non-muslim, yang menunjukkan bahwa Islam sarat mukjizat berkaitan dengan masalah riba. Kita tahu bahwa negara Jepang telah menerapkan konsep bunga nol persen sejak 15 tahun yang lalu, sehingga memicu ekonominya berkembang pesat. Alasannya adalah bunga mengakibatkan peningkatan harga barang, dan itu mengakibatkan permintaan terhadap barang berkurang dan konsumsi menurun, dan itu memicu kelebihan produksi. Terkadang untuk menekan harga barang produsen mengambil langkah penurunan standar gaji pekerja atau mem-PHK sebagian dari mereka.

Hadist Riba

Rabu, 15/12/2010 16:13 WIB

Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, saya ingin tahu lebih jelas tentang hadist berikut ini :
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Bisa minta tolong dijelaskan arti secara menyeluruh dari hadist tersebut. Pada zaman sekarang siapa saja yang termasuk dalam pemakan riba, pemberi riba, penulis, dan saksinya?
Apa yang harus saya lakukan apabila saya termasuk dalam salah satunya? Pekerja yang mendapatkan gaji dari riba, apakah hukuman bagi dia? Sangat berterima kasih sebelumnya.
add

Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr Wb
Riba berarti ziyadah (tambahan). Maksudnya tambahan atas modal, sedikit maupun banyak, sebagaimana dsebutkan didalam firman Allah swt :
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 279)
Riba ini diharamkan oleh semua agama samawi, karena dianggap sesuatu yang membahayakan menurut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Bahkan islam memandangnya sebagai salah satu dosa besar yang dapat membinasakan seseorang.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan". Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu'min yang suci berbuat zina"
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."
Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan bahwa makna ‘pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun dirinya tidak memakannya. Sesungguhnya pengkhususan dengan kata-kata makan karena ia adalah jenis pemanfaatan yang paling besar.
Adapun makna orang yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan. (Aunul Ma’bud juz VII hal 2893)
Riba ini ada dua macam :
1.   Riba Nasi’ah yaitu pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi utang dari orang dari orang yang berutang karena penangguhan atas pembayaran. Jenis riba ini diharamkan menurut al Qur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
2.   Riba Fadhal yaitu jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan yang disertai tambahan. Jenis ini diharamkan karena termasuk perantara riba nasi’ah.
Imam Bukhori meriwayatkan dari Umar bin Khattab mengabarkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual beli emas dengan emas adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan) ".
Terhadap orang yang melakukan praktek-praktek riba diatas maka diwajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan menghentikan segala bentuk yang termasuk didalam praktek ribawi. Diantara keharusan seorang yang bertaubat dari perbuatan riba adalah mencukupkan dirinya dengan modal pokok hartanya saja dan tidak mengambil tambahan (riba) darinya, sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 276)
Begitu juga terhadap seorang pekerja yang mendapatkan gaji dari riba atau bekerja di Bank Konvensional maka hendaklah dirinya mencari pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal. Akan tetapi jika dirinya melihat bahwa bekerja di tempat itu adalah sesuatu yang darurat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya maka dibolehkan baginya menerima gaji itu dengan hati yang tidak rela sambil tetap berusaha mencari alternatif pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal.
Syeikh Yusuf al Qaradhawi di dalam bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” ketika ditanya tentang hukum bekerja di Bank Konvensional, beliau menjawab,”Jangan pula dilupakan adanya kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah sampai tingkat darurat. Kondisi inilah yang menjadikan saudara penanya untuk menerima —tetap bekerja di bank— sebagai sarana mencari kehidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt :
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya : “.....tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2] : 173)
Wallahu A’lam

Bunga dan Riba
M.Dawam Rahardjo (Tempo No. 15 Tahun XX, 9 Juni 1990)

Barangkali fatwa resmi mengenai halalnya bunga bank, sekalipun oleh MUI, NU, atau Muhammadiyah, malah akan memancing kontroversi. Nyatanya, umat Islam umumnya, termasuk para ulamanya, telah menyimpan uangnya di bank atau mendapatkan kredit, kesemuanya mengandung unsur bunga. Mungkin mereka telah membayar atau menerima bunga uang, atas dasar hukum “halal dalam keadaan darurat”, yang merupakan pendapat umum di kalangan ulama berpandangan “maju” dewasa ini.
          Tapi banyak pula yang sebenarnya telah merasa yakin bahwa bunga bank itu halal adanya,  berdasarkan pendapat ualama terkenal seperti A. Hassan, Pemimpin Pengurus Persis, Bangil (dan guru tokoh Masyumi M.Natsir) atau ulama Minang, Syaikh Abdullah Ahmad. Golongan terpelajarnya mungkin mengikuti pendapat tokoh-tokoh berwibawa seperti Mohammad Hatta, Syafrudin Prawiranegara, atau Kasman Singodimedjo. Karena itu,  tanpa didahului oleh fatwa, Muhammadiyah sudah memutuskan untuk mendirikan 200 BPR, dan NU menyusul dengan impiannya akan membiakkan 20.000 BPR dalam 20 tahun mendatang.

Argumentasi SebelumFatwa
Tentu masih ada juga sebagian umat yang berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba dan riba itu haram hukumnya, walaupun mungkin punya deposito di bank. Segolongan intelektual dan kaum profesional yang sependapat  lalu memberikan model bank alternatif  yang disebut mereka “bank non ribawi” yang menerapkan prinsip los and profit sharing  sebagai modellembaga keuangan yang sesuai dengan Islam.
          Adanya kelompok di atas agaknya menimbulkan tuntutan pertanggungjawaban,  baik berdasarkan kaidah hukum fikih maupun argumentasi ilmiah atas pandangan bahwa bunga bank itu halal. Karena itu, menjelang dikeluarkannya suatu fatwa, perbincangan terbuka mengenai soal ini perlu dilakukan.

Pendekatan Baru
Sering dikatakan oleh para ulama serta intelektual muslim, bahwa hukum Islam itu sifatnya lentur dan selalu bisa menyesuaikan diri karena perubahan zaman, tanpa  mengubah esensinya yang  bersifat adil. Kini tafsir  dan pengertian mengenai riba bisa pula berubah. Dulu, soal ini dilihat dalam konteks sosial. Kini, definisi riba dan bunga perlu pula dilihat dari sudut ekonomi.
          Ustad A.Hassan mengatakan bahwa yang dilarang itu adalah bunga atau riba yang berlipat ganda. Karena itu, riba yang haram itu masih tetap ada, yaitu kredit yang dijalankan oleh pembunga uang dalam sistem mindering atau sistem ijon yang mencekik itu. Kalau tingkat bunga itu diumumkan dan diterima oleh yang melakukan transaksi secara sukarela, artinya tingkat bunga itu wajar, kata ustad Abdullah Ahmad, maka ia halal  hukumnya.
          Sekarang, bank adalah lembaga resmi yang diatur oleh UU negara. Kehadirannya justru berfungsi memberantas mindering atau riba yang dilarang itu. Tingkat bunganya dapat disebut wajar, karena ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terbuka, selain juga dilindungi dari ketidakwajaran oleh kebijaksanaan moneter pemerintah.
          Bank adalah  lembaga perantara antara mereka yang ingin menyimpan uangnya dan yang membutuhkan uang untuk keperluan produksi atau konsumsi. Untuk bisa menyediakan uang guna dipinjam, bank perlu  memberikan jasa bunga kepada pemilik uang atas dasar opportunity cost dan melindunginya dari kerugian akibat inflasi, membayar ongkos administrasi, dan menyediakan cadangan untuk kemungkinan tak dibayarnya piutang. Selain itu, bank perlu pula menarik keuntungan. Semua beban itu harus bisa dipikul oleh mereka yang membutuhkan uang dari bank.

Bank adalah Lembaga Tijarah
Transaksi kredit pada hakikatnya adalah kegiatan perdagangan, dengan uang sebagai komoditi. Dalam surat Al-Baqarah: 275, dikatakan bahwa: “Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba”. Kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan atau tijarah, maka hal itu dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan  itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan. Dengan meminjam istilah Syafrudin Prawiranegara, “unsur pemerasan” dalam riba justru dihpuskan dengan adanya bank atau koperasi.

Riba Dalam Transaksi Utang Piutang
Abdul Azizi Setiawan/Peneliti pada  Pusat Penelitian STEI SEBI (Hidayatullah, Janari 2008)

Al-Qur’an dan hadis telah mengharamkan riba. Terdapat empat ayat dalam al-Qur’an yang menegaskan tentang pengharaman itu. Pertama surat Ar-Rum/30: 39 yang diturunkan di Makkah, dan tiga lainnyasurat An-Nisa/4: 161, surat Ali Imran/3: 130-132,dan surah al-Naqarah/2: 275-281, yang turun di Madinah. Yang terakhir dari ayat tersebut diwahyukan menjelang wafatnya Rasulullah saw.
          Dalam ayat  tersebut, Allah melarang  keras orang yang mengambil riba dan mereka dalam keadaan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Ayat ini juga menetapkan  perbedaan yang jelas antara  perdagangan dan riba,  serta memerintahkan kaum Muslim untuk meninggalkan semua riba yang masih tersisa, memerintahkanmereka untuk hanya mengambil jumlah pokok pinjaman saja, dan membebaskan peminjam yang mengalami kesulitan.
          Rasulullah saw melarang riba dengan kata-kata yang jelas. Tidak hanya mengutuk mereka yang mengambilnya, tapi juga mereka yang memberikannya, mereka yang mencatat transaksi, dan mereka yang bertindak sebagai saksi terhadapnya (HR Muslim, Tirmidzi dan Ahmad). Beliau bahkan menyamakan mengambil riba secara sengaja sama dengan melakukan perzinahan 60 kali (Riwayat Ahmad dan Darul-Quthni) atau berdosa seperti melakukan incest  (berzina) dengan ibu kandungnya sendiri (Riawayat Ibnu Majah dan Baihaqi). Dengan demikian mengambil atau memakan riba adalah tergolong dosa besar dan disamakan dengan hal-hal yang sangat menjijikkan.

Lebih Jauh tentang Riba
Riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Meski demikian tidak semua peningkatan atau pertumbuhan dilarang oleh Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah  dilarang. Yang dilarang  oleh Rasulullah secara tegas adalah mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman (transaksi utang piutang).
          Rasulullah saw bersabda, Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya dia tidak boleh menerima hadiah” (HR Bukhari). Di dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Ketika seseorang  memberikan pinjamana kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan” (HR Baihaqi).
          Dari sini jelas bahwa bunga bank masuk dalam kategori ini, karena tidak mungkin tingkat suku bunga lebih rendah dari sepiring makanan atau tumpangan dari kendaraan seseorang. Dengan demikian penegasan Rasulullah saw ini dapat digunakan untuk menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga.
          Pengertian riba ini menurut Dr.Umar Chapra (2001) juga tercermin dalam tulisan-tulisan para ulama dalam sejarah Islam. Hampir tidak ada tafsir al-Qur’an klasik atau kamus bahasa Arab yang memberikan arti berbeda. Misalnya, al-Qurthubi (w.671 H/1070 M.), yang  dianggap sebagai salah satu mufassir al-Qur’an yang terkenal. Dalam tafsir al-Qurthubi dengan jelas menunjukkan bahwa, “Kaum Muslimin sepakat perihal pengesahan Rasulullah saw bahwa adanya syarat pertambahan atas jumlah pinjaman adalah riba, tidak peduli apakah berupa segenggam tepung, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud atau sebutir gandum” Ibnu Manzur (w. 711 H/1311 M) juga dengan jelas menyatakandalam kamus bahasa Arabnya yang  termasyhur Lisan al-‘Arab  bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah, manfat atau keuntungan lebih yang diterima dari pinjaman dalam bentuk apapun”.
          Jadi, istilah riba yang dipahami berarti ‘premium’ yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman sebagai sayrat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu jatuh temponya. Riba dari utang piutang ini dalam khazanah fikih Islam dikenal dengan riba al-nasi’ah.

Riba al-Nasi’ah
Istilah al-nasi’ah  berasal dari akar kata nasa’a  yang berarti menunda, menangguhkan, atau menunggu dan merujuk pada waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali pinjamamnnya dengan imbalan berupa’tambahan’ atau ‘premium’. Jadi riba al-nasi’ah  sama dengan bunga yang dikenakan atas pinjaman. Dalam arti inilah istilah riba digunakan di dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah/2: 275 yang menyatakan bahwa “Allah swt te;lah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (bunga)”. Riba ini  juga disebut sebagai riba al-Qur’an (riba yang dinyatakan di dalam al-Qur’an) atau riba al-duyun (riba atas pinjaman).
          Pengharaman riba al-nasi’ah  pada dasarnya mengakibatkan bahwa penetapan di muka tingkat keuntungan positif  atas pinjaman sebagai imbalan karena ‘waktu menunggu’ tidak diperbolehkan oleh syari’ah. Tak ada bedanya apakah tingkat pengembalian tersebut kecil ataupun besar. Persentase tetap atau variabel atas pokok pinjaman. Atau jumlah absolut yang harus dibayarkan di muka atau pada waktu jatuh tempo. Atau hadiah maupun jasa yang akan diterima sebagai sebagai syarat pemberian pinjaman. Persoalan dasarnya adalah kepastian keuntungan yang ditentukan sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa, menurut syari’ah, penantian atas pembayaran suatu pinjaman tidak dengan sendirinyamembenarkan terjadinya suatu imbalan yang positif.
          Bahkan tidak ada ruang bagi diskursus bahwa pelarangan ini hanya berlaku pada  pinjaman konsumsi dan tidak pada pinjaman usaha. Ini karena pinjaman pada masa Rasulullah saw bukan untuk tujuan konsumsi tetapi lebih ditujukan untuk pembiayaan perdagangan jarak jauh. Bahkan Profesor Abraham Udovitch, mantan Ketua Jurusan Studi Timur Tengah pada Princeton University, menjelaskan bahwa, “Setiap pernyataan bahwa pinjaman pada abad pertengahan adalah untuk tujuan konsumsi saja dan tidak untuk produksi, tidak bisa dipertahankan dengan merujuk pada Timur Dekat di abad Pertengahan” (dikutip Chapra, 2001). Jadi, sama sekali tidak ada perbedaan pendapat di antara semua mazhab fikih Islam bahwa tambahan atas utang piutang atau bunga berarti riba nasi’ah dan haram.  Sifat dari pengharaman adalah tegas, absolut, dan tidak mendua.
            Dan, sebagaimana pernah dinyatakan oleh sekjen Ikatan Ahli Ekonomo Islam (IAEI), Agustianto, dalam sebuah kesempatan bahwa sejatinya telah terjadi ijma’ di kalangan ulama atas keharaman bunga bank tersebut. Dan ulama-ulama yang terlibat di dalamnya sebagian besar adalah mereka yang ahli dalam bidang ekonomi moneter dan diakui keilmuan, kefakihan, dan kredibilitasnya. Kalau ada segelintir cendekiawan Muslim yang masih menolak hal ini, kita bisa melihat biasanya mereka tidak fakih dalam persoalan ekonomi moneter. Wallau a’lam bish-shawab.

SENI MUSIK

Pandangan Ulama Terhadap Seni Musik
01/10/2009

Oleh: Jamaluddin Mohammad
Membincangkan dinamika dan wacana kesenian dan kebudayaan dalam dunia pesantren seolah sepi dan tidak begitu diminati. tulisan dalam artikel ini mencoba mencoba untuk menghidupkan kembali wacana tersebut.

Salah satu ulama yang memiliki perhatian dan minat besar terhadap kesenian adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W 1111). Dalam magnun opusnya, Ihya ulumuddin, al-Ghazali menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik
Dalam menghukumi musik, kata al-Gazali, para ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari,  Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi’i,  ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.
Bahkan, kata al-Syafi’i, memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca al-Qur’an. Al-Syafi’i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibanding permainan-permainan yang lain. “Dan saya”, tegas al-Syafi’i, “sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan.
Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru’ah).” [1]
Begitu juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya, “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id. [2]
Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib al-Tabari.[3]
Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in.  Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik. [4]
Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.
Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.” [5]

Antara bentuk dan isi
Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar [6].
Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.
Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).
Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst [7].  Penilaian seperti itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal.
Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.
Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya dengan berpijak pada realitas kongkrit.
Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu).
Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.

Musik “Islam” dan “non-Islami”
Sekarang ini muncul penilaian di sebagian kalangan masyarakat yang mengidentifikasi musik dan lagu tertentu sebagai “Islami” dan “non Islami”. Asalkan lirik lagunya “dibumbui” nama-nama Tuhan, maka disebut “Islami”.
Bahkan cenderung menyamakan Arabisasi dengan Islamisasi. Semisal, musik/lagu yang beraroma padang pasir (gambus/berbahasa Arab) dianggap musik Islam sementara lainnya dicap bukan dari Islam.
Penilaian tersebut tidak hanya keliru, melainkan menyebabkan kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Keislaman bukan terletak pada bentuk dan penampilan (ekspresi) melainkan substansinya.
Juga muncul keinginan sebagian orang yang ingin “menundukkan” kesenian di bawah agama dengan memasukkan pesan-pesan keagamaan ke dalam kesenian tertentu. Contohnya dengan menaburi lirik-lirik lagu dengan “pesan-pesan keagamaan”.
Menurut Abdurrahman Wahid, hal ini disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antar keduanya. Agama mencoba menundukkan kebudayaan melalui proses legitimasi. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang sesuai atau bertentangan dengan agama. Dengan ini, yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sementara yang lain tidak [8].
Sebetulnya, tidak tepat menghadap-hadapkan antara agama dan kesenian (termasuk musik). Keduanya memiliki independensi masing-masing. Terkadang hubungan keduanya bersifat mutualis-simbiosis. Juga tidak jarang keduanya saling serang dan menyerang. Dalam kehidupan, itu pasti terjadi, dan tidak perlu disesalkan. Tinggal bagaimana menempatkan keduanya pada proporsi masing-masing secara adil, bebas, dan merdeka. Wallahu a’lam bi sawab.
Jamaluddin Mohammad, ketua Komunitas Seniman Santri (KSS) PP. Babakan Ciwaringin Cirebon
Endnotes

[1] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 267
[2] Mughni Al-Muhtaj, hal 2, vol 3
[3] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[4] Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad, Kaf al-Ria’, hal 273
[5] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268
[6] Mohammad Nawawi, Syarh Sulam al-Taufik, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 75
[7] Mohammad bin Salim, Is’adu al-Rafik wa Bughyatu al-Syiddiq, Surayabaya: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyyah, tt, hal 106
 [7]Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, cetakan 2

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Hukum Transaksi via Elektronik
12/04/2010

Berikut ini adalah salah satu keputusan bahtsul masil diniyah waqi'iyah pada muktamar ke-32 di Makassar, 23-28 Maret 2010. (red)

Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.
Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan.  Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad nikah?
2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah?
3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?

Jawaban:
1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).
2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majlis terpisah tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah di majlis terpisah tidak sah.
3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah (pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan sesuai dengan nafsul-amri (sesuai dengan kenyataan).
Pengambilan dalil dari:
1. Nihayatul Muhtaj, Juz 11, hal. 285 (dalam maktabah syamilah)
2. Al-Majmu’, Juz 9, hal. 288.
3. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, Juz 11, hal. 476.
4. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, Juz 2, hal. 403.
5. I’anahtuth Thalibin, Juz 3, hal. 9. Dll.
UANG
Mengenal Uang Kertas dalam Perspektif Islam
16/11/2010

Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter samapai mereka mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang tambang emas dan perak sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham berfungsi sebagai medium untuk mengukur harga komoditas, disamping juga berfungsi untuk alat tukar transaksi dan barang simpanan kekayaan.
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian  mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.
Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar berbentuk uang kertas
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (
نقدني الثمن (   yakni dia membayarku harga dengan tunai.
Kata uang  (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya.  Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Perputaran uang selalu menggunakan jasa perbankan, termasuk bank syariah. Bank Syariah yang menggunakan uang kertas, baik berupa Rupiah, Riyal, Ringgit maupun Dólar tidak dapat dikatakan tidak syariah apalagi disebutnya riba. Sebab penilaian syariah atau tidaknya sebuah transaksi dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi barang yang menjadi obyek transaksi dan cara bertransaksi. Adapun obyek transaksi yang diharam diantaranya karena najis atau memudlaratkan. Sedangkan cara transaksi yang diharamkan ádalah karena zalim, baik krn curang, menipu atau perjudian. Adapun riba berkenaan dengan pertambahan nilai, baik karena berdasarkan waktu (riba nasi’ah) atau karena jumlahnya (riba fadl). Jadi tidak tepat menyebuk bank syariah tidak menjalankan syariah karena menggunakan uang kertas. Namun bank syariah tetap perlu meningkatkan kualitasnya.

M. Cholil Nafis, Ph D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Koordinator Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Syariah Program Pascasarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia

Ditulis oleh Untung Kasirin

Sejarah mencatat, dalam sistem moneter Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang (kurs valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating Exchange Rate System dan Pegged Exchange Rate System.
Era fixed exchange rate system ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible terhadap emas atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Dengan demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan emas melalui USD.
Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.
Floating exchange rate atau sistem kurs mengambang adalah sistem yang ditetapkan melaui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional” (Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan sebagai acuan.

Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).

Keunggulan Gold Exchange Standard
Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain. Pertama, jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.
Kedua, dengan menggunakan gold exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus. Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan lebih besar.
Ketiga, keuntungan mengunakan gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya merupakan barrier bagi perdagangan.

Beberapa Catatan
Di depan telah disinggung bahwa perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan. Pertama, mata uang yang dipakai sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.
Kedua, harus ada kontrol ketat bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu, otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.
Referensi
Eramuslim Digest, Islamic Thematic Handbook, edisi koleksi 8.
Dr. Hamdy Hady, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Penerbit: Galia Utama (2001).
Luthfi Hamidi, Gold Dinar. Penerbit: Senayan Publishing Jakarta (2006).
*Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI) Jakarta

Uang Masa Depan yang Memakmurkan

Thursday, 22 April 2010 12:46
Uang masa depan haruslah bisa mendatangkan kemakmuran, yang menciptakan lapangan kerja. Inilah yang terjadi bila dikelola sesuai Islam

Oleh: Muhaimin Iqbal*
SEPULUH tahun yang lalu (2001) seorang peneliti di Center of Sustainable Resources  - University of California at Berkeley Bernard Lietaer menulis buku dengan judul The Future of Money: Creating New Wealth, Work and a Wiser World. Dalam bukunya yang futuristik ini Bernard antara lain menulis tentang berbagai fenomena pencarian uang baru yang sudah mulai saat itu karena kekecewaan masyarakat tentang sistem uang yang ada dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Menurut Bernard, sistem keuangan dunia dewasa ini tidak ubahnya seperti Casino raksasa yang dioperasikan dengan penuh spekulatif, yakni 100 kali lebih besar dari transaksi  total bursa saham di seluruh dunia per harinya. Hanya 2 % saja dari perputaran tersebut yang terkait dengan transaksi barang dan jasa; 98%-nya  murni untuk spekulasi.
Bila buku yang ditulis sebagai hasil penelitian Bernard ini dikaitkan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa penguasa hanya boleh mencetak fulus sebesar kebutuhan transaksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu negeri, maka ya hanya 2 % itulah uang yang perlu ada di dunia sesungguhnya.
Apa dampak dari besarnya porsi uang yang digunakan untuk keperluan transaksi spekulatif tersebut dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk transaksi riil? Nilai uang menjadi sangat rentan terhadap ulah spekulan. Porsi terbesar uang tidak menggerakkan sektor riil, pemerintah-pemerintah dunia menjadi sibuk menjaga nilai uang  ketimbang menggerakkan sector riil. Lapangan pekerjaan tidak mudah tersedia, kemakmuran sulit terwujud, dan dunia menjadi tidak bijaksana karena lebih banyak mengharapkan durian runtuh dari ‘hasil spekulasi’ ketimbang hasil dari kerjaan yang riil.
Namun, di setiap zaman, di setiap  masyarakat selalu ada sekelompok kecil orang yang melihat sesuatu sampai melewati batas horizon (beyond the horizon). Mereka ini sudah mulai mencari solusi untuk memecahkan problem, yang bahkan sebagian terbesar masyarakatnya belum menyadari adanya problem tersebut.
Dalam hal problem besar yang terkait uang ini misalnya; Bernard berhasil mengidentifikasi setidaknya saat itu sudah ada 1.900–an komunitas di seluruh dunia, termasuk ratusan di antaranya di Amerika, yang sudah mulai mengeluarkan ‘uang’-nya sendiri dalam berbagai bentuknya.
Di antara ‘uang swasta’ tersebut yang paling luas dikenal di masyarakat antara lain adalah Frequent Flyers Miles yang dikeluarkan oleh industri penerbangan; Reward Points yang dikeluarkan oleh perbankan, dan kini juga industri telekomunikasi; Vouchers yang dikeluarkan oleh para retailers; credit balances yang dikeluarkan pengelola transaksi barter; dan yang paling merepresentasikan uang yang sesungguhnya adalah apa yang disebut backed currencies.
Backed currencies adalah currencies atau alat tukar yang nilainya dijamin atau didukung langsung dengan barang atau jasa. Di antara barang-barang ini yang paling baku nilainya dan memang sudah digunakan sebagai uang selama ribuan tahun adalah emas dan perak. Maka backed currencies berbasis emas yang sudah dikenal luas di dunia maya seperti e-gold, menjadi primadona dalam pencarian uang modern tersebut.
Meskipun emas adalah uang yang paling ideal; berbagai pihak yang berusaha menggunakan emas sebagai uang di masa lampau banyak mengalami kegagalan. Contoh terbesarnya adalah kegagalan Breton Woods Agreement yang buyar Agustus 1971 – hanya seperempat abad saja usianya. Mengapa demikian? Sederhana saja,  penggunaan emas sebagai uang haruslah disertai serangkaian peraturan yang sangat lengkap dan menyeluruh untuk menjamin ketersediaan emas sebagai uang itu sendiri.
Peraturan dan petunjuk pelaksanaan penggunaan emas yang sangat menyeluruh ini, adanya hanyalah di Syariat Islam seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Emas Cukup Untuk Seluruh Umat Manusia , Tetapi…”.
Seperti judul buku Bernard tersebut diatas, uang masa depan haruslah uang yang bisa mendatangkan kemakmuran, uang yang berguna untuk menciptakan lapangan kerja, dan uang yang bisa membuat dunia lebih bijaksana. Sekali lagi inilah yang akan terjadi bila uang dikelola sesuai syariat Islam, hanya dengan syariat inilah uang tidak menjadi harta yang tertimbun.
Uang benar-benar mendatangkan kemakmuran bukan hanya pada golongan yang kaya saja.
Jadi sesungguhnya blueprint uang masa depan yang memakmurkan it, telah lama ada di dunia Islam dan telah pula diterapkan selama ribuan tahun.
Kini blueprint ini pun siap diterapkan di era teknologi ini. Tinggal kita sendiri mau mengikuti orang lain yang dengan susah payah mencari bentuk uang modernnya ; atau kita kembali menggunakan uang yang sudah ada di syariat Islam – rujukan yang kita yakini kebenarannya. Waallahu A’lam
Penulis adalah Direktur GeraiDinar. Kolumnis di wwww.hidayatullah.com

MUI: Jual Beli Sesama Uang Haram

Friday, 27 August 2010 15:41
Nabi melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kecuali dengan jumlah yang sama

Hidayatullah.com--Menjelang hari lebaran, di pinggir-pinggir jalan di kota besar kini mulai marak penjualan uang pecehan. Gara-gara itu juga, banyak masyarakat yang memanfaatkan jasa tersebut. Pasalnya, tak perlu repot-repot antri di bank, untuk bisa mendapatkan uang pecahan. Tapi, tahukah Anda, jika Islam mengharamkan perbuatan itu.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH. Ma’ruf Amin mengatakan, jual beli uang sesama jenis –rupiah dengan rupiah-dengan nilai atau jumlah yang berbeda, tidak diperbolehkan dalam agama. Bahkan, menurut Kiai Ma’ruf, hal itu termasuk riba.
“Islam mengharamkan jual beli model ini. Hal itu dilarang bahkan haram,” ujarnya ketika dihubungi hidayatullah.com Jum’at (27/8) siang tadi.
Lebih jelas Kiai Ma’ruf menjelaskan, pengharaman jual beli model itu sama seperti di dalam hadist Nabi. Nabi melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, kecuali dengan jumlah yang sama. Barangsiapa yang menambah atau bertambah, maka tergolong riba.
Namun, ujar Kiai Ma’ruf, beda halnya jika dengan jenis yang berbeda, seperti rupiah dengan dollar atau ringggit. Sebab, antara rupiah dan dollar memiliki nilai yang berbeda. Sedangkan jika sesama rupiah, tidak memiliki nilai lebih. “Jadi, apa yang mendasar dijual lebih mahal. Nilainya kan sama,” tegasnya.
Tidak hanya itu, Kiai Ma’ruf juga tidak setuju jika jual beli itu dibilang sah lantaran ada faktor jasa. “Ya, kalau tujuannya ingin mempermudah, ya niatkan menolong saja. Jangan sampai dijual lebih mahal,” katanya.
[ans/hidayatullah.com] 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar